Disclaimer : Semua chara milik Masashi Kishimoto. Hamba hanya pinjam sebentar.
Pairing : Naruto Hinata
Hinata suka pesta, terutama pesta pernikahan.
Bukan karena ia suka keramaian. Hinata tidak terlalu berbakat membaurkan diri dalam keramaian, apalagi terjebak ditengahnya. Hinata hanya senang melihat kebahagiaan di sekelilingnya. Senyum orang lain selalu membuat hati Hinata menghangat dan bersemangat.
Dan kali ini kebahagiaan itu milik sepasang Uchiha. Uchiha Sasuke dan Uchiha Sakura.
Dari sudut pavilion, Amethyst Hinata mengikuti pasangan Uchiha yang berdansa pelan bersama alunan musik. Keduanya saling menatap penuh damba, mengaitkan tubuhnya lekat seakan tak ingin melepas. Keduanya tersenyum hangat sebelum kembali menyatukan bibir mereka, tampak tak peduli dengan belasan pasangan lain yang ikut berdansa di lantai yang sama. Senyuman terukir di bibir tipis Hinata. Di tempat ini sepertinya tidak ada yang mengalahkan kebahagiaan Sasuke dan Sakura.
"Aku baru tahu," suara berat familiar tertangkap pendengaran Hinata. Suara yang selalu ia gemari dan telah terekam bertahun lamanya di benak, hingga ujung bibirnya tanpa sadar mengukir senyum. Hinata menoleh, kemudian terjebak dalam manik laut bebas pria itu. "Gaun dan sanggulan bisa membuat seseorang 7x lipat lebih..."
Pria itu memandang Hinata dengan senyuman samar, mencari kata yang tepat untuk menggambarkan gadis di depannya. "... memikat."
Mata Hinata mengikuti gerakan Naruto yang mendekatinya. Jantungnya memompa 2x lebih cepat, sampai ia kepayahan menarik nafas. Padahal Hinata tahu ia akan bertemu Naruto di acara ini, mengingat persahabatan kental antara Naruto, Sasuke dan Sakura. Tapi Hinata tetap saja gagal menyiapkan hatinya. Dengan mudah ia terjatuh pada iris lautnya yang memukau.
Lagi.
"Terima kasih," balas Hinata tulus. Tangannya membawa helaian rambut yang terjatuh ke belakang telinga. Refleknya tiap gugup. "Naruto-kun juga memesona."
Hinata tidak basa-basi. Pria itu memang sangat menawan. Memakai balutan jas hitam pekat tak terkancing bersama dasi warna senada yang terpasang longgar. Sedangkan dibalik jas terlihat kemeja putih nyaris keluar sepenuhnya dari balik celana.
Memang hanya Naruto yang bisa tampak berantakan dan menawan secara bersamaan.
"Sudah lama sekali ya," ujar Naruto. Kini jarak sepatu mereka terpaut satu jengkal dan Hinata harus berjuang untuk fokus menatap wajah Naruto, bukan dada bidangnya. "tujuh tahun?"
"Delapan," ralat Hinata, memutuskan untuk melemparkan pandangannya ke lantai dansa. Kerinduan terhadap pria ini mengaburkan akal sehatnya, hingga ia nyaris melemparkan diri ke pelukannya. "Terakhir ketemu saat upacara kelulusan SMA, bukan?"
"Benar." Naruto sendiri tak melepaskan tatapannya dari Hinata. Desiran asing yang mendamba menggerogoti tulangnya. Gadis yang ia kenal selama 15 tahun silam begitu anggun dan memukau layaknya pertama kali mereka bertemu. "Bagaimana kabar Hinata-chan?"
"Seperti yang Naruto-kun lihat," jawab Hinata. "Tidak berubah."
Naruto kira Hinata akan menjawab mempesona dan menggoda, karena dimata Naruto Hinata terlihat seperti itu.
"Naruto-kun sendiri? Rencana menginap di kota berapa lama?" giliran Hinata bertanya, diam-diam mengharapkan sesuatu. Meskipun dengan kesibukan pria itu di Tokyo, rasanya tak mungkin Naruto menetap lama di kota kecil mereka.
