This is a work of fan fiction using characters from the Gintama world, which is trademarked by Hideaki Sorachi.
A/N: This story may be OOC, lack of language, background story, and timeline does not match with actual manga or anime.
.
.
Di jaman modern seperti sekarang, tidak heran jika banyak wanita yang terjun secara profesional di dalam dunia karir. Seperti halnya wanita satu ini. Namanya Mutsu, berumur 24 tahun, berzodiak cancer, berambut panjang berwarna karamel yang sehari-harinya dia ikat dengan gaya ponytail rendah. Bisa dibilang, wanita satu ini cukup workaholic, hanya butuh waktu satu bulan setelah kelulusannya dari universitas, dia langsung diterima bekerja di sebuah perusahaan distribusi bernama Kaientai.
Kaientai memang bukan termasuk perusahaan besar. Namun, perusahaan satu ini memang cukup terkenal dengan pendistribusian produk-produk unggulan dari daerah Tosa ke seantero negeri hingga beberapa negara tetangga. Dan kebetulan pula, Mutsu berasal dari daerah yang sama dengan pemimpin perusahaan ini, yaitu Sakamoto Tatsuma. Itu juga merupakan salah satu alasan mengapa Mutsu bisa sangat membantu perusahaan ini dan dengan cepat mendapat promosi dengan jabatannya sebagai operational manager saat ini.
Sedikit profil tentang Sakamoto Tatsuma. Seorang pria jangkung dengan rambut keriting berantakan berwarna coklat gelap, berumur 28 tahun, berzodiak scorpio. Penampilannya cukup necis, sering terlihat mengenakan mantel panjang berwarna merah marun, dan selalu membawa kacamata hitam yang entah ditaruhnya di kantong ataupun bertengger di batang hidungnya. Kepribadiannya cukup eksentrik dengan tawa keras dan menggelegar yang setiap saat terdengar darinya sehari-hari.
Dari luar, Sakamoto Tatsuma memang terlihat santai dan cenderung malas dalam bekerja, namun sebenarnya dia cukup profesional dalam pekerjaan hanya saja tak pernah dibawa dengan terlalu serius. Sangat berkebalikan dengan Mutsu yang berdedikasi tinggi dan sangat teliti dengan pekerjaannya. Karena itu, posisi Mutsu sudah bagaikan tangan kanan dari Sakamoto Tatsuma di perusahaan ini.
Lalu pada suatu hari kerja yang normal..
Mutsu terlihat bingung dengan apa yang ada di hadapannya sekarang.
Sakamoto Tatsuma, datang ke kantor, dengan membawa seorang anak lelaki berusia sekitar satu setengah tahun di gendongnya dengan sebuah gendongan depan, membawa satu tas berisi susu, mainan dan popok ganti. Ketuanya itu terlihat sangat kelelahan dengan baju yang tidak rapi dan rambut yang lebih berantakan dari biasanya.
"Sakamoto-san, apa ini anakmu?" tanya Mutsu padanya.
"Ahahaha, iya, dia kuajak ke kantor karena tidak ada yang menjaganya di rumah. Namanya Naoya"
Kriiing, tiba-tiba dari saku celana Sakamoto terdengar dering ponselnya. Segera diangkatnya panggilan telepon yang bertuliskan 'Kintoki' pada layarnya.
"OI TATSUMA! KAU SUDAH CEK DENGAN BENAR TIDAK BARANG KIRIMAN KEMARIN? NYONYA OTOSE MARAH-MARAH PADAKU DAN TIDAK MAU MENERIMA BARANGNYA JIKA TIDAK LENGKAP!"
Sebuah teriakan terdengar sangat keras dari ponsel Sakamoto. Saking kerasnya, tanpa loud speaker pun Sakamoto harus menjauhkan ponsel itu dari telinganya untuk menghindari pecahnya gendang telinga. Dengan panik Sakamoto menjawab panggilan itu lalu terburu-buru pergi.
"Maaf Mutsu, bisakah aku titip Nao padamu dulu? Jika tidak kutangani bisa-bisa aku juga kena amukan nyonya Otose"
Tanpa menunggu persetujuan dari Mutsu, pria itu sudah melesat entah ke mana dengan suara percakapan telepon yang samar-samar menggema dari lorong kantor itu. Beruntunglah, anak kecil bernama Naoya itu masih tertidur lelap di atas futon kecil yang juga tadi dibawa oleh ayahnya. Melihat Naoya yang masih lelap, Mutsu pun tidak menaruh khawatir lalu melanjutkan pekerjaannya didekat anak itu.
XXX
Sekitar dua setengah jam kemudian, terdengar langkah terburu-buru yang menuju ke ruang kerja Sakamoto. Tentu saja itu berasal dari Sakamoto sendiri yang mengkhawatirkan putranya. Beruntunglah dia bisa bernapas lega ketika dilihatnya putra kesayangannya tengah bermain dengan pensil dan kertas di dekat Mutsu. Nampaknya, Mutsu sudah tidak asing dengan anak kecil, terlihat bagaimana tenangnya Naoya bersama Mutsu sekarang. Padahal dengan ayahnya saja dia masih sering rewel.
"Mutsu, syukurlah Nao tidak rewel, apa dia merepotkanmu tadi? Maaf ternyata kemarin aku memang salah hitung barang jadi benar kalau nyonya Otose komplain tadi"
"Tidak apa-apa ketua, Nao-kun cukup tenang bersamaku. Wah mobil gambaran Nao-kun bagus sekali, ayo kasih lihat ke papa!"
Naoya terlihat senang dengan pujian dari Mutsu, ia pun segera berjalan menuju ayahnya lalu menunjukkan gambar mobil hasil karyanya. Ayahnya terlihat bangga dan langsung menggendong putra kecilnya itu. "Nao pintar, papa bangga pada Nao hahaha" ucapan Sakamoto pada Naoya terdengar penuh kasih sayang kepada putranya. Meskipun begitu, tersirat sedikit raut sedih pada wajah pria berbalut tawa itu.
Baru kali ini Mutsu bertemu dengan anggota keluarga Sakamoto. Memang sejak awal semua pegawai tahu bahwa Sakamoto sudah memiliki keluarga. Namun tidak pernah sekalipun istri atau anaknya datang berkunjung ke kantor. Bahkan ketika mendatangi suatu acara, Sakamoto akan datang sendiri tanpa pendamping.
XXX
Mutsu pikir, ketuanya itu akan membawa anaknya ke kantor untuk sementara waktu saja. Namun yang terjadi adalah, sudah berjalan dua bulan Sakamoto masih tetap membawa Naoya datang ke kantor.
