Before The Dawn
Disclaimer: DMM.
Warning: OOC, typo, dll.
Author tidak mengambil keuntungan apa pun dari fanfic ini. Semata-mata dibuat demi kesenangan pribadi, dan untuk ulang tahun Vira (08/04/2021).
Semenjak anak-anak naturalis berhasil memilih kepulangan sebagai sekali lagi, kejanggalan jadi menimpa Shimazaki Touson yang penyebabnya terlalu entahlah apa.
Meja bundar kembali Kunikida Doppo tepuk. Tangannya yang seolah-olah menggantikan fungsi palu itu Tokuda Shuusei komentari, "Kau terlalu keras. Ini sudah malam", tetapi Kunikida menjadi-jadi sambil berseru, Shuusei jangan fokus ke sana. Pikirkanlah bagaimana caranya, agar diskusi buntu ini dapat menggali terowongan lagi untuk maju. Tolong dahulu topik mengenai Shimazaki Touson ini, barulah menuju sosok aslinya yang mendekam di kamar.
"Bagaimana kalau kita balik ke awal lagi? Biasanya kalau buntu, ide tersebut bekerja juga."
"Boleh, tuh, Shuusei! Lagian aku juga bingung banget. Makanya dari tadi diam doang." Sumbu kesabaran Kunikida yang hanya satu sentimeter, rasa-rasanya ingin meledak. Sekian lama Tayama Katai bungkam, dan akhirnya bersuara, Katai malah berani-beraninya menyumbangkan keheranan. Namun, mau bagaimana lagi? Begitulah yang dipikirkan helaan napas Kunikida. Otak kawannya ini sekecil titik. Wajar-wajar saja Katai bebal.
"Baiklah, baiklah. Ayo mulai dari awal. Jadi, Shimazaki mulai aneh sejak seminggu lalu. Kita mengajaknya melihat matahari terbit, setelah delving dari Bungakukai. Namun, selama menunggu itu, Shimazaki tiba-tiba sesak napas, kejang-kejang, lalu pingsan. Bahkan mendadak menghindari taman."
Tidak ada yang salah, dari menyesap matahari terbit untuk menyemangati awal hari. Bukan pula kekeliruan Nakajima Atsushi, ketika ia mengajak Touson bersih-bersih taman, tetapi sejurus kemudian Touson pucat dan larinya macam dirasuki setan.
"Kayaknya ..."
"Kayaknya ...?" Shuusei dan Kunikida lamat-lamat menatap Katai. Entahlah mereka mengharapkan apa, dari seseorang yang percaya-percaya saja, memakan mata ikan dapat mencerdaskan otak.
"Kayaknya Touson kena sindrom vampir, deh. Makanya dia takut sama matahari terbit. Kemudian soal Touson menjauhi taman ... pasti Touson pernah menembak seseorang di sana, terus dia trauma gara-gara ditolak."
"Sindrom ... vampir? Menembak seseorang? Siapa? Setahuku Shimazaki enggak–" Pelototan mereka beralih pada Shuusei. Secara kompak, keduanya melanjutkan dengan menunjuk Shuusei yang mengerjap-ngerjap.
"Jiwa kalian tertukar, ya?" tanya Katai dan Kunikida berbarengan. Tanpa mengindahkan gestur Shuusei yang diam-diam mengeluhkan lelah, mereka asyik tos disambung berpelukan. Ditutup merasai, keduanya memang soulmate sejati.
"Jangan sembarangan menyimpulkan, dong! Aku banyak bertanya bukan berarti jadi Shimazaki."
Ujung-ujungnya Shuusei berbicara sendiri, sedangkan Kunikida dan Katai merencanakan bencana ketimbang langkah-langkah menyelamatkan Touson, menurut Shuusei. Perdebatan konyol mereka samar-samar membuat seseorang tersenyum. Dibandingkan menghampiri keakraban yang hanya milik ketiganya, ia sendiri memilih menghampiri sebuah kamar. Mengetuk pintunya dan langsung masuk tanpa sungkan.
"Shuusei, Katai-kun dan Doppo-kun benar-benar bersemangat, lho, soal menolongmu. Touson benar-benar tidak mau menemui mereka?"
