Telah lama akalku mengitari bayang kelabu

Anyir merah dan jejak kelam sejarah

Kupenggal satu demi satu napas

Tak lagi peduli sekalipun sukma ini ikut mati

.

Bumantara tersibak seiring sua kita tertuliskan

Hinggalah petak sempit semestaku membentang

Berai-berai cahaya mulai menjamahi segalanya

Ia seolah berkata padaku yang termangu,

'inilah rupa buana yang terus menungguimu'

.

Kau adalah kirana pertama yang kujelang

Memanggilku dari belantara tanpa tepi

Intuisiku mengepakkan sayap-sayap kata

Menuju bentala yang kini kau pijak

.

Kirana

By: Koyuki17

Violet Evergarden © Kana Akatsuki & Kyoto Animation

.

Jemari ini menorehkan lebih banyak aksara, menyesapi sirat yang kurangkaikan didalamnya. Di sanalah aku tak pernah letih menghadirkan sosokmu, walau berbataskan imaji belaka. Kala nurani ini mengindrai berbagai kemelut kisah setiap insan yang kujumpa, di sanalah jua aku memilah curah emosi dan kata-kata. Mencari yang manakah yang serupa dengan serangkai frasa yang dulu lugas kau ucapkan.

-1-

Atensi gadis itu berlabuh pada sekelebat warna familiar pada etalase salah satu toko. Langkahnya terhenti, hiruk pikuk di sekitarnya tak lagi ia pedulikan. Begitu lama ia terpaku, pada benda yang ia ketahui kemudian sebagai sesuatu yang indah. Zamrud bulat panjang terbingkai dalam ornamen emas berliku itu menjadi hal pertama yang ingin dimilikinya. Bros yang mulai saat itu hingga kapanpun akan mengingatkannya pada sepasang purnama netra milik sang mayor.

Perasaan ini, bagaimana sekiranya bisa kusetarakan dengan kata-kata?

Kamus mungil yang dimiliki gadis itu masih sangat terbatas, hingga ia harus memetik makna demi makna dari tutur kata yang sampai pada kupingnya. Bertahun-tahun lamanya perang merenggut sisi manusia pada gadis belia itu. Ia yang bahkan sebelumnya tak bernama, berpindah satu dari satu tangan layaknya benda mati yang tak bisa berkehendak. Lalu ia kini berakhir pada pemilik barunya itu, seorang pria yang begitu berbeda memperlakukannya dengan orang-orang yang pernah ia temui.

Sejak Violet merasakan kepalanya bersandar pada dada bidang itu, sang gadis mulai memunculkan hal yang telah lama mati dalam dirinya. Disambutnya sebuah kehangatan dari seseorang yang hidup, yang memeluknya erat sembari berucap dengan tegas menuntut perlakuan yang lebih baik untuk seorang anak kecil sepertinya. Bagaimana hari demi hari mereka bersama, ia mendapatkan kesempatan untuk mempergunakan suara dan kata-kata.

Tak butuh waktu lama bagi Violet hingga ia menyadari bahwa putra kedua keluarga Bougainvillea itu menjadi poros dunianya. Menjadi segala hal bagi sang gadis. Ia rela melakukan apapun yang diperintahkan, seolah tubuhnya bisa menggapai tempat manapun yang diminta. Asalkan itu adalah perintah yang ditunjukkan padanya.

Violet saat itu masih belum memahami sepenuhnya maksud dari Gilbert. Mengapa sang mayor malah membentaknya, ketika ia mengharapkan perintah dari pria itu untuk seterusnya. Bagaimana yang Violet tahu adalah ia ingin selalu berada di samping pria itu, tak lebih dari itu.

Sesuatu bernama perasaan, benarkah ia memilikinya? Itukah yang memancing raut wajahnya berganti, dan gemuruh dalam dadanya?

Hinggalah pada puncaknya, frasa terakhir pun terucap dari pria yang tengah sekarat itu. Menjadi pamungkas atas kelumit percakapan di antara keduanya beberapa waktu yang lalu.

"Jauh dari lubuk hatiku," sebuah ungkapan yang selalu ditahan Gilbert selama ini mulai terlepas bebas. Raut wajahnya kian melunak, seiring rekah sebuah senyuman yang begitu tulus darinya. "Aku mencintaimu."

Emosi yang masih asing baginya memuncak dan memicu basah di pelupuk mata sang gadis. Ia belum memahami kata-kata itu. Ia seharusnya memahami kata-kata itu. Barulah ia bisa menjelaskan kenapa air mata bergulir dan dadanya terasa begitu sesak. Tapi tak ada kesempatan bagi Violet untuk memahami sepenuhnya kala itu.

