Kimetsu no Yaiba (c) Kotoharu Gotouge.
Penulis tidak mengambil keuntungan dari fanfiksi ini.
Ditulis untuk Challenge Fragment of The Time.
Paket Challenge: Trio Kamaboko.
Prompt: Tapi kalau kata orang, lengan baju yang tanpa sengaja bersentuhan pun bisa jadi sebuah takdir dari kehidupan sebelumnya. (Even Though I'm Told I Now Have Wings karya Yonezawa Honobu)
.
.
.
biarkan aku pergi menjemput rumah
Sebelum tidur, Zenitsu menghitung. Satu, dua, tiga, empat …
Goresan di pergelangan tangannya terus bertambah, dari hari ke hari. Sebilah pisau pinggang dibawanya ke mana-mana, ia simpan dalam tas selempangnya. Sehari-hari, Zenitsu akan memutari kota, mengantarkan surat, dan kembali ke kamar di lantai atas kantor pos untuk mengukir coretan di pergelangan. Coretan yang dalam sedalam-dalamnya. Hanya untuk menggurat lengannya sendirilah pisau itu bisa berguna …
Tidak pernah ada pintu terbuka untuknya. Tidak pernah.
Anak-anak yang tertawa di jalanan akan buru-buru masuk ke dalam rumah. Jendela ditutup menolak cahaya. Suasana sunyi senyap. Zenitsu akan berjalan perlahan, mengamati bangunan demi bangunan, melewati nomor-nomor rumah satu per satu. Langkahnya diiringi oleh pasang-pasang mata dari balik gorden, yang ketakutan, yang gemetar.
Pemandangan sehari-hari baginya adalah pintu yang tertutup rapat.
Tidak ada suara, kecuali dengingan dalam kepalanya.
Seketika, tempat itu menjadi kota mati. Rumah-rumah kompak menguarkan aura yang seperti pekikan bagi Zenitsu, "Jangan dekati kami!" Buruknya lagi, teriakan-teriakan itu diucapkan dengan tidak berbarengan; mereka saling berkejaran, saling menderu, bercampur dengan derap kaki kuda, langkah lari sepasukan tentara, pedang-pedang yang beradu, dan, dan—
"Zenitsu! ZENITSU! TURUN!"
Terdengar bunyi totokan berkali-kali pada lantai yang menjadi alasnya tidur. Zenitsu membuka mata dengan cepat. Astaga! Ia langsung berdiri sekalipun kesadaran belum terkumpul sepenuhnya, menjadikannya pusing dan kehilangan keseimbangan. Buru-buru ia menggapai susuran dan menuruni tangga. Tidak ada waktu untuk mengatur napas.
Di lantai dasar, ia disambut dengan wajah masam Kaigaku.
Hebat, pikir Zenitsu. Tentu saja ia tidak menganggapnya hebat. Kaigaku pastilah sudah memanggilnya berkali-kali, sebab ia sampai repot-repot menyambar sebilah bambu dan menotok langit-langit. Sasaran totokan seniornya ini begitu presisi pula—persis menotok kotak lantai yang menjadi tempatnya berbaring.
"Mimpi buruk, Zenitsu?" tegur sebuah suara orang tua.
Munculnya Jigorou membuat kedua mata Zenitsu basah. Rasa nyeri karena bersalah merayap naik dari kedua kakinya. Biasanya, pagi-pagi begini Jigorou masih tidur; kakek itu perlu begadang tiap malam untuk memastikan rekap administrasi harian telah sesuai dengan laporan surat keluar-masuk dari kantor pos pusat. Kalau sampai teriakan Kaigaku (dan totokan bambunya) membangunkan Jigorou, berarti tingkat kesulitannya dibangunkan betul-betul kelewatan parahnya.
Suaranya lirih keluar. "Maaf, Kek—"
"Halah, nggak usah pakai maaf-maafan segala!" Kaigaku menyela, ia mengebaskan tangannya dengan kasar seperti berniat mencencang udara. "Ada surat. Cepat antarkan ke alamat tujuannya sana."
Zenitsu melihat beberapa amplop di tangan Kaigaku. Firasatnya buruk. "Ada berapa?"
"Empat," jawab Jigorou.
"Empat?!"
"Sepertinya sempat tertahan di pusat, makanya bisa menumpuk sebanyak itu."
Rasanya ia akan mual.
Pemandangan dalam mimpinya muncul lagi. Ya, tadi ia memang mimpi buruk, hanya saja kesehariannya memang adalah mimpi buruk sejak awal. Bedanya, ketika neraka menghampirinya sewaktu ia tidur, maka kini giliran Zenitsu yang mengundang, bahkan menantang, neraka itu untuk tetap hadir dalam bangunnya.