Rasa bersikukuh masih menyelubungi Touson. Merasa suaranya tidak akan ke mana-mana, Kitamura Toukoku memutuskan mendekat. Duduk di tepi ranjang, dan sedikit menyibak selimut yang menutupi kepala Touson. Ia benar-benar selucu anak kecil. Toukoku yang mengelus-elus kepala Touson pun seperti menyanyikan pegantar tidur, tetapi ini untuk ketakutannya; bahwa ia pun boleh nyenyak dan berakhir damai.
"Tenang saja. Sekarang aku merasa lebih sehat."
"Kita pergi ke taman kalau begitu, dan menunggu matahari terbit." Tangan kanan Touson langsung digenggam. Walaupun Toukoku bilang Touson boleh membawa selimutnya, ini tidak seperti itu yang bahkan rasa-rasanya, kata-kata enggan menemui Touson.
"Angin malam enggak bagus buat kesehatan."
"Meski aku mempersiapkan kejutan spesial buatmu seorang?" Lagi-lagi Touson memikirkan sebuah lubang. Lebih luas, besar, dan kosong, dibandingkan sebelum Toukoku mendatangi Touson. Tetapi untuk siapakah tempat itu? Akankah Touson segera merasa, liang tersebut menganga ke arahnya dan hendak melumat ia?
"Kejutan ...?"
"Ya. Aku mempersiapkannya dengan susah payah, lho. Kalau Touson tidak penasaran, berarti kamu belum sembuh, dong. Dibohongi sahabatku sendiri membuatku sedih."
Touson membalas genggaman Toukoku. Senyuman terbit di bibirnya, dan mata Toukoku harum purnama. Mereka mengendap-endap agar tidak ketahuan. Keberatan yang Touson rasakan masih sesak, tetapi akhirnya ia tetap membiarkan tangan mereka saling menemukan. Bahkan entah mengapa Touson jadi berpikir, ia pun ingin menghangatkan Toukoku.
Bulan April sendiri adalah rumah, yang selalu paling memahami rahasia milik bunga-bunga taman. Kini selain tulip, mawar, kamelia, lily, serta lainnya yang tidak terlalu mereka ketahui, sakura turut mendampingi bahkan merupakan pemimpin dari parade musim semi.
Jadi manakah kejutan yang Toukoku maksud itu? Karena sejauh mata Touson memandang, tiada yang berbeda ataupun tampil dengan hebring.
Pertama-tama Toukoku mengajak Touson melihat-lihat taman. Menunjuk apa pun yang sekiranya dapat diraih telunjuknya, kemudian nada riang Toukoku akan sedikit berkomentar.
Apa yang paling Touson ingat ialah, Toukoku ingin menggubah puisi mengenai keragaman bunga. Ketika sebelum-sebelumnya jua Touson biasa saja dengan kehadiran Toukoku, mendadak pula kangennya membuncah sekali. Mungkin karena Touson pun sudah sekian waktu, tak menyaksikan Toukoku memercayai pena (tetapi benarkah alasan itu yang menopang kerinduan ini?).
"Kenapa kita berhenti di bawah pohon sakura?"
"Inilah kejutan yang kumaksud. Tunggu sebentar, ya." Kelopak yang gugur Toukoku tilik satu per satu. Touson terus memperhatikan tingkah Toukoku yang benar-benar teka-teki. Sedemikian lama mengacak-acaknya, Toukoku lantas memperlihatkan sakura yang ia pilih.
"Pernahkah kamu memperhatikan berapa banyak kelopak yang sakura miliki?"
"Tidak, sih."
"Coba hitung sekarang." Menggunakan satu, dua ... Touson mulai menghitung, dan ia berhenti di angka sebelas. Mulutnya sedikit terbuka. Toukoku memberikan yang lain yang kali ini, jumlahnya hanya lima. Ada pula yang sepuluh atau tujuh.
"Yang sebelas kelopak itu namanya yae. Hitoe untuk yang lima, dan hanyae yang jumlahnya tujuh. Tidak selalu tujuh, sih. Kisaran enam sampai sepuluh sebenarnya. Apa Touson suka kejutan dariku?" Sejujurnya pula Toukoku mengarang. Habis kalau tak sedikit berbohong, pasti Touson seratus persen menolak keluar kamar.
