"Ngantuk ..."
Meski suasana gerbong cenderung ramai, Shuusei masih bisa mendengar gumaman yang nyaris terasa seperti bisikan itu. Ia menoleh ke sebelah, ke arah Shimazaki Touson yang setengah menunduk dengan tangan memegang dua plastik belanjaan—seluruh isinya merupakan titipan penghuni Toshokan yang lain, percayalah.
Pergi sejak siang guna mencari beberapa barang (plus barang titipan dari yang lain) sudah jelas melelahkan. Shuusei jadi agak bersalah, karena meminta Touson ikut dengannya—berhubung awalnya pemuda itu juga menitip barang karena Shuusei bilang mau ke luar, meski akhirnya ia setuju buat ikut.
Sesuatu yang mendadak mendarat di bahunya membuat lamunan Shuusei terbuyar—juga membuatnya nyaris melompat. Begitu dilihat, helaian cokelat lembut dengan sepasang ahogenya menyambut mata—kepala Touson rupanya, yang tahu-tahu saja sudah berada di atas bahunya, selagi tubuhnya menyandar begitu saja pada tubuh Shuusei. Shuusei menghela napas, kali ini membiarkan.
"Kemarikan, yang kamu pegang," pinta Shuusei pelan. Touson menurut. Tanpa kata, plastik-plastik berisi belanjaan di tangannya berpindah tangan.
Lalu keduanya saling diam.
Shuusei jarang mengenakan jam tangan, hingga untuk mengetahui sudah jam berapa dan kapan kira-kira mereka akan sampai ia tidak bisa. Namun, ia menerka-nerka, stasiun tujuan mereka masih lama. Langit di luar sudah diwarnai gelap, sudah malam. Suara rel yang beradu dengan roda besi berbaur dengan obrolan penumpang-penumpang dalam gerbong.
"Nee, Shuusei."
Shuusei melirik. Touson masih pada posisinya, sementara kedua netra hijaunya yang sayu rupa-rupanya masih terbuka. Alis Shuusei mengernyit.
"Tidak jadi tidur?"
Tidak ada jawaban. Nyaris saja Shuusei mengira Touson tidur dengan mata terbuka dan barusan mengigau, kalau saja tiba-tiba bibirnya justru melayangkan sebuah pertanyaan baru.
"Shuusei ... pernah kepikiran mau pulang, nggak?"
Sekali lagi alis Shuusei mengernyit. Pertanyaan ... pertanyaan apa itu?
"Pulang?" Shuusei membeo.
Touson mengangguk. "Pulang," ucapnya.
Aneh. "Kita ... memang dalam perjalanan pulang, kan?" Begitu kereta ini tiba di stasiun, mereka akan pulang ke Toshokan. Barangkali akan melewatkan jam makan malam, namun itu bukan masalah selama aula makan tetap buka.
Jawaban Shuusei disambut oleh gelengan kecil. "Bukan itu." Touson membalas. "Pulang, pulang ke rumah."
Shuusei mengerjap-ngerjap.
"Pulang ... ke rumah?"
"Mhm."
Pulang ke rumah yang sebenar-benarnya rumah. Di mana ia (pernah) bahagia di dalamnya.
"Belakangan aku kepikiran mau pulang—mungkin kangen?" Lagi, Touson berujar. Posisinya tidak berubah sedari awal—masih menyandar pada Shuusei, seolah akan tertidur. "Shuusei pernah kepikiran, nggak?"
Shuusei terdiam. "... Entahlah." Mau dibilang rindu juga mungkin bisa, akan tetapi Shuusei tahu, mustahil ia pulang ke sana—Touson juga demikian, pasti.
Di atas bahu Shuusei, Touson mangut-mangut. "... Begitu, ya ..."
Jawabannya terdengar murung. Shuusei mendadak merasa bersalah untuk yang kedua kalinya.
"... Naa, Shimazaki."
"Ng?"
"Menurutmu ... rumah itu apa?"
Rumah itu ... bagimu seperti apa? Tempatmu bisa merasa nyaman, kah? Tempatmu disambut hangat setiap kali kembali, kah?
Touson belum menjawab. Shuusei dengan sabar menunggu, hingga akhirnya pertanyaannya dijawab.
"Tempat di mana ... orang-orang menerimaku, lalu aku bahagia." Selama ia bahagia, artinya ia merasa nyaman. Bagi Touson, definisi rumah terdengar seperti itu.
"Begitukah?" Shuusei menghela napas ringan. "Lalu ... bagaimana rasanya tinggal di Toshokan?"
Touson mengerjap-ngerjap.
Di Toshokan, ada Katai yang selalu tersenyum padanya. Ada pula Kunikida yang ramah, Toukoku yang ceria kala bersamanya, Akutagawa yang menghindar namun membuatnya penasaran, lalu Shuusei yang selalu sabar menyikapinya, juga penghuni-penghuni lain yang membuat Toshokan berwarna setiap hari.
"... Menyenangkan." Karena mereka selalu menerima Touson, dan Touson tidak pernah tidak merasa nyaman di dalamnya.
Shuusei tersenyum tipis. "Maa, mungkin Toshokan tidak sama dengan rumahmu yang dulu. Tapi, selama kamu nyaman di sana, kamu boleh menganggapnya sebagai rumah untuk pulang."
Touson mengangguk kecil. "Mhm."
"Omong-omong, aku rasa masih ada waktu sebelum sampai di stasiun. Tadi kamu mengantuk, kan? Tidur saja kalau mau."
"Mmm ..."
Kali ini, Touson benar-benar tidur. Shuusei mengusap-usap kepalanya dengan sebelah tangan, berharap tidur pemuda itu sedikit lebih lelap barang hanya sesaat.
.
.
.
Bungou to Alchemist belong to DMM Games
.
.
.
Happy birthday to me ... I guess? Yahaha, udah 17 taun aja ni bocah. Masih napas, dan bentar lagi bisa bikin KTP (kalo KKnya uda diperbarui), asik.
