"Shintarou, sejak kapan kamu punya baju warna merah? Padahal sebelum-sebelumnya bilang nggak suka, bikin sakit mata?"

Kalau boleh, ya—dan kalau memang ada jaminan kepalan tanganmu tak akan mendarat di bahuku setelahnya, mungkin aku sudah menyangkal. Sekaligus mengingatkanmu tentang siapa yang membuatku rela memakai setelan piyama berwarna merah, sudah siap tidur, tapi masih harus terdistraksi dengan pertanyaan konyol yang baru saja kamu katakan. Sudah lupa siapa yang menarik tanganku untuk berhenti di depan stan penjual pakaian di festival minggu lalu? Sudah lupa siapa yang membuat pipimu jadi semerah setelan baju tidur yang kamu pegang saat itu, Seijuurou?

"Itu pertanyaan, ya?" Meski enggan, aku tetap memaksakan diri untuk menjawab. Gelak tawa terdengar dari atas kasur. Aku melirik, kacamata yang tadi aku kenakan terlantar asal di meja terdekat. Seijuurou ada di sana, duduk bersandar dengan selimut tertarik sampai pinggang. Meski samar, aku yakin betul ia sedang menyeringai sampai gigi-giginya terlihat. "Katanya kamu bosan lihat aku pakai warna-warna piyama yang ada di lemari. Toh, waktu tidur pun, kamu tetap nggak bisa lihat aku 'kan?"

"Bisa lah." Jujur, kadang aku benci beberapa nada yang biasa Seijuurou gunakan saat berbicara. Seperti saat ini, tajam dan penuh kesombongan, tapi di lain sisi juga menyenangkan untuk didengar daripada harus diam-diaman. "Kamu 'kan sudah terekam jelas di hatiku, Shintarou."

Kebingungan, aku hanya bisa menghela napas, "terserah."

Jarak antara kasur dan tempatku berdiri tak lagi jadi tandingan saat aku mendekat. Seijuurou masih duduk di sana, mata sibuk menilai penampilanku sementara sudut-sudut bibirnya menarik senyum lebar yang terlihat makin jelas ketika aku duduk di sisi ranjang, "Shintarou."

"Hm?"

"Kamu jadi kelihatan mirip apel, deh."

"Kenapa bisa?"

"Merah," satu tangannya terulur, menunjuk pakaianku— "hijau," lalu mengarah pada rambutku yang tadi sudah disikat rapi-rapi, "ah, harusnya kemarin beli warna oranye. Biar kelihatan mirip wortel."

"Tapi apel juga nggak masalah, 'kan?" Aku mendengus, merasa geli dengan omongannya yang terdengar mirip gurauan anak-anak. "Kamu yang lebih mirip apel. Sudah merah, matang pula."

"Maksudnya matang?" Seijuurou mendelik, jadi mungkin aku salah bicara. "Shintarou, kamu jangan sembarangan. Merah itu bajumu, warnanya mirip ringo ame yang kita beli di festival minggu lalu."

"Bukan." Aku menyanggah, menggelengkan kepala. Sedikit menoleh, dan mata kami bertemu. Topik bahasan tentang warna merah itu menari-nari dengan licik di pikiranku. "Merah itu pipi kamu," jeda, "waktu aku cium di depan stan penjual pakaian di minggu lalu. Kamu ini sudah lupa, atau malah pura-pura lupa?"

Lalu hening. Sungguhan hening sampai aku bisa dengar suara angin yang bertiup di luar jendela—oh, lupa tutup tirai. Tapi situasi ini terlalu menyenangkan untuk dijeda barang sebentar saja. Jadi aku hanya diam, menunggu, dan Seijuurou membalasku dengan sorot mata membunuh. Aku tersenyum. Lebih lebar lagi saat semburat merah perlahan merambati kedua sisi wajahnya meski samar terlihat.

"Kamu yang tiba-tiba cium," katanya, membela diri, "aku mana siap? Harusnya bilang dulu, jangan asal maju."

"Kamu kelihatan senang waktu aku sungguhan bilang iya." Satu tanganku terulur, meraih pucuk kepalanya. Menggeser posisi duduk supaya lebih dekat, dan kami kembali bertatapan di bawah remangnya lampu kamar. "Harusnya kamu pakai yang ini, jadi sama merahnya. Mau tukar?"

Tawaranku dibalas gelengan. Tentu saja, aku sudah menduga kalau ia tak mau menerimanya. Tanpa sadar, aku tersenyum—atau mungkin tak sadar sudah terlalu lama tersenyum karena Seijuurou tak menolak usapanku di rambutnya. Pipinya merah, tidak kentara, tapi cukup menggemaskan. Aku memajukan tubuh, cahaya lampu kamar seolah membuat wajahnya bersinar. Merah. Merah adalah semua yang bisa aku lihat.

Aku jadi teringat tayangan televisi yang biasa kami saksikan pagi hari tadi. Tentang arti warna dalam pandangan psikologi, dan aku ingat betul apa yang mereka katakan mengenai warna merah. Arti kualitas yang sangat luar biasa, termasuk cinta, dan kebaikan. Terdengar hiperbola, tapi memang itu adanya. Usapanku sengaja turun dari rambut menuju pelipisnya. Turun lagi menuju pipi, lalu ke bibirnya. Dia hanya diam, tidak bereaksi, tapi juga tak terlihat kalau menerima dengan cuma-cuma.

Karena merah juga memiliki arti lain. Entah hanya aku yang merasa, atau suasana di sekitarku dan Seijuurou memang sungguhan memberat. Ibu jariku mengusap bibir bawahnya, dan pandangan kami masih bertemu. Teringat kembali sang pembawa acara dengan penjabarannya tentang keistimewaan warna merah yang lebih mirip dongeng pengantar tidur.

Seksualitas, keberanian, hasrat, dan kepercayaan diri. Sayangnya, dua dari empat hal yang mereka sebutkan terlalu tinggi tingkatnya untuk dijadikan dongeng pengantar tidur.

"Sei?" Aku memanggil, dan sepertinya ia terkejut. Mata mengerjap, tampak salah tingkah saat aku menekan bibir bawahnya dengan ibu jari. Entah karena bantuan cahaya lampu, tapi bibir Seijuurou juga berwarna merah.

"Kenapa?"

"Besok hari Minggu." Aku berdeham, ragu ditolak bahkan sebelum mulai bicara. "Kamu—kita libur, 'kan?"

"Masih perlu ditanya?" Seijuurou menghela napas. Ibu jariku sengaja ditarik dari bibirnya saat ia bicara, "iya, libur. Terserah kamu."

Butuh beberapa saat bagiku untuk memproses perkataannya. Seijuurou mengalihkan pandangan, tampak salah tingkah, dan aku tak bisa menahan tawa. Warna merah itu kembali, singgah di parasnya tanpa kendali. Merah yang sama seperti yang aku lihat di stan penjual pakaian di festival minggu lalu. Merah yang sama, seperti yang biasa aku lihat di hari-hari kita bersama.

Seijuurou, andai kamu bisa lihat. Air mukamu memerah, bersamaan dengan hidung kita yang bergesekan. Lalu selanjutnya, yang aku tahu, penghuni bumi tersisa dua.

Oh iya, Shintarou. Lain kali, kalau mau tidur, jangan pernah lagi menata rambut, ya!