I'm Waiting for You

as always Naruto belong to Masashi Kishimoto sensei

Pairing : Sabaku Gaara ( Rei Gaara)

x

Haruno Sakura

Au, romance etc!


Lima bulan tanpa komunikasi. Bukan, bukan ia yang lupa untuk menghubunginya. Ia terus mencoba namun orang itu seolah hilang atau memang benar-benar menghilangkan diri darinya.

Namun hari ini, di depan matanya seolah menjawab semuanya. Alasan kenapa dia menghilang begitu saja. Padahal mereka sudah berjanji untuk hidup bersama dengan kehidupan bahagia. Namun semua kini telah hancur ah, atau lebih tepatnya dihancurkan olehnya.

"Kau menghilang dan..."

"Kita sudah berakhir."

Hanya dengan satu kalimat, sukses membuat perempuan itu mendongak dan menatap pria di depannya dengan penuh kekecewaan.

Selama ini, semua tentang pria pujaannya itu adalah yang terbaik hingga ia lupa dengan diri sendiri. Ya, bagaimana ia menjadi orang lain, menuruti permintaan prianya ini. Tapi apa? Setelah semuanya dia kini mengatakan hal seperti ini?

"K-kau bercanda?"

Pria pucat dengan senyuman yang masih terlihat setelah mengatakan itu menggeleng, menjawab tanya perempuan di depannya.

"Kita sudah berakhir karena..."

"Ya," perempuan itu menghapus kedua sudut matanya yang basah. Sepertinya air matanya terlalu berharga untuk menangisi pria di depannya ini. "Kau sudah memiliki tunangan kaya dan aku harus pergi. Baiklah," perempuan itu tertawa pelan merutuki dirinya yang malang. Selama ini ia terlalu banyak bermimpi tentang kehidupannya kelak bersama prianya tapi pada akhirnya semua mempermainkannya.

Menghela napas panjang ia kembali berujar," aku tidak akan mengucapkan selamat karena kau menyakitiku. Tapi terimakasih atas kenangan yang pernah kau berikan untukku." Dan ia berbalik pergi dengan bersenandung namun perlahan air matanya jatuh bersamaan dengan langkahnya yang terasa sakit.

"Bajingan!"

...X...

Baru berapa jam ia berada di Yacht mewah untuk menghadiri pernikahan sahabat pirangnya dengan salah satu keluarga yang terkenal berasal dari Suna malah bertemu hal yang sangat menyakitkan. Jika bertemu pria itu seperti dulu dalam keadaan tidak seperti ini mungkin akan baik-baik saja atau mungkin menyenangkan. Tapi karena pertemuannya tadi membuatnya menyesal berada disini.

"Kalian sudah bertemu?"

Sahabat pirangnya mengambil posisi disamping. Mereka berada paling atas Yacht dengan suguhan lautan yang membentang luas. Angin berhembus kencang tidak membuat keduanya menyingkir. Di pagar pembatas keduanya berada saat ini dengan satu perempuan yang sejak tadi menangis kini sudah diam dan hanya menatap lautan lepas.

"Kau sudah tau tapi tidak memberitahu. Kau jahat Ino."

Gadis pirang yang tidak lain sang calon pengantin tidak membela dirinya sendiri. Ia tau salah. Sebagai sahabat ia tega membiarkan semuanya begitu saja. Tapi bukan tanpa alasan ia diam berpura-pura tidak tau apa-apa.

"Aku menunggu kau tau sendiri karena jikapun aku mengatakan kau tidak akan percaya Sakura."

Perempuan berambut gulali itu mendengus mendengar perkataan Ino. Ia sangat mengerti atas tindakan Ino melakukan itu. Selama ini ia terlalu percaya dengan kekasihnya begitu dalam sampai-sampai seolah dunia kebenaran hanya dipenuhi kekasihnya saja. Mungkin karena sikap itulah membuat Ino tidak selalu banyak bercerita padanya seperti dulu.

"Maafkan aku Ino."

Ino memandang sedih sahabatnya. Seharusnya ia sedih tapi malah bersyukur karena Sakura dibebaskan dari pria itu.

"Oh maafkan aku juga," Ino berjalan mendekat dan memeluk Sakura, mencoba menguatkan sahabatnya yang sedang patah hati ini. Tapi kehidupan terus berjalan kan?

Tepat saat mereka saling berpelukan erat, sebuah helikopter melintas sangat dekat membuat keduanya sontak melepaskan pelukan.

Heli itu perlahan turun dan mendarat tepat di lintasan yang sudah ada pada Yacht.

"Apa itu tamu istimewa suamimu Ino?"

Sakura menatap takjub pada heli yang kini sudah berhenti berputar dan perlahan pintu terbuka.

Calon suami Ino terlihat di sana, menunggu orang dalam heli turun.

"Ah, dia calon adik ipar ku."

Ino pun melihat bagaimana calon adik iparnya yang bahkan ia belum pernah bertemu. Hubungannya hanya lima bulan lamanya, tapi mereka sudah berkomitmen untuk menikah. Satu sisi Ino lelah jika harus mencari sana sini dan lainnya. Sedangkan kini ada pria yang benar-benar serius dan Ino pun beruntung bisa dicintai oleh pria ini.

"Dia..."perkataan Sakura terhenti saat calon suami Ino kini melambai ke arahnya atau lebih tepatnya melambai kepada Ino.

"Bagaimana Sakura, apa dia tampan?" Ino balas melambai dengan senyuman namun tetap ia berbicara kepada Sakura yang masih terpaku pada satu sosok yang terus bertemu tatap dengannya itu.

"Entah."

Kedua pria itu pun berjalan memasuki Yacht menghentikan kegugupan yang menimpa Sakura barusan.

"Aku tau kau sejak tadi melihat adik ipar ku," Ino mencondongkan tubuhnya, menelisik wajah gugup sahabatnya itu dengan mata menyipit. "Apa kau berencana menjadi adikku?" Goda Ino dengan kekehannya.

"Haish, aku baru saja patah hati Ino!" Sakura berbalik dan menyenderkan tubuh pada pagar pembatas. Terasa aneh hanya dengan membayangkannya saja. Bagaimana bisa saat ia baru patah hati jatuh hati pada pria lain dengan mudahnya.

"Ya, ya baru patah hati tapi bukan selamanya meratapi nasib Sakura. Buang pria itu jauh-jauh dari pikiran dan hatimu lalu buka hatimu untuk seseorang yang tulus mencintaimu Sakura."

Deringan ponsel Ino membuat gadis pirang itu dengan segera mengangkatnya.

"Ya Sayang... Baiklah aku akan ke sana."

"Sakura mau ikut bertemu adik ipar ku tidak?" Ino bersiap pergi karena prianya sudah menunggunya.

"Aku masih ingin disini."

"Baiklah kalau begitu. Oh ya, nanti malam jangan lupa ada pesta dan tidak ada penolakan oke?" Ino sekali lagi memeluk Sakura dan melepaskan dengan senyuman lebar. "Aku pergi dulu dan jangan terlalu lama disini karena siapa tau jika kehidupan percintaan sedang menunggumu di pesta nanti."

Sakura memutar matanya bosan. Sepertinya Jiwa cupid Ino kembali lagi sekarang. "Sana pergi dan aku akan menunggu pria manapun yang bersedia menikahi ku." Ucapnya yang sejujurnya tidak serius. Tapi berbeda dengan Ino yang tertawa dan sedikit menggoda sebelum benar-benar pergi meninggalkan Sakura dengan kesedihannya.

...x...

Sakura memenuhi undangan Ino untuk makan malam dengannya. Acara pernikahan akan di adakan lusa tapi para tamu sepertinya sudah hadir semuanya. Sakura melintas lorong menuju tempat dimana Ino sudah menunggu. Dan ia merutuki dirinya saat didepannya kini terdapat sepasang kekasih yang terlihat mesra.

'sial!'

