One Day Again

.

Notes: OOC, Pembaca diharap mengerti bahwa tulisan ini 100% adalah fiksi dan alur mengikuti dunia yang dibuat oleh penulis jadi bukan kejadian yang pernah ada di dunia nyata.

.

Chapter 0 - Episode Pilot

.

Dingin.

Sore yang semakin menguning di tepi pantai.

Musim gugur di kota kecil tepi laut Uchiura pada tahun ini memang agak sedikit berbeda dari biasanya. Hembusan kuat angin taifun timur yang sebelumnya pernah menyapu samudera pasifik di bulan lalu masih dapat dirasakan di daerah ini sampai sekarang meski tidak sekuat bulan lalu.

Akhir bulan oktober merupakan awal peralihan musim gugur ke musim dingin. Orang bilang ini adalah musim yang tepat untuk sepasang kekasih memadu kasih bersama menikmati pemandangan langit yang tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin.

Dingin.

Tentu saja, hawa dingin sore menjelang malam yang segera merasuk ke dalam kulit itu dapat membuat orang meriang seketika namun demikian tetap saja dengan keadaan tersebut ada seorang gadis yang dengan sabar duduk di pinggir geladak dekat pemberhentian kapal penyeberangan pantai Mito.

Seorang gadis berambut lurus hitam duduk dengan anggunnya, memakai pakaian kasual yang biasa dia gunakan setiap kali bersantai, celana jeans warna biru gelap, dan rambut yang terkuncir membuatnya terlihat lebih dewasa, sambil memegang punca jaket warna hitam dengan erat dia menghadap mentari senja yang semakin tenggelam sejak setengah jam yang lalu.

Kemilau rambut hitamnya yang tertiup angin berkibar dengan anggun namun semarak mukanya tampak berbalik oleh aura muram dari wajahnya yang gelisah kontras sekali dengan cerahnya langit sore ini.

"Aku menunggumu..." kenangnya untuk terakhir kali kepada seseorang yang sedang dinanti. Tidak lama kemudian khayalannya mulai buyar diiringi dengan bunyi kendaraan yang baru berhenti di tepian pembatas jalan.

Gadis itu baru berdiri dari tempat duduknya ketika mendengar deruan sebuah mobil limusin putih berhenti di tepi jalan dan keluarlah seorang gadis berambut pirang, wanita keturunan separuh jepang dan italia. Menuju ke tempat kedua gadis itu telah sepakat untuk bertemu.

"Dia..." sapa gadis itu dengan nada datar.

"Kenapa kamu ada disini?"

"M-Mari-san... Maafkan aku mengganggu waktumu!" demikian ucap gadis itu tanpa basa-basi sambil menundukkan kepala sembari menyodorkan sepucuk surat kepadanya.

"Ini?"

"Kumohon terimalah surat ini."

Gadis itu tersenyum seolah tidak hendak menganggap maksud gadis itu sebenarnya. Ya, itu memang bukan kejadian pertama kali untuknya. Bahkan tanpa membuka isi surat beramplop pink itu sang gadis juga telah mengerti apa isi surat tersebut.

"Terima kasih... Tapi, kamu sendiri tahu kan bahwa aku masih mencintai Kanan..." kata gadis keturunan Italy tersebut namun dengan segera Dia menatap mukanya dengan tatapan takut namun tidak mau menyerah.

"Aku tahu, Mari. Tapi setidaknya, bisakah kamu..." perkataanya terpotong.

"Mari, ada apa?" sebuah suara yang tidak asing bagi mereka berdua berasal dari seseorang yang baru keluar dari mobil putih itu juga.

"Aa... ahahaha... Bukan apa-apa, Kanan. Aku sebentar lagi balik kok." Sambil cepat memalingkan muka gadis itu menyerahkan kembali surat tersebut kepada pemiliknya. "Maaf, Dia-chan. Aku nggak bisa!"

"Maaf..."