"Cuma semalam. Aku harus kembali besok," Naruto menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Sedikit gusar dengan jadwal padatnya. "Sepertinya pekerjaan tidak mengizinkanku menarik nafas lama."
Setelah Hinata perhatikan lagi, guratan wajah Naruto memang terlihat letih. Sejak pindah dari Konoha, mengejar pendidikan di Eropa, lalu melanjutkan perusahaan keluarganya di Tokyo, sepertinya Naruto memang belum pernah benar-benar bernafas normal barang sejenak.
Hinata memutuskan mengalihkan pembicaraan. "Jadi bagaimana rasanya datang ke pernikahan cinta pertama?"
Naruto mendadak terbatuk, sedangkan Hinata cekikikan di sisinya. Gadis ini sedang meledeknya, ya? "Itu 'kan saat sekolah dasar," gerutu Naruto. "Semua suka pada Sakura, aku jadi ikutan."
Hinata tertawa kembali, yang entah bagaimana terdengar sangat manis di telinga Naruto. Gadis itu lagi-lagi menyisir helaian rambut yang jatuh ke belakang telinga. Gerakan Hinata lambat di matanya, hingga Naruto bisa mengambil waktu memperhatikan gadis itu lebih detail. Surai Indigonya disanggul sederhana, menampilkan leher jenjang sempurna Hinata. Mempermudah siapapun mencium wangi memabukkan gadis itu. Tubuhnya terbalut dress sederhana senada rambutnya, memamerkan punggungnya yang terbuka. Tanpa sadar Naruto menelan ludah susah payah. Ia hampir kehilangan fokus.
"Mau berdansa?" tangan Naruto terulur. Sepertinya Naruto memerlukan pengalih sebelum pikirannya mengubahnya menjadi pria bodoh yang terjebak dalam pesona seorang gadis.
Hinata ragu sejenak sebelum akhirnya menerima uluran tangan Naruto. Saat kulit mereka bersentuhan, Hinata tak menyangka efeknya begitu hebat. Ia kembali diingatkan bagaimana sentuhan hangat itu menggetarkan tiap sel-sel tubuh Hinata.
"Aku masih tidak pandai berdansa," ucap Hinata setelah menemukan suaranya kembali. Berharap rautnya terlihat biasa saja, tidak canggung, apalagi memalukan.
"Aku tidak tanggung jawab kalau Naruto-kun terluka karena heelsku."
Naruto terkekeh geli, "Aku bisa lolos delapan tahun lalu. Hari ini pasti bisa lolos, 'kan?"
Keduanya mulai melangkah bersama, mengisi sisi lantai dansa yang kosong. Naruto merengkuhnya ringan dan membimbingnya masuk dalam alunan musik. Ia bersyukur, punggung Hinata tak sepenuhnya terbuka. Naruto berhasil mendapatkan tempat yang aman, tepat di pinggang tertutup gadis itu. Tak bisa ia bayangkan apa jadinya kalau harus menyentuh kulit pucat Hinata yang menggoda.
Hinata sendiri mengalungkan kedua lengannya ke tengkuk Naruto. Heels tujuh senti memaksa Hinata berhadapan langsung dengan leher Naruto. Ia ceroboh sekali menghirup nafas di dekat pria itu. Karena Hinata belum siap dengan wangi khas Musk dan Maskulin memabukkan memenuhi indra penciumannya.
Keduanya bergerak sederhana dalam langkah kotak, mengikuti irama musik romantis. Hinata sendiri susah payah mengatur langkah kakinya agar tak menginjak pantofel partner dansanya. Menari sambil mengendalikan diri sangat menguras tenaga. Naruto menahan tawa geli karena ekspresi Hinata yang penuh konsentrasi.
"Hey, rileks saja," bisik Naruto rendah di telinga Hinata, menggoda kuduk meremang di sekujur tubuh Hinata. "Terinjak takkan membuatku pingsan, kok."
"Naruto-kun mengejekku, ya?" Hinata merengut, memancing tawa renyah Naruto.
Setelah beberapa saat, akhirnya Hinata berhasil membuat langkahnya lebih reflek dan lentur. Tidak lagi memikirkan kemana kakinya harus berpijak. Untuk beberapa menit kedepan, Naruto mungkin selamat dari injakan heels runcing Hinata. Naruto berdecak kagum.