Zenitsu mengetuk pintu rumah terakhir. Pintu itu terbuka, hanya sedikit, dan sebelah tangan terulur dengan kurang ajarnya tanpa mau menampakkan wajah. "Lekas berikan," ucap suara di ujung sana. Terdengar parau, rasa-rasanya seperti hendak menangis.
Ia menurut. Begitu amplop itu berpindah tangan, buru-buru ia berkata, "Maafkan saya."
Tangan itu segera menarik diri, diiringi suara, "Kamu membunuhnya."
"Saya turut berduka—apa?"
"Kamu yang membunuhnya. Sebab putraku masih hidup sampai kamu datang!"
Pintu terbanting.
Zenitsu terpaku. Air mata baru menggenang di ujung mata, dan mengalir turun mengikuti jejak tangis yang masih tercetak jelas bekasnya. Sayup-sayup, ia bisa mendengar tangisan sesenggukan dari dalam rumah, yang lamat-lamat ia taklagi seyakin itu sebab kalah dengan isakannya sendiri. Diusapnya wajah, tetapi tangis tidak mau berhenti.
Setiap hari, akan ada prajurit Jepang yang gugur.
Perang Besar yang bermula di Eropa sejak Juli 1914 rupanya telah merambah ke Jepang taksampai satu bulan berikutnya, begitu cepat seperti api melahap jerami, meminta nyawa sebagai bayaran. Di antara puluhan, ratusan, atau ribuan tentara yang tewas entah tersayat pedang atau terinjak kuda atau menjadi sasaran dentuman meriam, beberapa di antaranya adalah warga kota tempat Zenitsu tinggal.
Pemberitahuan kabar lelayu itu datang melalui selembar surat yang di dalamnya tercetak huruf-huruf menjemukan. Kesemuanya dengan format awal-tengah-akhir yang sama. Bahkan, terlihat jelas ada kolom kosong dalam surat itu untuk diisi dengan nama si prajurit, yang akan terus berganti dan tergantikan.
Negara menyampaikan belasungkawa yang disalurkan lewat tangan-tangan kecil pengantar surat. Kentara sekali urusan ini tidak dipedulikan oleh para pembesar di atas sana hingga rasanya seperti menghina. "Pokoknya anakmu sudah nasibnya mati. Sudahlah, mau bagaimana lagi. Namanya juga perang. Berterimakasihlah karena kami mau repot-repot memberitahumu. Tidak usah sedih berlarut-larut, karena kami bahkan sudah melupakannya," kira-kira begitu kesan yang ditinggalkan.
Akan tetapi, Zenitsu tidak mau melupakannya.
Setidaknya, ia takkan melupakan jumlahnya.
Karena itulah, setelah mengantarkan empat amplop ke empat rumah berbeda, ia menggurat empat luka baru di pergelangan tangannya. Garis-garis yang selalu dihitungnya sebelum tidur. Satu garis menandai satu nyawa.
Darah merembes, lalu …
.
…
.
… menetes di permukaan tanah.
"Ah, Nezuko! Kamu berdarah lagi!"
Terdengar suara pekikan tertahan yang cepat-cepat dipotong oleh desisan si pemilik nama, "Sssst!" Tapi terlambat. Kepanikan yang sempat muncul telah menarik perhatian kakaknya yang berjaga di depan perkemahan darurat. Terdengar langkah kaki yang tegas memasuki tenda, lurus-lurus ke arahnya tanpa memedulikan pasien-pasien warga sipil yang mengangguk memberi hormat.
Nezuko menelan ludah. Ia menekan erat-erat lengannya untuk menyembunyikan luka. Percuma saja. Jas putih yang ia kenakan sebagai seragam anggota palang merah mencetak jelas garis merah di lengan baju. Kakaknya tidak mengatakan apa-apa selain menjulurkan tangannya, memberi isyarat untuk melihat luka itu. Nezuko menggelengkan kepala kuat-kuat. Keduanya kukuh pada sikap masing-masing hingga akhirnya Tanjirou mengalah.
"Pasti sakit, kan?" tanyanya menuduh.
"Sudah terbiasa kok," jawab Nezuko sembarangan. Diam-diam, ia merasakan nyeri lagi di lengannya. Ia merasakan ada goresan ketiga, lalu disusul goresan keempat. Sialan, perih sekali. Hei, Tuan Kurang Ajar entah di mana, perhitungkan juga rasa sakit belahan jiwamu di seberang lautan sini, dong!