Sendirian, sekali lagi dia mengalami hal yang sudah biasa dia lakukan selama 3 tahun penuh ini dan pada akhirnya surat itu tidak pernah berbalas manis. Namun, Dia tetap memaksakan surat itu untuk diterima olehnya dan pada akhirnya tanpa diketahui oleh Mari, surat itu berhasil menyusup ke celah tas miliknya yang terbuka.

Dia, gadis yang biasanya terlihat anggun saat masih SMA kali ini tampak begitu murung dengan angin keras yang menyibak rambut hitamnya yang terurai sendiri. Langkah kakinya tidak beraturan karena tempat yang dia ingin tuju untuk pulang bukanlah rumahnya melainkan suatu tempat yang benar-benar baru baginya.


.

Dua jam kemudian.

"Nona, kamu harus berhenti sekarang." Seseorang pria menegur dirinya yang sedang menegak segelas sloki bir yang berada di tangannya.

"Ah, tidak.. aku baru saja minum setengah nih!" katanya setengah teler menghiraukan himbauan sang bartender.

Memang benar bahwa Dia yang baru pertama kali masuk ke bar ternyata bukan orang yang kuat untuk minum-minum. Bahkan, setelah dua teguk bir yang berkadar alkohol rendah ternyata sudah membuat pipinya memerah. Dan ini adalah tegukan yang kelima olehnya.

"Hidup ini nggak adil!" dia merancau tiba-tiba.

"Nggak adil banget aku hidup dengan mengikuti aturan untuk berharap menyenangkan orang-orang tapi malah aku sendiri yang nggak bisa bahagia!"

"Oh?" respon lelaki tersebut. "Do you mind to tell your story today?"

"A'ight! Listen to me, man! Gue ini baru aja dapet hat-trick ditolak sama gebetan gua! Hat-trick. Tiga tahun penuh!."

"Padahal aku sama Kanan itu bedanya apa sih? Tinggi gak jauh beda, kaya? Kayaan gue! Yah bener sih tetep kayaan dia tapi keluarga gue juga punya nama di kota ini! prestasi? Lebih mentereng gue lah! Ketua OSIS SMA! Dibanding dia yang pernah ngambil cuti dan sering keluar jam sekolah! gue gak ngerti kenapa dia lebih milih cewek itu?"

"Heh, cewek?!" respon sang bartender dalam hati terkejut.

"Yah, aku nggak tahu sih apa aku berhak untuk ngomong ini." kata sang bartender. "Tapi kalau sudah urusan hati tampaknya yang kelihatan diluar itu bukan perhitungan lagi deh? Yah, mungkin saja dia lebih nyaman kalau bersama orang itu. I'ts all about relationship, gils!"

"Ngerti sih, tapi kan..." gadis itu tiba-tiba mulai menangis dengan suara yang keras. Butuh 15 menit untuk gadis itu tenang kembali.

"Tapi, sebagai orang yang sering patah hati tampaknya baru kali ini kamu mencoba menumpahkan perasaanmu lewat minuman yah? ada apa?"

"I-Itu, soalnya baru tahun ini aku bisa pindah dari rumah orang tuaku. Kalau orang tuaku tahu aku ada disini yah bisa habis aku! Lagian, Kamu orang baru yah? semua orang disini biasanya juga sudah tahu siapa aku tanpa menanyakan nama kepadaku."

"Ahaha, maaf Nona... Namanya juga orang baru. Aku disini Cuma bantu-bantu bar milik temanku saja yah itung-itung nyari receh buat biaya jajan. Maklum, anak kuliah. Uangnya harus dihemat sama biaya kos. Yah, walaupun itu sekarang udah bukan masalah lagi sih."

"Oh, kamu anak kuliahan? Kuliah dimana?"

"Kuliah? BS* aja! becanda, di Tokyo, Universitas Tokuga"

"Heh?! Sepertinya dunia ini sempit sekali yah?" setelah mengatakan itu kemudian gadis itu teler dan tidak sadarkan diri.

