Disclaimer | Penyangkalan: BoBoiBoy milik Animonsta Studios. Tidak ada keuntungan materi apa pun yang diperoleh dari tulisan ini.

Summary: Mereka adalah anggota elite dari badan penanggulangan bencana. Kasus merepotkan, mengerikan, atau menegangkan mengekori tiap masa. [No pairings. Elemental twins AU feat. Kaizo-Fang]

Crew:

Author: Dee Carmine

Beta: Deka Anderskor

Creative: SappireEyes - Diantips - Paddle Ice Pop

Media: Pieris

.

.

.

.

- Chapter I -

Stratosphere

.

.

.

satu

.

"Menara melaporkan hal menarik beberapa menit lalu."

"Huh?"

Seorang pria muda berambut acak-acakan memalingkan wajahnya dari layar sentuh raksasa yang terpampang di hadapannya. Kacamata berlensa redup menyembunyikan warna matanya serta alis bertaut samar. Konsentrasinya telah buyar akibat suara si pendatang tersebut.

Di dadanya terdapat sebuah nametag kecil bertuliskan, Fang Kanayama - First Officer of General Affairs.

"Maksudmu apa, Sai?" tanya Fang pada pria yang tengah menenteng tablet putih tipis.

"Sudah ada salinan laporannya dikirimkan ke tabletmu," ujar Sai. Matanya melirik ke arah layar sentuh besar tersebut. "Oh, kau belum membacanya?"

"Belum, Duri dari Departemen Kehutanan ada di video tadi," sahut Fang sembari menarikan jemarinya pada kaca layar. Ia membuka dokumen masuk tersebut dengan cepat, tampak beberapa lembar kertas dokumen berformat mirip jurnal terbentang luas.

Fang menatap sekilas ringkasan laporan tersebut dan melihat kode warnanya. Biru tua.

"Taufan? Ini keluhan dari Departemen Atmosfer?"

"Ah ya, sebenarnya Menara juga membantu laporan ini," kata Sai. "Solar dari Departemen Antariksa yang pertama kali melaporkannya. Ia minta diriset lagi dan karena masuk ranah Taufan, maka ia kirimkan laporannya pada kita semua."

Fang mengerutkan alis dan membalikkan tubuhnya pada layar sentuh raksasa di depannya, matanya terbelalak ketika membaca detail paling penting yang terlewatkan.

"Ini bahaya sekali ..."

.

.

dua

.

.

"Berbahaya bagaimana?"

Taufan berlari di koridor kaca tersebut. Tampak jelas hamparan laut dari beningnya kaca yang membentang bak permadani biru ningrat. Sayangnya cantik paras samudra tak mampu memupuskan kekalutan Taufan, pria muda berambut gelap itu. Ia melewatkan saja lanskap gemerlap tersebut, kemelut masalahnya membetot akal.

"Laporan dari Menara ada aktivitas mencurigakan saat jaring-jarang mesosfer dari Solar terusik. Ketika peringatannya dianalisis, ternyata teknologi asing memasuki atmosfer tanpa izin," ujar seorang wanita manis berkerudung hijau tua. "Sekarang benda itu berkeliaran di zona stratosfer. Tim Elangmu dan Tim Aurora bawahan Solar sedang menangani situasi."

"Kenapa aku yang belakangan tahu, Shielda?" protes Taufan pada hologram yang terpancar dari jamnya tersebut.

"Karena kau anggota elite dari departemen ini, kau bukan lagi dalam grup cepat tanggap," terang Shielda. Walau hanya dalam bentuk hologram, wanita anggun itu tetap dengan jelas menampakkan raut lelahnya.

"Oke, oke. Hoverboard-ku sudah diperbaiki bukan?"

"Betul, Nut sudah menaikkan tahap hoverboard-mu. Lebih tahan hempasan dan kontrolnya lebih halus," ujar Shielda seraya menatap layar sentuh di sisinya. "Perantimu sudah siap di hanger. Kali ini, jangan bersiar-siar lagi tanpa izin."

"Baik, baik," balas Taufan sekenanya.

"Shielda over and out," tutup wanita muda tersebut. Hologramnya segera menghilang. Layar sentuh jam tersebut menyala sebentar menampilkan fitur utama sebelum masuk mode tidur.

Taufan terus berderap di koridor tersebut. Pikirannya bercabang. Jika sampai ada dua tim dikirim hingga melibatkan regu dari pihak Solar, mungkin ini ancaman yang sangat serius. Selain itu, Taufan sendiri yang merupakan anggota elite dari departemen biasanya tidak ikut terjun kecuali di situasi yang sangat darurat. Kemungkinan terburuknya, itu adalah pesawat mata-mata negara asing. Bisa kacau jika pekerjaannya harus tersandung politik internasional dan agenda tersembunyi. Taufan adalah orang yang sederhana, ia tak paham intrik-intrik semacam itu.

Taufan menghela napas dan menerobos pintu utama hanger, matanya liar mencari sosok Nut. Tidak sulit menemukan teknisi mencolok itu, ia dan krunya tengah berdiri mengelilingi sebuah hoverboard biru dengan tiga kabel warna terpasang. Benda ganjil itu melayang di udara, panjang dan lebarnya hampir sama dengan papan luncur yang biasa mencecah ombak pantai. Taufan segera menghampiri kerumunan kecil tersebut.