Mencoba menguasai emosinya, Sakura menghela napas, berjalan pelan dengan memainkan ponselnya. Mencoba menghubungi seseorang -berpura-pura.

"Ya, sebentar lagi aku sampai Sayang, baiklah." Sakura memasukan ponselnya pada saku jaketnya dan tersenyum manis membuat sepasang kekasih itu menghentikan langkahnya.

"Kau menggoda tunanganku?" Perempuan pirang itu berseru sinis kepada Sakura. Tidak dengan prianya yang menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

Ingin sekali Sakura menangis lagi, tapi ia sudah berjanji jika ia tidak boleh lemah.

"Hah? Anda menuduhku?" Sakura menunjuk dirinya dan menatap sinis pada keduanya.

"Kau tersenyum seperti itu saat hanya ada kami nona. Kita tidak saling kenal dan sepertinya perkataan pertamaku yang benar jika--"

"AKU DISINI SAYANG!" Sakura mengencangkan suaranya atau sedikit berteriak kepada seseorang di sana membuat sepasang kekasih itu berbalik, melihat siapa orang itu.

Pria berambut merah berdiri dengan tatapan datar. Pakaian formal tanpa jas, hanya kemeja hitam membuatnya terlihat sempurna.

Sakura tersenyum dan berlari ke arah pria itu lalu melompat, memeluknya.

"Aku merindukanmu!"

Sakura meminta ampunan Tuhan atas apa yang dilakukannya sekarang. Atas kebohongannya dan menjadikan seseorang yang tidak dikenalinya harus terlibat dengannya.

Pria itu nyatanya cukup terkejut. Bukan hanya saat diteriaki tapi harus ditambah dengan apa yang didapatnya kini. Gadis asing yang berbuat seenaknya tanpa persetujuan membuatnya kini menjadi pusat perhatian.

"Kau mabuk nona?" Tanyanya heran dengan kelakuan gadis ini.

Sakura melepas pelukannya. Ia melihat ke arah dimana tadi Sai berada. Mereka sudah pergi dan ia bisa bernafas lega. Tapi sepertinya satu masalah baru telah ia perbuat.

"Maafkan aku." Sakura menunduk meminta maaf. "Sekali lagi maaf karena telah salah mengenali." Sakura merutuki kebohongan yang diucapkannya lagi. Tapi lebih baik mengatakan alasan ia salah orang kan daripada memang sengaja?

Pria itu masih menatap dalam diam. Namun saat ia akan mengatakan sesuatu gadis itu buru-buru berbalik pergi dan berlari begitu saja.

"Dia kenapa?"

...x...

"INO AKU LUPA!" Sakura merutuki dirinya yang benar-benar lupa jika malam ini pesta sebelum hari H atau semacam pesta sebelum melepas masa lajang?

Ino sudah bersiap dengan gaun biru muda sedangkan ia masih dengan pakaian tadi, hotpants dengan kaos jaketnya.

"Karena sudah telat sebaiknya ganti punyaku saja dan aku yang akan mengurusi!"

Ino menarik Sakura, mendudukkan sahabatnya itu pada meja riasnya.

Sakura melihat bayangan mereka dari cermin. Ino terus tersenyum membuatnya curiga jika sahabat pirangnya itu memang sudah merencanakan sesuatu.

"Kau tidak sedang merencanakan sesuatu kan Ino?"

"Aku mengikuti takdir jidat," Ino mulai memoles wajah Sakura, meriasnya dengan keahliannya.

"Jangan tebal-tebal Ino buta aku tidak ingin seperti tante-tante."

Ino meringis mendengarnya. Bagaimana bisa wajah mereka disebut tante-tante? Lagipula ia pandai merias dan lihat saja sekarang? Bagaimana cantiknya sahabat gulalinya ini dengan make up hasil tangan ajaibnya.

"Aku akan membuat kau terlihat seperti Tante dan banyak yang akan segera melamarmu!"

"Kubunuh kau!" Desis Sakura tidak terima dan Ino tertawa mendengar ancaman itu. Sepertinya ia berhasil membuat mood Sakura berapi-api sekarang dan itu baik.

"Nah selesai," Ino melihat hasilnya dan itu sangat memuaskan. Ia tersenyum puas melihat betapa cantiknya sahabatnya itu.

"Ganti pakaian lalu terkahir aku akan menata rambutmu oke." Ujarnya kemudian merapikan peralatan make-up dan berjalan pada closet mengambil salah satu dress merah untuk dikenakan Sakura.

"Kau yakin aku harus memakai ini?" Sakura mengangkat dress pemberian Ino dengan tatapan tidak yakinnya.

"Tentu," Ino mendudukkan diri di kasurnya dan menunjuk dress itu dengan satu kedipan mata. "Sekarang tidak akan ada yang melarangmu karena kau single oke?"

Sakura mendengus dan berjalan pada kamar mandi dengan dress ditangannya. Sepertinya ia harus bersenang-senang, menikmati kesendiriannya saat ini dengan berpesta.

Nyatanya...

Bukan berada pada pesta, Sakura kini berada pada bagian belakang Yacht, dimana terdapat kolam renang yang sepi. Ya, semua undangan mungkin sedang ada di pesta atau beristirahat di kamar masing-masing.

Sakura berpamitan pada Ino dengan alasan ingin beristirahat karena sedang tidak enak badan. Tapi entah kenapa ia butuh suasana seperti ini, setelah melihat pemandangan yang lagi-lagi mengiris hatinya. Bohong jika ia sudah tidak peduli lagi. Bagaimana bisa hubungan yang telah terjalin akan lupa hanya dalam sehari? Semua membutuhkan waktu dan ia akui jika masih lemah akan perasaanya.

"Kau pergi ingin beristirahat tapi nyatanya berada disini?"

Kemunculan seseorang membuat Sakura terlonjak dan langsung mendongak melihat siapa yang datang menghampirinya.

"Kau... Sedang apa disini?" Sakura menatap heran pria merah yang tidak lain calon adik ipar Ino yang kini berdiri tepat di dekatnya.

"Ingin."pria itu mengangkat bahu acuh dan itu tidak membuat Sakura puas akan jawabannya.

Sakura bangun, mengambil heelsnya yang diletakan disebelahnya. Ia menatap pria merah itu heran dan hendak berbalik pergi tapi lagi-lagi terhenti saat melihat sepasang kekasih yang terlihat begitu mesra sedang berjalan dan sesekali berciuman mesra.

"Cium aku!"

Pria itu menaikkan satu alisnya karena perkataan atau perintah gadis aneh yang lebih aneh lagi saat ini.

"Apa?"

"Cium aku!" Gadis itu menjatuhkan heelsnya membuat sepasang kekasih yang sedang asik bermesraan itu melihat ke arah sini.

Ah, hanya dengan melihat sikap gadis dan apa yang di tatapnya ia tau jika sesuatu telah terjadi dan...

"Cium a--"

Pria merah itu menarik gadis aneh itu dan langsung menciumnya.

Namun siapa sangka jika gadis aneh itu semakin mendorongnya membuatnya tidak bisa menahan keseimbangan. Mereka terjatuh ke dalam kolam.

Pria itu memandang paras cantik gadis yang ia lihat sejak tadi siang dengan tatapan yang sulit diartikan.

Entah dorongan apa yang membuatnya kembali menarik tengkuk gadis itu dan kembali menciumnya meskipun mereka kini masih di dalam air.

Merasa butuh udara, mereka akhirnya melepaskan ciuman panjangnya dan muncul ke permukaan dengan tubuh gadis itu di angkatnya.

Tatapan mereka kembali bertemu, saling menatap dengan mencari sesuatu kebenaran tentang alasan apa yang barusan mereka lakukan.

Namun semua terganggu karena suara seseorang berseru cemas.

"Sakura, kau tidak apa-apa?"

Pria merah itu menoleh, dimana sepasang kekasih tadi sudah berada disisi kolam. Perempuan itu terlihat acuh tapi tidak dengan pria itu yang terlihat khawatir.