Hari ini tidak seperti biasanya, Naoya cukup rewel dan tidak mau diam. Sayangnya, ayah Naoya sedang entah ke mana mengunjungi gudang atau apa sehingga lagi-lagi harus menitipkan Naoya pada Mutsu. Ini membuat Mutsu mau tak mau harus meninggalkan pekerjaannya demi Naoya agar bisa tenang.
Sekembalinya Sakamoto, jam kerja sudah hampir habis dan Mutsu sama sekali tidak menyentuh pekerjaannya. Meskipun memang Naoya sekarang tengah tertidur lelap, tapi tidak mengubah rasa kesal Mutsu bahwa seharian ini Naoya menyita waktu bekerjanya. Mengetahui hal itu, Sakamoto menawarkan akan membantu pekerjaan Mutsu jika mau mampir ke rumahnya sebentar. Mutsu pun menyetujuinya dan kini, mereka bertiga dalam perjalanan menuju kediaman Sakamoto.
"Selamat datang di rumahku, Mutsu silahkan masuk"
"Permisi.."
Setelah melepas sepatu dan menatanya di genkan. Sakamoto menyuruh Mutsu untuk menunggunya di ruang tamu sembari dia menidurkan Naoya di kamar. Tak lama kemudian Sakamoto sudah kembali dengan membawa dua kaleng bir dan sebungkus camilan kacang untuk disuguhkannya pada Mutsu.
Ditengah kegiatannya, daripada hening Mutsu membuka percakapan.
"Rumah Sakamoto-san cukup nyaman ya.."
"Begitukah? Hahaha, syukurlah kalau kau suka"
"Istri anda di mana? Saya dari tadi tidak melihatnya"
Rupanya pertanyaan Mutsu barusan membuat Sakamoto seketika menghentikan jemarinya yang sedari tadi menari-nari di atas keyboard. Seperti berpikir sebentar, Sakamoto pun membuka suara untuk menjawab Mutsu.
"Istriku sepertinya tidak akan kembali lagi.."
Menyadari bahwa dia menanyakan hal sensitif, Mutsu menjadi gugup dan merasa tidak enak.
"Maafkan saya ketua, saya tidak bermaksud—"
"Tak apa. Sekalian, aku tidak pernah mencurhatkan ini pada siapa pun. Mutsu, apa kau mau mendengar kegalauan ossan ini?"
Mutsu memberi anggukan kepala dan Sakamoto langsung bercerita padanya.
"Dua bulan lalu, istriku meminta cerai dan meninggalkan rumah ini, itulah mengapa paginya aku membawa Naoya ke kantor sampai hari ini"
"Bukankah lebih baik anda mencari babysitter untuknya?"
"Maunya begitu, tapi adikku bilang dia belum menemukan babysitter yang cocok. Lagi pula selama ini Naoya lengket denganmu, kau bisa jadi ibu paruh waktu untuknya hahahaha"
"Boleh saja jika anda naikkan gaji saya"
Begitulah isi percakapan mereka disela-sela menyelesaikan pekerjaan. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, dengan pekerjaan yang sudah selesai Mutsu pun pamit dan pulang ke rumahnya.
"Hati-hati di jalan Mutsu, maaf aku tak bisa mengantar, kabari saja kalau sudah sampai rumah"
"Terima kasih Sakamoto-san, saya pamit dulu"
Sudah satu minggu Sakamoto datang ke kantor tanpa membawa Naoya. Memang sedikit melegakan karena Mutsu bisa bekerja dengan penuh. Tapi tetap saja sesekali Mutsu merasa rindu akan sosok anak kecil menggemaskan itu.
Pada suatu kesempatan, Mutsu pun bertanya pada ketuanya.
"Ketua, Nao-kun tidak diajak?"
"Hahaha, apa kau rindu? Didekat rumah ada penitipan anak yang belum lama ini buka, aku menitipkannya di sana"
"Oh.. begitu.. syukurlah anda tidak perlu repot membawa Nao-kun bekerja lagi"
"Kau bisa mampir kapan saja jika mau"
"Iya, mungkin kapan hari nanti aku akan datang berkunjung"
Selama beberapa minggu, hari-hari di kantor serasa kembali seperti semula. Mutsu dengan lancar dapat mengerjakan laporan dan perhitungan produk keluar masuk tiap harinya, Sakamoto yang dengan tenang banyak melakukan negosiasi dengan produsen maupun pembeli, bahkan komplain barang dari divisi pengiriman pun hampir tidak pernah terdengar.
Mutsu pun kembali pada rutinitas biasanya di mana saat pulang kantor, dia akan mampir ke supermarket untuk berburu diskon bahan makan, lalu sampai rumah dia akan memasak makan malamnya, setelah itu jika masih ada pekerjaan yang belum selesai akan dia selesaikan, jika tidak maka dia akan menikmati tidur lebih awal.
XXX
Jam dinding menunjukkan pukul 10 malam, tiba-tiba ponsel Mutsu berdering. Jarang sekali ada orang menelepon selarut ini. Dilayar ponselnya tertera nama kontak 'Ketua Sakamoto' tanpa basa-basi, ia segera mengangkatnya.
"Halo"
"MUTSU! Tolong aku! Nao demam aku tidak tahu harus bagaimana"
Tanpa banyak bicara lagi Mutsu segera memesan taksi dan melesat menuju kediaman Sakamoto. Benar saja, saat pintu terbuka yang dilihatnya adalah Sakamoto yang kesusahan menenangkan Naoya yang sedari tadi menangis sambil meronta-ronta.
"Astaga Nao-kun, anda sudah membawanya ke dokter?" Mutsu pun segera memindahkan Naoya ke gendongannya dan berusaha menenangkannya.
"Sudah, aku diberi obat tapi tak tahu cara meminumkannya pada bayi"
"Apa Nao-kun sudah makan?"
"Aku mencoba membuatkannya bubur tapi dia meronta-ronta terus jadi buburnya gagal"
"Ya ampun.. Akan kubuatkan buburnya, Sakamoto-san coba tenangkan Nao-kun sebentar ya"
Setelah menyerahkan Naoya kembali pada ayahnya, Mutsu dengan cekatan langsung memasak bubur di dapur. Seperti yang Sakamoto ceritakan, dilihatnya sepanci penuh berisi bubur gagal ciptaan ayah satu anak itu di dapur. Tak butuh waktu lama, bubur buatan Mutsu pun jadi dan sesegera mungkin ia menyuapkan bubur hangat itu pada si Nao kecil.
