Dia Yang Bukan Sesungguhnya

Disclaimer:

Bungou Stray Dogs: Asagiri Kafka & Harukawa Sango.

Bungou to Alchemist: DMM.

Warning: OOC parah terutama Haruo, typo, dll.

Author tidak mengambil keuntungan apa pun dari fanfic ini. Semata-mata dibuat demi kesenangan pribadi, dan untuk ulang tahun Nana (09/04/2021).


Satou Haruo x Dazai Osamu (Bungou Stray Dogs).


Pemandangan danau tanpa corak koi. Satu-satunya pohon sakura sebagai tempat bagi musik dari alam; kicauan burung-burung, dan langit biru yang membebaskan segala kesengsaraan serta kebahagiaan, masih memerangkap Satou Haruo di dalam sana, sampai seseorang menggeser shoji menandakan Haruo mendapatkan tamu.

Akan tetapi, Haruo tidak langsung menengok. Pertama-tama ia menghela napas yang panjang. Pertama-tama Haruo menarik banyak-banyak udara, seolah-olah paru-parunya sekarat. Pertama-tama pula yang selama-lamanya selalu sebuah awal, karena setelah Haruo menyelesaikan persiapan dirinya ia enggan pertemuan ini melihat suatu akhir, Haruo memasok oksigen lagi sebelum akhirnya, ia betul-betul menyambut sang tamu serta kesabarannya.

"Maaf membuatmu menunggu lama. Ternyata tetap saja saya kesulitan percaya."

"Jangan terlalu dipikirkan~ Lagi pula saya punya banyak waktu luang." Melalui tangan yang terulur, Haruo memberikan isyarat supaya tamunya menduduki zabuton. Mereka pun berhadapan yang dibatasi kotatsu. Secangkir teh hijau Haruo tuangkan yang masih mengepulkan uap.

"Nama saya Satou Harou. Apa Da– maksudku, apa Anda sudah mengetahui situasinya?"

"Garis besarnya sudah kudapatkan. Omong-omong, haruskah saya memperkenalkan diri?"

"Silakan." Samar-samar Haruo meneguk ludah. Berulang-ulang dikatakannya kepada diri sendiri pun, bahwa ini hanyalah perkenalan klise, Haruo tetap menunggunya hingga penantiannya berdebar-debar.

"Perkenalkan, nama saya Dazai Osamu. Lalu saya luruskan juga saya bukanlah murid Anda."

Keriangan yang diam-diam mengangkat bibir Haruo agar tersenyum lebar, akhirnya kabur. Meninggalkan itu sebagai garis lengkung yang kikuk, dan Haruo berakhir remuk akibat tanggung-tanggung. Tangannya yang sedari tadi ternyata meremas celana kini berhenti. Justru untunglah Dazai Osamu berkata jernih di awal, sehingga Haruo tak lagi mencoba-coba melengkungkan senyum; bisunya berujar akhirnya ia menemukan Dazai.

"Ya. Saya tahu, kok."

"Bagaimana kalau bermain shogi? Hanya saja saya kurang mengerti, sih. Sensei mau mengajariku?" Ada papannya yang terletak di dekat kotatsu. Haruo mengikuti arah pandang Dazai, dan mengangguk pelan diiringi senyum tipis.

"Dengan senang hati, Dazai-san."

Mereka hanya bermain shogi. Haruo ini sekadar menjamu, daripada langsung menyuruhnya pulang yang terkesan mengusir. Di mana kedua hal itu Haruo ulang-ulang, agar ia tidak tiba-tiba teringat Dazai Osamu yang sebenarnya merupakan murid Satou Haruo–yang di hadapan Haruo adalah Dazai yang berbeda sekaligus sangat lain. Namun memangnya kenapa?Ia tak boleh ingin menyayangi, lebih-lebih menyayangi Dazai, kah?


Tiga babak memainkan mereka dalam pertandingan shogi ini, setelah Haruo satu kali mengajari Dazai yang katanya, ia tidak perlu yang kedua apalagi ketiga karena sudah mengerti.

Awal-awal Haruo skeptis, memang, sampai babak dua serta tiga ternyata dimenangkan Dazai, walaupun tidak telak-telak amat. Dazai berseru riang selaiknya anak-anak. Kerja bagus Haruo beri sebagai pujian, dan hampir saja ia menepuk-nepuk kepala Dazai–tangannya yang sempat terulur Haruo jelaskan, bahwa ia melihat daun menempel di rambut ikal Dazai, sehingga berniat membersihkannya.