"Kami baik-baik saja dan kekasihku sepertinya kelelahan." Pria merah itu membawa gadis dalam gendongannya menepi dan naik.

"Kenapa kau ceroboh sekali, dia tidak bisa berenang!"

Pria merah yang hendak berjalan kembali menghentikan langkahnya. Ia menatap datar pada pria pucat itu.

"Urusi saja kekasihmu jangan cemaskan kekasihku!" Ucapnya dengan penuh penekanan. Ia kembali berjalan pergi meninggalkan sepasang kekasih itu dengan gadis aneh dalam gendongannya.

Pria merah itu seolah menikmati Apa yang terjadi sekarang. Kejadian sebelumnya mungkin ia terkejut tapi sekarang entah kenapa ia merasa senang?

Berjalan dengan gadis aneh sesukanya ini dalam gendongannya, suasana lorong terasa mendebarkan baginya.

"Turunkan aku!"

Langkahnya terhenti saat gadis itu akhirnya bersuara.

"Kau sudah sadar rupanya." Pria itu tidak ada niat sama sekali untuk menurunkan gadis itu. Tapi sang gadis terus berusaha yang pada akhirnya ia menuruti dan menurunkannya.

Keadaan keduanya sama-sama dalam keadaan basah kuyup karena insiden tadi.

"Maaf karena sikapku dan sebaiknya lupakan apa yang terjadi tadi." Gadis itu hendak pergi namun pria itu menahannya.

"Walau tidak membantu menghangatkan tapi bisa menutup tubuhmu." Pria itu memakaikan kemejanya untuk menutupi tubuh gadis itu, membiarkannya kini tanpa memakai atasan.

"Istirahatlah." Dan pria itu berjalan melewati gadis yang kini mematung menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan. Bagaimana mereka saling tidak mengenal tapi kejadian yang sebenarnya memalukan terus terjadi. Dan pria itu tidak marah kepadanya.

"Dia aneh."


"Sakura, bangun jidat!"

Ino menggoyang-goyangkan tubuh sahabatnya yang masih bersembunyi dibalik selimut. Mereka ada sesuatu yang harus dilakukan hari ini sebelum hari H besok. Tapi Sakura sepertinya benar-benar lelah sehingga pagi ini pun belum juga terbangun.

"Hmm.. ada apa sih Ino." Sakura menyingkap selimut lalu duduk dengan mata kantuknya.

"Hari ini kau janji akan menemaniku spa apa kau lupa?" Ino bangun menghampiri jendela lalu membuka tirainya sehingga menyuguhkan pemandangan laut yang indah.

"Kenapa tidak dengan Hinata saja, dia kan ada." Sakura menghela napas malas. Padahal di sini Hinata juga datang dengan suaminya tapi gadis pirang tercintanya ini terus memaksanya.

Ino berdecak kembali menghampiri Sakura dan duduk di sisi kasurnya.

"Dia ada pasangan tidak mungkin aku mengganggunya jidat sayang."

Sakura mendengus namun tetap bangun dan berjalan menuju kamar mandi dengan ocehannya.

"Kau seolah meledekku yang jomblo Ino."

Mendengar cibiran temannya itu tak lantas membuat Ino kesal justru ia tertawa keras. Baginya sangat lucu, bagaimana melihat Sakura yang sekarang kembali seperti dulu.

"Nikmatilah hidupmu sendiri Sakura!"

"Ya ya aku si single bahagia."

.

.

.

.

.

Suasana yang sejak awal Sakura bayangkan akan rileks nyatanya tidak berpihak padanya lagi. Di ruangan pijat ini tidak hanya ia dan Ino saja tapi juga perempuan yang terus mengganggu penglihatan ya sejak kedatangannya di sini.

"Ino-san, kau memakai gaun dari rancangan mana?"

Perempuan itu bertanya yang sebenarnya terdengar menyebalkan ditelinga Sakura. Sakura hanya diam mendengarkan walau sebenarnya enggan.

"Aku memakai dari rancangan sahabatku."

"Benarkah?"

"Hm." Ino bergumam malas. Tapi mengingat perempuan ini salah satu tamu membuatnya menahan sikapnya, walau sejujurnya ingin sekali menggaruk wajah sok imutnya itu.

"Bulan depan aku pun akan menikah."

"Oh sungguh?" Ino pura-pura terkejut menanggapinya. Seolah itu alami walaupun tetap ia terus melirik Sakura yang terlihat tertidur menerima pijatan. Oh, melihat itu sungguh membuat Ino sebal kepada perempuan yang menganggu mereka ini.

"Ya, kuharap kalian datang dan..." Perempuan itu melirik Sakura dan tersenyum, "dia kekasih adik iparmu kan? Aku pun akan mengundangnya kalau begitu."

Mungkin Ino cukup terkejut mendengarnya tapi tidak untuk Sakura yang mendengar ucapan itu.

"Maksud anda ap--"

"Ah, semalam aku bertemu dengannya."

"Ah, haha" Ino tertawa lalu mengangguk membenarkan yang tidak ia ketahui kebenarannya. Tapi untuk saat ini entah kenapa ia senang dengan kabar itu. Entah itu benar atau tidak yang pasti ia akan tanyakan kepada Sakura nanti. "Mereka pasangan yang serasi kan?"

"Ya," perempuan itu mengangguk setuju. "Tidak kalah dengan kekasihku."

Terdengar janggal dengan ucapan perempuan itu tapi jujur saja Skaura tidak peduli. Berbeda dengan Ino yang sudah terlihat kesal namun beruntungnya bisa ia tahan.

"Ah, anda terlihat sangat bahagia sekali nona." Ino tersenyum namun dengan nada menyindir. Kenapa perempuan ini sungguh menyebalkan, rutuknya dalam hati.

"Tentu saja karena dia pria paling sempurna untukku."

Ino menjatuhkan kepalanya, mencoba tertidur seperti Sakura tanpa ingin meladeni perempuan di sebelahnya. Tubuhnya butuh pijatan apalagi besok adalah hari pernikahannya.

"Selamat kalau begitu." Dan Ino benar memejamkan matanya. Tidak peduli apa yang dibicarakan perempuan itu. Sungguh ia sangat lelah dan butuh memanjakan diri.

.

.

.

.

.

"Ternyata Sai bodoh telah meninggalkanmu."

Ino meminum minumannya. Setelah memanjakan diri mereka kini berjemur di kolam atas Yacht.

Mungkin saat kemarin ia akan membenarkan perkataan Ino. Tapi sekarang entah kenapa ia tidak begitu peduli.

"Biarlah Ino itu pilihan Sai dan aku..." Sakura menghela napas, memejamkan mata dengan menikmati angin yang berhembus ia tersenyum saat bayangan semalam terlintas dipikirannya. Menggeleng guna mengenyahkan, Sakura mengibaskan tangannya ke udara, "sungguh aku sekarang baik-baik saja."

"Wow apa ini ada hubungannya dengan adik ipar ku?" Tanya Ino penuh selidik.

"Hah?"

Ino memutar tubuhnya hingga menghadap kursi Sakura yang semula saling bersampingan.

"Aku tidak tau apa yang telah terjadi, tapi aku ingin kau bahagia mengerti?"

"Kau berbicara apa sih Ino," Sakura menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Desiran angin, burung laut yang ada di atas sana membuatnya kini memandang takjub.

"Dulu aku bercita-cita membangun keluarga kecilku dengan Sai. Tidak peduli aku meninggalkan jatidiriku aku terus berjuang untuk itu. Tapi setelah kemarin, Tuhan seolah memberiku jawaban untuk semuanya."

Seulas senyum kecil Sakura tunjukan saat kembali mengingat kenangan-kenangan manis dengan Sai dulu. Bagaimana mereka tertawa dengan warna warni lukisan yang dibuat. Bagaimana dengan cinta mereka dipersatukan. Namun saat keinginannya untuk hidup bersamanya sang takdir berkata lain. Tuhan seolah berkata jika Sai bukan takdirnya untuk impian sederhananya itu.