"Kamu pasti belum membuatnya tahu," ujar Tanjirou lagi. "Sebaiknya kamu membuat dia tahu, Nezuko. Kamu nggak perlu menyilet tangan, tapi setidaknya kamu bisa membenturkan siku atau menendang meja. Dia pasti nggak menyadari kalau punya belahan jiwa yang berbagi rasa sakit."
Nezuko menganggukkan kepala. Setelahnya, mereka lanjut mengobrol entah apa. Nezuko tidak ingat, tetapi ia tahu bahwa pasti topik yang biasanya. Penanganan pasien, kabar terbaru perjalanan pengiriman suplai obat-obatan, ketersediaan makanan, hingga kira-kira kapan mereka akan diperbolehkan kembali ke rumah.
Begitu tidak ada percakapan lain, Nezuko mengira kakaknya akan segera kembali ke pos penjagaan. Akan tetapi, Tanjirou hanya berdiri saja. Belum sempat ia bertanya ada apa, tahu-tahu Tanjirou menghela napas panjang. "Kamu pasti nggak akan melakukannya, ya."
"Melakukan apa?"
"Memberi tahu dia. Kamu sengaja nggak mau dia tahu bahwa dia berbagi rasa sakit dengan seseorang."
Nezuko meringis. Ya, ia takkan mencoba memberitahunya. Sekalipun ia tidak tahu manusia macam apa yang mau menyakiti dirinya sendiri setiap hari, tetapi bagaimanapun juga keduanya adalah belahan jiwa bagi satu sama lain. Nezuko rela ikut menanggung rasa sakitnya. "Kak," ucapnya lembut, "aku bisa saja kena sabetan pedang atau tahu-tahu mati dengan luka bakar. Ini nggak apa-apa."
Tanjirou seperti akan mengatakan sesuatu, tetapi ia tahu kalau tidak akan berguna juga. Jadi ia hanya tersenyum lemah, lalu keluar tenda. Nezuko memandangi punggung kakaknya hingga menghilang.
Nezuko dan Tanjirou adalah anggota Palang Merah Jepang.
Beberapa bulan setelah Jepang resmi mengumumkan perang dengan Jerman dan Austria-Hongaria, Palang Merah Jepang mengirimkan anggota-anggotanya ke negara-negara yang membutuhkan bantuan. Negara-negara sasaran tentulah diprioritaskan untuk para anggota Tiga Entente lebih dahulu, yakni Rusia, Prancis, dan Inggris. Maka dimulailah perjalanan Palang Merah Jepang dari Petrograd, kemudian ke Paris, dan terakhir ke Southampton.
Sejak remaja, Nezuko telah tergabung dalam asosiasi palang merah di daerahnya. Perang Besar meletus dan ia mengajukan diri sebagai sukarelawan dalam Palang Merah Jepang bersama kakaknya. Apa pun yang terjadi, kedua kakak-beradik itu telah sepakat bahwa mereka takmau menghabiskan perang hanya sebagai rakyat biasa.
"Sipil selalu menjadi korban arogansi militer," prinsip itu yang terus Nezuko pegang. Negara akan memprioritaskan bantuan pengobatan pada tentara yang terluka alih-alih rakyat. Rakyat adalah yang pertama kali dibatasi stok makanannya, yang terus diusir dari barak pengungsian satu ke barak lainnya. Korban perang adalah rakyat. Rakyat adalah korban perang yang bahkan tak diakui, karena negara toh sudah kerepotan sendiri mencatat prajurit-prajurit yang gugur dalam perang untuk dikirimi kabar lelayu.
Selang seminggu setelah Nezuko merayakan ulang tahun keenambelasnya di lantai dasar rumah sakit di Petrograd, Rusia, ia mendapatkan luka gores itu.
Luka gores tercetak ketika ia menyusuri lorong untuk berpindah ruangan, disertai dengan rasa perih dan darah yang lantas menetes-netes. Goresan itu bertambah satu, bertambah satu, bertambah satu, bertambah satu …
Awalnya Nezuko tidak peduli. Ada yang lebih penting dibandingkan mengkhawatirkan dari mana datangnya guratan-guratan di pergelangan tangan. Ia baru menerima jawabannya di posko darurat di Paris, Prancis, dari salah seorang pasien. Persis setelah Nezuko berkata, "Jangan khawatir, luka ini bukan dariku. Entah dari siapa, tahu-tahu ada," lekas ia menyela, "Dia bukannya bukan siapa-siapa. Dia belahan jiwamu."
Belahan jiwa.
Nezuko baru pertama kali mendengar konsep seperti itu. Ada seseorang di dunia ini yang berbagi luka dengannya. Entah di mana. Entah siapa. Tentu saja tidak dapat diterima dengan logika, tetapi semuanya menjadi masuk akal. Luka yang bertambah sendiri. Rasa sakit yang tahu-tahu ada. Darah merembes di lengan bajunya. Ternyata itu ulah belahan jiwanya.