"Jadi ingat acara prom night dulu, " ungkit Naruto tiba-tiba. "Saat kita dinobatkan sebagai King and Queen."
"Benar," Hinata tersipu sendiri ketika moment tersebut terlintas di benaknya. Kesempatan pertamanya berdansa langsung dengan pria yang telah ia sukai bertahun-tahun. "Setelah acara selesai, Naruto-kun dikeroyok Neji-nii."
"Kenapa daritadi kamu mengingatkanku pada kenangan yang tak mau kuingat?" dengus Naruto sebal, "Si Sister-complex itu memang merusak suasana."
Hinata tertawa geli, kenangan lucu itu masih melekat sempurna dalam ingatan Hinata. Kala itu mereka dinobatkan sebagai King and Queen Konoha High School dan diminta untuk berdansa bersama. Hinata ingat refleknya yang bersandar ditubuh Naruto saat berdansa, karena tergoda aroma khas lelaki itu dan dada bidangnya.
Tak disangka tindakannya membuat Neji marah dan menganggap si playboy Naruto telah menggoda adiknya. Setelah acara usai, Neji bersama teman-temannya mengepung Naruto dan mengeroyokinya. Untung Naruto mampu melawan. Hinata terpaksa bolak balik meminta maaf pada keluarga Uzumaki karena tingkah Neji.
"Yang kau panggil Sister-complex itu sekarang sudah memiliki tunangan, Naruto-kun," jelas Hinata, matanya memandang ke arah samping, diikuti oleh Naruto. Di sisi lain Naruto mendapati Hyuuga Neji sedang berdansa dengan wanita bercepol dua. Keduanya bergerak seirama dan sang wanita dengan percaya diri menjatuhkan dirinya ke lengan Neji.
"Bagaimana denganmu?" Hinata tengadah, menemukan manik favoritenya kembali menatapnya. Kali ini lebih intens, lebih serius, membuat Hinata gugup. "Apa kau sudah memiliki... seseorang?"
Pertanyaan itu sangat sederhana, namun Naruto merasakan jantungnya bergemuruh hebat menunggu jawaban. Setiap detik yang terlewat membuat nafas Naruto tercekat.
"Tidak ada," jawaban gadis itu reflek mengundang helaan nafas lega yang berhasil disamarkan Naruto. "Aku masih milik diriku sendiri."
"Kalau Naruto-kun?" Hinata balik bertanya. Ia sendiri tak yakin apakah ia akan siap dengan jawaban lelaki itu, namun mulutnya tak bisa ia hentikan. "Apakah Naruto-kun menemukan seseorang disana?"
Dentingan lagu berakhir, membuat langkah mereka terhenti. Satu persatu pasangan di lantai dansa melepaskan diri dan beranjak pergi dari sana. Hinata melepaskan rengkuhannya dari tengkuk Naruto, yang segera terasa hampa dan meluapkan rindu yang semakin menjadi. Sedangkan Naruto melonggarkan tangannya, belum melepas sepenuhnya.
"Tidak," Naruto tersenyum sangat tipis, sampai Hinata nyaris tak melihatnya. "Hatiku tertinggal di Kota ini."
.
.
"Itu Uzumaki Naruto, kan?" Neji mengambil serbet, melap mulutnya. Matanya memandang objek pembicaraan mereka yang sedang duduk di sisi lain ruangan, bersama teman-teman lain. "Aku tidak melihatnya di pesta bujang."
Hinata mengangguk samar. Tangannya masih menggenggam pisau dan garpu, steak di piringnya hanya tersentuh setengah. "Naruto-kun baru sampai Konoha tadi pagi. Besok kembali ke Tokyo."
"Delapan tahun meninggalkan kota, sekalinya datang hanya menginap semalam?" Choji yang duduk bersama mereka di meja bundar mendecak. "Sibuk sekali Direktur Uzumaki Group."
Hinata hanya tersenyum kalem, mengabaikan rasa sesak yang mendadak mencekik nafasnya. Walaupun terasa kurang, Hinata harus puas dengan dansa tadi, ia tidak boleh serakah.