"Aku menyadari jika kita tidak selalu harus memaksakan keinginan kita dan sepertinya Sai memang sudah tidak mencintaiku."

"Sakura..." Ino mengehela napas dengan senyumannya. Sebagai sahabat ia harus memberikan semangat dan kepercayaanuntuk Sakura. Menunjukan jika kehidupan masih terus berlanjut. Meskipun kita sudah berteriak lelah sekalipun.

"Lupakan Sai dan cobalah membuka hatimu untuk yang lain karena suatu saat pasti ada yang akan mencintaimu dengan tulus. Jangan pernah berpikir jika pria itu jahat mengerti?"

"Entahlah," gumaman Sakura tentu membuat gemas Ino yang langsung memukul bahu sahabatnya pelan membuat gadis gulali itu mendengus kesal tidak terima.

"Aku harus kembali untuk memeriksa perlengkapan apa kau mau ikut?"

"Tidak, aku ingin disini sebentar."

"Baiklah," Ino berdiri dan melangkah. Namun langkahnya terhenti tepat di belakang Sakura. "Jaga dia untukku adik ipar." Ucapnya kemudian pergi meninggalkan Sakura dengan pria merah yang semalam sukses membuat Sakura gila.

"Meratapi nasib saat ditinggal menikah oleh kekasih eh?"

Pria merah itu duduk tepat dimana Ino tadi terduduk. Dengan pakaian casual ia duduk tenang. Kacamata hitam bertengger manis di hidungnya membuat Sakura sedikit gugup.

Oh Tuhan tampan sekali.Tapi tidak boleh jatuh cinta Sakura, ingat!

Dewi batinnya terus memberontak dengan sangkalan, namun Sakura tidak bisa tidak untuk melirik pria di sebelahnya ini.

"Kalau begitu kau menikah saja denganku!"

SAKURA BODOH APA YANG KAU UCAPKAN!

Batin Sakura histeris atas mulut lancangnya yang berujar sembarang. Mau di taruh dimana wajah cantiknya coba?

"M-maaf aku hanya bercanda."

Sial! Sial!

Pria itu mendengus namun kedua sudut bibirnya terangkat, memperlihatkan senyuman yang membuat siapa saja meleleh jika disuguhi pemandangan seperti itu. Sakura pun termasuk didalam list itu.

"Bagaimana aku bisa menikahimu jika kita saja tidak saling kenal." Pria itu mengulurkan tangannya dan berujar kembali, " Gaara, Rei Gaara."

Oh Good, kenapa sekarang Sakura seolah menjadi bodoh mendengar namanya. Pria dengan segala kemampuan dalam bisnis diberbagai bidang itu tak lain adalah saudara calon suami Ino yang notabene pemilik perusahaan mainan terbesar, si tiga bersaudara Suna itu.

"Sakura dan lupakan omonganku tadi karena aku tidak sengaja."

Melihat sikap gadis itu membuat Gaara ingin sekali tertawa namun sayangnya tidak bisa ia lakukan. Biasanya gadis lain akan tersipu malu atau bersikap anggun tapi tidak dengan gadis aneh yang sejak awal membuatnya tertarik. Lihat saja sekarang, bagaimana dia bersikap bak maling yang tertangkap basah.

"Ah iya kamu salah orang, meminta mencium mu dan sekarang menikah, kurasa--"

"Aku sudah bilang aku minta maaf dan ayolah ini semua karena..." Sakura mendadak gelisah saat tangannya kini menyentuh bibir pria ini. Bayangan memalukan semalam kembali teringat membuatnya harus dengan segera menyingkirkannya.

"Karena?"

Oh Tuhan bagaimana bisa pikirannya buyar karena gerakan bibir pira ini sangat terasa di tangannya. Membuatnya merinding!

"Karena..." Sakura berpikir keras, mencari alasan yang lebih masuk akal untuk berkilah. Jika tidak begitu maka ia yang akan malu kan? Walau sebenarnya sudah kepalang malu. "Karena aku--"

Shock.

Bagaimana tidak. Saat dengan tiba-tiba tubuhmu terangkat dan kini berada di pangkuan pria tampan tentu tubuhmu akan bereaksi.

"Karena kau memulai," Gaara menyeringai, memainkan helaian merah muda itu lalu membawanya pada bibirnya. "Ayo lakukan selama disini." Ucapnya yang sama sekali belum Sakura mengerti. Sungguh sebenarnya apa yang pria ini bicarakan sih.

"Kau...berencana bermain-main semacam itu kan?" Sakura menatap ngeri Gaara yang kini melepaskan kacamatanya.

Keduanya saling berpandangan dan entah siapa yang memulai hingga kini mereka terlibat ciuman memabukkan.

Bagi Sakura ini bencana. Bagaimana dengan bodohnya ia tidak menolak dan menjauh. Karena ia tidak mungkin membuka hati dengan begitu cepat bukan? Sedangkan Gaara? Entahlah. Pria bermarga Rei itu menatap Sakura dengan tatapan yang sulit dimengerti. Sulit sekali mencari sesuatu atau jawaban walau hanya melalui tatapannya saja.

"Arah barat dan jangan turun dari pangkuanku!"

Sakura mengikuti arah yang Gaara katakan barusan. Tepat disana, di ujung kolam, Sai menatapnya dengan rahang mengeras dengan kedua tangan yang mengepal kuat.

"Bagaimana?" Gaara menyamankan kepalanya dalam dekapan gadis aneh ini. Kedua tangannya pun memeluk erat tubuh mungil diatas pangkuannya.

"Tidak buruk," Sakura tersenyum setelah melihat Sai dengan segala kekesalannya. Ia jadi bertanya-tanya, apa pria itu menyesal? Namun saat Sakura kembali melihat dimana Sai berada, kini perempuan itu sudah bergelayut manja dengan bikini kuningnya. Sepertinya mereka ingin berenang juga?

"Kau ingin berenang?"

Sakura menatap ngeri Gaara yang sebenarnya tau jika Sakura tidak bisa berenang. Tapi ia ingin sekali menggoda gadis itu.

"Tidak."

"Baiklah, mau bersenang-senang?"

Sakura menimbang tawaran itu. Ia kembali melihat Sai yang terlihat baik-baik saja.

"Baiklah." Sakura turun, membenarkan pakaiannya sambil menunggu Gaara yang sedang menghubungi seseorang.

"Ayo!"

"Kita mau kemana?"

"Besok pagi kapal ini akan tiba di pulau milikku dan bagaimana kita lebih dulu kesana?"

Oke Sakura tidak terkejut dengan segala yang dia punya. Tapi apa tadi katanya? Pulau? Yang benar saja! Ia tau jika para milyarder banyak aset yang mereka miliki tapi ia tidak pernah melihat secara nyata. Dan sekarang? Oh astaga. Sepertinya Ino sangat beruntung di dunia ini.

...x...

"Indah sekali."

Sakura merentangkan kedua tangannya saat angin pantai berhembus menerpanya.

Baru saja mereka mendarat di bangunan entah itu rumah atau penginapan namanya. Yang jelas ia langsung berlari ke sini setelah turun dari heli. Dan oh, beruntungnya ia bisa menaikinya. Tapi ia sendiri bingung karena semua terasa mimpi baginya.

"Mereka akan sampai besok pagi."

"Astaga Gaara gaunku tidak dibawa!" Sakura memekik kencang saat sadar jika gaun yang akan menemani Ino menuju altar nanti tertinggal di kamarnya.

"Pernikahan akan tetap di adakan di kapal Sakura."

"Benar kah?"

"Hn."

Sakura bernafas lega mendengarnya. Tapi ia bingung sebenarnya dengan Gaara. Untuk apa pria itu peduli padanya? Mereka bahkan tidak saling kenal sebelumnya.

"Gaara."

"Hn."

Sakura mendudukkan diri disisi Gaara, membiarkan ujung ombak menyentuh kakinya.

