Title: Shared Castella

Rated: T

Character(s): Shimazaki T, Kitahara H

Genre: General

Summary: Touson butuh penyemangat bagi pikirannya yang sedang terbebani sesuatu, sedangkan Hakushuu punya sepotong castella untuk mereka berdua. [Happy Late Birthday, Vira! 08/04/2021]

Disclaimer: Bungou to Alchemist belongs to DMM Games

Warning(s): fluff, castella, hapiba vira!


Kamis adalah hari castella. Sebenarnya bukan cuma kamis; setiap hari, jika ada waktu senggang, bisa juga jadi momen menikmati bolu persegi tersebut. Kebetulan tugasnya sudah selesai, Hakushuu yang butuh asupan manis telah mempersiapkan armada sepotong castella untuk membayar kelelahannya.

Namun, setiap kali ia hendak menyantapnya dengan khidmat, selalu saja ada penghalang. Entah Saku yang minta puisinya dikomentari, entah Ishikawa yang merengek ingin pinjam uang, bahkan hingga Bokusui yang mengajaknya minum-minum bersama.

Sebagai sosok yang (cukup) bijak, Hakushuu berusaha menolak permintaan mereka semua.

"Membaca puisi buatanmu butuh waktu. Letakkan saja di kamarku. Biar kubaca nanti."

"Ishikawa-kun, mau gali lubang tutup lubang atau kutendang kamu ke dalam lubang?"

"Bokusui, aku lagi sake intoleran."

Beruntunglah semuanya cukup pengertian. Saat ia sukses menyendiri di meja makan dengan sepotong castella, ia nyaris lupa daratan dan melahap semuanya tanpa menyisakan seremah pun andai saja seseorang tidak tiba-tiba muncul di depannya.

"Sepertinya Kitahara-kun lagi senang, ya."

.

.

.

Shared Castella

.

.

.

Semua orang tahu kecintaan Hakushuu dengan castella. Ia bisa memakannya di manapun dengan tambahan secangkir teh hijau. Rasanya lezat dan memuaskan. Tidak ada yang bisa mengalahkan sensasi makanan itu, bahkan rokok linting pun menempati peringkat kedua.

"Ah ... Shimazaki-san." Suara Hakushuu tercekat. Jemarinya yang memegang erat garpu terlihat jelas dari sudut pandang Touson. Ia ingin makan, tentu saja, tetapi bagaimana bisa ia mengunyah castella saat ada orang, terlebih sosok yang ia kagumi, berada di depannya? Ia bukan orang kurang ajar begitu. "Jarang sekali bisa bertemu di sini."

"Aku baru selesai mengerjakan tugasku." Touson tidak bergeming sama sekali. Wajah datarnya tidak berniat menertawakan keseriusan yang dimiliki Hakushuu beberapa detik lalu. "Boleh aku duduk bersamamu?"

"Te-tentu saja boleh."

Hakushuu sedang mengalami dilema luar biasa. Touson sudah menarik kursi dan duduk. Fokusnya bergerak dari catatan kecilnya yang tiba-tiba terjatuh, motif taplak meja, kemudian singgah pada Hakushuu dan objek mencolok di meja. Padahal ia berhasil menghalau tiga penghalang sebelumnya ... tunggu, kenapa ia harus bimbang? Menjamu orang, terutama Touson, haruslah menjadi etika utamanya!

"Sebentar." Hakushuu beranjak, meletakkan garpu, dan berniat mengambil piring ceper dan dua cangkir teh. "Biar kubuatkan teh—"

"Nggak usah repot-repot." Touson menghentikannya. "Aku ... nggak begitu lapar."

"Eh?"

"Aku cuma mau duduk dan mengamatimu."

Ucapan tersebut sempat membuat Hakushuu kaget bukan main. Seorang Touson mau mengamatinya? Ia memang tahu kebiasaan Touson yang gemar mencari dan mengobservasi sesuatu yang ia anggap menarik, tapi ia tak menyangka akan datang hari di mana objek itu adalah dirinya. Hakushuu mati-matian mempertahankan ekspresinya agar tidak tampil memalukan.