Memikirkan itu, Nezuko tersenyum-senyum sendiri.
Pada malam ketika ia mengamati langit berbintang, di atas kapal besar yang membawa tim Palang Merah Jepang ke Southampton, Inggris, ia membayangkan belahan jiwanya melakukan hal yang sama sepertinya. Diperhatikannya satu bintang di kejauhan.
Ia menggenggam pergelangan tangan kanannya …
.
…
.
… meraba satu demi satu luka gores yang ada.
Pemandangan bintang-bintang yang dilihatnya dari lantai dua kantor pos mengabur oleh air mata. Kesedihan demi kesedihan silih berganti hingga Zenitsu lama-lama ingin air matanya segera cepat habis saja. Kebiasaannya menyayat tangan ketahuan oleh Jigorou yang mendapati pisau pinggang di tas selempangnya. Saat itulah Jigorou memberitahunya kemungkinan adanya belahan jiwa yang berbagi rasa sakit ini.
Belahan jiwa.
Jika ada, seperti apa dia? Zenitsu tidak mau menemuinya. Ia tidak sampai hati bertemu dengannya. Seseorang entah di mana harus menanggung luka dari Tuan Kurang Ajar sepertinya! Pasti belahan jiwa tidak diciptakan kepadanya. Belahan jiwa tidak ada untuknya. Ia tidak pantas mempunyai seorang belahan jiwa. Belum bertemu saja, ia sudah menyakitinya sedemikian rupa.
"Maafkan aku," bisik Zenitsu.
"Aku memaafkanmu," jawab seseorang di ujung sana, terlalu jauh untuk dapat terdengar.
Perang hampir berakhir.
Jumlah mereka-mereka yang bertahan tinggal sedikit di masa-masa yang sangat membutuhkan sumber daya. Poster-poster berisi ajakan untuk bergabung dengan angkatan darat, laut, hingga udara tertempel di mana-mana. Berbagai macam produk diiklankan dengan iming-iming bahwa prajurit-prajurit perang mengenakannya. Lihat, angkatan darat selalu minum minuman isotonik jenis ini. Lihat, orang-orang pemberani di angkatan udara yang nekat mengoperasikan Sopwith Camel—salah satu dari segelintir pesawat tempur Inggris di Perang Besar—adalah mereka-mereka yang memakai pewangi badan jenis ini. Dan lain-lain, dan lain-lain.
Sebuah poster sejenis terbuka di lantai dasar kantor pos.
Jigorou mengerutkan kening.
Angkatan Laut Kekaisaran Jepang membutuhkan sukarelawan dari sipil untuk menjadi kru kapal. Tidak ada syarat yang diperlukan selain tangguh panas-panasan dan kotor-kotoran di lantai bawah selama menyekop batu bara ke dalam kobaran api terus-terusan. Tidak ada keharusan untuk menguasai strategi perang (tentu saja, sebab kalau syarat ini ditambahkan bisa-bisa tidak ada yang berminat). Awak-awak baru akan mengoperasikan kapal penjelajah ke Inggris untuk menjemput anggota Palang Merah Jepang di sana.
Jigorou mengoper poster itu kepada Kaigaku, "Sepertinya genting. Poster ini sampai bisa tersasar kemari," ujarnya.
Kaigaku menatap sekilas dan mengangguk. "Wajar saja. Kalau cuma jadi pengangkut anak-anak palang merah, bayarannya pasti tidak seberapa. Mana ada yang mau. Lagi krisis begini."
"Mereka juga sedang krisis," sanggah Jigorou. "Sebentar lagi prajurit-prajurit Jepang kembali dari perang. Ada yang terluka dan butuh obat-obatan. Tidak lucu kalau Palang Merah Jepang masih tertahan di negeri orang. Mungkin—"
"—mungkin Zenitsu mau," potong Kaigaku, dan ternyata Jigorou juga mengatakan hal yang sama. Keduanya bertatapan dan Kaigaku mengangkat bahu dengan cuek. "Coba saja suruh dia. Dia kan, mati-matian mau keluar dari kota ini. Bertahun-tahun melamar ke angkatan perang tapi nggak pernah lolos simulasi. Kalau hanya menyendok batu bara sih, dia pasti bisa."
Jigorou tidak mengatakan apa-apa, masih memandanginya.
Kaigaku menghela napas kesal. Ia tahu apa maksudnya keheningan itu. Ditariknya napas dan ia berteriak keras-keras, "ZENITSU, TURUN!"