Lalu satu-satunya orang yang begitu ingin dilindunginya itu tak lagi ia jumpai setelahnya. Perpisahan adalah satu hal terpahit yang pernah disesap oleh sang gadis berambut pirang.

-2-

Kutengadah nilakandi sang kasa, yang pekatnya begitu memikat. Hamparan warna itu kini terusik beribu carik-carik kertas yang turun berliku-liku mengecupi udara. Tak lagi terkira berapa aksara terpatri pada surat-surat itu berikut curahan hati yang terselip di dalamnya.

Sejenak anganku menggulirkan kata dan frasa, berandai pada embus angin yang menerbangkan surat-surat itu. Bersediakah kiranya ia, jika kusematkan secarik suratku padanya lebih lama lagi. Dengan sebersit harapan bahwa kelananya akan sampai pada sebentang langit tak bernama yang kini menaungimu.

"Aku ingin mengetahui apa itu mencintai. Karena itulah kata yang diucapkan mayor padaku." Untuk kali pertama pada kehidupan barunya, sang gadis mengikuti kehendaknya sendiri.

Ketika seorang pria meminta kata yang belum dipahami gadis itu untuk dibubuhkan pada secarik surat yang sedang dituliskan sesuai pesanannya, ia memutuskan untuk menjadi Boneka Pengingat Otomatis. Sebuah profesi yang seketika mengisi lembaran baru kesehariannya di jantung kota Leiden.

Tangan Adamant Violet kini sering dijumpai menari-nari di atas mesin ketik, mencetak aksara demi aksara pada helaian kertas. Dijelajahinya samudra kata-kata lebih dalam dan lebih dalam lagi. Lekat diamatinya orang-orang yang ia jumpai sebagai kliennya. Mencoba untuk melihat sesuatu yang kasat mata, namun mampu menyeruak dan menunggu untuk terlampiaskan.

Berulangkali surat yang dituliskannya itu menyertakan perasaan akrab itu. Untuk orang-orang terkasih. Baik yang masih bisa dijumpai maupun yang telah tiada sekalipun. Seringkali mata sang gadis ikut berlinang, terhanyut di dalam kisah hidup yang menyentuh lubuk hatinya.

Setiap satu surat berhasil tercurahkan lewat tangannya, sang gadis meraih bros yang tersemat di bawah lehernya. Setiap satu frasa baru ia lahap ke dalam kamusnya, maka gema suara lembut dari pria berambut biru gelap itu menyusupi relung hatinya. Memanggil kembali namanya dengan sirat rasa yang mulai ia pahami perlahan.

.

.

.

"Violet, namamu adalah violet."

"Kamu bukanlah lagi sebuah alat, tapi seseorang yang pantas dengan nama itu."

Selaras dengan asa yang terselip dalam ungkapan sang mayor, Violet terus berupaya melanjutkan hidupnya. Sekalipun entitasnya dulu merenggut entah berapa banyak nyawa. Untuk hidup dengan bebas tanpa mendengarkan perintah siapapun lagi. Sedikit demi sedikit kelananya pada samudra kata membawa Violet pada pemahaman atas apa itu mencintai. Dalam baris-baris surat berikut larik-larik lagu yang ditulisnya, niskala rasa itu tumpah ruah.

Sepucuk surat pertama yang rampung ia tulis tertuju pada Mayor Gilbert semata. Sebagai orang yang paling berharga baginya. Diungkapkannya sebuah salam hangat, berikut kenangan atas hari-hari lampau yang sampai kapan pun akan terus diingatnya. Tak peduli berapa musim yang silih berganti.

Violet merasa bahwa sang mayor masih hidup, di manapun ia berada sekarang. Karenanya, ingin disampaikannya pesan ini, berikut bertumpuk-tumpuk perasaan yang kini semakin fasih ia guratkan menjadi kata-kata.

Tentang bagaimana ia memahami apa itu kata mencintai walau masih sedikit.

Tentang seberapa besar keinginan gadis itu untuk menjumpainya kembali.

Apa yang dilakukan, apa yang dipikirkan Violet pada hari demi hari kerap kali bermuara pada kepingan kenangannya bersama Gilbert. Maka kembali jemari Adamant itu menuangkannya ke dalam kertas-kertas kosong. Menambah lagi satu surat yang dituliskannya untuk pria itu.