Selesai makan, Mutsu meminta obat yang diberikan dokter, lalu menggerus obat-obat itu sampai menjadi bubuk dan kemudian dicampur dengan sedikit madu agar tidak terlalu pahit saat diminum Naoya. Beberapa saat setelahnya, Naoya akhirnya bisa tenang dan tertidur. Tak lupa pula dipasangnya plester demam untuk menurunkan panas tubuh bocah itu.
Seusai menidurkan Naoya di kamar, Sakamoto dan Mutsu melepas lelah mereka di ruang tamu.
"Mutsu, kau mau jus?"
"Boleh"
Mereka mengobrol sebentar sembari menikmati minuman masing-masing.
"Kau terlihat tidak kaku dengan anak kecil Mutsu, aku cukup terkejut hahaha"
"Itu karena dulu saat SMA aku tinggal di rumah kerabat, jadi saat mereka bekerja, aku yang merawat anak-anak mereka"
"Wah sudah terlatih rupanya, hahaha hahahaha"
Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam kala itu. Menyadari bahwa sudah selarut ini Mutsu pun sedikit panik dan ingin segera pulang.
"Menginap saja di sini, ada satu kamar kosong, kau bisa memakainya"
Meskipun sedikit sungkan, Mutsu tetap menerima tawaran dari bos-nya karena tak ada pilihan lain dibanding dia harus pulang sendiri di tengah malam. Setelah menunjukkan kamar yang dimaksud, Sakamoto langsung kembali ke kamar tempat di mana Naoya tidur. Diamatinya sebentar kamar itu, terdapat beberapa dekorasi anak-anak juga mainan, juga bekas tempat tidur bayi yang terlipat di ujung. Sepertinya kamar ini bekas kamar Naoya saat bayi dulu. Mungkin sepeninggal istrinya, Sakamoto memindahkan Naoya agar tidur bersamanya.
Sebuah futon sudah tergelar disana, malam itu Mutsu terlelap di dalam ruangan kecil dipenuhi hawa Naoya.
XXX
"Bagaimana keadaan Nao-kun?" tanya Mutsu di suatu sore selepas kerja. Biasanya dia akan langsung pulang ke rumahnya namun karena kemarin Naoya masih demam dan membuat Sakamoto terpaksa tidak masuk kerja, tak dipungkiri bahwa Mutsu juga mengkhawatirkan anak kecil itu.
"Panasnya sudah turun, tapi dia tidak mau makan sejak siang tadi" jawab ayah Naoya.
Mendengar hal itu, Mutsu segera melancarkan jurusnya untuk membujuk Naoya agar mau makan. Secara ajaib, Naoya langsung mau makan dengan gerakan seolah ada pesawat masuk, setidaknya itulah rasa takjub yang dilihat dengan mata kepala Sakamoto. Tanpa sadar sudah beberapa menit dia hanya memandangi anaknya yang sangat nurut dengan Mutsu. Sedikit rasa hangat yang pernah ada rupanya kembali muncul dalam dirinya.
Ting tong, bel rumah berbunyi. Sakamoto segera membukanya dan nampaklah siapa tamu yang datang.
"Nii-san! Kudengar Naoya sakit, apa benar?"
Dia adalah Tsukuyo, adik perempuan Sakamoto. Dia datang bersama suami dan juga dua anak kembarnya.
"Ahaha, yaa begitulah, tapi sudah mendingan sekarang hahahaha"
"Ih nii-san ini kebiasaan segala hal dibawa santai, mana Nao sekarang? Aku mau ketemu"
"Di dalam, Nao masih makan"
Tsukuyo segera berjalan riang sambil memanggil-manggil Nao.
"Nao-chaan~ Tante Tsukki datang~"
Nao yang mendengar suara Tsukuyo rupanya langsung bereaksi dan akan berlari ke arahnya. Namun karena masih pusing, anak itu malah jatuh tersandung yang untungnya dapat ditangkap oleh Mutsu sehingga tidak sampai berdebam di lantai.
"Ups, Nao-kun hati-hati kalau jalan" ucap Tsukuyo yang segera duduk menghampiri Naoya.
Segera Naoya berpindah ke pangkuan Tsukuyo saat wanita itu duduk di samping Mutsu. Karena ini kali pertama mereka bertemu, Tsukuyo pun berkenalan dengan Mutsu.
"Halo, aku Tsukuyo, adiknya Tatsuma. Apa kau pacarnya nii-san?"
"Ah iya, aku Mutsu, aku bukan—"
Belum sampai Mutsu selesai bicara, sebuah suara memotong pembicaraannya.
"Loh, Mutsu?" seorang lelaki yang tak asing bagi Mutsu masuk dan menyelanya.
"Sakata-san?"
"Eh, kau sudah kenal suamiku?" ujar Tsukuyo tiba-tiba.
"Suami? Berarti Sakata-san dan Sakamoto-san itu.."
"Ahahaha, dia adik iparku, hahaha" tiba-tiba Tatsuma datang dan bergabung dengan mereka. Dua anak Tsukuyo pun ikut masuk dan juga memperkenalkan diri pada Mutsu.
"Aku Kamui"
"Aku Kagura"
Ucap dua bocah itu bergantian. Mutsu merasa gemas sekali dengan dua bocah itu. Rupanya Tsukuyo dan Mutsu cepat akrab dan seperti wanita kebanyakan, mereka cepat sekali membicarakan banyak hal. Di samping mereka, Naoya juga terlihat semakin ceria setelah kedatangan dua sepupunya.
"Eh cewek-cewek, kami keluar dulu ya" ucap Sakamoto pada dua wanita di rumahnya.
"Iya hati-hati kalian, jangan kembali terlalu malam" balas Tsukuyo.
XXX
Duduklah kedua kakak beradik ipar itu di sebuah kedai sake diujung blok. Mereka memesan sebotol sake dan saling menuangkan pada gelas lawan bicaranya.
"Tatsuma, tak kusangka kau berani me-mepet bawahanmu" ucap Gintoki sembari menuangkan sake pada gelas Sakamoto.
"Ahaha mepet katamu? Rasanya Nao yang justru lebih mepet dibanding aku"
"Jadi, sudah sejauh mana kalian?"
"Jauh secara literal, sampai menjemput Nao di penitipan"
"Humormu tidak lucu bung"
Percakapan terjeda dengan mereka yang sama-sama meneguk sake dari gelas masing-masing.
"Kau beneran suka wanita itu ya?" tanya Gintoki pada teman sekaligus kakak iparnya.