"Suka, kok. Soalnya aku juga baru tahu." Padahal Touson orang Jepang, dan selalu saja ia lebih awal dalam merayakan sakura, dibandingkan Toukoku. Sang alkemis memanggil Touson duluan. Di kehidupan sebelum menjelma reinkarnasi sastrawan pun Touson cukup berumur, sementara Toukoku–
"Sepertinya memang belum cukup, ya."
Berpulang lagi pada kesenduan. Hanya muram yang kembali menerima peluknya, dan Touson sudah sedemikian hilang-hilang pun, ia belum tahu firasat apa yang sekiranya mengetuk pintu.
Sebelum menjawab Toukoku, lebih dahulu Touson menarik napas dalam-dalam. Sebanyak satu ditambah satu lagi, meski berapa kali pun Touson meraup kesempatan, waktu tidak akan pernah mencukupi matanya. Ia tetap nanar bercampur sesak. Toukoku yang buram, yang lama-kelamaan bukan lagi titik-titik kotor, yang akhirnya hanya menguap tanpa bekas.
"Kematianmu ..." Prolog kurang mengenakkan itu mengembuskan angin yang lebih dingin. Sekarang adalah giliran Touson menggenggam tangan Toukoku–lebih erat dibandingkan yang pernah Toukoku perbuat, "Aku ... entah bagaimana jadi teringat terus pada kematianmu. Kau bunuh diri di Taman Shiba, memang. Namun, apa bedanya? Taman tetaplah taman, makanya aku menjauhi tempat tersebut."
"Ketakutanmu terhadap fajar pun alasannya sama, ya?"
"Sebelum fajar terbit, aku tiba-tiba membayangkan tubuhmu bergelantungan di pohon. Lama-kelamaan jadi memimpikannya, dan aku ... maaf. Bukan maksudku begitu."
Waktu itu Kitamura Toukoku masih 26, tetapi pucat di wajahnya bahkan lebih kusam, ketimbang seorang paruh baya yang sakit parah.
Toukoku pergi karena segenap keputusasaan dan kehampaan, sedangkan yang mengikuti takdirnya sekiranya sedikit, atau lebih banyak lega, seperti Touson, Shuusei, Kunikida, Katai, serta bungou lainnya–jabar Touson.
Namun yang pasti, sebelum fajar kini menjadi tempat Touson melihat Toukoku tanpa hidup. Tangannya yang tak pernah sampai, untuk meraih tali gantung Toukoku yang menjeratnya dengan luka, melankolis, sekarat, apa pun yang sedih serta mengecewakan. Ia pikir ia selalu di tempatnya. Bahkan Touson rasa di dalam mimpi yang amat basah tersebut, kakinya membeku seolah-olah Touson tidak memiliki waktu untuk ke mana-mana lagi.
"Sejak delving ke Bungakukai, ya, Touson jadi begitu?"
"Nanti juga segera berakhir. Ini tidak ada sangkut pautnya dengan Bungakukai." Jari-jarinya mengepal tanpa Touson sadari. Ingin memalingkan wajah pun, Touson merasa kepalanya berat. Siapa yang tahu Toukoku akan menghilang, ketika Touson melakukannya akibat egoisme semata.
"Meski begitu, apa kau tidak bisa benar-benar lega sekali saja?" Karena kita sudah bertemu. Karena akhirnya aku menemuimu, dan mimpimu; mimpiku; di mana aku gantung diri, untuk sekarang ini semua itu setidaknya sirna digantikan perjumpaan kita.
"Bertemu Toukoku lagi memang menyenangkan. Namun, kurasa aku baru benar-benar bahagia jika ..." Kelingkingnya naik menatap Toukoku. Senyuman kecil yang selama-lama-lamanya kecil itu–sebab dunia lebih menakutinya ketimbang menyayanginya–terarah pada Toukoku yang justru pahit, "Berjanjilah, kita akan bersama mulai detik ini."
Lalu sekarang, apakah Touson betul-betul memiliki waktu? Tahu-tahu pula ia menanyakannya kepada diri sendiri, dan dirinya sendiri berlari; mencari yang lain, karena ia enggan mendengar jawaban dengan menjawab.
Benarkah tangan yang mengulurkan kelingkingnya pada Toukoku ini, adalah sebuah tangan? Mata yang kini merefleksikan senyum sendu Toukoku memang sepasang mata?