"Kau tidak apa-apa?" Ino yang duduk disebelahnya berbisik rendah, memandang simpati temannya. "Naruto hanya sebentar, apa kau tidak mau menyelesaikan sesuatu?"
Hinata menggeleng pelan, "Sudah delapan tahun berlalu. Kalau aku mengutarakannya, bukankah akan jadi beban Naruto-kun?"
Ino meringis, mau sampai kapan sahabatnya ini memikirkan orang lain terus? "Sekali saja, jadilah egois," pinta Ino. "Limabelas tahun, Hinata. Perasaanmu tidak berubah. Setidaknya kamu mau jawaban 'kan?"
Hinata meletakan pisau garpunya. Tangannya mendadak licin karena berkeringat. Selera makannya sudah lenyap sejak awal, ia hanya memaksakan diri saja menyuapkan sesuatu ke mulut.
Matanya mencuri pandang kearah pria yang sedang tertawa lebar bersama teman-temannya. Mengingatkan Hinata pada hari terakhir mereka bertemu, di upacara kelulusan Konoha High School. Tawa lepasnya masih sama dalam ingatan Hinata, memberikan kehangatan dan candu baginya.
"Jangan sampai menyesal," suara Ino menarik Hinata ke realita. Sahabatnya menatap Hinata serius. "Karena penyesalan adalah sakit yang paling menyiksa dalam kehidupan."
.
.
Naruto menutup communicatornya. Desahan keluar diujung bibirnya. Tangannya bersandar di pohon, menyendiri di sisi luar pavilion, terpaksa menghindari kebisingan karena telepon. Bahkan dihari libur begini, ia dikejar-kejar pekerjaan.
Tapi sepertinya keluar pesta tak sepenuhnya buruk, karena tak lama ia menemukan sosok gadis yang beberapa menit lalu mengacak-acak fokusnya, duduk di sisi danau buatan dekat pavilion. Pundak gadis itu luruh, wajahnya layu, mengundang Naruto untuk mendekat menawarkan sandaran.
"Menghindari keramaian?" pertanyaan Naruto mengejutkan Hinata, Amethyst sendu mengerjap saat menyadari siapa lawan bicaranya. Tanpa bisa ditahan, senyum terkulum di bibir tipis Hinata.
"Mengumpulkan energi," Hinata melemparkan pandangan ke danau tenang di hadapannya. "Walaupun menyenangkan, pesta membuatku habis tenaga."
Naruto mengambil tempat disisi Hinata, melepaskan jas yang ia kenakan. "Jadi ini alasanmu saat keluar di tengah prom dulu?" Ia pakaikan jas ke pundak Hinata, menyembunyikan punggung terbuka Hinata dari angin malam, dan matanya sendiri. "Mengumpulkan energi?"
Hinata menyentuh jas beraroma Naruto yang kini menyelimutinya. Merasakan kehangatan pada tubuhnya, menjalar ke leher, sampai ke pipi. "Aku tidak seperti seseorang yang punya energi lebih menghadapi keramaian," gurau Hinata, yang disambut tawa dan decakan Naruto.
"Berarti aku salah paham," Naruto merasa ada sebuah beban yang terangkat begitu saja dari pundaknya, membuatnya lebih rileks. "Kukira karena kamu menyesal berdansa denganku."
Hinata mengernyit, "Kupikir Naruto-kun yang tidak suka," tangannya mengeratkan jas Naruto karena angin menyelinap menembus kulitnya. "Wajah Naruto-kun terlihat sangat tersiksa selama kita berdansa."
Naruto membelak terkejut, tak menyangka gadis itu berpikir demikian. Padahal yang Naruto ingat, ia setengah mati mengontrol raut mukanya agar tak terlihat memalukan karena kegirangan. "Sepertinya banyak kesalahpahaman yang harus kita selesaikan."
Hinata menoleh, memandang lelaki yang sedang menerawang jauh ke danau. Rahang Naruto tampak tegas dan kokoh. Melihat bulu-bulu halus yang tumbuh disekitar dagunya menyadarkan Hinata betapa dekatnya posisi mereka sekarang.
"Apa yang Naruto-kun lakukan disini?" Hinata memecahkan keheningan, karena sunyinya membuatnya gugup.