"Nut!" teriaknya antusias, senyuman lebar terbentuk. Teknisi berambut gimbal tersebut mengangkat wajah dari tablet dan mendapati sosok Taufan yang berlari ke arahnya.

"Taufan! Cepat kemari!" seru Nut seraya mengepakkan tangannya karena cemas. "Baterainya baru saja terisi dan sudah sinergis dengan jam kuasamu. Koordinatnya akan kukirim, oke?"

"Sebentar—"

"Jangan buang waktu, Taufan! Aku harus supervisi misi ini. Tim Elang sedang menyasar ke sana sekarang," ujar Nut kalut. Ia langsung berseru pada teknisi bawahannya. "Cepat pasangkan perangkatnya!"

.

.

tiga

.

.

"Ini sangat tidak biasa, Ketua. Awalnya, spacecraft di lapisan termosfer mengirimkan sinyal benda asing saja. Kami mengira itu asteroid, namun tak ada tanda-tanda terbakar atau berkurang ukurannya saat mengusik jaring aircraft di lapisan stratosfer. Selain itu, data hasil pindaian dari aircraft kami menyatakan kalau itu memancarkan gelombang yang hanya unik milik teknologi," tutup seorang pemuda berkacamata lensa buram. Ia berada pada layar besar di ruangan bridge, tempat yang biasanya ditempati ketua atau pimpinan misi untuk mengawasi segala kegiatan di lembaga. Ruangan itu cukup luas dengan banyak layar jernih terpasang, menampilkan status beberapa misi krusial. Sebagian anggota kru tampak duduk dan berdiri di sana, mengawasi keteraturan operasi setajam elang.

Di tengah formasi kru, seorang pria muda berpostur jangkung berdiri menghadap layar utama. Mata jelinya memandang video wajah sang pelapor yang terpajang untuk semua anggota.

"Saya menduga mungkin hanya pesawat militer negara lain," imbuh si pelapor. Kacamata buramnya terlihat agak jingga dari layar. "Itu teknologi asing, Ketua Kaizo."

"Walau ada kemungkinan tersebut, yang pasti ia sudah tertangkap basah dan melanggar perbatasan udara," ujar Kaizo, lengannya ia lipat di dada. "Solar, laksanakan protokol seperti biasa. Angkatan udara akan kontak pada pesawat asing itu dan jika tidak dihiraukan atau merespons dengan agresif, kau tahu apa yang harus kau lakukan."

Solar—nama pemuda dalam layar itu—hanya bisa menatap wajah dingin sang ketua dengan raut tegang. Mata kelabunya selayaknya mega mendung sebelum badai berpusat. Sebulir keringat dingin mengalir, walau ruangan tempatnya berdiam dingin sekali.

Memang lembaga mereka bekerja sama dengan tentara. Pada dasarnya, mereka semua yang ada di lembaga tersebut melakoni pelatihan militer berkesinambungan walau berbeda kurikulum. Bedanya ialah mereka memegang sfera kuasa, sebuah senjata mutakhir berdaya hancur masif. Solar, anggota eksklusif dari Departemen Antariksa memegang sfera kuasa terdahsyat dibanding enam departemen lain. Ini karena ancaman luar bumi yang kerap membawa senjata nuklir rumit menjadikan Departemen Antariksa bergandengan dengan Angkatan Udara untuk menetralkan ancaman.

Sayangnya selama masa Solar menjabat sebagai pembina Departemen Antariksa—ia 22 tahun sekarang dan ia dilantik ketika menginjak 17 tahun akibat kecerdasannya—Solar tak pernah dilimpahi peperangan dan penumpasan. Bagaimana jika itu pesawat berawak? Apa Ketua Kaizo baru saja memerintahkannya untuk menjadi pembunuh?

Solar meneguk ludah.

"Ketua, mungkin—"

"Ada alasan mengapa departemenmu adalah satu-satunya yang mendapat mandat sfera terganas," potong Kaizo. "Itu untuk menetralkan ancaman kolonialisme dan imperialisme dari luar bumi. Makhluk ekstraterestrial ada nyatanya dan ancaman itu pernah terjadi di beberapa negara."

Ekspresi Solar kosong dari emosi, seolah ia terpaku karena serabut saraf otaknya yang berpacu ratusan kilometer per menit. Ia mengepalkan tangan, berusaha menghilangkan kecamuk pikirannya. Suaranya tercekat, ia hanya memandang Ketua Kaizo dengan setengah tak percaya berbaur urgensi.

Sang pemimpin mengerutkan dahi, rasa tak suka mulai menggerogoti.

"Apa kau paham, Solar? Atau aku harus menggantimu dengan orang yang lebih berkepala dingin dalam kemudi ini?"

Solar tersentak. Ketua Kaizo tampak sangat mengintimidasi walau hanya dari layar. Ia adalah pria yang benci dibantah, sedikit sadis, pragmatis, serta motor penggerak Pusat Penanggulangan Bencana ini. Solar pikir memang masuk akal perintahnya, mereka hanya melindungi warga sipil saja dari ancaman fatal. Orang-orang itu datang kemari dengan niat tak baik.

"Tak ada ruang untuk keraguan di sini," ujarnya.

Solar mengangguk.

.

.

empat

.