Sebenarnya menolak menanyakan semua itu pun, Touson memang tidak bisa. Perlahan-lahan, ia melepaskan kelingkingnya yang masih mengambang di udara. Menggeleng ke arah Toukoku yang tampaknya, hendak mengulurkan kelingking walaupun terlambat. Yae yang gugur Touson selipkan, menghias daun telinga Toukoku. Seperti hilang kesadaran, atau Touson-lah yang sengaja menghilangkannya, Touson mengecup lembut telinga Toukoku.
"Touson ...?" Debu-debu yang menempel di yukata tidurnya Touson sibak. Ia mengulurkan tangan ke arah Toukoku untuk membantunya berdiri, dan senyuman Touson makin hancur saja.
"Bukankah ini curang? Hanya mimpi pun, kau nyata sekali."
Semuanya adalah kenyataan di dalam mimpi, mulai dari sini sampai Touson membuka matanya yang sebenarnya, jauh dari Toukoku. Namun, Touson tidak bilang ia mengingkari matahari terbit. Mereka pun duduk-duduk di bangku taman. Menunggui pemandangan yang semakin dekat yang setidaknya, untuk yang terakhir ini Touson ingin tiada yang pergi.
Dengan begitu, entahlah kenyataan memang kenyataan, ataupun itu realitas di dalam mimpi, Touson telah menyelesaikan sebuah kenangan bersama Toukoku. Sudah waktunya untuk melupakan Kitamura Toukoku yang gantung diri selama tujuh kali ini.
Syukurlah.
Toukoku kembali menggenggam; meremas tangan Touson di atas bangku taman ini begitu pun Touson, tetapi Touson tidak melihat Toukoku menggeleng.
Syukurlah.
Semua-muanya sudah jelas bahwa Touson bermimpi. Ia yang mula-mula menganggap kepangan Toukoku itu wajar, senyumannya, cara yang dia miliki dalam menunjukkan yae, menjelaskan hitoe juga hanyae, antusiasmenya terhadap puisi dan bunga sebagai bahasa romantisisme ... bukankah Touson betul-betul diperdaya, oleh benaknya yang masih menginginkan kenangan Toukoku? Karena seharusnya–
Ah. Pantas saja Touson tidak bisa mengucapkannya–kata "syukurlah" itu karena Touson bukan mengungkapkan, melainkan sekadar mengatakannya sehingga kata-kata hanyalah kata-kata; terbatas sekali sebagai gumpalan abjad semata.
"Maaf." Suara terlampau lirih itu turut angin gesek. Touson menggigit bibir membuat Toukoku termenung. Walaupun sayang sekali, satu-satunya kesempatan Toukoku hanyalah di saat-saat menyakitkan ini, dan jika melebihi ini Toukoku kehilangan Touson, ia bisa apa? Begini pun menyenangkan.
"Kok minta maaf? Terus juga jangan gigit bibirmu. Nanti berdarah."
"Aku gagal menyelamatkanmu, dan sekarang kau tidak bisa bergabung dengan kami. Jadinya kami terpaksa membasmimu, soalnya Toukoku sudah menjadi shinshokusha."
"Iya. Aku tahu, kok."
"Harusnya kau marah. Kau boleh menampar, membentak, memukulku ... kau sangat berhak ..." Tetapi kenapa Toukoku tidak akan melakukannya? Dua kali gagal belumkah cukup untuk membenci Touson? Atau Toukoku tetap ingin menunggu Touson, kendatipun mereka terpisah seratus dekade dan waktu Touson terhenti sejuta kali setiap ia hampir sampai, demi bertemu lagi di bawa seratus kelopak kebahagiaan?
"Mana menyenangkan kalau begitu? Lagi pula bukan itu yang ku mau."
"Pasti kau ingin bersama Katai, Kunikida, Shuusei, dan aku, 'kan?"
"Tentu saja, tetapi ada hal lain yang kuinginkan sekarang ini, di luar melihat matahari terbit bersama Touson."
"Bisakah aku mengabulkannya sekarang untukmu?"
"Cukup dekatkan telingamu, kok."
Lalu Toukoku berbisik, bertepatan dengan sinar pertama dari pagi yang sekian dan kecupannya singkat, tetapi harapan yang tidak pernah mati sebenarnya selalu menandakan awal.