"Kenapa... Maksudku kau melakaukan hal ini?" Tanya Sakura yang sebenarnya penasaran.

"Hanya ingin."

Sakura mendengus mendengar jawaban itu. Dasar pria banyak uang!

"Sakura,"Gaara menatap lautan disana sesaat sebelum kini beralih menatap Sakura,"aku ingin tau kisahmu, jika kau tidak keberatan."

Cukup terkejut sebenarnya, mendengar ucapan Gaara. Bagaimana bisa orang asing penasaran dengan kehidupannya yang biasa-biasa saja ini.

"Tidak ada yang istimewa," Sakura menarik kedua lututnya, memeluknya dan tersenyum saat kembali membayangkan masa lalunya. "Aku dulu bersama Ino sama-sama hidup di panti asuhan. Kami hidup bersama, bersekolah dan lainnya. Ino adalah keluargaku."

"Sepertinya kalian memang sangat dekat."

"Tentu saja, dan aku titipkan Ino pada kalian. Dia gadis baik jangan pernah membuatnya menangis atau aku akan membuat perhitungan."

Gaara mendengus geli. Entah kenapa mendengar ancaman itu malah membuatnya merasa lucu.

"Bagaimana denganmu, aku ingin tau tentangmu dan..." Gaara enggan menyebut nama yang entah kenapa membuatnya kesal.

Sakura yang tau maksud perkataan Gaara hanya terkekeh pelan. "Sai? Kau penasaran dengan kisah cintaku ternyata."

"Tidak juga."

"Sebenarnya sebelum bertemu Ino di panti aku sudah lebih dulu disana. Aku memiliki seseorang yang begitu aku sayangi. Namun pada akhirnya dia kembali ditemukan oleh keluarganya. Dia berjanji akan datang saat musim semi tapi..." Sakura tersenyum sedih mengingat itu. Bagaimana saat ia kecil terus menunggu temannya itu tapi tidak pernah datang. "Dia tidak datang dan tidak lama setelahnya Ino datang lalu kami pergi dari sana."

Gaara terdiam mendengarkan. Ada perasaan asing yang menderanya saat ini. Tapi ia ingin memastikan semuanya.

"Setiap musim semi aku ke panti hanya untuk menunggunya. Kau pasti mengira aku bodoh kan? Sama seperti Ino yang terus mengataiku. Tepat saat memasuki perguruan tinggi, saat aku menunggunya aku bertemu dengan Sai. Awalnya aku mengira dia adalah Sai, tapi ternyata bukan. Mereka orang yang berbeda."

"Apa kau masih mengharapkannya?"

Sakura menopang dagunya pada lututnya. Bayangannya tentang masa kecilnya walau masih sangat samar masih terus berputar dalam ingatannya. Ia pun masih menyimpan benda pemberian anak lelaki itu.

"Walau aku berbohong tidak menunggunya lagi tidak membuatku melupakannya. Kau tau Gaara, dia orang yang pertama kalinya yang mengatakan jika 'semua akan baik-baik saja, ada aku disini."

"Sepertinya dia sangat berarti bagimu."

"Yah."

Sempat terdiam, Sakura ingat akan satu ucapannya dan anak itu.

"Kami berjanji akan bersama selamanya. Terdengar lucu tapi kau tau jika dilakukan sekarang mungkin itu adalah janji suci." Sakura tertawa pelan mengingat masa kecilnya yang begitu indah.

"Jadi sebenarnya kau sudah memiliki suami?"Gaara menaikan satu alisnya mendengar cerita barusan.

"Tidak begitu juga, ah bagaimana ya, itu semua kan hanya masa kecil."

"Kau tidak merindukannya?"

Pertanyaan Gaara membuat Sakura terdiam. Gadis merah muda itu memilih tersenyum menanggapinya dan kembali menatap lautan di depan sana.

Ada perasaan aneh. Jika mengingat dulu ia sebenarnya sangat merindukannya. Tapi apa mungkin belasan tahun akan membuat dia mengingatnya sama halnya dengannya?

"Sudahlah itu sudah lama berlalu dan mungkin saja dia sudah bahagia sekarang."

"Hn."

Sinar keemasan kini perlahan menghiasi cakrawala. Burung camar pun tak luput dari indahnya hiasan alam ini.

"Sakura."

"Hm?"

Saat tatapan mereka kembali bertemu, Gaara menggeleng dan tersenyum.

"Sebaiknya kita ke dalam untuk makan malam." Ujarnya yang kemudian bangkit. Pria itu mengulurkan tangannya dan disambut Sakura meski awalnya ragu.

"Aku butuh makan banyak untuk bes--ah tidak tidak nanti gaunku tidak muat."

"Kau tetap harus makan Sakura."

"Baiklah tuan pemaksa."

Gaara tersenyum mendengar nada ketus Sakura untuknya. Sepertinya keputusannya datang lebih awal tidak buruk juga.

.

.

.

.

.

Namun bagi Sakura kini menyetujui ajakan Gaara adalah hal yang disesalinya. Bagaimana lampu padam disaat cuaca di luar sana terlihat mengerikan. Hujan dengan angin kencang disertai petir terjadi di pulau ini. Malam yang ia bayangkan akan penuh dengan bintang nyatanya berbalik sebaliknya.

Dibalik selimut ia mengumpulkan keberaniannya. Bagaimana petir saling bersahutan membuat tubuhnya kini bergetar ketakutan. Kilasan masa lalu yang kelam selalu teringat saat seperti ini, seperti malam itu. Bagaimana badai menyertai saat ia kehilangan kedua orangtuanya ditengah-tengah jalan.

"Kaa-chan, Tou-chan."

Ia ketakutan. Bagaimana bayangan kedua orang tuanya yang bersimbah darah penuh luka dari pecahan kaca membuatnya nyaris berteriak jika saja seseorang tidak mendekapnya seperti saat ini.

"Sttt... Jangan takut aku disini."

"Kai-kun."

"Hn."

Gaara tadinya ingin mengecek kondisi Sakura dengan membawa lampu cadangan sebelum lampu kembali dinyalakan. Di sini ia menggunakan pembangkit listrik buatan dan entah kenapa tadi terganggu saat badai terjadi. Dan ia tidak menyangka jika Sakura ketakutan seperti ini karena badai.

"Semua baik-baik saja... Kau aman sekarang."

Entah berapa lama Gaara memeluk Sakura hingga tidak sadar jika gadis itu sudah tertidur pulas.

"Kau begitu menderita," Gaara menidurkan Sakura dengan hati-hati. Di tatapnya wajah yang kini terlihat tenang itu dengan sendu. Menarik selimut, ia menyelimuti Sakura.

"Maafkan aku yang terlambat menjemputmu Saki." Gaara tersenyum lalu membawa satu tangan Sakura kemudian dikecupnya. Ada perasaan sesak mendengar cerita Sakura seolah menamparnya. Gadis itu, yang ia kira sudah melupakannya nyatanya terus menunggu kedatangannya. Dan itu membuatnya menyesal.

Sebenarnya ia baru tau saat kakaknya mengatakan ingin menikah. Ia yang tidak sengaja mencari profil calon kakak iparnya itu tidak sengaja menemukan tentang Sakura. Setelah ia mencari tau dan menanyakan dimana Sakura berasal, ia yakin jika Sakura adalah Saki-nya yang dulu mengucap janji dengannya.

Entah ia jahat atau tidak karena merasa beruntung atas berakhirnya kisah Sakura dan Sai. Lagipula sejak dulu Sakura adalah miliknya kan? Bukan seseorang yang datang dan menggantikannya begitu saja. Bahkan sepertinya Tuhan pun tau siapa yang pantas untuk Sakura.

"Sebentar lagi..." Gaara mendekat, meraih satu kecupan di dahi gadis yang sejak lama menguasai hati dan kehidupannya.

"Terimakasih sudah bertahan."


Hari yang di nanti tiba. Ino begitu cantik dengan pakaian hasil rancangannya dan Sakura menatap takjub akan hasilnya.