(Tapi, biar begitu ...)

"Ada apa, Shimazaki-san?" meski sedikit, Hakushuu bisa merasakan ada yang bersembunyi dibalik wajah datar Touson. Hakushuu kembali duduk, kali ini berusaha meyakinkan diri atas pertanyaannya. "Aku pikir Shimazaki-san tidak seperti biasanya."

"Ah, kelihatan?" Touson tidak menyanggahnya, ia justru tertarik lantaran Hakushuu menyadarinya. "Shuusei bilang kalau mendatangi orang yang sedang senang, perasaan kita sendiri juga akan ikut senang."

Mungkin cuma kebetulan bagi Hakushuu duduk di sini dan ditemui Touson, tetapi itu bukan berarti Hakushuu cukup berkecil hati untuk mengabaikan kalimat yang dilontarkan Touson. Ada pesan tersirat di dalam kata-katanya, yang rasa-rasanya perlu Hakushuu telaah.

"Sebenarnya bukan hal penting, sih." Baru pertama kali Hakushuu menemukan keraguan pada cara bicara Touson. "Yamamoto-kun memintaiku tolong menggantikannya mengajak main Niimi-kun dan Miyazawa-kun. Kebetulan memang cuma aku yang punya waktu lowong; Katai ada delving dan Kunikida jadi asisten Shisho-san. Jadi, ya, aku menyetujui permintaannya."

"Yamamoto ..." Hakushuu mengingat-ingat nama tersebut. "Oh, Yamamoto Yuuzou. Teman Isamu."

"Benar." Touson mengangguk sekali. "Dia bilang nanti akan memberikanku imbalan karena sudah menggantikannya. Kuharap dia mau memberitahuku informasi rahasia tentang Akutagawa-kun."

"Shimazaki-san benar-benar belum menyerah soal dia, ya."

Jika membicarakan Touson dan kesukaannya dalam menggali informasi, bukan hal aneh jika Akutagawa juga terlibat di dalamnya. Namun, yang jadi pertanyaannya, apa yang membuat Touson membutuhkan semangat dari orang lain? Di ceritanya barusan, Hakushuu tidak berhasil mendapatkan suatu kejanggalan. Mungkinkah keduanya sulit dibujuk untuk main bersamanya? Atau justru sebaliknya, mereka terlalu senang sampai-sampai menguras tenaga Touson?

Tak menemukan jawaban, Hakushuu tak tahu harus membalas apa.

"Aku ... kurang bisa berbaur sama anak-anak." Touson melanjutkan ceritanya. "Yamamoto-kun hebat sekali sampai bisa seminggu tiga kali bermain dengan mereka."

Pekerjaan mereka di perpustakaan terkadang tidak menentu. Ada satu minggu penuh mereka harus kerja keras (entah karena buku bernoda yang menggunung atau karena ada acara tertentu), ada pula satu minggu minim kerjaan yang memberi mereka napas lega. Banyak orang yang lebih senang menghabiskan waktu 'tenang'-nya dengan minum-minum atau menulis sesuatu. Jika diasumsikan anak-anak itu selalu mengajaknya bermain setiap seminggu tiga kali, Hakushuu bisa mengerti kenapa Touson sampai takjub pada kemampuan mengatur waktu yang dimiliki Yamamoto.

"Iya, hebat sekali."

Setelah itu tak ada yang berkata apa-apa. Touson sibuk memejamkan matanya, sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu. Di sisi lain, Hakushuu kepikiran tentang prospek castella-nya yang tak disentuhnya. Alarm bawah sadarnya sudah berbunyi, menandakan bahwa asupan gulanya nyaris mencapai titik terendah. Ia ingin, ingin sekali menyicip sedikit—

"Aneh nggak sih kalau orang sepertiku diserang Shinshokusha?"

"Eh?" Hakushuu kurang menangkap ucapannya. "Shimazaki-san? Diserang Shinshokusha?"

"Cuma pengandaian."

"Kurasa semua orang punya potensi diserang mereka." Tidak ada keraguan pada pernyataan Hakushuu. "Aku sendiri juga pernah, padahal kupikir buku-ku salah satu yang bakal sulit diserang."