.

"Kau siap?" tanya Nut dari komunikator.

"Siap!" seru Taufan dari pintu pesawat yang terbuka. Angin kencang menyeruak masuk, suara derunya menulikan telinganya. Dari ketinggian ribuan meter ini, permukaan bumi hanya terlihat sebagai warna cerah hijau berbaur cokelat. Dada Taufan berdentum keras, kaki dan tangannya menegang. Ia familier dengan sensasi ini. Melambung tinggi nun jauh di langit, angin beku menerpa wajahnya, dan gelaran kulit bumi menyerupai karpet raksasa. Ia mabuk adrenalin yang menggelitik tiap saraf tubuhnya dalam respons bertarung atau lari.

"Deploy!" teriak Nut di interkom.

Bak kolibri yang terbebas dari sangkar, Taufan melompat dari pintu pesawat, hoverboard melesat cepat. Sang bayu berseluncur lihai membelah udara, pakaian khusus berbahan sintetis membalutnya dari leher hingga kaki. Sepatunya terpasang erat pada kedua kaki serta hoverboard tersebut. Sebuah kacamata goggle canggih terpasang dari mata hingga menutupi telinga sebagai perlindungan dari tajamnya angin ganas.

Taufan bermanuver, napasnya memburu. Ia tahu jika mustahil menghirup oksigen pada lapisan atmosfer setinggi ini, tetapi hoverboard-nya melindunginya dalam zona khusus. Taufan terbang kian meninggi, layar kecil pada goggle miliknya menunjukkan altitude belasan ribu meter dan terus bertambah dengan ETA 10 menit.

Taufan hendak melapor pada Nut di radio, hingga tiba-tiba ia melihat sekelebat kilat dan hoverboard-nya oleng menghindari apa pun benda tersebut. Napas Taufan tersembur keluar saat ia tiba-tiba terseret momentum papan seluncurnya, ia tahu jika hoverboard ini dirancang khusus dalam mode otomatis menghindar proyektil.

Hanya saja Taufan tak tahu proyektil apa yang hampir mengenainya.

Taufan menoleh ke arah berlawanan, kacamata goggle miliknya menampilkan data kosong, tak mampu mengidentifikasi benda tersebut. Ia memutuskan menghubungi Nut.

"Nut, ada objek misterius hampir mengenaiku tadi."

"Huh? Kacamatamu tidak mengirimkan data apa pun ke sini," sangkal Nut.

"Aku tahu apa yang kulihat tadi. Mungkinkah asteroid?"

"Kalau asteroid, seharusnya sudah dikenal oleh komputer. Biarkan aku memproses data dahulu," putus Nut. "Kau tahu apa yang harus kau lakukan."

Taufan kembali berseluncur. Data di kacamatanya menunjukkan ia telah tiba di lapisan stratosfer, lapisan yang kaya ozon untuk melindungi bumi dari radiasi ultraviolet. Radiasi matahari, terutama UV-C, dapat memusnahkan kehidupan di bumi jika tidak ditangkal oleh ozon tebal di stratosfer.

Tidak ada oksigen di stratosfer. Ozon beracun jika terhirup manusia, karena itu hoverboard Taufan memancarkan zona sendiri di sekelilingnya yang penuh oksigen dan tekanan udara yang memadai. Taufan menikmati misi bersama papan seluncur canggih ini, ia hanya menyayangkan adanya kemungkinan bentrok berdarah.

"Taufan, ada objek asing tak jauh dari sana," ujar Nut dari radio di telinganya. Nadanya penuh urgensi.

"Oke, arah mana?"

"Arah jam 10."

Tiba-tiba hoverboard-nya oleng lagi dan seberkas cahaya jingga kemerahan melesat hampir mengenainya. Taufan tak habis pikir, ia segera terbang menuju arah tersebut. Ia tahu sensor di papan seluncurnya akan menghindari segala serangan. Nut mengatakan ada peningkatan dalam performa dan respons baik dalam persepsi lingkungannya, Taufan tak terlalu khawatir. Nut itu cukup perfeksionis dalam bidangnya.

"Taufan, aku baru selesai menganalisis jenis proyektil tersebut dan itu laser. Perkiraanku, penyusup tersebut—"

Suara Nut tiba-tiba hilang dari komunikator. Taufan tersentak.

"Nut? Nut! Halo?"

Tak ada suara, hanya senyap pada langit yang seolah tanpa muara dan hulu. Taufan untuk sesaat merasa bulu romanya menegak, tetapi ia tahan dan kembali melesat menuju destinasi.

ETA 2 menit. Taufan masih tak menemukan apa pun di sekelilingnya. Aneh.

Nut berkata kalau Tim Elang dari departemen Taufan dan Tim Aurora dari departemen Solar sudah meluncur dan melakukan penanganan. Taufan di sini hanya sebagai bala bantuan darurat, tetapi ganjil sekali ia tak melihat apa pun di TKP. Nut pun hilang kontak. Apa yang terjadi? Ke mana semua orang? Ini situasi yang sangat aneh.

Tiba-tiba, pendengarannya menangkap bunyi deru halus mirip baling-baling pesawat. Suaranya lama-kelamaan semakin nyaring, hingga menyerupai desingan peluru. Taufan menolehkan kepala ke segala arah, tetapi ia tak menemukan wujud dari suara misterius tersebut hingga ia menangkap bayangan besar dari sudut matanya.