"Suka ya? Hmm.. Rasanya aku memang cukup tertarik padanya"
"Yasudah kencani saja dia, toh kau single kan sekarang"
"Haha, tidak semudah itu Kintoki, begini-begini aku masih sedikit berharap, suatu saat nanti Oryo akan kembali. Tak perlu untukku, demi Naoya saja sudah cukup" ucap Sakamoto dengan mengulas senyum pedih di bibirnya.
"Namaku Gintoki bodoh, sudahlah jangan bersedih, kita minum saja dulu sekarang, ok?"
XXX
"Girls! Kami kembali! Hahaha hahaha!"
Suara keras Tatsuma kembali terdengar lagi di ruangan itu setelah sekitar dua jam dia pergi minum dengan Gintoki. Seperti dugaan Tsukuyo, dia sudah hafal dengan kebiasaan kakaknya yang sulit menahan hasrat meminum sake. Sakamoto pulang dengan dibopong Gintoki, cukup terlihat kacau dengan meracaukan tawa-tawa tidak jelasnya.
"Merepotkan sekali orang satu ini" ucap Gintoki sambil membanting Tatsuma di sofa.
"Hahaha hahaha, Kintoki kau kasar sekali pada kakakmu ini, hahaha"
"Cih, tak sudi aku memanggilmu kakak, dasar bodoh. Oi Tsukuyo, ambilkan obat mabuk untuknya, bisa repot kalau dia tidak masuk kerja lagi besok"
Setelah diambilkan obat oleh Tsukuyo, Sakamoto segera meminumnya dan berusaha mengembalikan kesadarannya.
"Sudah ya, kami pulang dulu, jaga Naoya dengan benar" ujar Gintoki sebelum akhirnya pulang bersama istri dan anak-anaknya.
"Jaa, aku juga akan pulang Sakamoto-san" saat akan beranjak, tangan Mutsu ditahan oleh Sakamoto.
"Jangan pergi Oryo, Naoya membutuhkanmu" gumam pria itu.
Sontak saja Mutsu terkejut dengan apa yang didengarnya. Oryo? Apa itu nama istrinya? Mutsu tak pernah mendengar nama itu sekalipun.
"Sakamoto-san.. Tenanglah, Nao-kun sudah tidur di kamarnya, lagi pula aku ini Mutsu, bukan Oryo"
Saat menyadari bahwa yang digenggamnya itu bukan tangan istrinya, Tatsuma segera melepasnya dan menjadi gugup. "Maaf, aku sedikit melantur Mutsu" ujarnya.
"Aku pulang dulu ya, Sakamoto-san" dan kemudian Mutsu segera pamit meninggalkan rumah itu.
Semakin hari Mutsu semakin dekat dengan anak pemimpinnya itu, bahkan tak jarang kalau Naoya sendiri yang meminta bertemu dengan Mutsu. Sudah tidak asing lagi bagi guru di penitipan Naoya jika Mutsu yang menjemputnya. Apalagi di minggu-minggu ini saat perusahaan mendapat pesanan dalam jumlah besar, Sakamoto semakin sibuk dan semakin sering meminta tolong Mutsu untuk menjemput Naoya bahkan memberinya kunci rumah agar bisa menemani Naoya sampai dia pulang dari kerja.
Karena hal ini, tak jarang pula Mutsu membuat makan malam di sana. Awalnya hanya untuk dirinya dan Naoya, tapi lama-lam Mutsu berpikir, apa salahnya jika porsinya dilebihkan sedikit. Dan begitulah ceritanya bagaimana setiap pulang kerja Sakamoto sudah tidak bingung makan malam lagi.
"Mutsu, akhir pekan ini kau kosong tidak?" tanya Sakamoto di suatu malam selepas kerja.
"Saya tidak ada kegiatan sih, memang kenapa?"
"Aku mau ajak Naoya ke kebun binatang, kau mau ikut?"
"Boleh saja, apa sekalian piknik?"
"Piknik ya.. aku tidak memikirkannya sih, tapi kalau Mutsu membawa makanan, kupikir Nao akan senang"
"Oke kalau begitu"
"Hari Sabtu, kita bertemu di depan kebun binatang ya"
XXX
Dan tibalah di hari Sabtu yang dijanjikan. Mutsu sudah datang lebih dulu dengan membawa satu keranjang piknik ditangannya. Sudah lewat 15 menit dari waktu yang dijanjikan, Mutsu mulai bertanya-tanya apa ada sesuatu yang terjadi.
Tak lama kemudian, dari kejauhan terlihat sosok pria dan anak kecil yang sedari tadi dinantinya. Namun yang menyita perhatiannya sekarang adalah, dua sosok anak kecil laki-laki dan perempuan yang masing-masing digandeng di kiri dan kanan Sakamoto. Rupanya tak hanya Naoya, dua keponakan Sakamoto juga ikut hari ini.
"Umm.. Anda tidak bilang kalau Kamui dan Kagura juga ikut"
Dengan napas terengah-engah, Sakamoto pun menjawab "Ini mendadak! Tidak sengaja aku bilang ke Tsukuyo kalau mau pergi dengan Nao, tiba-tiba dia menitipkan anaknya agar dia bisa yaa kau tau, dengan suaminya"
"Oh, hahaha, iya saya paham" Mutsu pun menanggapinya dengan canggung.
"Ayo kita beli tiket dulu" dan mereka pun menuju loket.
Sesampainya di loket, Sakamoto memesankan tiket untuk mereka.
"Tolong tiket untuk 5 orang" ucap Sakamoto.
"Apa anda membawa keluarga? Kami punya paket keluarga untuk 5 orang dengan harga lebih murah" ucap penjaga loket yang memberikan tawaran pada mereka.
"Eh, tapi kami bukan—" belum selesai Mutsu berbicara, omongannya sudah terpotong oleh Sakamoto yang berkata "Baiklah, kuambil paket itu".
Setelah mendapat tiket masing-masing, mereka pun masuk ke dalam kebun binatang. Baru masuk saja mereka sudah di suguhi dengan patung jerapah dan gajah yang menjadi maskot di sini dikelilingi dengan air mancur dan sebuah papan bertuliskan selamat datang. Kagura dan Kamui melihat air mancur itu dengan berbinar, bahkan Kagura hampir saja menceburkan diri kalau tidak sempat ditahan oleh Sakamoto.