"Ini sangat menyenangkan, Sensei. Penjelasamu juga mudah dimengerti dan Sensei sabar menghadapiku, padahal aku sempat bermain iseng~"

"Kurasa maksudmu bermain curang, Dazai-san." Sewaktu babak kedua berlangsung, Dazai menyuruh Haruo menengok ke kiri karena lebah hinggap di dinding. Haruo bahkan rela beranjak untuk mengecek sekitar. Tahu-tahu papan shogi memamerkan kemenangan Dazai, saat Haruo kembali duduk–Dazai menukar-nukar posisi bidaknya, dan ia mengakui itu di pertandingan terakhir.

"Iseng, Sensei. Kan saya cuma bercanda soal lebah."

"Dilanjutkan pun saya sudah pasti kalah, sih. Bagusnya di babak tiga, Dazai-san tidak bermain curang."

"Sensei tidak marah, nih?"

"Buat apa juga, karena semuanya sudah terjadi. Sebagai hukumannya tinggallah lebih lama, dan Dazai-san harus menerima yokan yang akan kusajikan."

"Wah~ Jika hukumannya seperti itu, sih, aku enggak keberatan menghabiskan tiga yokan sekaligus."

Satu piring yang diisi tiga yokan sewarna sakura betul-betul hadir. Haruo menuangkan teh lagi, dan mempersilakan Dazai mencicipinya daripada macam patung. Dazai tengah menyembunyikan kekagetan, sebenarnya. Padahal ia hanya bercanda. Seharusnya jua Haruo tak serius-serius amat menanggapi Dazai, setelah pemuda jangkung itu bahkan sengaja mengelabui Haruo.

"Makanlah, Sensei. Masa hanya aku yang menikmati yokan-nya? Jadi tidak enak hati, nih."

"Tenang saja. Aku sudah sering memakannya," tolak Haruo halus. Mau tak mau Dazai putar otak lagi, untuk menguranginya menjadi satu potong saja.

"Perutku agak kenyang sejujurnya."

"Akan kubungkuskan untuk Dazai-san bawa pulang ke Yokohama. Rasa manisan milik Era Taisho dan abad dua puluh yang modern, kurasa bedanya jauh."

Toh, sebelum Dazai ke sini, lalu Dan Kazuo menyarankan agar Dazai berdua dengan Haruo, ia sudah tahu dari Dazai yang sedikit mengenalkan dirinya di ruangan delving. Haruo memang mendengar Dazai menyebut namanya dua kali. Mendadak ia merasa bodoh dan kebodohannya merasai getir, karena diberitahu sejak awal sekali pun, merindukan tetaplah merindukan sehingga Haruo masih menganggap, Dazai hanyalah Dazai yang selalu Haruo kenali.

"Merepotkan Sensei jadinya. Namun, karena Sensei tidak keberatan, aku terima-terima saja, deh." Mirip sekali dengan Dazai muridnya. Tiba-tiba Haruo dilema, benarkah keputusannya untuk mempertahankan Dazai berlama-lama di sini?

"Tinggal sendirian atau bagaimana? Melihat usiamu, apa Dazai-san sudah bekerja atau masih kuliah? Aku juga ingin memberikan yokan untuk teman-temanmu."

"Yah ... aku bekerja sebagai detektif, sih. Dibandingkan membawa yokan, lebih baik Sensei memberiku uang. Utangku di Kafe Uzumaki menumpuk banget, sih, hahaha ..."

"Butuh berapa? Tabunganku masih banyak." Netra Dazai mengerjap-ngerjap. Apakah kata bercanda belum ditemukan di Era Taisho? Haruo memang selalu serius, terlalu ringan tangan, atau ia ini ... super bodoh? Entah mengapa Dazai bingung, menentukan mana yang benar.

"Canda, Sensei, canda~ Jangan serius-serius banget, dong. Ada yang mau memberiku bunga saja, aku syok banget. Apalagi utangku mau dibayarkan orang asing."

Orang asing.

Sekali lagi Haruo merasa ditampar, dan yang ini lebih pedih ketimbang sebelumnya–ketika Dazai sekadar mengingatkan, Dazai merupakan Dazai yang berbeda yang tak Haruo ketahui–karena semuanya jelas sekali. Bahwa Dazai bukan murid Haruo, makanya Haruo itu orang asing. Lalu semestinya Haruo segera menggenggam hal serupa, daripada ia lupa lagi, lagi, lagi, yang kembali memperlakukan Dazai macam anak didiknya; melukai diri sendiri.