Di bawah!

Taufan menyingkir sejauh mungkin, jantungnya berdegup kencang. Benda raksasa itu berwarna kelabu mendung. Taufan merasa wahana antariksa sebesar itu cukup menampung kru yang sedikit. Bentuknya menyerupai satelit International Space Station dengan dua belas tangan terbentang panjang bak laba-laba raksasa. Jelas sekali ini bukan pesawat jenis bepergian, tetapi untuk mengorbit seperti ISS.

Barangkali tipe canggih yang mampu melakukan keduanya? Taufan rasa ini teknologi yang terlalu asing. Negara apa yang merilis tipe seperti ini, bahkan berani mengoperasikannya di zona negara lain pula!

Sebuah sudut dari badan utama pesawat tersebut tiba-tiba mengeluarkan sinar jingga kemerahan yang familier. Taufan membelalakkan matanya.

"Ya Allah!"

Hoverboard-nya meliuk menghindari tembakan tersebut, Taufan meringis saat kelebatan sinar mematikan itu melewatinya. Entah bagaimana daya hancurnya, yang jelas Taufan tak berminat mengujinya.

"Jelas sekali kalian berniat jahat kemari! Hmp!" dengkus Taufan dengan pipi memerah akibat bersemangat. Ia mengaktifkan jam kuasanya. "Tapi aku tak bisa membiarkan kalian berkeliaran di negaraku dengan itikad tak baik."

Layar jam kuasanya menampilkan logo angin tornado—bersamaan dengan itu, angin kencang berembus dan mengiris-iris badan pesawat tersebut. Ekspresi Taufan tampak hilang dari senyum khasnya, ia menjulurkan kedua tangannya.

"Pusaran Gergasi!"

Angin yang ada semakin menguat dan berpusat di sekitar pesawat, lama-kelamaan membungkus pesawat itu dalam tornado raksasa. Pesawat asing itu limbung akibat terbawa arusnya, terseret kepayahan dan berputar-putar. Taufan menyeringai, mata birunya berpendar samar.

"Nih, aku antar pulang! Lontaran Taufan!"

Tepat sebelum Taufan melempar jauh pesawat serupa laba-laba itu, ia tiba-tiba terhempas ke sisi kanannya. Kurang dari sedetik kemudian, seberkas sinar melaluinya dan mengenai tempat ia berdiri sebelumnya. Taufan terdiam dengan wajah kaget. Dari mana asalnya? Yang pasti bukan dari pesawat yang berada dalam perangkap tornadonya.

Hoverboard-nya menderu halus. Lagi, sensor super sensitif dari papan seluncurnya yang menyelamatkan dirinya.

"Kau salah satu dari mereka?"

Sebuah suara berat asing bergaung tak jauh darinya. Taufan membalikkan badannya dan melihat seseorang melayang belasan meter dari tempatnya. Posturnya tinggi penuh otot dan wajahnya pucat kurus seperti tengkorak. Pada kedua kakinya, ada seperangkat peranti yang tersambung pada jetpack kecil di punggung. Ia mengepalkan tangan besarnya yang dibungkus senjata.

"Tak masalah apakah kau bala bantuan dua tim itu, kau juga akan bernasib sama."

Taufan membelalakkan matanya, ia sekarang paham mengapa di sini tak ada Tim Elang dan Tim Aurora.

"Kau apakan mereka semua, hah?" hardik Taufan. "Siapa kau? Mau apa kau kemari?"

"Aku kemari dalam misi mulia," ujarnya dengan pandangan meremehkan. "Mengenai nasib teman-temanmu, sebentar lagi kau akan tahu."

Ia menyeringai bak predator dan mengacungkan tangan kanan yang dipasangi senjata aneh.

Taufan sempat menghindar sebelum ia dihujani peluru-peluru laser. Cahaya penghancur jingga kemerahan berkelebat cepat di sekelilingnya, tetapi sensor hoverboard lebih mampu mendeteksi tiap bidikan. Jantung Taufan bertabuhan seperti drum, ia selamat hanya dengan hitungan milimeter saja. Bahkan ia mampu merasakan sensasi panas dari bekas lintasan pelurunya.

Menghadapi lawan dengan serangan jarak jauh dan bertubi-tubi sepertinya harus dihadapi dengan pertahanan jarak jauh seperti Taufan atau serangan super cepat milik Halilintar maupun Solar. Taufan berencana akan melemparkan serangan besar jarak jauh, memanfaatkan kelengahan musuh dan melumpuhkannya.

"Pusaran Taufan!"

Angin tornado berputar cepat menyerupai gasing dan menerjang lawannya. Musuhnya terlempar cukup jauh, momen itu dimanfaatkan Taufan untuk melesat secepat mungkin dan menyiapkan jaring peledak besutan Nut. Ia akan bawa kriminal ini ke markas untuk diinterogasi!

Taufan melempar sebuah benda kecil ke arah lawan. Benda itu langsung meledak menjadi serat-serat alot berwarna kebiruan. Jaring besar itu hampir menangkap lawannya hingga tiba-tiba saja ia mengacungkan tangan kirinya dan menembakkan beberapa bola logam.