Pemilik nama mendengar teriakan itu.
Panggilan untuknya datang persis setelah ia habis menendang kursi tempatnya berdiri.
Sepanjang siang Zenitsu telah mengikatkan tali tambang ke kayu penyangga di langit-langit ruangan, dan melingkarkannya ke lehernya sendiri. Kaki tergantung tanpa alas berpijak, rasa sakit tercekik mencengkeram lehernya begitu kuat seolah-olah tali ini berduri, napasnya berkejaran, napasnya mulai berbunyi seperti suara keritan pagar, kakinya mulai meronta mencoba menapaki udara.
"ZENITSU!"
Sebentar lagi, sebentar lagi …
.
…
.
… ia akan mati.
"NEZUKO!"
Tanjirou mengguncang-guncangkan kedua bahu Nezuko. Baru beberapa menit yang lalu, usai Nezuko mengobati pasien terakhir di barak, adiknya itu mengeluh badannya panas-dingin seperti akan meriang. Ia mengikuti saran sang kakak untuk berbaring sebentar di salah satu tenda darurat. Baru saja Tanjirou hendak meninggalkannya, tahu-tahu adiknya sudah terjatuh gedubrak dari dipan, napasnya tidak beraturan, wajahnya memucat, mulutnya megap-megap seolah-olah oksigen dalam ruangan menipis—semuanya terjadi dalam waktu cepat seperti satu kedipan mata.
"Kamu kenapa? Hei? HEI!" Tanjirou mendudukkan Nezuko, tetapi kedua tangan adiknya tidak mau diam. Mencakar-cakar ruang hampa seperti sedang mencabik-cabik angin, kedua matanya melotot lebar-lebar dan menakutkan, suaranya lirih keluar dengan susah payah, "Aa … aaaaa."
Terdengar suara sibakan tenda, disusul dengan pertanyaan panik, "Ada apa?!" Itu suara Inosuke, salah satu rekan jaga posko bersama Tanjirou. Keduanya sering ditempatkan jaga dalam satu shift yang sama. Mereka sering mengobrol sehingga Tanjirou takperlu menoleh untuk memastikan siapa pemilik suara. "Kenapa ini?"
Kedua tangan Nezuko mencengkeram lehernya sendiri. Tanjirou menyingkirkan tangan adiknya dan melihat ada bekas tali terikat. Takbutuh waktu lama, ia tahu perbuatan siapa ini. Ia menoleh dan memerintah tanpa ragu, "Inosuke, pisau lipat di sakumu, cepat!"
Taksalah lagi.
Belahan jiwa Nezuko di ujung sana sedang mencoba bunuh diri.
Pisau lipat segera dilemparkan seketika, Inosuke tidak banyak bertanya.
Tanjirou menangkapnya. Bertahun-tahun ia selalu menyuruh adiknya untuk berusaha mengesahkan keberadaan belahan jiwa satu sama lain, tetapi Nezuko tidak pernah mau—Nezuko bahkan rela bahwa si Tuan Kurang Ajar tidak tahu dia ada, sebab ada kekhawatiran bahwa belahan jiwanya akan mencoba mencari pelampiasan ke hal lain apabila bukan pada pergelangan tangannya sendiri.
Ia memegang sebelah tangan Nezuko, bersiap untuk membuat gurat baru di tangan adiknya itu.
"Maafkan aku, Nezuko," ucap Tanjirou. Dibukanya pisau lipat. Napas terengah-engah dari Nezuko dibarengi dengan badannya yang sudah mendingin dan kejang-kejang seperti mendorong Tanjirou untuk melakukannya. Ayo, lakukan, Tanjirou. Kamu sudah sedekat ini. Bertahun-tahun kamu menyuruh adikmu menyakiti dirinya, seharusnya kamu pun bisa melakukannya sendiri.
Pisau lipat terhenti tepat di permukaan kulit Nezuko yang putih bersih.
Tanjirou gemetaran.
Ia tidak bisa melakukannya.
Bahkan sekalipun bisa ditukar dengan dunia dan seisinya, dengan kedamaian perang, dengan bangkitnya nyawa orang-orang, ia takkan mau menyakiti adiknya.
"Tanjirou!" Bentakan Inosuke menyadarkannya bahwa ia tidak punya banyak waktu, dan saat Tanjirou menengadah melihat Nezuko yang mulutnya megap-megap tanpa arti, ia sayup-sayup melihat sekelebat tali melingkar di leher adiknya, tali tambang berwarna cokelat yang hanya tampak begitu tipis dan bekerjap-kerjap, menyambung hingga ke atas langit-langit, dan dengan mengandalkan insting dan kepercayaan bahwa belahan jiwa bisa saling memberikan kekuatan untuk satu sama lain, maka Tanjirou memangkas kekosongan, satu jengkal di atas kepala Nezuko.