-3-

Rupa sederet aksara familiar yang ditemukan oleh direktur Hodgins menjadi sebuah permulaan atas pertemuan yang tak pernah siapapun sangka. Menarik satu kemungkinan dari dasar kemustahilan. Sosok pria yang dulu sering dipandangi punggung tegapnya itu, yang dulu berjongkok di hadapan Violet agar keempat mata mereka setara, mungkin saja masih hidup di sana.

Setelah mendengar kabar itu, Violet tak bisa berhenti memikirkannya. Kubah malam menyertai sang gadis yang masih duduk termangu. Kabar yang masih simpang siur itu telah melepaskan segala hal dalam dirinya. Bahagia, karena mereka bisa bertemu. Gugup, jika nantinya ia tak bisa mengutarakan dengan baik apa yang ingin diungkapkannya pada pria itu. Terakhir ialah rasa cemas, jikalau sang Mayor tak lagi mengenalinya ataupun malah membenci dirinya.

Perjalanan yang jauh harus ditempuh untuk sampai pada Ecatel, sebuah pulau mungil yang menjadi harapan terakhir bagi sang gadis. Direktur Hodgins sungguh berhati-hati untuk memberi tahu Violet untuk menunggu di luar bangunan itu. Tinggal sedikit lagi, dan gadis itu harus bersabar agar mereka bisa berjumpa. Anak-anak yang mendekatinya dengan tatapan penasaran pun ditanyainya dengan segera. Penjelasan dari mereka mengarah pada sosok sang Mayor. Gilbert memang ada di sana.

Namun intuisinya tempo hari kini terbukti, saat direktur kembali menghampirinya dengan wajah yang kusut. Terlebih sebuah ungkapan bahwa Gilbert baik-baik saja namun tak menampakkan diri. Gilbert bukanlah tak bisa menemuinya, tapi tak ingin menemuinya. Untuk sebuah alasan yang tak bisa Violet pahami.

.

.

.

Sebuah ketukan di depan pintu tak lantas membuat pria itu menoleh. Begitupun ketika suara seorang gadis yang begitu dikenalnya itu memanggilnya dengan sebutan yang selama beberapa tahun ini tak lagi didengarnya. Setelah tempo hari ia mengenali nama familiar itu sebagai penulis dari himne lautan, Gilbert segera saja tahu bahwa Violet ada di Leiden. Dan ia bisa membayangkan bagaimana gadis itu masih mencari keberadaannya.

Isakan dari sang gadis itu membuat Gilbert terdiam, kepalan tangan pria itu semakin kuat. Setelah bertahun-tahun lamanya, gadis itu masih mengharapkan keberadaanya. Sekalipun akhir pertemuan mereka saat itu begitu membuat keduanya kehilangan banyak hal.

Gilbert sampai pada sebuah kesimpulan bahwa ia tak bisa melakukan apapun untuk Violet. Bagaimana dulu ia bertekad untuk memberikan masa depan yang berbeda untuk gadis itu, yang bahkan tak mengetahui apa itu hal-hal yang indah. Berulangkali ia mencoba, namun ia tetap membawanya ke garis terdepan medan pertempuran. Hal yang menjadikan pria itu sama saja dengan orang-orang yang mempergunakan gadis itu sebagai sebuah senjata.

Penggalan ingatan dimana sang gadis berusaha menolongnya saat itu masih begitu jelas. Bagaimana karena keadaannya itu, Violet tak lagi peduli sekalipun kedua tangannya hilang. Ia telah membuatnya seperti itu, namun sang gadis masih saja mempercayainya dan tak ingin lepas darinya.

Sudah cukup bagi Gilbert untuk menghalangi gadis itu dari sebuah masa depan yang seharusnya lebih baik lagi tanpanya

"Kumohon, pulanglah." Hanya itulah hal yang Gilbert inginkan. Agar dirinya yang sekarang tak perlu lagi mengacaukan apapun.

.

.

.

Keesokan harinya, tak ada lagi yang menunggui pria itu di depan pintu. Namun sebuah surat sampai padanya, yang tak lain adalah surat dari Violet. Tepat sekali sebelum keberangkatan kapal senja itu. Perlahan manik zamrudnya tertuju apa yang tertulis di sana, menafirkan aksara yang diketik dengan begitu apiknya.

Ini adalah surat terakhir yang dituliskan sang gadis untuknya, berisi segenap ungkapan terima kasih. Untuk merawat gadis itu, membacakannya buku, serta mengajarinya banyak hal. Atas waktu yang mereka lewati bersama. Atas pernyataan cinta yang kemudian menjadi petunjuk hidupnya saat ini.