"A-ahaha ... kayaknya aku terlalu serius dari tadi." Tengkuk yang menegang Haruo elus-elus. Dazai malah sungguh-sungguh lega padahal seharusnya, detektif muda itu tidak percaya begitu saja. Padahal sebenarnya Dazai tahu akan ada sesuatu yang memberontak, tetapi ia mengabaikannya tanpa sadar.

"Duh. Jangan mengagetkanku lagi, Sensei. Nanti saya tersedak saat makan yokan."

Dazai makan dengan lahap. Memuji yokan ini begitu enak selain cantik dipandang, tidak hanya warnanya yang sakura melainkan pula rasanya, dan teksturnya pun lebih lembut lagi. Bahkan Dazai repot-repot bertanya, di manakah Haruo membelinya? Tetapi ketika Haruo terpikirkan jawaban, ia mendapatkannya dari toko yang biasa mereka kunjungi bersama Ibuse Masuji serta Dan, dia membatalkan suaranya apalagi mendadak, Haruo jadi melihat Dazai berambut merah.

"Tapi meskipun begitu, apakah saya salah karena ingin memperlakukanmu sebagai Dazai yang kukenal? Ingin menyayangimu?"

Ujung-ujungnya malah itu yang Haruo keluarkan. Ia sampai berpikir, tak apa-apa jika di belakang nanti Haruo menyesal. Ia lebih lelah tidak bisa ke mana-mana, padahal banyak sekali perasaan Haruo yang ingin mengajak muridnya Dazai berpelukan. Berjanji untuk berhenti mengorbankan diri sendiri.

"... Sensei?" Yokan yang tinggal satu gigitan lagi Dazai abaikan. Mula-mula Dazai bahkan berencana kabur begitu saja, supaya setidaknya Haruo, tetapi harus diurungkannya karena ia sendiri baru ingat, telah berjanji untuk mendengarkan segalanya dari Haruo.

"Orang asing pun memangnya kenapa? Walau diri saya sendiri ada meminta, agar saya pun menganggap Dazai-san orang asing, tetap saja saya tak bisa. Pada akhirnya bagi saya, mengetahui bahwa namamu adalah Dazai Osamu, itu sudah lebih dari cukup, dan membuat saya ingin menyayangimu."

Pertanyaan itu akhirnya tidak samar-samar, semenjak Haruo bilang ia ingin menyayangi Dazai. Sejak kapan jua, salah dan benar sebegitu penting? Lagi pula tanpa mengucapkan yang demikian, atau kata-kata membentuk tanya pun, Haruo sudah mencintai Dazai sebagai berharga.

Di perpustakaan ini–tiba-tiba pula Haruo bercerita tanpa diminta–sebelum Satou Haruo dipanggil sang alkemis, pernah terjadi insiden di mana seluruh bungou dihapuskan oleh shinshokusha Akutagawa Ryuunosuke. Dazai berusaha mengembalikan semuanya. Namun, idiotnya anak itu adalah demi memulangkan segenap bungou, malah Dazai yang menghilang berpecahan dan bisa-bisanya ia berkata:

"Karena kalian kembali pas aku hilang, lebih aku menghilang, deh. Aku enggak mau tetap ada, tetapi sendirian dan tak tahu kapan kalian kembali."

"Sampai saat ini, kami belum bisa memanggil Dazai lagi. Jiwanya rusak parah gara-gara diserang shinshokusha Akutagawa. Batu alkemis mempunyai keterbatasannya sendiri, tetapi setidaknya kami tetap berusaha."

Sedikit-banyak Dazai memahami perkara apa yang duduk di penuturan Haruo. Oda Sakunosuke yang lucu, berlogat kansai, dan rambutnya dikepang, telah menjelaskan pada Dazai mengenai shinshokusha, serta siapakah mereka. Shinshokusha adalah noda yang ingin menghancurkan literasi, sedangkan semua yang tinggal di perpustakaan ini ialah representasi jiwa sastrawan yang ditugaskan mengalahkan shinshokusha–tidak benar-benar hidup macam Dazai.

"Berapa lama kalian mencari diriku yang lain itu?"

"Tiga tahun. Perkembangannya sangat lambat, atau malah tidak ada."