Bola-bola logam tersebut mengacaukan momentum tembakan jaring, menyebabkan Taufan gagal meringkus hidup-hidup musuhnya. Dalam sekejap, Taufan segera pulih dari keterkejutannya dan melontarkan serangan ofensif.

"Bola-bola Angin!"

Serangan gumpalan angin sebesar bola basket menghujani lawannya yang berhasil mengelak. Namun, jumlahnya terlalu banyak. Sebuah bola angin menghantam bahu, menyebabkan ia oleng. Berikutnya dada, lengan, perut, dan rahang menjadi sasaran Taufan secara bersamaan. Kriminal tersebut limbung, ia tak menyangka bola-bola angin tersebut berisi tenaga memukul yang besar. Ia menggeram dan membidik Taufan.

Dengan cepat, Taufan menyerang sebelum lawannya sempat mengeluarkan serangan.

"Pusaran Taufan!"

Lawannya melontarkan sebuah bola kecil sebelum ia diterjang tornado kuat. Taufan tak menggubris bola kecil tersebut, mengira akan tergerus oleh badai buatannya. Hingga sekonyong-konyongnya bola itu meledak menjadi kilauan cahaya, seperti kilat sebelum petir menyambar. Taufan membelalakkan matanya, instingnya berdering nyaring dalam bahaya. Namun, belum sempat ia bereaksi, tiba-tiba saja ia dan hoverboard-nya terjatuh.

Taufan terperanjat, ia berusaha mengendalikan papan seluncurnya, tetapi gagal. Hoverboard itu seakan kehilangan tenaga dan mati tanpa sebab, menyebabkan Taufan terancam terjun bebas dari ketinggian puluhan kilometer ini. Sekilas Taufan melihat musuhnya tertawa, apakah bola kilat itu yang mengacaukan hoverboard-nya?

Musuhnya menyeringai puas, wajahnya yang mirip tengkorak tampak seperti monster sekarang.

"Nikmatilah pemandangan ke bawah sebelum badanmu hancur," tawanya menggema. "Silakan bergabung dengan rekanmu yang lain."

Musuhnya lalu melesat pergi, pesawat asing tersebut mengekorinya.

Taufan harus gagal melaksanakan misi dan mencegah kemungkaran orang-orang itu. Dengan cepat Taufan menyalakan jam kuasanya, sayangnya layar itu gelap tak bercahaya. Mati total seperti papan seluncurnya. Taufan menekan tombol darurat pada jam tersebut, tetapi tetap tak responsif. Ia tidak akan mampu terbang dengan bantuan kuasanya, sekarang ia hanya manusia biasa tanpa apa-apa bahkan parasut sekalipun.

Taufan sadar di zona stratosfer, selama beberapa saat manusia masih melayang bebas sebelum terhempas ke tanah. Itu berarti, ia hanya memiliki waktu hitungan menit untuk menyalakan lagi hoverboard-nya. Taufan menekan tombol daya darurat pada sisi papan seluncurnya dan tetap tak bergeming. Apa pun yang bom kilat itu lakukan telah berhasil merusak total segala teknologi di sekitarnya. Taufan panik, ia mulai merasakan tubuhnya dengan konstan tertarik ke bawah. Selama ini ia tak pernah takut akan ketinggian, ia menyukai terbang bebas di angkasa. Kini, angkasa mengusirnya dan ia harus kembali ke bumi dalam tubuh remuk tak berbentuk.

"Ya Allah, apa ini akhirku?" batin Taufan. Sendirian di langit, benarlah apa yang dikatakan mereka jika kematian akan menjemput dalam kondisi yang paling sering diperbuat selama hidup. Kini ia akan gugur dalam bertugas, di atas ini, terbang setinggi apa pun ia akan kembali jua berkalang tanah. Taufan merasa bimbang, dadanya berlubang. Apakah yang ia lakukan sudah benar? Apa ia sudah berjuang keras?

Kedua kakinya terlepas dari hoverboard, Taufan menyaksikan papan biru itu melayang ke arah berlawanan meninggalkannya. Taufan rasa, memang inilah saatnya. Ia hanya mampu fokus memanfaatkan detik-detik terakhir dalam zikir menenangkan ketakutannya, agak menyesal pula belum meminta maaf sekali lagi pada ibu, ayah dan keenam saudaranya.

Tiba-tiba ia merasakan pagutan di pundak dan lengannya, mengangkat tubuhnya dari tarikan gravitasi. Taufan terkejut dan sebuah suara membuyarkan lamunan.

"Taufan! Apa yang terjadi?" serunya.

Muncul wajah Solar yang ditutupi kacamata buram berwarna jingga di dekat wajah Taufan, alisnya berkerut khawatir. Tubuhnya diselimuti pendar cahaya akibat kuasa mataharinya. Ia terlalu berkilauan. Taufan lega sekali melihat si bungsu, ia belum pernah selega ini bertemu orang lain.

"Solar, alhamdulillah! Hoverboard dan jam kuasaku kehilangan daya. Musuh kita memiliki bom kilat yang mampu merusak teknologi," jelas Taufan.

"Terlambat sedikit saja kau bisa mati tadi," komentar Solar dengan ekspresi tak percaya.

"Ah, bagaimana kau bisa di sini?"