"Kalau kita bahas seisi rak perpustakaan, wajar-wajar saja menyatakan hampir semua buku penulis di sini dinodai mereka."

"Jadi, maksud Shimazaki-san, ketimbang karya, justru diri Shimazaki-san sendiri yang diserang Shinshokusha?"

"Betul. Aku penasaran bagaimana rasanya dipenuhi pikiran negatif sampai bisa membuat kita terjebak di karya kita sendiri. Apa kamu pernah merasakannya, Kitahara-kun?"

"Kayaknya ... pernah, tapi nggak sampe kejebak gitu, sih." Hakushuu bertopang dagu. Matanya menerawang ke suatu arah. "Waktu itu rasanya susah sekali menyadarkan diri sendiri. Bayangan masa lalu seakan ada yang memutarkan di kepalaku, membisiki betapa buruknya hal-hal itu. Aku pengen mereka berhenti, tapi mereka malah semakin kuat."

Hakushuu sosok yang kuat. Dinding kokoh di dalam dirinya tidak akan hancur semudah itu. Namun, suatu waktu, saat ia lengah, Shinshokusha menguasai pikirannya dan mengacaukan pandangannya terhadap segala sesuatu. Ia nyaris, nyaris saja terjatuh lebih dalam, jika saja orang-orang di sekitarnya tidak ada di sampingnya.

"Perasaan itu ... sepertinya aku lagi ngerasain sekarang."

"Wah, gawat ju—apa?!"

"Iya, dari yang kamu jelasin tadi, sedikit banyak sedang kurasakan." Wajahnya tidak seperti sedang mengalami kesedihan sampai-sampai Hakushuu sedikit menjerit saking kagetnya. "Bayangan masa lalu seakan berputar di kepalaku selama bersama Niimi-kun dan Miyazawa-kun."

Sebenarnya Hakushuu ingin menanyakan lebih jelas. Apa pikirannya semakin memburuk seiring obrolan mereka berjalan? Apa Hakushuu perlu membawanya ke Shisho dan staf lainnya agar baik Touson dan bukunya tidak diserang Shinshokusha? Deretan dugaan demi dugaan bergerak di kepalanya, namun ketika ia menyadari dua sosok anak kecil tersebut, sebuah jawaban muncul.

Layaknya ingatan buruknya di masa lalu, Hakushuu pernah dengar mengenai masa lalu Touson. Tentu saja ia ingat. Itu adalah masa di mana novel Touson meninggalkan kesan mendalam bagi para pembaca, masa di mana karirnya yang baru saja berpindah dari penyair menjadi penulis menjadi jelas, masa di mana kepopuleran itu harus merenggut sesuatu darinya.

Tiga anaknya meninggal karena penyakit.

"Shinshokusha itu jahat, ya."

"Jahat?"

"Iya. Selain punya niatan melenyapkan semua karya, mereka juga menunjukkan dosa kita." Hakushuu menyadari ada sedikit perubahan di wajah Touson. Terkejut? Tertarik? Pokoknya di antara dua itu. "Jika ada cara menyerang pikiran seseorang, pilihan mengorek masa lalu demi menyerang balik adalah cara paling tepat."

"Benar juga."

"Shimazaki-san mungkin bakal menganggapku aneh, tapi entah kenapa aku merasa dibalik niatan itu, ada celah yang mereka biarkan terbuka."

"Apa?"

"Kesempatan bagi kita buat tidak mengulanginya lagi." Hakushuu tidak suka berputar-putar, jadi ia langsung ke intinya. "Pasti ada hal yang pernah disesali semua orang di masa lalu. Aku pun juga termasuk, begitupun Shimazaki-san. Tentu aku nggak mau terulang lagi. Mengingatnya saja sakit sendiri.