"Sia-sia kurasa." Di sini Dazai hanya realistis, ketika sosoknya pun bukanlah sembarang detektif. Tangannya ini adalah tangan yang menyelamatkan nyawa. Tentu Dazai paham, harapan Haruo itu seserius satu ditambah satu hanyalah dua–tidak dapat diganti-ganti, atau segalanya jauh; menyesakkan–dan inilah yang Dazai kurang sukai.

Orang-orang seperti Haruo tidak akan menyukai "melepaskan" sebagai kebaikan. Dibandingkan sebuah pola yang berpikir semua orang pantas diselamatkan, Dazai lebih percaya kepada, "Buatlah dirimu sendiri pantas menerima uluran tangan; ia lebih mahal daripada dirimu sendiri yang kekurangan daya".

"Menurutku tidak."

"Pasti Sensei hanya naif, 'kan? Percaya atau tidak, saya sudah banyak melihat orang seperti Sensei. Mereka pun hancur gara-gara sebenarnya, selama ini menggenggam kesia-siaan dan telat melepaskannya. Lebih baik melepaskan sebelum terlambat, bukan?"

"Ucapanmu tajam banget, ya. Tapi saya serius, kok. Setelah Dazai menghilang, saya memang tak tahu dia ke mana. Apakah ke surga? Neraka? Atau mungkin kehampaan? Sejak memikirkannya, saya langsung percaya pada pilihan ketiga, Dazai-san. Makanya Dazai pasti kembali."

Entahlah kenapa, tetapi Haruo meminta maaf ia tidak meraih tempat-tempat yang narasinya lebih menyenangkan untuk Dazai muridnya; Osamu. Memanggilnya dengan nama kecilnya, ketika Osamu tiada di sini dan Haruo tak bisa membuatnya di sini.

Bagaimanakah rupa dari kebahagiaan Osamu itu, memang tanda tanya yang seolah-olah abadi–padahal pula Haruo tinggal sesederhana meletakkan Osamu, dalam suatu titik-titik yang ada Akutagawa-nya. Meskipun di sana tiada Haruo.

Osamu itu benci sendirian. Akan mengenang hari ini sebagai kemarin, dan yang membawanya kepada esok yang sama dengan teman-temannya pun, Osamu masih percaya ia sendirian.

Satou Haruo hanya egois pada akhirnya, sehingga ia membayang-bayangkan kehampaan untuk Osamu. Agar Osamu kembali, sebab di sana tiada apa-apa, segala-galanya terasa jauh apalagi Osamu akan berlari. Membentuk rupa se-menyesakkan kubus yang sejauh apa pun Osamu mengejar-ngejar yang di hadapannya, ia tak ke mana-mana karena terjebak.

Begitu mungkin sebenarnya lebih baik. Tetap tiada Haruo pun, setidaknya tidak ada Akutagawa jua di sana. Benar-benar ...

memalukan.

Sepertinya sekarang ini, Haruo tengah merasakan, "Hidupku adalah hidup yang amat memalukan" yang tercantum pada Ningen Shikkaku, karya Dazai Osamu muridnya. Bisa-bisanya Haruo merasa tersaingi, tersingkir, tersungkur, bahkan ia pikir ia kalah dari Akutagawa, dan tidak mempunyai rumah di hati Dazai. Ingin Akutagawa tertepikan gara-gara itu.

"Meskipun Sensei bilang begitu, Sensei boleh, lho, terus memegang kata-kataku ini. Lebih baik segera melepaskan daripada ternyata terlambat sadar, yang kita genggam adalah kesia-siaan."

"Setelah mendengar jawabanku, saya kira Dazai-san bakal langsung minggat." Bahkan ia benar-benar menyimak, menilik secuil yokan masih duduk-duduk di atas piring. Dazai tersenyum tipis. Dua agar-agar yang tersisa ia tatap penuh kehangatan.

"Habisnya Sensei baik sama saya. Agak membuatku canggung, sih, karena kita baru pertama kali bertemu. Namun, setidaknya saya sudah melupakan kebingunganku saat tiba-tiba sampai di sini. Semuanya jadi menyenangkan."

Dipanggil melalui buku putih berjudul Dazai Osamu. Bertemu Oda yang masih hidup dan Sakaguchi Ango yang anaknya hebring. Janji tersebut yang mana kelingking Dazai berpagut dengan Akutagawa ... semua itu adalah senyuman dan kebahagiaan tanpa tara. Walaupun Dazai kurang menyukai konsep, seperti menyimpannya di sudut ingatan.