"Nut menghubungiku. Kau tiba-tiba hilang dari radar dan komunikasi," papar Solar sembari mengalungkan lengan Taufan ke pundaknya. Taufan mendesis samar.

"Tampaknya orang itu melakukan hal yang sama pada Tim Elang dan Tim Aurora ... ia mampu menciptakan zona steril dan menghabisi pengganggu."

Solar mengerutkan kening, air mukanya begitu keruh tanda ia menahan rasa benci.

"Biar aku jump start hoverboard dan jam kuasamu, berbahaya jika kau bernapas di zona stratosfer dan bermandikan radiasi ultraviolet tanpa perlindungan dari hoverboard."

Solar memapah Taufan dan melesat mengejar hoverboard yang melayang menjauh. Taufan tetap merasa tak nyaman dengan kecepatan pergerakan Solar, ia bahkan lebih cepat daripada Halilintar. Belum lagi kuasanya meninggalkan jejak hawa panas yang kering, seolah darah Taufan menguap dari pori-porinya.

Dalam sekejap mata, Solar berpindah tempat dan menangkap papan luncur tersebut. Taufan memegangi hoverboard-nya selama Solar membongkar papan luncurnya dan memasangkan suatu benda kecil pada mesin.

Sedetik kemudian, hoverboard itu aktif dan menderu halus lagi. Bersamaan dengan itu, jam kuasa Taufan kembali hidup dengan layar menampilkan logo tornado. Taufan tampak gembira, ia segera menaiki papan seluncurnya untuk mengetes keseimbangannya. Dengan bersemangat, ia menukik ke atas seraya melakukan manuver akrobatik dan menemukan papannya kembali normal.

"Woah, terima kasih Solar! Jazakallahkhair!"

"Jangan terlalu leluasa," tegas Solar. "Itu solusi sementara dan baru cetak biru. Kita harus selesaikan semuanya dalam waktu kurang dari satu jam sebelum hoverboard-mu mati lagi."

"Okeeee!" sorak Taufan. Ia terbang melesat membelah udara, sedangkan Solar mengiringi di sisinya. Tak seperti Taufan yang memerlukan perangkat, kuasa Solar memberikannya kemampuan untuk terbang dan melayang. Jamnya mengonversi energi kosmik menjadi tenaga besar, itu sebabnya Solar lebih nyaman berada di angkasa daripada di bumi.

"Bersiap!" seru Taufan, telah hilang humor dari matanya.

Mereka menemui wahana antariksa alien itu tengah melayang dari kejauhan, musuhnya berada tak jauh darinya. Taufan rasa, ia penjaga dari pesawat tersebut, tetapi apa misi mereka ke bumi?

"Dengar, aku ada rencana," ujar Solar. "Jelas sekali ia menjaga pesawat tersebut dari gangguan, bermakna kita harus melumpuhkan pesawat itu untuk menggagalkan agenda mereka. Aku rasa, apa pun yang sedang atau akan dilakukan pesawat tersebut jauh lebih berbahaya daripada alien itu. Menurutmu mengapa ia dipersenjatai teknologi canggih untuk menjamin keberhasilan misinya?"

Mata Taufan membola dalam sadar.

"Jadi, bagaimana formasinya?"

"Seranganku lebih jitu dan lebih berdaya besar, walau memakan banyak tenaga," terang Solar. "Aku akan fokus melumpuhkan wahana antariksanya, kau alihkan perhatian penjaganya."

"Tapi, Solar, nanti ia akan merusak hoverboard-ku lagi dan formasi kita kacau," protes Taufan. Solar mengibaskan tangannya.

"Tidak, tidak. Chip yang sudah kupasang di dalam papanmu akan melindungimu dari disrupsi gelombang elektromagnetik apa pun, tapi efeknya hanya satu jam. Setelah itu, chip-nya akan terlalu panas hingga rusak."

"Oooh, terbaiklah Solar! Ayo!"

Taufan melesat menjauh, berdesing bak anak panah. Ia harus pergi dari sana sebelum badannya terpanggang akibat hawa panas serangan Solar. Lagi pula, ia ada pekerjaan yang harus dituntaskan!

Usai kepergian kakaknya, Solar mengatupkan jemarinya, seluruh tubuh dan matanya mulai diliputi sinar terang. "Fokus, fokus!" batinnya. Gelombang panas mulai menyengat ke sekeliling, menyebabkan udara seolah bergetar akibat kuasanya. Derasnya energi konversi kosmik mulai bertumpu pada tangan, membentuk pola bulan sabit besar dan ia berseru.

"Tembakan Solar Gerhana!"

Sementara itu, Taufan membelah udara dengan lincah, meluncur cepat menuju lawannya. Tangannya telah mengumpulkan energi kuasa, bersiap melempar serangan. Dari kejauhan, musuh tersebut tampak membelakanginya seolah belum menyadari kedatangan Taufan. Ia memanfaatkan kelengahan tersebut.

"Sabit-sabit Angin!"

Belasan serangan pisau angin berbentuk sabit terbang cepat menuju sasaran. Taufan mengira ia akan menang mudah, hingga tiba-tiba alien itu berbalik badan sambil menyeringai.

"Menarik sekali!"

Ia berhasil menghindari semua serangan dengan mudah, tangannya membidik ke arah Taufan. Moncong dari senjata itu tampak lebih besar, Taufan mencium serangan berbahaya.

