Naruto belongs to Masashi Kishimoto

story written by Choco Fairy

Warnings: typo, gaje, ooc(?), garing, beserta kekurangan lainnya.

.

.

Uchiha Sasuke tengah dalam masalah besar. Sudah nyaris setengah jam bingung harus berkata apa, terduduk dengan pikiran pening seketika. Gawat. Saking gawatnya, mungkin dapat membuatnya mati muda kapan saja. Sebuah kue bertabur buah mangga tersimpan rapi di atas meja, sama sekali belum tercicipi, wangi dan menggoda, tetapi itulah masalahnya.

Oh, salahkan kesibukan berkutat dengan laporan-laporan kantor yang membuat konsentrasi buyar hingga akhir pekannya menjadi begini.

"Kalau tak niat mending tak usah sekalian."

Kedua alis Sasuke bertemu ketika kalimat ketus itu kembali terdengar. Kepala mulai semakin pening, bingung harus bagaimana, sungguh. Sudah sejak tadi kekasihnya, Haruno Sakura, marah-marah bahkan enggan berdekatan dengannya. Perkara ringan sebenarnya, tetapi jika sudah menyangkut mantan, sungguh mungkin dapat membuat sepatu melayang tepat di wajah. Salahkan Sasuke sendiri yang seharusnya membeli kue bertopping ceri, tetapi justru kue mangga yang—merupakan makanan favorit sang mantan, Karin—dibawa pulang.

Jangan tanya bagaimana marahnya Sakura tadi siang, selain kalimat-kalimat berupa amukan kekesalan bercampur nada ketus, seharusnya Sasuke bersyukur sang kekasih tak lantas menendangnya dari apartemen berlantai lima mereka, yang mana akan menjadi lebih buruk; kembali kepada Tuhan.

"Sakura, sungguh—"

"Kalau sudah tidak suka, bilang saja!"

Tuh kan. Lagi-lagi begini. Jika ada pertanyaan di dunia ini, hal apa yang paling membuat pening, maka Sasuke akan dengan mudahnya menjawab; mengatasi pacar yang ngambek. Ternyata benar, perempuan itu jauh lebih rumit dipahami daripada rumus matematika. Sungguh. Mungkin lebih baik baginya berkutat dengan teori kosmos seharian, ataupun mengingat kembali tabel periodik yang sebenarnya sudah di luar kepala.

"Atau jangan-jangan ada rencana untuk balikan?" Sakura kembali berujar, kali ini air mukanya terlihat semakin ketus. Baiklah, sabar dulu. Lebih baik Sasuke mengalah daripada nantinya dilempari oleh figur anime yang memiliki berat lumayan untuk membuat wajah babak belur.

Menghela napas pelan, lantas berujar dengan lembut, "tentu saja tidak. Percayalah, aku hanya lupa, Sakura."

"Oh, begitu, jadi sekarang sudah dilupakan."

Gusti. Tendang Sasuke sekarang, dan berdoa saja agar tersangkut di Gunung Fuji.

"Kau salah faham!"

"Lalu apa? Kue ceri itu berbeda jauh dengan kue mangga! Jangan dekat-dekat! Pergi saja sana ke bulan atau memulai pekerjaan di Jupiter, aku tidak peduli."

Sasuke cengo. Baru saja akan mendekat, tetapi sudah lebih dulu terhenti di tempat. Ia berani bersumpah demi kolor Naruto yang sudah bolong-bolong, ujaran itu merupakan kalimat teraneh yang pernah didengarnya selama hidup menjadi manusia. Wow. Puja kerang ajaib—tunggu dulu, bukankah seharusnya suasana masih sedih bercampur stres tingkat tinggi?

"Aku berjanji akan menggantinya dua kali lipat, bahkan jika kau ingin seratus sekalipun, aku akan belikan!"

Sakura tak lantas menjawab ketika sang kekasih justru merajuk dengan wajah frustasi, rambutnya mulai acak-acakan, mirip kucing jalanan, benar-benar abstrak. Kalau sudah seperti ini, rasanya kasihan juga. Menghela napas pelan. Sebenarnya, Sakura tidak ingin bersikap kekanak-kanakan dengan memulai pertengkaran tak bermutu begini, hanya saja, ada satu hal yang selalu membuatnya khawatir.

"Aku hanya takut kau akan meninggalkanku," gumamnya pelan, bahkan nyaris tak terdengar. Namun, Sasuke masih memiliki fungsi telinga yang cukup baik sehingga dapat menangkap dengan jelas setiap kata yang kekasihnya lontarkan.

Air muka yang tadinya frustasi—nyaris seperti orang tersesat di jalan kehidupan—berubah melembut dengan sebuah senyuman hangat. Sakura enggan menoleh ketika sang kekasih mendekat, lantas mendudukkan diri tepat di samping tubuh.

Sebelah tangan digenggam, kalimat Sasuke terlontar jauh lebih lembut, "aku sudah memberikan segalanya untukmu, apa lagi yang kau takutkan?"

Sakura tertegun. Jantung berdegup kencang dengan seluruh inci wajah terasa memanas seketika—bahkan mungkin sekarang sudah mirip dengan kepiting rebus. Menoleh pelan, Sasuke masih dengan senyuman hangat—ah, tidak, hanya beberapa detik, sebelum seringaian mirip om-om mesum penggoda para gadis remaja justru tercetak di wajah tampannya.

"Hn? Wajahmu memerah, benar-benar menggemas—"

"SIALAN!"

BRUK!

Ah, sungguh, dada Sakura menghangat dengan kelegaan tak terkira. Setidaknya, pertengkaran mereka berakhir, pun dengan rasa takut dalam hatinya yang ikut mereda. Walau Sasuke harus terjungkal dari atas sofa sebab menerima tendangan kuat darinya. Padahal ingin so sweet. Ya, sudahlah, mau bagaimana lagi.

END.

A/N : gaje? Memang. Maapkeun, semoga terhibur. Have a nice day!