Tanjirou seperti melihat tali imajiner itu putus …
.
…
.
… mengakibatkan Zenitsu ambruk ke lantai.
Jigorou menaiki tangga dan mendapatinya terbatuk-batuk dengan posisi badan meringkuk hingga mulanya ia kira Zenitsu keracunan makanan. Ia memerintahkan Kaigaku mengambilkan air dan mendekati Zenitsu. Kepanikan menyengatnya seperti setrum ketika Jigorou melihat ada tali temali terikat di langit-langit, melingkari leher bocah itu.
"Zenitsu?!" Ia menepuk bahu Zenitsu, kuat-kuat, berkali-kali. "Kamu kenapa?"
Kaigaku tiba di lantai dua dengan segelas air yang ia isi dengan ogah-ogahan ketika Zenitsu sudah selesai batuk-batuk. Ekspresi si senior yang hendak menghardik juniornya itu berubah ketika mengetahui apa yang baru saja terjadi, atau apa yang tepatnya diniatkan oleh Zenitsu. "Gila!" hardik Kaigaku. "Kamu mau mati, ya?"
Sekalipun Kaigaku menganggap keberadaan Zenitsu seperti hama, ia tidak akan sekejam itu sampai mau menyakiti Zenitsu sebegitunya—bahkan ia tidak sekejam apa yang dilakukan Zenitsu kepada dirinya sendiri. Kalau mau, sudah sejak bertahun-tahun lalu Kaigaku menyelendupkan Zenitsu di kardus pengiriman barang ke kapal angkut, atau mencantumkan nama Zenitsu sebagai pegawai kantor pos yang dipindahtugaskan. Tetapi Kaigaku tidak mau, jadi dia tidak melakukannya.
Kaigaku mendudukkan Zenitsu, memaksanya menggenggam segelas air. "Minum! Sekarang!"
Zenitsu minum dengan tangan kanan, dan Kaigaku melihat guratan-guratan bekas sayatan pisau di pergelangan tangan kiri juniornya. Ia tahu dari Jigorou kalau Zenitsu menghitung berapa jumlah prajurit di kota ini yang gugur sejak tahun pertama perang, tetapi ia tidak berani melihatnya dengan mata kepala sendiri. Baru sekarang pemandangan itu ia saksikan secara langsung. Kaigaku susah payah menelan ludah. Ia tidak mau siapa pun—bahkan seekor lalat—mengetahuinya bersimpati.
Gelas di genggaman Zenitsu kosong, dan Kaigaku mengacungkan dua jari. "Ini angka berapa?"
"Dua," sahut Zenitsu lemah. Suaranya parau dan ia terbatuk lagi.
"Kamu kenapa melakukannya?" tanya Jigorou. Ia mengetuk-ngetuk kepala Zenitsu seperti hendak mengecek kematangan sebutir telur—hal yang selalu ia lakukan setiap kali mencerahami bocah itu. "Sudah kubilang juga apa? Kamu berbagi rasa sakit dengan belahan jiwamu. Kalau kamu mati, maka dia juga …."
"Dia pasti nggak ada, Kek," potong Zenitsu, kali ini tegas meskipun masih lirih. "Aku nggak pernah merasakan sakit darinya."
"Kamu nggak bisa menyimpulkan dari situ saja, Bodoh." Tahu-tahu, Kaigaku menyela. Suara Kaigaku ada di belakangnya, begitu sok tahu dan Zenitsu merasa perlu menoleh. Seniornya itu memegang ujung tali yang menggantung. "Ini bukan putus. Seseorang sengaja memotongnya dengan pisau."
Kaigaku menyaksikan reaksi Zenitsu yang terperanjat, yang melebarkan kedua matanya. Taksalah lagi. Pasti bukan Zenitsu yang melakukan ini. Kaigaku menggeritkan gigi. Selama ini ia skeptis soal main-mainan belahan jiwa ini, tetapi ternyata memang betul. Diambilnya langkah cepat menuruni tangga.
"Kaigaku!" panggil Jigorou. "Kamu mau ke mana?"
"Aku mau mengirimkan telegram ke alamat dalam poster!"
Setelah bertahun-tahun Kaigaku mengurungkan niat pada kesempatan-kesempatan yang bisa menjadikan Zenitsu keluar dari kota, baru sekarang Kaigaku seyakin ini. Ia telah menolak pada permintaan pengiriman prajurit bantuan, jasa layanan antar lintas kota, kebutuhan sumber daya untuk memanen hasil pertanian, pabrik produksi senjata, tenaga perawatan kuda-kuda … beraneka jenis kesempatan yang ada untuk memasukkan nama Zenitsu, Kaigaku tidak pernah mau.