Desahan berat terdengar. "Pekerjaan," jawab Naruto singkat. Hinata tak menanggapi apa-apa, sehingga Naruto menambahkan. "Kukira setelah menjadi Direktur semua akan mudah, tinggal memerintah dan memeriksa saja. Ternyata aku tetap direpotkan banyak."
"Aku hanya berniat meneruskan apa yang ayah wariskan sebelum meninggal. Tak kusangka warisan sialan ini tak mengizinkanku hidup normal. Kadang aku ingin melepaskan semua dan bersikap bodo amat. Tapi aku terlalu pengecut." Tanpa sadar semua meluncur dari mulut Naruto. Ia tak pernah mengutarakan perasaannya segamblang ini. Tapi Hinata, cukup dengan kehadirannya, membuat Naruto nyaman menjadi diri sendiri.
"Naruto-kun bukan pengecut," ujar Hinata, tak menyangka beban seorang dengan senyum yang bersinar bisa seberat ini. "Dari dulu Naruto-kun memang orang gigih yang tidak suka melepaskan tanggung jawab begitu saja."
"Ingat saat Naruto-kun jadi ketua kelas? Ketika nilai Shikamaru tidak keluar karena lembar ujiannya hilang, Naruto-kun yang berjuang mencari bahkan negoisasi pada sensei agar mau memberikan kesempatan pada Shikamaru agar bisa ujian ulang."
"Atau saat jadi kapten tim sepak bola. Naruto-kun menjaga tim sangat baik, bahkan Kiba yang tidak bisa bermain bisa jadi pemain idola karena Naruto-kun."
"Festival sekolah bahkan nyaris ditiadakan kalau bukan karena Naruto-kun yang maju menghadapi kepala yayasan."
"Naruto-kun memang terlahir sebagai pemimpin yang gigih. Tidak pernah sekalipun dimataku Naruto-kun terlihat pengecut."
Mata Naruto mengerjap. Hinata terlihat sangat cantik saat mengatakannya. Jemari Naruto sampai tergoda untuk menyentuh surai gelap yang tertiup angin malam ke belakang telinga Hinata. Tidak mau wajah Hinata terhalangi apapun.
Jantung Hinata loncat satu degupan saat jemari Naruto tak sengaja menyentuh pipinya. Tiba-tiba angin malam tak lagi terasa dingin, alih-alih tubuh Hinata menghangat sampai ujung kaki.
"Sekali saja, jadilah egois."
Suara Ino kembali terngiang dalam benaknya. Hinata menelan ludah susah payah. Dengan tanggung jawab besar dipundak Naruto, apa ia tega menambahnya dengan perasaannya?
"Penyesalan adalah sakit yang paling menyiksa dalam kehidupan."
"Seandainya..." Manik biru laut Naruto terperangkap dalam gelembung yang Hinata ciptakan, meredupkan dunia luar. Menyisakan keduanya. Seakan apapun yang Hinata katakan hanya menjadi rahasia mereka berdua.
"Seandainya aku ingin menjadi seseorang yang turut merasakan sakit dan ikut meringankan beban Naruto-kun, apakah Naruto-kun keberatan?"
Naruto kehilangan kata-kata. Mendadak tenggorokannya tak mau bekerja sama. Jantungnya seakan baru saja meledak dan berubah menjadi kupu-kupu yang terbang liar diperutnya.
"Aku menyukai Naruto-kun sejak pertama kali kita bertemu, dan perasaan itu tetap sama sampai sekarang." Hinata merasa wajahnya terbakar. Jantungnya memberontak di rongga dadanya. "Apakah Naruto-kun mau mempercayakan hati Naruto-kun dan berbagi keluh denganku?
Rahang Naruto mengeras, matanya menyelidik tiap inchi raut gadis dihadapannya, dan menemukan hanya kejujuran dari pantulan Amethyst. Sejenak, Naruto mengutuk dirinya sendiri.
"Maafkan aku," Naruto merasakan tubuh gadis itu menegang. "Kalau saja aku tidak sebodoh ini, aku pasti akan sadar lebih cepat."
Wajah Naruto mendekat, semakin membatasi Hinata untuk menatap yang lain selain wajahnya. Udara hangat dari nafas Hinata menggelitiki pipinya. Naruto berbisik rendah. "Dari awal pertemuan kita, perasaan kita sudah sama."