"Pas pikiranku dipenuhi ingatan itu, aku diselamatkan orang-orang yang mati duluan daripada aku. Di saat itu aku merasa 'Benar juga. Masa lalu nggak bisa diubah, tapi aku punya hidup baru di sini buat nggak ngulang kesalahan di masa lalu'. Shimazaki-san juga nggak mau ngulang hal yg sama, 'kan? Terlepas dari apapun yg sedang mengusik pikiran Shimazaki-san"

"Kitahara-kun pasti tahu apa yang jadi beban pikiranku."

"Aku pembaca setia karya Shimazaki-san, jadi wajar saja aku mengetahuinya."

Touson memerhatikan pemuda di hadapannya. Ia menimbang-nimbang sebelum memberi balasan. "Perkataanmu ... ada benarnya. Aku nggak minta dimaafin, tapi aku juga nggak mau jatuh di lubang yang sama, di kesalahan yang sama."

"Iya, aku juga." Hakushuu tersenyum. "Bagaimana? Apa Shimazaki-san sudah enakkan?"

"Hmm ... belum bisa dibilang sepenuhnya, sih."

"Kalau begitu, mau kuberitahu sesuatu?" Hakushuu kelihatan tak sabar untuk bercerita dan Touson tampak antusias mendengarkan. "Belakangan ini aku menemukan bait lagu yang bisa memberiku dorongan di saat lagi kurang semangat."

Hakushuu sedikit kagok saat hendak menyanyikan bagian pentingnya. Ia menarik napas, kemudian membuangnya perlahan sebelum memulai.

"Dareka ga ikiteiru ichibyou zutsu

Kotoba ni dekita naraba

Bokura wa ikiteiru ki ga suru no sa

Kotoba wo baramaku you ni."

Touson tidak langsung memberikan komentar. Ia memahami lirik tersebut perlahan-lahan. "Bagus."

"Iya, 'kan?" Hakushuu lega mendengar Touson sepemikiran. "Makanya, saat sadar kalau aku membuat suatu karya, aku merasa jadi hidup, sama seperti makna yang lirik itu berusaha sampaikan. Lalu dengan sendirinya, aku bisa semangat lagi."

"Aku jadi ingat, kamu pernah buat lagu anak-anak, 'kan?"

"Eh? Iya. Aku pernah."

"Bisa ajari aku?" ekspresi haus akan rasa ingin tahu terbaca dari wajah Touson. "Sebisa mungkin, aku mau bisa lebih akrab dengan Niimi-kun dan Miyazawa-kun. Aku yakin mereka akan lebih mudah paham kalau lagunya buatan kamu."

"Shi-Shimazaki-san mau nyanyiin lagu buatanku?"

"Iya. Pasti buatan Kitahara-kun bagus. Aku tahu karena kamu berusaha bikin lagu yang menyenangkan hati anak-anak. Kalau aku coba belajar dari kamu dan Yamamoto-kun, di masa depan mungkin aku bisa lebih terbiasa sama anak-anak. Itu ... kalau kamu nggak keberatan."

Ada kesungguhan pada ucapannya. Hakushuu bisa merasakannya. Ia tidak menyangka fenomena seperti ini akan terjadi, fenomena di mana ia dapat membantu orang yang ia kagumi. Dan hal yang lebih baiknya lagi, Hakushuu lebih percaya diri untuk menjadi lebih baik lagi, karena ia tidak sendiri.

"Aku nggak masalah."

"Syukurlah." Touson membalas senyumnya meski telat. "Kamu bisa makan castella-mu sekarang, kok."

Hakushuu hampir saja meleleh lantaran kebahagiaan di hari ini. Namun, ketika Touson mengingatkan makanannya yang belum juga dimakan, Hakushuu malu bukan main. Apa ia sebegitu kelihatannya menahan lapar sampai-sampai Touson menyadarinya?

Daripada itu—

"Kitahara-kun?" tanya Touson dengan penuh kebingungan. Piring berisi castella itu dibelah dan dimajukan Hakushuu hingga berada di tengah-tengah mereka berdua.

"Maaf aku baru ingat." Hakushuu berusaha melawan rasa malunya. "Ayo, dimakan castellanya, Shimazaki-san."

"Kamu aja. Kamu lagi lapar, 'kan?"