Tidak pernah bisa dijelaskan, tetapi seperti ada yang menahannya.
Mungkin itu bagian dari kekuatan belahan jiwa. Baru sekarang Kaigaku sadar itu.
Zenitsu dibenci seluruh warga kota ini, disumpahi sebagai Pembawa Nyawa Orang, Kabar Sial, Kutukan Kematian, dan julukan-julukan lain yang menyakitkan hati, padahal semua itu bukan salah Zenitsu. Zenitsu semata-mata menyampaikan kabar lelayu saja. Kaigaku juga tahu. Ia tahu bahwa yang terbaik bagi Zenitsu adalah pergi dari kota yang bagaikan neraka baginya, tetapi Kaigaku terus menunda-nunda sejak dahulu.
Satu-satunya kabar yang ia teruskan pada Zenitsu adalah lowongan menjadi angkatan perang—karena Kaigaku tahu bahwa Zenitsu takkan lolos seleksi.
Tanpa menunggu persetujuan Zenitsu, Kaigaku mengirimkan telegram kepada angkatan laut yang membutuhkan kru untuk kapal penjelajah bertenaga batu bara, dengan nama Zenitsu di dalamnya. Hanya butuh beberapa hari Zenitsu menyiapkan diri, dan Kaigaku mengantarkannya ke dermaga.
Kapal berangkat dari Yokohama pada waktu sore …
.
…
.
… dan tiba di Southampton pukul satu pagi, sebulan kemudian.
Hari ini ia pulang ke Jepang.
Kapal besar tersebut menurunkan papan bidang miring, dan Nezuko yang lebih dulu meniti langkahnya di sana ketimbang Tanjirou dan Inosuke. Keduanya masih perlu memberesi posko darurat yang didirikan dan memastikan bahwa semua anggota telah masuk ke dalam kapal. Perutnya keroncongan. Nezuko tahu bahwa mengharapkan ada makanan dalam jumlah besar di dalam kapal adalah keinginan yang naif, tetapi sekalipun tidak tersedia banyak, setidaknya jangan sampai kehabisan.
Ketika teman-temannya sesama perawat segera mencapai kabin masing-masing untuk membersihkan diri, prioritas Nezuko adalah kantin. Kantin sedang penuh dengan antrean para awak kapal yang bekerja di geladak dasar. Nezuko tidak peduli. Ia ikut-ikut mengambil nampan dan mangkok plastik. Ia bergabung dalam antrean dengan masih mengenakan jas putih seragam palang merah.
Sekalipun disebut mengantre, tetapi antrean ini tidak menghadap ke depan, melainkan ke samping—menghadap ke meja kantin tempat para petugas satu per satu menuangkan sup ke dalam mangkok kosong di atas nampan. Pemuda yang ada di sampingnya adalah seseorang yang sepantaran dengannya. Rambutnya berwarna kuning. Wajahnya cemong-cemong dan bau abu.
Lengan baju mereka bersentuhan.
Tangan kanan Nezuko, dengan tangan kiri si pemuda.
Pandangan mata Nezuko menangkap goresan-goresan saling tumpang tindih di pergelangan tangan kiri pemuda itu. Bekas luka yang begitu familier, yang selalu dihitungnya tiap malam, yang selalu membersamainya bertahun-tahun.
"Hei, kamu—" Nezuko memanggil, tetapi terhenti.
Pemuda itu menoleh.
Nezuko melihat cetakan bekas tali tambang melingkari leher pemuda itu, membuat napasnya tercekat. Ia terlambat sadar bahwa sebelah tangannya sudah terlepas dari pegangan nampan dan merambati lehernya sendiri, memastikan bahwa masih ada bekas yang sama di lehernya.
Keduanya bertatapan. Hanya sebentar.
Nampan di tangan pemuda itu terjatuh. Terdengar bunyi bruk dengan keras, membuat nyaris semua awak kapal yang sedang mengantre di depan mereka menoleh. Kegiatan menuangkan sup oleh petugas kantin pun terhenti.
Begitu nampannya dijatuhkan, pemuda itu melarikan diri.
Nezuko meletakkan nampannya di salah satu meja panjang yang tersebar di kantin.
Ia mengejar.
Langkah kaki keduanya bersahut-sahutan memantul sepanjang dek kapal. Bak-buk-bak-buk bunyinya, seperti gajah menginjak-injak gelondongan kayu. Menuruni tangga menuju geladak bawah. Nezuko ketinggalan beberapa langkah, tetapi ia tahu ke mana pemuda itu mengarah. Dari tempatnya berlari, ia melihat pemuda itu menuju sebuah kabin yang terletak di paling ujung, sebelum buritan.