Tiga buah bola hitam ditembak keluar. Taufan baru saja hendak mengelak sebelum ketiga bola itu meledak secara bersamaan.

"Kkkkhhhaaah!"

Gelombang kejut dari ledakannya membuat gendang telinga Taufan pecah dan ia langsung pingsan. Tubuhnya tersungkur di atas hoverboard. Ia tak merosot jatuh akibat sepatunya yang terpasang ke papan luncur. Merasakan kemenangan, alien itu terbang mendekat, tangannya yang dipasangi senjata kembali membidik Taufan. Kali ini, penganggu itu akan benar-benar tamat.

BAM!

Sebuah ledakan mengguncang langit terjadi tak jauh dari tempat mereka berada. Alien itu menoleh dan menyaksikan wahana antariksa miliknya hancur separuh. Bara api muncul dari sisi yang berlubang dan asap hitam mulai membumbung tebal. Perlahan, pesawat itu mulai jatuh ditarik gravitasi. Gagal sudah misinya dengan rusak total pada wahana itu.

Kriminal tersebut terperangah bercampur marah luar biasa. Dari mana arah serangannya? Apakah bocah di depannya yang menanamkan bahan peledak tanpa ia sadari?

Tidak, tidak mungkin.

Tanpa sengaja, alien itu menangkap sosok Solar dari kejauhan. Ia menggeram marah. Rupanya dia biang kerok dari serangan fatal tersebut.

"Bocah penganggu!" raungnya.

Kriminal itu mengabaikan Taufan yang pingsan dan langsung terbang cepat menuju Solar, meriam tangannya mulai tersusun kembali menjadi senjata besar dengan kabel-kabel menonjol tersambung. Solar yang menyaksikan dirinya tersudut lantas bersiap. Sebagian besar tenaganya sudah terkuras. Ia mungkin hanya mampu mengeluarkan serangan kecil.

Meriam dan kabel-kabel di tangan alien itu bercahaya merah, sebuah serangan besar akan mengenai Solar dan ia bersiap menghindar. Tepat sesaat sebelum ledakan terjadi, terdengar bunyi aneh dari belakang.

Psshuut!

Alien itu tiba-tiba merasakan tubuhnya terikat dan ia melihat jaring-jaring alot membungkusnya dari kepala hingga kaki. Marah luar biasa, ia menoleh ke arah belakang dan melihat Taufan berdiri tegak pada hoverboard itu dalam kondisi segar bugar. Tangannya terulur memegang pelontar ledakan jaring penangkap, ia tersenyum tajam.

"Papan luncurku ini melindungiku juga dari efek ledakan," ucapnya. "Nah sekarang, kau akan mempertanggungjawabkan perbuatanmu."

Alien itu mengeluarkan suara auman memekakkan telinga.

.

.

lima

.

.

"Namanya Lokjaw, ia dari Planet Trigus di Galaksi Bima Sakti. Alien itu kemari karena hendak mencuri ozon di bumi dan membawanya ke planetnya."

Fang mengusap layar sentuh di tablet tipis miliknya, ia duduk menghadap Taufan yang tengah tergolek di tempat tidur ruang perawatan. Di meja kabinet, ada beberapa kotak bingkisan dan sebuket bunga dari Duri. Ia beruntung hanya bunga biasa dan bukan pemakan daging. Jendela terbuka lebar, membiarkan angin masuk membawa wangi bunga lemon. Terlihat langit muram berawan mendung bergulung-gulung laksana kain kelabu yang berkerut-kerut.

Mata Taufan beradu dengan kincir angin kertas di sisi jendela. Baling-balingnya berputar perlahan ditiup angin, bersama aneka pernak-pernik kristal yang digantung pada palang jendela. Bergoyang lembut mengeluarkan bunyi halus. Mungkin kreasi Yaya, rekannya.

Sebuah pikiran hinggap di benaknya, pengingat suram yang berusaha Taufan hindari, tetapi ia perlu mengetahuinya.

"Kapan pemakaman anggota Tim Aurora dan Tim Elang?"

"Esok, mungkin. Ada 10 orang yang gugur," jawab Fang muram. "Banyak dari mereka yang dikuburkan dengan jasad tak utuh."

Dada Taufan terasa sesak. Ini musibah dan hari berkabung untuk departemen mereka, walau Taufan lebih menyukai menyorot sisi heroik mereka dan meninggal dalam kemuliaan. Tak banyak yang mampu hidup hingga mati ketika berjuang, bukankah akhir cerita ditulis sebagaimana awal dan tengahnya?

Yang mati telah selesai legasinya. Yang hidup ... mereka menyelesaikan apa yang ditinggalkan.

Taufan mengalihkan matanya dan cepat-cepat memotong arah pikirannya sebelum berbelok ke jalur yang gelap. Ia menatap Fang yang duduk di kanannya.

"Untuk tujuan apa ozon itu dicuri?" tanya Taufan, tangannya memainkan ujung piamanya.

Fang mencebikkan bibirnya.

"Planet Trigus itu memiliki banyak lubang ozon akibat polusi industri dan kendaraan ... banyak area yang mengalami radiasi berbahaya dari bintang seperti kanker dan kerusakan kulit," papar Fang. "Radiasi tersebut merusak DNA pada tumbuhan dan hewan, akibatnya terjadi wabah kelaparan di banyak tempat."