Surat itu berakhir pada sebuah ungkapan bahwa Violet telah mengetahui makna kata cinta dan membalaskan perasaan yang serupa pada pria itu. Gilbert kini tak lagi menemukan alasan bahwa gadis itu ingin bersamanya untuk mengulangi alur yang sama.

Kedua kakinya lepas dari belenggu yang sejak kemarin mencegahnya untuk menemui gadis itu. Langkahnya kini mencoba menandingi akas sang angin, berupaya mencapai pelabuhan sebelum semua akan terlambat untuknya.

.

.

.

"VIOLET!"

Suara lantang itu melesat dan mengalahkan embus angin, hingga gemanya sampai pada Violet. Lamunannya pada tebing-tebing pun terbuyarkan. Seketika itu jua gadis itu mendongak ke arah pulau, sosok yang kini berlari di sana menjad. Ia pun berlari di geladak kapal, melompati pagar, terjun ke bawah dan mengacaukan permukaan lautan. Violet ikut memangkas jarak di antara ia dan Gilbert.

Purnama dengan semburat selaka menumpahkan cahaya keperakan yang mewarnai perjumpaan kedua insan itu. Riak pelan ombak memenuhi tempat di mana keduanya berpijak. Dalam dangkalnya punggung lautan, Gilbert dan Violet akhirnya berdiri berhadapan setelah sekian lama. Pria itu memandangi wajah sang gadis, yang kini berbeda dengan yang diingatnya dulu. Bagaimana ia sekarang bisa menumpahkan perasaanya layaknya seorang gadis yang normal. Tak ada lagi jejak sebuah tatapan mata datar maupun raut wajah yang kebingungan dengan seruak emosi yang dulu tak ia ketahui.

"Aku adalah orang yang telah melukaimu." Ungkapan apa adanya meluncur begitu saja dari mulut Gilbert. "Aku bukanlah orang yang selama ini kau pikirkan."

Namun Violet, yang semakin terisak menyangkalnya. Kepalanya menggeleng-geleng cepat tanpa bisa lugas berkata-kata. Bukan. Gilbert bukanlah orang yang seperti itu baginya. Ia tidak pernah menganggap luka-lukanya dulu berasal dari pria itu.

"Meskipun begitu, aku masih mencintaimu. Aku masih ingin kau ada di sampingku."

Gadis itu berulangkali membuka mulutnya, namun yang keluar hanyalah kata-kata yang patah. Ia berupaya menjelaskan apa yang ingin diungkapkannya, membalas ungkapan yang begitu berarti untuknya. Napasnya semakin kacau dan isakan terus menginterupsi mulutnya. Banyaknya luapan perasaan yang telah lama tertumpuk di dalamnya itu justru membuat mulutnya tak berkutik. Hingga ia memukul kaki kanannya karena kembali kata-katanya itu tercekat.

Gilbert mendekatinya, membelah permukaan air sembari membujuk tangisannya itu berhenti. Karena pria itu kini tak bisa menahan guliran air matanya. Pria itu meminta Violet untuk mengangkat wajahnya dan Violet pun perlahan menyanggupinya.

Satu tangan besar itu kembali merangkul Violet, meraih sang gadis dalam sebuah pelukan selayaknya dulu pada pertemuan mereka yang pertama. Namun kini keduanya saling membalas sebuah perasaan yang serupa.

"Aku mencintaimu," diulangnya kembali kata-kata itu. "Sejak dulu aku ingin melakukan ini."

Tangisan Violet semakin pecah dan ia rebah sepenuhnya dalam pelukan itu. Gilbert memeluknya semakin erat. Tangan satu-satunya melepaskan secarik kertas yang menariknya ke dalam pertemuan itu. Membiarkan desir angin menerbangkannya ke bentangan langit malam.

Kini keduanya telah pulang. Kembali pada tempat yang semestinya. Sebuah rumah di mana perjalanan hidup mereka berlabuh. Dalam rengkuhan orang terkasih.

Sebuah ikrar baru pun terukir di hari esok, seiring dua kelingking saling berpautan. Di sini, pada permulaan yang tersisa setelah segala bahagia sekaligus duka yang telah mereka lewati. Untuk selalu bersama.

-Fin-

A/N: Halo, terima kasih bagi yang mampir dan membaca coretan ini ^^

Sudah lama sejak rilisnya movie violet di Indonesia, tapi baru sekarang tulisan ini rampung juga. Terima kasih bagi Avislle yang sudah sabar menunggu :)

Salam hangat,

Koyuki17