"Kau sangat cantik Ino pig." Sakura mendekap erat sahabat pirangnya dan tentu tidak bisa Ino lepaskan begitu saja.

"Jaga dirimu," Ino berujar dengan menahan tangisnya. Bagaimanapun setelah ini ia akan tinggal dengan Kankuro, meninggalkan Sakura sendiri. Kehidupan seperti tidak bisa dihindari tapi hidup bersama sejak kecil tidak mudah baginya untuk tidak mencemaskan Sakura.

"Aku sudah dewasa Ino," Sakura terkekeh meskipun kedua sudutnya sudah berair. Ia tidak ingin merusak momen berharga ini apalagi sebentar lagi acara akan di mulai.

"Kau banyak hutang cerita padaku." Ino melepas pelukannya dan menuntut cerita Sakura tentang menghilangnya dengan adik iparnya.

"Nanti aku akan cerita."

"Apa terjadi sesuatu?" Tiba-tiba Ino berubah dengan menggoda Sakura yang kini mengalihkan pandangannya dengan melihat ruangan. "Eii, apa benar kalian--"

"Sudahlah Ino. Tidak ada itu yang dipikiranmu dan kami hanya banyak bercerita itu saja."

"Benarkah?"tanya Ino dengan tatapan curiga.

"Ino!"

"Baiklah-baiklah sepertinya hal yang menyenangkan."

"Ino!" Sakura merengek membuat Ino tertawa lepas.

"Riasanmu bisa retak astaga."

"Ino-chan, Sakura-chan sudah waktunya."

Hinata datang dengan gaun yang serupa dengan Sakura. Mereka akan menjadi pengiring Ino menuju altar.

Gaun manis dengan hiasan rambut yang menambah kesan anggun. Mereka cantik dan pastinya akan mendapat tatapan takjub karena tidak kalah dengan penggantinya yang juga terlihat sangat cantik.

"Ayo," Sakura dan Hinata berjalan di belakang Ino dengan memegang ujung gaunnya.

Dengan tatapan takjub dan terharu, Sakura melihat betapa Ino bersinar walau dari belakang.

"Apa menjadi pengantin itu seperti ini?" Sakura bergumam namun dapat di dengar oleh Hinata.

"Aku yakin sebentar lagi kamu akan mendapatkan pria impianmu Sakura."

Mereka bersiap, di depan pintu besar yang kini perlahan terbuka.

Astaga. Yang menikah itu Ino kenapa Sakura merasakan gugup juga?

Langkah mereka perlahan melintasi undangan dengan berbagai hiasan indah dan juga musik yang setia mengiringi langkah mereka.

Sakura bertemu pandang dengan Sai yang kini tersenyum kepadanya. Mungkin dulu Sakura akan berdebar bahagia dibuatnya tapi tidak untuk sekarang. Ia memilih meluruskan tatapannya, dan bertemu tatap dengan Gaara yang juga tersenyum sama seperti Sai.

'jangan goyah Sakura!' Sakura membatin saat ingat perkataan Gaara jika mereka melakukan kegilaan hanya saat berada di sini.

Ino sudah berada di altar dan Sakura ingin pergi duduk bersama Hinata namun tertahan saat Gaara menariknya dan duduk tepat disebelah kakaknya.

"Di sana tidak ada kursi lagi." Ujar Gaara dan Sakura melihatnya hanya mengangguk menyetujuinya.

Ucapan janji telah berlangsung dan kini mereka --para tamu undangan-- memberikan selamat kepada kedua mempelai.

"Hey Sakura kau tidak ingin menyusul ku hah!?" Ino berseru saat melihat sahabatnya itu tidak ada di kumpulan gadis-gadis yang ingin memperebutkan bunganya.

"Kau tidak ingin menyusul Ino?"

Sakura mengembuskan napas pelan. Sebenarnya ia tidak begitu yakin akan hal seperti itu. Tapi melihat Ino membuatnya dengan malas ikut bergabung.

Dan Ino memang benar-benar kurang ajar!

"Bagaimana bisa dia melempar ke sana saat semua yang menunggu disini?" Sakura mendengus kesal sedangkan gadis lain mendesah kecewa karena yang mereka tunggu jatuh kepada pria merah yang terlihat tampan.

Namun mereka terdiam saat pria itu kini berjalan ke arah mereka. Namun perlahan mereka menyingkir saat tau jika pria itu bukan datang kepadanya melainkan kepada gadis yang tadi bersungut-sungut kesal.

Sakura memandang heran Gaara yang kini berdiri tepat di depannya. Ia melihat sekelilingnya, betapa semua terlihat antusias seperti melihat pengantin berikrar tadi.

"Apa yang kau lakukan Gaara?"

"Kita lakukan sampai akhir, bagaimana?"

Sakura mengerti. Jadi Gaara meminta sandiwara juga saat ini?

"Baiklah, aku mencintaimu." Sakura kira ini hanya permainan yang mereka lakukan tapi tidak dengan Gaara yang kini menarik Sakura kedalam pelukannya setelah gadis itu menerima buket bunganya.

...x...

Malam pesta tiba dan Sakura terburu-buru karena terlambat. Namun saat pintu terbuka ia dikejutkan dengan perempuan yang tidak lain tunangan Sai.

"Kita perlu bicara!"

Dari nada bicaranya sepertinya perempuan itu tau jika prianya memiliki keterlibatan masa lalu dengannya. Tapi mengingat ia sudah terlambat ia pun menolak ajakan itu.

"Maaf lain kali saja, permisi."

"Apa kau masih mencintai Sai-kun?"

Satu pertanyaan membuat Sakura menghentikan langkahnya dan berbalik menatap perempuan itu dengan tatapan heran. Untuk apa membahas hal yang tidak perlu?

"Jika kau sudah tau maka itu jawabannya dan sekali lagi maaf aku harus per--"

"Tidak lama aku ingin berbicara." Perempuan itu menarik atau lebih tepatnya menyeret Sakura untuk mengikutinya. Ia membawa Sakura ke kolam bawah dimana pernah melihat Sakura dengan Gaara berciuman.

"Lepaskan!" Sakura menghemaskan tangannya membuat tangannya kini terbebas. Terlihat ruam merah akibat cekakan perempuan itu dan itu membuat Sakura marah. "Apa maumu!"

"Lepaskan Sai."

"Aku sudah melepaskannya."

"Kau bohong!"

"Terserah." Sakura hendak pergi namun lagi-lagi ditarik mundur hingga ia terhuyung.

"Kau tau dia memutuskan ku sialan!"

Perempuan itu berteriak menujuk Sakura tidak terima karena Sai memutuskannya.

"Itu masalahmu bukan masalahku." Sakura hendak pergi. Sungguh ia malas menghadapi perempuan gila seperti ini. Dandannya bisa hancur dan ia sudah terlambat.

"Aku bisa saja menghabisimu kau tau?"

"Kau gila!"

Perempuan itu tertawa. Sakura memundurkan langkahnya saat perempuan itu terus maju mendekatinya. Tatapannya sangat menakutkan bak orang kesetanan.

"Hubunganku dengan Sai sudah berakhir kenapa kau menyalahkan ku. Yang ada kau yang merebutnya dariku."

"Merebut dalam artian jika aku tau dia punya kekasih dan sayanganya aku baru mengetahuinya hari ini."perempuan itu terus maju memojokan Sakura yang terus memundurkan langkahnya.

"Dan semua sudah berakhir."

"Tapi semua karenamu, Sai memutuskan semuanya karenamu Sakura!" Teriak perempuan itu dengan mendorong Sakura ke belakang dan sialnya tidak ada pembatas membuat tubuh Sakura jatuh ke air. Bukan kolam melainkan air laut.

"SAKURA/SAKI!"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Rasa nyeri menyerangnya saat ia berusaha membuka kedua matanya. Tapi cahaya yang masuk membuat merasa terganggu.

"Kau sudah bangun?"