"Iya, aku lapar sekali." Hakushuu mengakuinya. "Hari ini aku sudah direcoki tiga orang dan aku berhasil menghalau mereka semua. Namun, dibanding rasa tidak sabar memakan castella ini sendirian, aku lebih suka membaginya bersama Shimazaki-san. Bagiku, castella bisa mendatangkan kebahagiaan, jadi kalau dimakan, aku yakin itu bisa nambah bahan bakar penyemangat Shimazaki-san."

"Ah, asupan gula bisa menurunkan hormon stres, ya."

"Betul." Hakushuu mengambil setengah potongan castella dari piring. "Ayo, diambil. Jangan sungkan."

"Dulu kamu nawarin aku castella juga." Touson sedikit terkekeh sebelum tangannya meraih setengah bagiannya. "Terima kasih, Kitahara-kun."

Mereka memakan bolu tersebut bersama-sama. Meski sudah lama dianggurkan, kualitas lezatnya masih kuat di setiap sisi. Hakushuu tak bisa menahan diri. Ia meluapkan kesenangannya atas castella yang lezat sekaligus obrolan menarik dengan Touson di sini.

Tidak ada yang bilang mereka orang 'murni' sepenuhnya. Kebanyakan penghuni perpustakaan memiliki masalah sendiri-sendiri. Dan kebanyakan pula pihak yang terlibat dengan masalah mereka tidak dihidupkan kembali, sehingga mau tak mau mereka harus menelan kenyataannya dan menjadikannya sebagai pelajaran.

Di tengah kesenangannya yang bagai mimpi itu, Hakushuu menyempatkan diri melirik Touson diam-diam sembari berharap semoga mereka bisa jadi diri yang lebih baik lagi. Ia yakin mereka mampu.

Tapi, sebelum memulai itu, sepertinya ia perlu membuat dua teh, karena obrolan mereka ditambah kue padat ini membuat mulutnya kering minta air.

Aku sampai lupa hal mendasar. Hakushuu bangkit dari kursinya, izin permisi untuk menyediakan minuman. Castella lebih enak lagi jika dibarengi teh hijau.

END


Author's Note: HAPPY BIRTHDAY VIRAAAAA! Maaf telat bgt bikinnya. Aku bener2 gak tau harus nulis apa. Aku bingung. Dari sejak ultah touson kepikiran mau buat ini, cuma gak semangat, dan gak ada niat, jadinya dipendem sampe tiba-tiba ada pikiran buat ngelanjutin lagi.

Dipikir2 kita udah kenal berapa lama, ya? 10 tahun? 20? Kayaknya 2 tahun lebi dikit, ya. Aku inget waktu itu aku kenal kamu dari pas aku bikin fic odazai (itu sih pertama kali bikin fic di bsd), terus ketemu di grup FI (yg lucunya aku nyasar masuk grup), terus ngebanyol di ffa bareng yang lain. Wah, emang ikatan kekeluargaan warga daakunesia kuat banget, ya.

Aku bikin fic ini didasarin sama 2 hal: Touson yang bikin kontroversi pas bikin Hakai & Hakushuu yang terbiasa bikin syair atau lagu buat anak2. Karena ada kebetulan satu objek (anak2) yang sama2 ada di mereka, aku kepikiran buat bikin fic ini. Dalemin bungou2 ini menarik, ya. Mereka punya masalahnya sendiri2 dan kupikir tema cerita kaya gini akan ada banyak variasinya karena dari bunal sendiri emang fokus ke sana. Selain itu aku juga mau nyemangatin semua orang termasuk aku sendiri sih buat jadiin pelajaran hal2 'buruk' dan jangan ngulangin lagi.

Oiya 4 baris lirik itu referensi dari Strobe Last-nya Siinamota yang kurang lebih artinya:

Jika kita bisa menjadikan

Detik setiap orang hidup ke dalam kata

Kita bisa (ikut) merasa hidup

Bagaikan kata-kata yang berhamburan itu

Makasih udah baca fic ini. Sekali lagi hapiba Vira! Kalo besok atau lusa tiba2 muncul di samarind jangan kaget y.