Banyak sekali hewan-hewan yang mereka liat di sana, mulai dari unggas hingga reptil, hewan darat hingga udara, herbivor hingga karnivora, koleksi kebun binatang ini cukup lengkap rupanya. Tidak ketinggalan dengan berbagai aktivitas seperti atraksi lumba-lumba, menunggangi kuda dan gajah sampai taman bermain mini untuk anak-anak.
"Paman, aku tidak bisa lihat beruang" kata Kamui pada Sakamoto. Kemudian, Sakamoto mengangkatnya hingga tingginya cukup untuk melihat beruang dari balik kerumunan banyak orang. "Woah" tak heran jika Kamui takjub dengan apa yang dirasakannya saat ini, bisa berada tinggi melebihi orang-orang dan dapat melihat sekeliling dengan jelas. "Paman, selanjutnya aku!" pinta Kagura tak mau kalah.
Setelah beberapa lama berkeliling, rupanya Kamui, Kagura bahkan Naoya pun mulai menunjukkan tanda capek. Dengan cepat Mutsu pun mencari tempat yang nyaman di bawah pohon rindang lalu menggelar karpet kecil sebagai alas duduk mereka.
Kamui dan Kagura sudah tidak sabar menunggu Mutsu yang mengeluarkan kotak-kotak bento satu persatu dari dalam keranjang. Untungnya, makanan yang dibawanya cukup untuk mereka santap bersama. Naoya pun tampak suka dengan cookies yang dibawa oleh Mutsu.
Selesai makan, rupanya Naoya tidak ingin lepas dari Mutsu, jadinya bocah itu beralih ke gendongan Mutsu sekarang. Melihat pamannya yang tanpa beban, Kamui menjadi iseng dan minta digendong di pundak. Sakamoto memang tidak keberatan namun yang terjadi adalah Kagura yang iri pada saudaranya. Mereka berdua pun beradu siapa yang akan digendong oleh pamannya. Mutsu pun menyarankan mereka untuk suit, yang menang boleh digendong paman. Dan pemenangnya adalah Kagura!
Sudah menjadi kebiasaan kalau anak kecil akan tertidur ketika capek. Saat ini mereka tengah berada di dalam kereta, dengan Kamui dan Kagura tidur bersandar pada pamannya, dan Naoya yang terlelap dalam pelukan Mutsu. Bukan anak bocah-bocah itu saja yang lelah, dua orang dewasa ini juga merasakan hal yang sama. Tak sadar, Mutsu ikut tertidur dan tak sengaja kepalanya jatuh di pundak Sakamoto. Sakamoto yang sebenarnya setengah terlelap tiba-tiba kaget. Namun melihat Mutsu yang terlelap begitu, mana tega dia membangunkannya.
"Maaf ya kau jadi pulang lebih lama" ucap Sakamoto pada Mutsu saat mereka kembali dari mengantar Kamui dan Kagura ke rumahnya.
"Tak apa, kita memang harus mengantar Kamui-kun dan Kagura-chan dulu kan"
"Sini biar aku saja yang gendong Naoya"
"Tak apa Sakamoto-san, lagi pula rumah anda sudah dekat, sekalian saja"
Sampailah mereka di kediaman Sakamoto. Mutsu segera merebahkan Naoya yang tertidur pulas ke futon di kamarnya. Setelah itu dia menuju ruang tamu di mana Sakamoto telah menyiapkan teh panas untuknya.
"Mutsu, kau pasti capek sekali hari ini, kita ketambahan dua bocah menyusahkan hahaha"
"Tidak, justru aku merasa senang bisa jalan-jalan dengan Kamui-kun dan Kagura-chan juga"
"Hahaha, benarkah? Ahh, menggendong dua anak sekaligus ternyata tidak mudah, tidak heran kalau Kintoki sekuat itu"
"Iya, anda benar haha, anda terlihat kesusahan sekali tadi waktu membawa Kagura-chan dan Kamui-kun turun dari kereta"
Percakapan mereka terhenti sementara, digantikan dengan saling menyeruput teh dari cangkir masing-masing.
"Sakamoto-san" panggil Mutsu yang langsung direspons dengan tolehan kepala oleh Sakamoto.
"Terima kasih untuk hari ini, aku sungguh menikmatinya" ucap Mutsu dengan senyumannya yang menawan.
Bak diterpa sakura di musim semi, entah mengapa pemandangan yang dilihat Sakamoto kini sangat indah. Seorang wanita tersenyum padanya. Senyum cerah yang penuh akan kebahagiaan, entah kapan terakhir kali ada orang yang menunjukkan senyuman seperti ini padanya. Jantungnya seperti memiliki kehendak sendiri, perlahan dapat dirasakannya degupan dada yang semakin keras. Namun ia menolak, tak mungkin di umurnya yang sekarang ia merasa kasmaran.
"Mutsu!" panggilnya.
"Iya, Sakamoto-san?" jawab Mutsu.
"A-akhir pekan depan.."
"Ada apa di akhir pekan depan?"
"Apa kau bisa makan malam denganku? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan"
Mutsu terdiam tanda tak percaya dengan ajakan atasannya. Apa mungkin dia salah dengar? Tapi melihat atasannya itu yang mengatakannya dengan sedikit tersipu, rasanya tidak mungkin jika kalimat tadi hanya suatu kesalahan.
"Boleh saja" merupakan jawaban akhir dari Mutsu.
XXX
Tak henti-hentinya Mutsu terngiang-ngiang ajakan Sakamoto. Makan malam bersama? Apa ini sebuah ajakan kencan? Apa atasannya itu sedang berusaha mengencaninya? Apa benar dia akan berkencan dengannya? Dan apa pula maksud ekspresi tersipu dari Sakamoto-san? Apa yang dimaksud membicarakan sesuatu? Diam-diam Mutsu mulai gugup memikirkannya. Padahal masih satu minggu lagi, namun dirinya sudah mulai kekurangan waktu tidur akibat pemikirannya.
XXX
Tibalah di hari yang dijanjikan. Setelah diberi tahu melalui email di mana alamat restorannya, Mutsu segera memesan taksi untuk menuju ke sana. Pelayan pun mengantarkannya pada meja yang telah dipesan oleh pimpinannya. Di sana, Sakamoto Tatsuma telah menunggunya.
"Maaf saya terlambat, Sakamoto-san" ucap Mutsu.
"Ah tidak, aku belum menunggu lama, duduklah Mutsu"
Mutsu pun duduk di kursi seberang Sakamoto, kemudian pria itu memesankan makanan pada pelayan. Sambil menunggu makanan datang, mereka berbasa-basi sedikit seperti membicarakan cuaca ataupun suasana jalanan. Tak lama kemudian, makanan pun tersaji dan mereka menyantap makanan itu.