Ekspresi Taufan tampak melankolis. Ia menghela nafas.

"Di bumi pun, banyak lubang ozon, bukan? Kita juga bisa bernasib sama akibat radiasi matahari ..."

"Orang awam jarang menyadari kalau secara basis, matahari ialah reaktor nuklir terbesar di tata surya. Reaksi fisi dan fusi terjadi secara simultan dan bahkan reaktor nuklir buatan manusia pun memerlukan pengamanan ketat agar tidak berimbas ke penduduk. Bumi juga memiliki pengamanan ketat, salah satunya atmosfer yang berlapis-lapis," jelas Fang. Ia mengetuk layar tabletnya dengan cepat.

"Alhamdulillah, subhanallah wa bihamdih," ucap Taufan lirih. "Kitanya saja yang perlu menjaga titipan-Nya."

Fang bergumam kecil. Ia mengangkat wajahnya dari layar tablet.

"Bagaimana telingamu?"

"Oh, aku sudah baikan, alhamdulillah."

"Laporan Solar menyatakan kalau zona hoverboard berhasil meredam gelombang kejut dari bom tersebut sebanyak 88%," ucap Fang. "Itu bermakna kau juga terkena dampaknya walau sedikit."

"Ah, tapi masih jauh lebih baik!" kilah Taufan optimis. "Aku bisa mati saat itu juga, tapi qadarullah aku selamat ... "

Fang tersenyum tipis. Ia mengunci tabletnya.

"Ketua Kaizo mengirimkan ucapan selamat, sayang ia tak bisa membesukmu sekarang. Mungkin esok bersama petinggi yang lain."

Wajah Taufan langsung memerah malu.

"Eeeeeh, tapi Solar juga membantuku, jadi tak perlu membuang waktu berharga Ketua Kaizo dan petinggi lainnya! Aku, aku tak melakukan hal sebesar itu!" tolak Taufan. Ia sungkan sekali kalau dijenguk para petinggi dan seniornya. Rasanya tersanjung bercampur takut merepotkan! Ia bukan siapa-siapa dalam skema besar di bumi ini, hanya titik kecil dari garis-garis raksasa.

Fang tersenyum mafhum mendengarnya, seakan paham dengan tabiat pemalu temannya itu. Ucapan Fang barusan lantas membuat Taufan agak salah tingkah.

"Daripada itu, bagaimana nasib Lokjaw?" alih Taufan.

"Ia ditahan sekarang dan akan diadili. Mungkin ia akan dipenjara di bulan," ujar Solar. "Penjara di bulan hanya untuk kriminal berbahaya."

"Tapi ... walau caranya salah, ia hanya ingin menyelamatkan planetnya," argumen Taufan. "Apa sebaiknya kita bantu saja mereka?"

Ekspresi Fang mengeras, mendingin dan kali itu ia mengingatkan Taufan pada Ketua Kaizo. Kalau dipikir, wajah mereka mirip hanya pembawaan diri yang berbeda. Walau begitu, Fang tetap memiliki ketegasan dan doktrin yang sama dengan kakaknya.

"Taufan, jangan naif. Fakta mereka mengirimkan orang bersenjata canggih untuk mencuri, membunuh dan membiarkan makhluk lain menderita itu menunjukkan karakter asli penduduk planet itu," tutur Fang. "Mereka makhluk tamak dan kejam. Mereka memilih menginvasi dan merusak planet lain daripada serius memperbaiki lingkungan mereka dan introspeksi diri. Kita harus bijak dengan siapa kita mengulurkan tangan."

Taufan tak membalas, ia mencerna pandangan Fang tersebut. Memang betul Lokjaw datang dengan itikad tak baik. Hanya saja Taufan merasa tak tenteram nuraninya saat tahu ada makhluk tak bersalah yang ikut terkena getah dari perbuatan merusak itu. Ia rasa akan selalu terjadi di mana makhluk tak berdosa turut merasakan penderitaan. Mengapa mereka dan kita tak mampu hidup seperti rusa, yang mana hanya memakan yang diperlukan dari alam tanpa merusak sekelilingnya?

"Tapi, bukankah kita sama saja dengan Planet Trigus? Kita menuju pada kehancuran yang sama," gumam Taufan.

Fang mengempaskan punggungnya pada kursi. Ia menaikkan kedua alisnya.

"Memang betul, kita duduk di atas bom waktu. Bumi sebentar lagi tak layak huni," setuju Fang. "Namun, akan selalu ada orang-orang baik yang melakukan perbaikan. Sebaiknya kita membantu mereka, walau hanya perkara remeh-temeh."

Mata Taufan bersinar, ia melemparkan senyuman lebar. Kedua tangannya terkepal penuh semangat.

"Yosh!"

.

.

.

Bersambung.

.

.

Catatan kaki:

Spacecraft: wahana antariksa

Aircraft: pesawat terbang

Hoverboard: papan seluncur terbang

Goggle: kacamata yang menutupi seluruh bagian mata tanpa cela

Altitude: ketinggian

ETA (Estimated Time Arrival): perkiraan waktu tiba

Chapter selanjutnya akan dikerjakan oleh author lain. Penasaran? Tungguin lanjutannya ya!