"Tunggu!" teriaknya saat tahu pemuda itu sudah mencapai pintu.
Namun terlambat, sebab pintu telah tertutup …
.
…
.
… dengan suara bantingan keras.
Napas Zenitsu tersengal-sengal di balik pintu.
Ia mendengar suara langkah perlahan, tidak lagi berlari, tetapi berhenti tepat di depan kabinnya. Mustahil dia di sini. Mustahil mereka bisa bertemu. Seseorang dengan bekas jeratan tali di lehernya. Taksalah lagi. Sebelum Zenitsu sadar apa yang terjadi, ia sudah mendapati dirinya sendiri menjatuhkan nampan, menuruni geladak, mencapai kabin, dan membanting pintu.
Tidak pernah ada pintu terbuka untuknya. Tidak pernah.
Anak-anak yang tertawa di jalanan buru-buru masuk ke dalam rumah. Jendela ditutup menolak cahaya. Suasana sunyi senyap. Zenitsu berjalan perlahan, mengamati bangunan demi bangunan, melewati nomor-nomor rumah satu per satu. Langkahnya diiringi oleh pasang-pasang mata dari balik gorden, yang ketakutan, yang gemetar.
Pemandangan sehari-hari baginya adalah pintu yang tertutup rapat.
Tidak ada suara, kecuali—
"Halo?"
Sebuah suara membekukan udara. Menghentikan denging bising dalam kepala.
Itu suara belahan jiwanya …
Zenitsu memutar kunci, tetapi ia tidak memutar kenop. Alih-alih membuka pintu, ia justru melangkah mundur. Satu langkah. Dua langkah. Zenitsu menghitung. Tiga. Empat …
Pintu terbuka. Lebar. Seorang perempuan yang ada di balik pintu telah menampakkan dirinya. Zenitsu melihat wajahnya, dan takkan melupakannya, sekalipun kini pandangannya telah mengabur oleh air mata. Kakinya gemetar. Tubuhnya takseimbang.
Ia akan jatuh, limbung—
.
—
.
—tapi Nezuko sudah mendekapnya.
Ia memeluk pemuda itu erat-erat, berusaha menguatkannya agar tidak jatuh. Ia belum sempat mengatakan apa-apa, tetapi dekapan itu telah berbalas, dan Nezuko tahu bahwa barangkali memang ia tidak perlu mengatakan apa-apa. Semua telah tersampaikan. Ia ada di sini, ia ada di sini. Ia datang dan mau membukakan pintu, sebanyak apa pun pintu tertutup yang ada.
Tubuh si pemuda gemetaran. Ia menangis, dan Nezuko tersenyum.
Nezuko teringat percakapan yang sering ia jalin dengan kakaknya, mengenai kira-kira kapan diperbolehkan kembali ke rumah. Dalam dekapan, Nezuko membatin berulang-ulang. Dia sudah di sini, dia sudah di sini. Mereka bertemu dan ia telah sampai di tempatnya pulang.***
.
.
.
Catatan:
Pada Perang Besar (nantinya akan disebut Perang Dunia Pertama), Jepang mengirimkan anggota-anggota Palang Merah Jepang, atau Japanese Red Cross Society, ke negara-negara Triple Entente; Rusia, Prancis, dan Inggris. Sebetulnya, pemerintah Jepang memecah tim menjadi tiga dan mengirimkan ke tiga tujuan berbeda, tetapi di sini saya buat cuma ada satu tim dan mereka jalan-jalan LOL.
Selanjutnya, Zenitsu yang menjadi pengirim kabar lelayu itu terinspirasi dari cerpen yang pernah saya baca di kelas. Karena cuma baca karena disuruh, jadi saya lupa judulnya :'D Tentang seseorang yang mengantarkan surat duka dari rumah ke rumah semasa Perang Dunia Kedua. Kakinya pincang kalau nggak salah. Saya kurang ingat, tapi seharusnya seorang pemuda sehat walafiat kayak Zenitsu dan Kaigaku langsung dilempar ke medan perang sih WKWK demi kepentingan plot maka sebaiknya tidak kita pertanyakan :'D
Percakapan "Maafkan aku."/"Aku memaafkanmu." itu terinspirasi dari 1Q84 Jilid I-nya Haruki Murakami.
Dari dulu saya selalu pengin bikin Soulmate!AU berbagi rasa sakit dan salah satunya self-harm. Akhirnya kesampaian XD
Terima kasih sudah membaca!