(Toh, di sana sudah ada Oda Sakunosuke yang meninggal, dan merupakan Odasaku yang sejak awal Dazai kenal, sebelum ia pergi ke Haruo.).

"Sayang sekali pertemuan ini hanya sebentar. Menahanmu berlama-lama di sini tidak bisa terlalu saya lakukan pada akhirnya."

"Mencariku buat kerja, iya. Pas saya balik, Kunikida-kun pasti teriak-teriak, 'Dazai! Kerjakan tugasmu dan jangan keluyuran!'. Kunikida-kun yang di sini lebih luwes, sih, orangnya. Andai Kunikida-kun yang kukenal kayak begitu juga, tetapi nanti dunia kiamat."

Yokan yang tersisa Haruo bungkus, ketika Dazai berdiri dan betul-betul menengok ke arah pintu. Terdapat ketidakrelaan yang terlalu nyata–bahkan masih ingin lebih nyata dibandingkan realitas yang berputar–pada sepasang iris Haruo yang masih memperlihatkan sirat, bahwa ia menemukan Dazai Osamu yang Satou Haruo kenal. Ia tetap menerima serta mengerti biarpun menyadari, Dazai Osamu ini berbeda.

"Di saat-saat terakhir kita, saya hanya ingin berkata jangan sayangi saya lagi, Sensei. Buatku perasaanmu salah, walaupun Sensei tak memedulikan benar-salahnya."

Pintu tahu-tahu ditutup. Balasan yang tidak mengejutkan itu, tetapi lebih ke menyakitikan, Haruo simpan dalam air mata yang bisu. Dazai menghela napas yang panjang di depan tembok koridor. Begitu lebih baik, karena setidaknya Haruo hanya fokus pada keyakinan Osamu masih tertinggal di kehampaan; di suatu tempat; entah di mana tetapi yang pasti, Osamu ada.

"Apa kau akan mampir lagi?"

Sejujurnya Dazai tidak tega, tatkala Oda dan Ango bertanya berbarengan, ditambah Akutagawa juga beberapa bungou lainnya. Kenapa mereka terlalu memiliki kebaikan? Dazai sedikit perih jadinya sewaktu menyatakan, ia takkan ke perpustakaan ini lagi. Hapus saja buku putih tersebut.

"Kau benci berada di sini?"

Sebatas Ango yang sanggup bertanya. Sementara lamunan yang lainnya kehilangan kata-kata.

Pada akhirnya Dazai tidak bisa mengakui, ia enggan melukai Haruo atau lama-kelamaan menemukan yang serupa Haruo. Aneh sekali mereka menyayangi Dazai yang tak mereka ketahui; memang sebagai Dazai yang berasal dari garis lain. Hanya karena namanya sama dengan Dazai Osamu yang menghilang itu ... bahkan lebih baik mereka mengasihi Dazai, sebab menganggap Dazai ini adalah Dazai Osamu penulis Ningen Shikkaku.

Dazai memang membenci hatinya yang baru ia temukan, usai sekian lama bergabung dengan Agensi Detektif Bersenjata–kenapa "dia" gemar sekali merasai apa pun, tidak penting, atau yang berarti tetapi terus-menerus dirasai sehingga hambar? Oleh karena itu, Dazai enggan menerima kebaikan yang banyak dan bermacam-macam. Cukup dengan sebuah kefanaan seperti tawa, atau senyuman. Dapat menahannya pun, Dazai pikir ia melakukan sesuatu yang cukup sia-sia.

(Ia ini bukan baik yang benar-benar baik, pada akhirnya. Mungkin jika sejak awal Dazai bertemu Satou Haruo–takdirnya tidak terpintal dengan bos Port Mafia beridentitas Mori Ougai–semuanya baru bisa berbeda. Andai.).


Tamat.


A/N: HBD nana! Harusnya aku publish dari tadi, cuma ada kerjaan ini-itu yang bikin ketunda. Akhirnya aku memutuskan bikin haruo x dzi bsd, abis liat nana post sw kalau dia mau liat interaksi haruo x dzi bsd. Awalnya aku ada bikin KuniKatai soalnya, tapi ya idenya antara mandek dan kepanjangan. Aku bikin ini dari hari rabu dan selesai kamis. Semoga nana suka sama eksekusiku ini, dan maaf banget kalau haruo-nya ooc sekali. Aku masih harus banyak belajar soal haruo wkwkw.

Thx buat yang udah baca, fav, follow, review, atau numpang lewat doang. Mari bertemu di fanfic lainnya~