Tak banyak yang mereka bicarakan saat makan. Bukannya tak ada topik atau pun canggung, mereka berdua sama-sama gugup di situ. Mutsu memang tidak terbiasa dengan hal seperti ini begitu pula Sakamoto, ini merupakan kali pertama dia mengajak seorang wanita untuk makan malam bersama setelah menikah.
Tak terasa keheningan mereka berlanjut sampai keduanya menghabiskan makanan masing-masing. Karena ditekan rasa penasaran, akhirnya Mutsu memberanikan diri untuk membuka pembicaraan.
"Sakamoto-san, sebenarnya hal apa yang ingin anda bicarakan pada saya?"
Sedikit kikuk, Sakamoto menjawab "Itu.. Umm.."
"Mutsu, mungkin saat itu aku memang bercanda. Namun setelah ku pikir-pikir lagi.. Apalagi melihat kedekatanmu dengan Naoya, aku sepertinya akan menawarimu sebuah pekerjaan"
"Sebuah pekerjaan?"
"Iya, menjadi ibu paruh waktu, untuk Naoya"
"Maksud anda babysitter?"
"Bukan, tapi sosok 'ibu' untuk Naoya"
"Tunggu, tunggu, saya tidak paham maksud anda"
"Aku ini ayah yang payah, kau tahu. Bahkan membawa kembali ibunya pun aku tak bisa. Mungkin mudah kata orang carilah istri baru atau apa, tapi bagiku itu bukan hal main-main. Aku tidak ingin Naoya tumbuh dengan kekurangan sosok ibu untuknya. Dan menurutku, yang cocok untuk posisi itu sekarang hanyalah dirimu, Mutsu"
"Ta-tapi Sakamoto-san, ini mendadak sekali! Aku tidak tahu harus menjawab apa"
"Aku akan menggajimu Mutsu, di luar gaji kantor! Kumohon.." Sakamoto rupanya serius dengan ucapannya bahkan kini ia mengatupkan kedua tangannya tanda dirinya benar-benar memohon pada Mutsu.
Mutsu terdiam sebentar, tentu saja ini bukan perkara mudah untuknya. Menjadi ibu paruh waktu? Apa-apaan itu, seumur-umur baru ini Mutsu mendengar istilah itu.
"Sakamoto-san, aku tidak tahu apa aku memang pilihan yang tepat untuk hal seperti ini. Tapi melihat anda yang memohon padaku juga Naoya yang masih kecil. Kurasa, aku akan mencobanya.."
"Benarkah, Mutsu?" dengan mata berbinar, Sakamoto memandang Mutsu dengan penuh harap.
"Akan kucoba, Sakamoto-san" jawab Mutsu dengan ulasan senyum pada sudut bibirnya.
"Ahaha ahahaha" terdengar tawa ringan lolos dari mulut Sakamoto. Berbeda dengan tawa biasanya yang keras dan menggema, tawa ini terdengar lembut dan penuh kelegaan.
"Oh ya Mutsu, satu hal lagi"
"Apa itu, Sakamoto-san?"
"Ini permintaan dariku, bolehkan jika aku ingin mengenalmu lebih jauh, secara pribadi?"
Bukan kata atau kalimat, Mutsu justru meloloskan tawa ringan juga seperti Sakamoto. Dia yang bingung dengan sikap Mutsu pun hanya bisa memberikan raut heran padanya.
"Anda lucu sekali Sakamoto-san" ujar Mutsu.
"Untuk hal itu, seharusnya anda tidak perlu bertanya lagi pada saya!"
Hari-hari Mutsu berikutnya dipenuhi dengan Naoya. Setiap pulang kerja dia akan mendatangi kediaman Sakamoto, menemani Naoya hingga anak itu terlelap, lalu Mutsu akan kembali ke rumahnya. Bukan suatu rutinitas baru memang, sebelum menjadi Ibu paruh waktu pun dia sudah beberapa kali melakukan hal seperti ini.
Hubungan Mutsu dengan Sakamoto pun semakin dekat seiring banyaknya waktu yang Mutsu habiskan bersama putra kecilnya. Tak hanya Naoya, Mutsu kini mulai hafal kebiasaan ayahnya juga. Seperti Sakamoto yang selalu melepas jaket sebelum sepatu, atau Sakamoto yang selalu menyalakan TV saat masuk ruang tamu meski tak berniat untuk dilihat, atau pun Sakamoto yang ternyata bisa berteriak melengking ketika bertemu kecoak terbang. Mutsu kadang bertanya-tanya, bagaimana orang sebaik Sakamoto Tatsuma bisa ditinggalkan oleh istrinya.
Tanpa pernah Mutsu sadari, entah sejak kapan dirinya dipenuhi akan sosok lelaki jangkung beranak satu itu. Baginya, meskipun kikuk dan banyak melakukan kesalahan, Sakamoto bukanlah sosok lelaki yang gagal. Justru di setiap kesalahan yang ia perbuat, ia akan berusaha untuk tidak mengulanginya lagi. Begitu pun kepada Naoya, meskipun sudah ada Mutsu, lelaki itu tetap akan merawat Naoya semampunya, tak pernah ia kesampingkan Naoya dari hal apa pun.
Sesekali Mutsu tak langsung pulang apabila Naoya terlelap lebih awal dari biasanya. Dia akan menggunakan waktunya untuk membahas hal kantor, mumpung di rumah pimpinannya. Seperti halnya kali ini, jam masih menunjukkan pukul 8 namun sejak 15 menit yang lalu, Naoya sudah tertidur karena kelelahan bermain di tempat penitipan. Sakamoto sedikit pulang terlambat kala itu. Saat memasuki rumahnya, dilihatnya Mutsu tengah berkutat dengan laptop.
"Mutsu, kau sedang apa?"
"Ah, Sakamoto-san, selamat datang"
"Naoya di mana?"
"Sudah tidur, sepertinya dia banyak bermain hari ini. Sakamoto-san, jika anda ada waktu sebentar, saya ingin menanyakan hal ini" Mutsu pun memutar laptopnya ke arah Sakamoto.
Sebuah laporan barang masuk dan keluar, sebuah pekerjaan yang biasa dilakukan oleh Mutsu. Dilihat sekilas tak ada yang aneh dengan laporan ini, sangat rinci dan teliti seperti yang biasa Mutsu buat.
"Apa ada yang salah?" tanya Sakamoto padanya.
"Bagian ini, saya sudah melakukan 5 kali penghitungan ulang tapi tetap saja ada perbedaan jumlah barang masuk dan keluar, apa anda mengetahui sesuatu?"