Cahaya yang mencium mata Touson menyebabkannya silau. Ketika ia menengok ke samping, hanyalah kekosongan yang didapatinya, tetapi mahabaik dari timur segera menggantinya dengan kehadiran lain. Shuusei, Kunikida, dan Katai menghampiri Touson dengan napas terengah-engah. Wajah ketiganya seolah-olah berseru, "Ternyata kau di sini!", karena mereka lelah mencari-cari Touson.
"Kantong matamu tebal amat. Jangan bilang kau seharian begadang di taman?" Katai mendekatkan wajahnya tanpa ampun. Kening Touson bahkan disentilnya gara-gara dibandingkan ikan mati, mata Touson lebih menyerupai pucat akibat menyaksikan hantu–masa dia tega menganggap teman-temannya sendiri sejenis dedemit?
"Katai ...?"
"Ada aku sama Shuusei juga, lho. Kami bergadang semalaman demi mencari cara, bagaimana agar kau kembali normal. Tapi ternyata enggak usah, ya. Untunglah."
"Kunikida ... Shuusei ... aku ..." Mulut Touson gentar. Kekhawatiran mereka yang membasuhnya dengan lembut itu membuat Touson ingin sedikit bercerita–tentang dirinya yang bersama Toukoku–tetapi di satu sisi ia takut. Touson ngeri ketiganya malah semakin kusut masai, karena Touson ini dia itu membawa-bawa Toukoku lalu–
Akan tetapi siapa sangka, Shuusei justru menepuk pelan bahu Touson. Menggeleng ke arahnya, bahwa Touson boleh-boleh saja begini. Di perjalanan balik ke perpustakaan, Katai dan Kunikida malah asyik membahas jurnal perjalanan ke gunung. Touson sekadar mengikuti di belakang begitu pun Shuusei. Sejurus kemudian yang walaupun hanya ada di antara keduanya, Shuusei senang ketika Touson menggapai ujung yukata-nya.
"Katanya, dialah yang nanti akan menyelamatkanku, karena selalu aku yang berusaha mengulurkan tangan kepadanya. Padahal aku belum pernah berhasil menolong dia, Shuusei. Apa aku pantas memercayai kata-katanya?"
Saat mendengar Touson mengatakannya, Shuusei merasa lebih menyukai fajar dibandingkan kemarin-kemarin, dan esok ia semakin mencintainya.
"Pantas, Shimazaki. Kata-kata itu bahkan hanya ia ucapkan padamu, bukan? Lalu kurasa meskipun kau gagal menyelamatkan dia ... itu tidak sepenuhnya gagal. Berusaha menolongnya pun sudah membantu dia. Kau tak membiarkannya sendiri, Shimazaki."
Kebajikan yang bijak itu sangatlah teduh. Touson jadi memejamkan mata, dan seketika ia merasa terhuyung-huyung. Terjatuh yang mengagetkan ketiga sahabatnya, tetapi baguslah Touson bisa nyenyak sekarang ini.
Terima kasih sudah menemuiku, Toukoku. Ternyata kau datang di kenyataan, ya, menggunakan sisa-sisa kenanganmu sebelum kau lenyap, mungkin? Apa pun itu … terima kasih atas obrolannya.
Tamat.
A/N: Ini ide lama. Aku kepikiran idenya abis baca di wikipedia, kalo toukoku mati sebelum fajar di taman shiba. Jadilah aku bikin touson takut sama taman dan sebelum fajar, terus ya mereka ngobrol2. Caraku mengembangkan ide ini rada jelek mungkin. Tapi nulis angst-nya lancar juga dan ya … seenggaknya ini bisa jadi obrolan yang gak meaningless, meski alur cerita ini terlalu lembut jatuhnya.
Buat vira, semoga kamu suka. Tahun 2020 aku bikinin oda sama anak2nya, dan sekarang touson sama toukoku. Kurasa toukoku-nya ooc sih. Aku masih ga ngerti banget soal karakteristik dia dan recoll-nya masih bahasa jepang juga ya. Makanya susah. Bahkan aku ngerasa touson-nya kayak aneh banget. Juga inget, fluff=angst. Jadi, aku gak sepenuhnya ngibul kan.
Thx buat yang udah baca, fav, follow, review, atau numpang lewat doang. Mari bertemu di fanfic selanjutnya~