Suara Ino menyapanya.

Sakura tersenyum dan mengangguk lemah.

"Aku tidak percaya perempuan itu melakukan hal ini kepadamu, astaga jika tidak di tahan suamiku mungkin dia sudah ku lempar ke lautan lepas." Ino melepaskan amarahnya saat ingat insiden semalam. Bagaimana ketakutannya saat Sakura yang tidak bisa berenang di dorong ke laut. Beruntung mereka sedang berlabuh di pulau hingga air di pesisir tidak begitu dalam.

"Sudahlah Ino aku baik-baik saja sekarang."

"Aku.. semalam aku takut sekali kau..." Ino tidak melanjutkan ucapannya langsung memeluk Sakura. Ia tidak sanggup membayangkan bagaimana jika saja tidak cepat ada yang menolongnya.

"Tenanglah Ino, sekarang aku baik-baik saja kan?"

"Ya dan aku sungguh menyesal tidak ada saat perempuan gila itu bersamamu."

Sakura berusaha menenangkan Ino yang masih menangis. Tapi sepintas ia ingat sebelum terjatuh semalam. Seseorang meneriaki namanya. Bukan nama yang sering diserukan orang tapi nama yang bahkan Ino jarang memanggilnya dengan sebutan itu.

"Bisa berbicara?"

Suara seseorang membuat Sakura dan Ino sontak melepaskan pelukannya.

Di pintu, Sai berdiri dengan tatapan memohon.

"Tidak." Ino akan menghampiri Sai dan mengusirnya namun Sakura menahan tangannya dengan isyarat gelengan kepala.

"Biarkan kami berbicara Ino."

"Tapi--"

"Aku janji semua akan baik-baik saja."

Dengan terpaksa Ino menurutinya. Ia percaya jika Sakura bukan perempuan bodoh yang mau memaafkan dengan mudah dan kembali dengan pria ini.

"Bagaimana keadaanmu?"

Sai berjalan menghampiri Sakura, lalu mendudukkan diri di sisi tempat tidur.

"Seperti yang kau lihat."

Ucapan ketus Sakura membuat Sai kecewa. Kecewa kepada dirinya sendiri yang membuat Sakura seperti itu.

"Maafkan aku."

Sakura mengangguk. Kemarin mungkin dia enggan menanggapinya. Tapi sekarang ia tidak ingin ada sesuatu yang menghambat kehidupannya. Semua sudah berlalu kan, seperti kata Ino.

"Aku baik-baik saja Sai, tidak apa."

Kali ini Sai tersenyum, seperti dulu. Seperti kekasihnya lima bulan yang lalu. Ada rasa senang melihat senyuman itu lagi, tapi sesuatu dalam diri Sakura tidak merasakan getaran itu lagi.

"Aku sudah mengakhirinya dan bisakah kita--"

"Sai," Sakura menggeleng. Jika saja dari awal tidak seperti ini mungkin ia tidak akan menolak. Tapi,"semua sudah berkahir." Ujar Sakura penuh sesal.

"Aku dijodohkan. Itu tau semua bukan kemauanku."

"Lantas?"

"Perusahaan keluarga butuh uang tapi ayahku melakukan hal seperti itu." Sai mulai menceritakan alasan kenapa ia pergi. Ia memutuskan pergi dari rumah sejak dulu, tapi lima bulan lalu orang-orang suruhan ayahnya memintanya kembali dengan mengabari sang Ibu yang sedang sakit keras. Dan setelah sampai mereka menjodohkan dirinya dengan anak teman bisnisnya. Sai menolak keras dan berniat kembali tapi ayahnya mengancam keselamatan Sakura membuatnya harus memilih, dan Sai memilih melindungi Sakura. Karena pikir Sai setelah menjalani semua perintah sialan itu ia bisa kembali menemui Sakura. Tapi tidak menyangka jika mereka akan dipertemukan di sini.

Mendengar cerita Sai membuat Sakura merasa kasihan. Seharusnya sejak awal Sai mengatakan semuanya. Seharusnya sejak awal dia memilih karena ia tau mereka menggunakan keselamatan dirinya untuk membuat Sai menuruti kemauannya. Dan kini Sai kembali tapi entah kenapa ia tidak begitu bahagia.

"Bisakah kita kembali seperti dulu?" Sai memohon. Semua salahnya dan sejak melihat Sakura dengan pria lain ia tidak bisa merelakannya. Dan ia yakin jika Sakura pun masih mencintainya.

Sakura tersenyum lalu menarik Sai kedalam pelukannya. Namun senyumannya luntur saat tatapannya bertemu dengan seseorang yang berdiri di ambang pintu. Pria itu kemudian berbalik pergi setelah meletakan sesuatu di sana.

"Terimakasih sudah memaafkan aku Sakura."

"Sai," Sakura melepas pelukannya lalu menatap Sai masih dengan senyumannya. Perasaanya sudah tenang tentang Sai. Bukan untuk melanjutkan kisah kembali, tapi keyakinannya memang benar jika ia sudah berdamai dengan perasaannya.

"Dulu aku selalu menunggumu. Tapi saat kau bilang semua berkahir aku merelakannya. Awalnya aku tidak percaya dan yakin tapi mendengarmu memilih meninggalkanku saja membuatku yakin jika kita memang tidak seharusnya bersama. Meskipun alasannya adalah untuk melindungiku."

Sai mengerti semua perkataan Sakura barusan. Sakura bukan perempuan yang lemah. Jika sejak awal ia mengatakan semuanya mungkin tidak akan seperti ini. Sakura mungkin akan mengajaknya berusaha bersama bukan untuk meninggalkannya. Tapi semua ini salahnya dan Sakura sudah terlanjur terluka karenanya.

"Maafkan aku."

"Semua sudah berlalu... Tidak masalah jika sekarang kita berteman." Sakura tersenyum lebar dengan memiringkan kepalanya.

Walaupun berat menerima, Sai pada akhirnya mengangguk dan tertawa pelan. Tidak menyangka jika impian masa depannya adalah Sakura sekarang hanya tinggal angan saja. Tapi ia bersyukur Sakura tidak membencinya dan mempersilahkan nya untuk tetap didekatnya meskipun hanya sebagai teman.

"Apa yang dia berikan?"

Sakura sudah duduk di pinggiran ranjang dengan kotak yang Gaara tinggalkan di depan kamarnya.

Sai sudah pergi dan kini hanya ada dirinya di sini.

"Kenapa dia pergi begitu saja?"

Sakura ingat tatapan itu. Kenapa ia merasa telah menyakiti Gaara? Astaga. Mungkin hanya perasaannya saja karena tidak mungkin kan Gaara cemburu melihatnya dengan Sai?

"Tidak mungkin." Ujarnya mengenyahkan praduga yang tidak masuk akal dalam dirinya. Lagi pula orang seperti itu tidak mungkin menyukai wanita biasa sepertinya ini.

Tangannya perlahan membuka penutup kotak dan menyingkirkannya.

Terdapat berbagai kerang dan sebuah gambar dua anak di dalam sana dan satu kertas yang ia yakini ada tulisan.

"Dia kenapa sih," Sakura tersenyum saat mengambil gulungan kertas dalam kotak. Apa pria itu ingin menghiburnya?

Perasaan Sakura kini langsung berubah saat mulai membaca kalimat pertama yang menyebut namanya. Bukan nama yang selalu didengarnya tapi sebutan seseorang untuknya.

Jadi...


Jangan takut. Aku akan selalu bersamamu. Selamanya, selamanya akan ada dan menjagamu Saki.'

Kai.


Gaara adalah Kai-kun?

"Kenapa kau baru memberitahuku Kai-kun." Lirih Sakura yang bergegas keluar mencari keberadaan Gaara.

Sakura ingat gambar itu. Seperti ingatannya bersama Kai yang bermain di pantai. Dan ia ingat pertama kalinya nama KAI adalah pemberiannya karena Gaara tidak pernah berbicara saat datang ke panti.

