Disclaimer : Naruto milik om Masashi Kisimoto
.
.
.
Kisah ini hanyalah sepenggal kisahku, kisah tentang seorang perempuan yang berduka karna cinta. Masalah yang sama yang juga menyiksa perempuan mainstream lainnya.
Namaku Hanabi dan umurku 22 tahun. Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Si sulung namanya Neji, dan yang kedua adalah Hinata. Ibuku telah meninggal dunia, ia meninggalkan kami ketika aku dilahirkan. Mungkin saja sebab kepergian ibukulah, ayahku menganggap akulah penyebabnya.
Sejak aku kecil ayahku tak pernah menganggap keberadaanku dan lebih menyayangi kakak-kakakku daripada aku. Jadi, aku merasa hidup dalam sebuah tayangan opera sabun saja. Ayah amat pendiam dan dingin. Sikapnya yang dingin padaku tak pernah kumengerti. Tapi aku tak ingin bertanya atau pun merengek seperti anak-anak perempuan lainnya. Jika ayahku bilang 'Ya,' maka aku pun mengiyakan. Jika 'Tidak,' maka aku tak bisa membantahnya. Sayangnya, keadaan payah itu bertahan selama bertahun-tahun kehidupanku.
Lalu sialnya, pada suatu hari yang cerah ayahku menerima sebuah lamaran seorang pria yang tak pernah kukenal seumur hidupku, tanpa persetujuanku. Aku bahkan belum sempat berkenalan dengannya, lalu pedekate, pacaran, dan berkencan dengan orang itu untuk beberapa bulan ke depan, lalu memutuskan apakah aku siap menerima lamarannya. Nyatanya aku tak mendapat hak istimewa itu.
Pria itu datang begitu saja ke rumahku dan meminangku untuk menjadi istrinya. Tanpa mengajukan syarat atau pun penolakkan pada lelaki itu, ayahku menerimanya, sementara aku hanya diam menunduk tak berani menolak atau pun berbicara sepatah kata pun untuk mendebatnya semacam, ''Ayah, tak bisa melakukan ini pada hidupku. Ayah tak berhak!''. Ayah tak suka penolakan. Baginya itu semacam pemberontakan, atau kekurang-ajaran yang tidak bisa ditolerir, apalagi jika menyangkut masa depan yang cerah bagi dirinya. Jika kita menolak, ayah akan meledak seperti bom dan mencoret nama kita dari surat wasiatnya. Ayahku adalah jenis orang yang bersikap semau gue terhadap saja sikapnya itu membuatnya menjadi pria paling menyebalkan sedunia. Seharusnya aku mencurahkan segenap masalah perjodohan ini pada sebuah lembaga HAM yang belakangan ini banyak muncul di media-media. Lalu mereka akan menjadi pahlawan yang menyelamatkan kita dari orang tua yang jahat. Mereka itu kan jagonya ikut campur urusan orang lain. Tapi apa mau dikata? Meski sebenarnya aku tak terlalu tertarik pada uang, tapi aku tak keberatan punya banyak uang. Dan aku belum siap kehilangan uang-uang itu.
Yah, perjodohan itu pada akhirnya terjadi. Tanggal telah ditetapkan. Dan aku hanya bisa menerimanya. Saat pernikahan kami, aku dan calon suamiku duduk berdampingan di hadapan ayahku. Sekejap aku memandang orang yang akan menjadi pendampingku itu, kuakui dia adalah pria yang akan kuabaikan keberadaannya pada pesta-pesta dansa, atau ruang publik lainnya. Dia demikian tak menariknya sampai-sampai aku tak berniat lagi memandang wajahnya untuk bertahun-tahun mendatang, kecuali dalam keadaan terpaksa.
Ayahku pun menikahkanku dengannya. 'Maukah kau menikahi putriku?' 'Mau, Pak.' 'Yaudah nih! Buat kamu aja. Dia gak makan banyak kok.' 'Oke pak. Makasih.'
Tidak seperti gadis-gadis pada umumnya yang akan deg-degan atau mengalami demam panggung menghadapi sebuah ajang pernikahan, aku malah cenderung menganggapnya biasa saja. Sama seperti acara-acara yang di dalamnya berkumpul sekawanan manusia yang gemar bergosip. Kita bertemu orang, tertawa-tawa, atau 'Bagaimana pagimu hari ini?' 'Yeah, keren bung. Koleksi komikku hampir lengkap! Bagaimana denganmu?!' dan saudara-saudaranya.
Setelah akad itu usai semua hadirin tampak bahagia, kecualikan aku. Mereka memberi selamat pada kami, menjabat tangan kami, dan bla bla bla. Dan aku pun menggiring suamiku~kedengarannya lucu saat menyebut orang itu suamiku~ke kamar pengantin yang sebenarnya adalah kamar tamu yang telah direnovasi habis-habisan.
''Silahkan masuk,'' kataku menyambutnya. Aku membuka pintu, berdiri di samping pintu menunggunya masuk duluan. Tidak. Maksudku kami kan sudah menikah, dan dia menggandengku ke dalam kamar. Kalau kau memikirkan terjadi sesuatu yang porno selanjutnya, semacam kami bercumbu, lalu bergumul panas di atas ranjang, dan tubuhku dipenuhi bercak-bercak merah, tolong hentikan itu. Karna tidak terjadi apa-apa. Pria itu cukup sopan padaku, bukan dalam artian dia berusaha bersikap semanis mungkin untuk bisa menggauliku, tidak. Mula-mula aku duduk di tepi ranjang sambil menanti serangan ala rambo, tapi dia berdiri saja di ambang pintu sambil menatapku lekat-lekat seakan-akan aku adalah alien kesasar. Lantas ia bertanya padaku apakah aku merasa berat hati dengan pernikahan ini dan kujawab dengan gelengan kepala saja. Malam itu dia tidak menyentuhku sama sekali. Mungkin dia homo kelas kakap.
.
TBC