Sakamoto memperhatikan bagian yang ditunjukkan oleh Mutsu. Setelah mengingat-ingat dan berpikir ulang, ia pun memberi jawaban kepada Mutsu.
"Oh ini, hahaha iya aku lupa belum memberitahumu blablabla" Sakamoto menjelaskannya dengan sangat detail. Tapi bukan itu yang menyita perhatian Mutsu. Sepasang mata beriris sejernih birunya lautan, sejak kapan binar mata itu begitu indah, seakan siap membuatnya tenggelam ke dalamnya.
"Mutsu, kau mendengarkanku?" kalimat itu sukses memecahkan lamunan Mutsu. Tertangkap basah Mutsu sedang memandangi atasannya, dia menjadi salah tingkah dan gugup. Jantungnya berdebar, wajahnya memerah.
Kegugupan Mutsu semakin menjadi ketika disadarinya ketuanya itu perlahan mendekatkan wajahnya padanya. Ting! Suara microwave terdengar menjadi penyelamat Mutsu kala itu. Dengan cepat dia berlari mengambil makanan panas dari microwave.
"Woah, gyoza! Buatan sendiri?" ujar Sakamoto sembari menyantap sepotong gyoza, dia berkata seolah tak ada yang terjadi barusan.
"Bu-bukan itu, aku mampir di kedai depan stasiun tadi. Untuk Sakamoto-san" jawab Mutsu yang masih menenangkan diri dari kegugupan.
"Ahaha terima kasih Mutsu, aku sangat tertolong" balas Sakamoto dengan senyum riang di wajahnya.
XXX
Minggu ini, usia Naoya akan genap menjadi dua tahun. Untuk merayakannya, Tatsuma membuat pesta kecil untuk putranya. Tak mungkin Mutsu akan melewatkan ini. Dengan membawa sebuah bingkisan kecil ditangannya, Mutsu mengetuk pintu kediaman Sakamoto. Tak lama kemudian Tsukuyo yang sudah datang lebih dulu membukakan pintu dan mempersilahkan Mutsu untuk masuk.
Tak hanya Tsukuyo saja, kedua anaknya dan suaminya pun turut ikut dalam pesta kecil ini. Sebuah kue tar berukuran 24-inch telah siap diatas meja dengan lilin berbentuk angka 2 di atasnya. Di samping meja itu terdapat beberapa kado untuk Naoya, di mana Mutsu juga meletakkan miliknya. Dekorasi sederhana dan beberapa balon terlihat menghiasi ruangan, meski beberapa sudah terlepas karena dimainkan oleh Kagura dan Kamui. Yang berulang tahun hari itu, Naoya terlihat sangat rapi mengenakan kemeja biru yang senada dengan apa yang dikenakan ayahnya.
Sambil masih membantu beberapa persiapan, tak sengaja Mutsu mendengar sebuah percakapan antara Tatsuma dan Tskuyo di luar ruangan.
"Apa perempuan itu akan datang?" ucap Tsukuyo.
"Dia punya nama Tsukuyo, cobalah sebut namanya" jawab Tatsuma.
"Aku tidak mau. Dia sudah meninggalkan suami dan anaknya, untuk apa aku masih segan padanya?"
"Jaga ucapanmu Tsukuyo! Oryo bukanlah orang yang buruk!"
"Lalu apa namanya? Hari ini putranya berulang tahun dan dia tak menunjukkan iktikad sama sekali, tak ku sangka nii-san masih bisa membela perempuan itu"
"Cukup Tsukuyo!"
Ting tong, bel rumah pun berbunyi. Bunyi itu berhasil menghentikan perdebatan kedua suara itu. Mutsu yang berada dekat dengan pintu pun membukanya, melihat siapa yang datang.
Ternyata seorang kurir, mengantarkan sebuah kotak berukuran sedang. Setelah mengecap tanda terima Mutsu pun membawa kiriman itu masuk ke dalam. "Apa itu Mutsu?" tanya Tsukuyo.
"Kiriman kue untuk Nao-kun, dari Fujisaki Ryo" jawab Mutsu.
"Fujisaki ya.. aha.. hahahaha" tak disangka, respon Tatsuma adalah tertawa. Namun tawa ini terdengar berbeda, lelaki itu menyandarkan dirinya di dinding, dia menunduk sembari menggumamkan tawa yang kosong.
"Nii-san!" gertakan Tsukuyo rupanya menyadarkan Tatsuma. Seketika lelaki itu menggelengkan kepala dan kembali bertingkah normal. "Ayo, kita mulai pestanya"
Mendapat dua kue ulang tahun memang menyenangkan. Apalagi bagi Gintoki yang sangat suka makanan manis. Dengan dibantu ayahnya, pria kecil itu meniup lilin ulang tahunnya diiringi dengan tepuk tangan dari para tamu. Selanjutnya potong kue, bagian yang dinanti-nanti semua orang. Pesta sederhana itu terasa sangat menyenangkan, setidaknya untuk Naoya saat ini.
Satu setengah tahun pun berlalu, Mutsu sudah semakin terbiasa dengan pembagian waktu kerjanya di kantor maupun di rumah Naoya. Nao kecil pun sudah semakin lancar berbicara, kini ia sudah bisa memanggil nama Mutsu dengan benar. Mutsu-nee panggilnya. Si kecil Naoya tumbuh dengan kasih sayang penuh dan perhatian dari Tatsuma dan Mutsu.
Nampaknya, Sakamoto juga beberapa kali mengikuti perjodohan, namun selalu berakhir gagal. Entah karena ketidakcocokan penampilan, sifat, sampai gaya hidup. Sudah tak asing untuk Mutsu mendengarkan curhatan-curhatan Sakamoto yang gagal dalam perjodohan. Begitu pula untuk Mutsu, beberapa kali ikut kencan buta malah tak ada yang nyantol sedikit pun. Bedanya, Mutsu terlalu malu apabila akan curhat pada pimpinannya, mentok dia akan bercerita pada Tsukuyo.
Beberapa rekan kantor semakin sering menggoda dan mencomblangkan mereka. Namun tak satu pun dari kedua orang itu yang rasanya mau mengambil langkah selanjutnya. Entah lah, hati manusia siapa yang tahu.
Pada suatu hari, saat Mutsu sedang berjalan dari pantri kembali ke meja kerjanya, seorang wanita tampak berdiri di depan kantor dengan cemas. Mutsu pun menghampiri wanita itu.