"Nona, bangun Nona!" Lelaki itu menggoyang-goyangkan badannya tapi tidak ada respon apa pun.

"Bro, lu tahu gadis ini? Katanya dia terkenal?"

"Siapa?!" Eh, nona Kurosawa! Gak salah nih! tapi kok di bar ini!" seru rekannya sambil terkejut.

"Lu tahu rumahnya? Gue anter dia pulang deh!"

"Serius lu? Bokapnya galak lho! Ketua Nelayan dan Perikanan di kota ini! Ibunya juga ketua PKK di daerah ini."

"Yah, terus? Dia masih anak mereka, kan?"

"Nekat amat lu dah! Ya udah gue tunjukkin alamatnya deh! lu telepon taksi sono!"

"Pake duit lo yah?!"

"Iye, ntar gue potong pake kas bon lu."

"Yee, sama aja bohong dong!"

Tidak kurang dari 15 menit kemudian taksi datang dan lelaki tersebut memapah Dia untuk masuk ke kursi penumpang disamping dirinya.

"Ya udah, gue cabut juga sekalian yah? byee..."

"Ya udah sono. Sayonara fellas, jasamu pasti akan selalu aku ingat." Ucapnya sambil mengepalkan tangannya seolah berdoa.

"Hush, lu kira gue udah mati, napa?"

"Yah, menjelang lah..."

Lelaki itu tidak mau memperpanjang ocehan temannya dan segera berlekas setelah melihat wajah Dia yang semakin memerah dan mulai gusar.

"Udah pak sopir, segera meluncur ke alamat ini yah? let's go!"


.

3 Jam Kemudian.

Gadis itu baru bangun dari tidurnya dan mendapati ruangan yang tidak asing baginya. Faktanya, itu adalah ruangan yang selalu dia tinggali pada masa kecil.

"Gawat!" serunya dengan mata terbelalak ketika menyadari bahwa dia telah berada di rumahnya yang lama. Rumah keluarganya sendiri.

"Lho, kok bisa?!"

"Nee-chan, kamu sudah bangun?" suara Rubi dari lantai bawah terdengar klasik bagi Dia.

"Iya dek. Kakak baru bangun." Sahut Dia di atas kasurnya.

Tidak lama berselang, Rubi memasuki kamar kakaknya sambil membawa pisang goreng dan segelas jahe hangat.

"Terima kasih yah. tapi kok kakak bisa disini?"

Rubi dengan enggan menjawab namun mukanya tidak dapat menahan perasaan tawa geli diiringi pipi yang memerah.

"Tadi ada yang nganter kakak..." belum sempat Rubi bercerita tiba-tiba dari bawah terdengar suara ribut-ribut menuju ke lantai atas dan mendekat ke dalam kamar Dia.

"Di-Dia... Alamak! Kamu kok nggak bilang-bilang sih udah punya teman cowok! Kenalin dong ke mami! Biar kita bisa tahu lelaki ganteng seperti apa yang sudah membuat heboh grup WA Ibu PKK di Numazu."

"Iya, kak... katanya, dia itu teman kakak makanya ketika aku persilahkan masuk ke rumah bukannya Cuma dipapah melainkan kakak juga digendong sama lelaki itu." sambung Rubi menyahuti ibunya.

"Kamu lihat orang itu, Rubi?"

"Iya, ma. Dia itu pokoknya ganteng banget. Rambutnya pirang, wajahnya bule banget. Dan kayaknya asik banget buat diajak ngomong."

"Wah, kalau itu beneran kayak di foto ini dong!" seru sang ibu sambil menunjukkan foto dari grup WA dan mendapati gambar punggung seorang pria yang sedang menggendong Dia.

Sementara itu Dia, gadis yang baru saja terbangun dari tidurnya hanya bisa melongo mendengar ocehan gak jelas dari kalangan keluarganya hingga sampai pada satu titik dimana dia bisa mengolah semua informasi yang telah terkumpul. Dan respon dia mendengar itu adalah...

"HEEEEHHHHH?!"

.

-fin-