Kini perasaan bersalah merasukinya saat kembali ingat tatapan Gaara tadi. Oh Tuhan. Jangan bilang Gaara salah paham mengira jika ia dan Sai kembali?

"Mau kemana Sakura?"

Ino menarik tangannya yang langsung menghentikan langkahnya.

"Aku ingin mencari seseorang Ino." Sakura menarik tangannya hendak pergi tapi lagi-lagi Ino menahannya.

"Kita akan kembali pulang dan siapa yang kau cari?" Ino sangat penasaran. Jika orang yang Sakura cari adalah Sai, ia bersumpah akan menghabisi pria itu.

"Gaara. Aku mencari Gaara."

Ino cukup terkejut mendengarnya. Melihat penampilan Sakura yang penuh peluh bisa dipastikan jika sesuatu yang penting harus di selesaikan.

"Aku melihatnya berjalan ke dermaga--"

"Terimakasih Ino aku mencintaimu." Sakura memeluknya dan langsung berlari keluar kapal menuju dermaga pulau dimana Gaara berada.

Ino tersenyum. Akhirnya Sakura menemukan seseorang yang akan melindunginya dan ia sangat lega.

Ino pikir tidak apa meninggalkan Sakura di pulau karena bersama Gaara. Lagipula di sana ada heli kan? Jadi ia tidak perlu Cemas.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Tapi...

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"KENAPA KAU DISINI GAARA!"

Ino bukan bertanya tapi berteriak karena tidak percaya akan keberadaan Gaara di kapal yang ia kira kini sedang berada dengan Sakura.

Kapal baru berangkat setelah Sakura memasuki pulau dan itu artinya Sakura di sana sendirian?

Astaga!

"Aku tadi bersama Naruto kenapa?"

"Gawat," Ino menjambak rambutnya frustasi. Bagaimana bisa ia ceroboh seperti ini. "Sakura... Dia, dia..."

Mendengar nama Sakura disebut tak ayal membuat Gaara pun langsung bereaksi.

"Kenapa dengan Sakura? Cepat katakan."

"Dia tertinggal di pulau."

"Bagaimana bisa!" Gaara langsung berlari ke belakang dimana jetski berada.

Rasa khawatir langsung menyergapnya mengetahui keberadaan sakura sekarang. Bagaimana bisa gadis itu pergi disaat mereka akan kembali pulang.

"Ada apa Ino?"

Kankuro yang baru datang melihat saat Gaara berlari setelah berbicara dengan istrinya. Tidka biasanya terlihat begitu ketakutan seperti itu.

"Sakura... Aku kira Gaara di pulau karena tadi melihatnya disana. Sakura ingin menemuinya tapi ternyata Gaara sudah berada di kapal. Bagaimana ini!"

Melihat ketakutan istrinya membuat Kankuro menariknya kedalam pelukan. Ia mengerti jika Ino khawatirkan adalah Sakura tapi melihat Gaara seperti itu ia yakin jika Sakura akan baik-baik saja. Sebenarnya ia tau jika Gaara memiliki seseorang sejak dulu yang selalu disebutnya gadis musim seminya. Dan ternyata gadis itu adalah sakura.

"Kau sudah menemukannya ternyata."

...x...

"SAKI!"

"DIMANA KAMU!"

Butuh lima belas menit untuk sampai di pulau.BGaara langsung berlari menuju mansion guna mencari keberadaan Sakura karena di sekitaran pantai tidak ditemukan.

Saat melihat sosok yang dicarinya Gaara langsung bergegas menariknya kedalam dekapannya.

"Kau baik-baik saja?"

Sakura cukup terkejut saat tiba-tiba tubuhnya berputar dan dipeluk seseorang. Ia pikir orang asing karena saat mencari Gaara ternyata dia tidak berada disini. Ia mencoba kembali ke kapal tapi kapal sudah terlihat jauh. Ia berteriak pun sama sekali tidak ada yang dengar.

Sakura mengangguk membuat Gaara bernafas lega.

"Aku kira aku akan tinggal disini selamanya." Sakura kali ini menangis. Sejak tadi ia berpura-pura dan menghibur diri dengan mencoba memasak tapi tetap saja ia takut karena harus tinggal di sini sendirian.

"Tidak. Aku ada disini maaf sudah membuatmu berada disini."

Sakura menggeleng lalu mendongak guna melihat wajah yang ternyata selama ini adalah Kai-nya.

"Kenapa baru memberi tahuku?"

"Maaf." Entah kata apa lagi yang harus Gaara katakan selain maaf. Sakura berada disinipun adalah kesalahannya.

"Aku menunggumu selama ini, kau tau?"

"Maaf."

.

.

.

.

.

Hujan badai sama seperti kemarin tapi Sakura tidak ketakutan lagi karena seseorang terus memeluknya erat sejak tadi.

Sekarang justru Sakura bagaimana hujan dari balik jendela dengan perasaan bahagia.

Dibalik selimut Gaara terus memeluk Sakura-nya erat. Senyumannya terus tersungging merasakan hangat yang bercampur. Ia pikir harus merelakan Sakura saat melihatnya dengan Sai. Tapi mengetahui Sakura yang rela mencarinya ke pulau membuatnya yakin jika ia tidak lagi bisa melepaskannya.

"Bagaimana kita kembali?"

"Hm," Gaara hanya bergumam dan mengecupi leher jenjang yang penuh tanda kepemilikan'nya. "Kapanpun kau inginkan."

Sakura kembali meremang karena pernyataan Gaara. "Berhentilah Gaara-kun."

"Kau merasakannya?"

Astaga!

Wajah Sakura langsung memerah merasakan hawa panas dari tubuhnya dan Gaara yang seolah menyatu. Belum lagi sesuatu yang membuatnya melengkung karena Gaara semakin memeluknya erat.

"G-Gaara-kun... aku ingin tidur."

"Hn."

Gaara mengangkat Sakura hingga gadisnya itu melingkarkan kakinya ditubuhnya tanpa melepaskan selimut yang menutupi tubuh mereka. Lalu membawanya ke ranjang, menidurkannya.

"Menyingkir dari sana Gaara-kun!" Sakura sungguh malu. Bagaimana mereka kembali pada posisi seperti tadi.

"Terimakasih," Gaara menyatukan kening keduanya. Ia sangat bahagia dan beruntung. "Aku bahagia menjadi yang pertama untukmu."

Wajah Sakura kembali merona. Sesungguhnya ini adalah hal pertama baginya.

"Ya tapi entah denganku."

"Sama."

"Benarkah?"

"Hn," Gaara mengecup kening Sakura.

"Maaf sudah membuatmu menunggu," lalu turun mengecup sudut mata gadisnya.

"Maaf sudah membuatmu berpaling sejenak." Kini ia mencium kedua kelopak matanya.

"Maaf sudah merebut sesuatu yang berharga." Lalu turun melintasi hidung dan mengecup ujung hidung itu.

"Marry me?"

Satu tetes liquid jatuh melintasi emerald mendengar kalimat itu.

Sebelumnya mungkin harapannya adalah Sai. Tapi tidak menyangka jika pria yang akan menemaninya seumur hidup adalah Kai-nya yang telah datang kembali, menepati janjinya.

"Apa kita akan mengucap janji lagi?"

"Berapa kalipun akan ku ucapkan untukmu."

"Bagaimana?" Gaara menunggunya.

"Maaf."

Mendengar jawaban sakura membuat Gaara terdiam. Menatap Sakura sesaat sebelum menyingkir. Mungkin perasaan Sakura masih tidak bisa digantikan?

Namun dengan cepat Sakura menariknya membuatnya kini berada dibawah dengan Sakura yang mendudukinya.

"Maaf tidak bisa menolakmu." Jawab Sakura sebelum mencium Gaara dengan menggebu-gebu.

Mendengarnya membuat Gaara tersenyum disela ciumannya.

... E N D ...

oh nooooo \\\\\

ckrg, 7mei2021