Tidak akan ada yang percaya ini adalah ciuman pertama mereka. Namun setelah Naruto mempertemukan bibir mereka perlahan, keduanya bergerak seakan tahu apa yang harus mereka lakukan setelahnya. Naruto tidak menggesa, malah menikmati tiap kecupan lembut bibir mungil Hinata. Ciuman mereka mendamba, mencurahkan tiap kerinduan yang telah mereka tahan bertahun lamanya.
Hinata memejamkan mata, memberanikan diri menyentuh wajah Naruto, menelusuri rahang kokohnya. Sedangkan pria itu menjelajahi tiap celah, menemukan keindahan yang telah ia lewatkan selama ini. Jemari Hinata membingkai rahang Naruto dengan sempurna, merasakan denyutan jantung pria itu berlomba kecepatan dengan miliknya.
Naruto meraih tengkuk Hinata, memperdalam apa yang telah mereka mulai. Tak memberi celah sedikitpun untuk udara lewat. Aroma manis tubuh Hinata sampai ke indera penciuman Naruto, membuat pria itu sadar, sedari dulu ia memang hanya menginginkan Hinata. Kebodohan dan ketidakpekaannya lah yang membuat dirinya dan gadis yang ia dambakan tersiksa.
Ciuman lembut yang mereka bagi telah memenuhi jiwa keduanya, sehingga saat ciuman itu berakhir, keduanya tak segera melepaskan. Naruto menunduk, membiarkan dahi mereka bertemu dan hidung mereka beradu. Senyuman menghiasi wajahnya. Hinata menggigit bibirnya, menahan diri agar tidak tersenyum terlalu lebar. Rasa panas merambat melewati leher, rahang, hingga pipinya. Hinata merona.
"Sejak awal bertemu, aku sudah memiliki perasaan yang kuat, dan tanpa sadar aku telah jatuh cinta padamu," Naruto menyisir anak rambut Hinata, suaranya lembut. "Sayangnya kebodohan dan ketakutanku memerangkap kita berdua. Kukira lelaki bar-bar dan seenaknya sepertiku takkan pantas bersamamu. Dimataku, Hinata-chan terlalu berkilauan."
"Gombal," celetuk Hinata membuat keduanya tertawa.
"Tapi aku serius," Raut wajah Naruto bersungguh-sungguh. "Bagiku Hinata-chan istimewa."
Kali ini Hinata kehilangan kata-kata. Tak pernah terbayangkan olehnya sekalipun, pria yang selama ini mengambil hatinya menganggapnya istimewa.
"Sepertinya aku akan mengundur jadwal pulangku."
Hinata mengernyit mendengar ucapan Naruto. "Kenapa?"
"Aku tidak mau melakukan hal bodoh lagi dan menjebak kita berdua di hubungan yang tidak jelas." Naruto mengeluarkan cengiran khasnya, tangannya menangkap pipi Hinata, merasakan hangat yang terbagi dari kulit gadis itu. "Aku akan ke keluargamu besok."
Amethyst melebar, sedangkan tenggorokannya mendadak sakit. Jantungnya bergerumuh tak karuan. Hinata mencari-cari jawaban di balik manik laut bebas yang teduh. "Maksud Naruto-kun?"
Naruto mencium ringan bibir Hinata. Hanya sedetik namun membangunkan kembali sengatan yang Hinata rasakan saat ciuman pertama Hinata. Seakan berjuta bunga merekah sekaligus dalam perutnya.
Naruto berbisik pelan. "Hinata-chan, kita menikah saja."
The End.
.
.
note:
Huaaaaa for thefirst time in foreveeeeer aku bikin cerita enggak sampai dua hari hoy. Deg-degan tingkat dewa. Semoga kalian puas yaa!
Btw cerita ini untuk memeriahkan event Naru Hina Fluffy Days. Jujur baru pertama kali ikut event, jadi kuharap kalian tidak kecewa dengan ceritanya.
Kuambil prompt Crush in School. Karena walaupun posisinya mereka sudah dewasa, tapi mereka masih terjebak sama perasaan mereka pada crush jaman sekolah hahaha. Semoga nggak terlalu maksa:(