"Selamat siang nyonya, apa ada yang bisa dibantu?"
"Ah!" wanita itu terkejut. Dia terdiam seperti ragu untuk menjawab.
"A-apa ini kantor Sakamoto Tatsuma?" tanya wanita itu.
"Iya betul, apa anda memiliki janji dengan Sakamoto-san?"
"Tidak, tapi bisakah aku bertemu dengannya?"
Mendengar permintaannya, Mutsu tak bisa langsung setuju. Dia perlu menanyakan dulu pada pimpinannya. Sembari menunggu Mutsu kembali, wanita itu pun duduk di resepsionis sambil melirik-lirik isi kantor kecil itu. Tak lama kemudian, Mutsu kembali dengan membawa kabar bahwa Sakamoto bisa ditemui, kemudian dia mengantar wanita itu sampai ke ruangan Sakamoto.
Setelah mengetuk beberapa kali, Sakamoto membuka pintu dan terkejutlah dia saat melihat siapa tamu yang datang. Tak ada sepatah kata pun terucap selain "lama tak jumpa" dari mulut wanita itu. Mutsu sendiri pun merasa aneh dengan atmosfer ini, tak lama akhirnya Mutsu pergi dan Sakamoto meminta wanita itu masuk ke dalam ruangannya, kemudian ditutupnya rapat-rapat pintu ruangan itu.
XXX
Awalnya Mutsu tak menaruh peduli pada kedatangan wanita itu, namun ketika dilihatnya wanita itu keluar dengan mata berkaca-kaca dan raut wajah penuh emosi, mau tak mau Mutsu menjadi penasaran. Apalagi sepeninggal wanita itu, Sakamoto keluar dengan speechless dengan mata yang entah menerawang ke mana. Gintoki yang kebetulan lewat pun memberikan reaksi terkejut yang kemudian dihampirinya Sakamoto sambil bertanya "oi, kau tak apa?" padanya.
"Kintoki, bisa tidak jika hari ini Naoya kutitipkan padamu?"
XXX
Pukul setengah 8 malam, Mutsu lembur sebentar di kantor karena membuat ulang laporan bulan lalu yang tak sengaja terhapus. Hari ini, setelah kedatangan wanita itu, Sakamoto pergi entah ke mana dan tak terlihat lagi sampai jam kerja berakhir. Mungkin dia hanya ingin pulang lebih awal, pikir Mutsu.
Karena sudah lama tak memiliki waktu luang selepas kerja, Mutsu iseng mengunjungi sebuah izakaya di dekat stasiun. Niat hati ingin menikmati seporsi gyoza dan segelas bir, namun yang ditemuinya justru seseorang yang sangat dikenalnya tengah mabuk berat dengan dua botol sake yang terlihat di mejanya.
"Sakamoto-san?!"
"Ah.. Mutsu yaa.. Mencariku? Sini-sini duduklah hahahaha"
Pria itu benar-benar mabuk berat.
"Sakamoto-san, anda sudah terlalu banyak minum!"
"Memangnya kenapa? Tidak ada yang peduli denganku, hahahaha"
"Aku peduli denganmu Sakamoto-san!" suara Mutsu terdengar seperti membentak. Mendengar itu, Sakamoto sepertinya tidak ingin kalah.
"Oh ya?! Buktikan!"
Layaknya John Cena, Mutsu ternyata bisa mengangkat pria berbobot 70 kg itu dengan mudah dan menyeretnya pulang dengan mudah. Meskipun sedang mabuk, pria itu tetap saja bisa merasa terkejut dengan apa yang dilakukan wanita ini.
"Mutsu, turunkan akuu!"
"Tidak! Aku akan membawa anda pulang!"
Mutsu benar-benar serius kali ini. Memang, perihal kekuatan terpendam Mutsu baru kali ini terungkap. Setidaknya Mutsu berhasil membawa pulang atasannya meskipun dengan paksaan.
Mutsu menurunkan Sakamoto di depan pintu rumahnya. Lalu tanpa ragu, dia meraba setiap kantong di baju Sakamoto untuk mencari kuncinya. Setelah menemukannya dan membuka pintu rumah itu, dia kembali menyeret Sakamoto masuk ke dalam rumah. Pria itu nampaknya masih cukup terkejut dengan tindakan Mutsu, dia hanya bisa pasrah melihat Mutsu yang menatapnya dengan marah.
Sebuah rasa tak enak tiba-tiba muncul dari perutnya, membuat dia harus lari ke kamar mandi untuk mengosongkan perutnya itu. Itulah akibat terlalu banyak minum. Sekembalinya dia dari kamar mandi, Mutsu sudah menunggunya untuk dimintai keterangan.
"Minum dulu airnya, Sakamoto-san" ujar Mutsu pada pria di hadapannya itu.
"Haah, maaf aku jadi merepotkanmu Mutsu" balas pria itu sambil meneguk air yang diberikan Mutsu.
"Saya tidak akan begini kalau anda tidak melakukan hal bodoh seperti tadi. Tiba-tiba anda meminta saya untuk libur sore ini dan ternyata ini alasan anda. Sekarang, di mana Nao-kun?"
"Kutitipkan di tempat Kintoki"
"Astaga! Apa yang sebenarnya terjadi pada anda?"
Sakamoto merogoh saku dalam jasnya, lalu mengeluarkan selembar kertas dan menyodorkannya pada Mutsu. Mutsu meraihnya dan membaca kertas bertuliskan 'Pengajuan Gugatan Cerai'. Sontak, Mutsu terkejut dan tak tahu harus memberi respons apa.
"Namanya Fujisaki Ryo, tim cheerleader di SMA ku dulu" Sakamoto mulai menceritakan masa lalunya.
"Dia perempuan paling cantik di sekolah, banyak yang suka padanya, termasuk aku. Ahh.. Memang high school sweetheart"
"Aku anggota tim basket, jadi sering melihatnya memberikan dukungan kepada tim kami saat bertanding. Tapi aku pengecut, tak bisa mengungkapkan perasaanku padanya"
"Kami lulus begitu saja, tidak ada kontak, dan masuk ke universitas yang berbeda. Lalu suatu hari para alumni mengadakan reuni, aku hadir dan bertemu lagi dengannya"
"Kami minum dan mulai membicarakan banyak hal, karena semakin terbawa suasana, akhirnya kita berakhir di sebuah hotel cinta"
"Paginya saat aku terbangun, dia sudah tidak ada, tanpa meninggalkan pesan atau apa. Ya pada saat itu ku pikir hanya sebuah cinta satu malam pada umumnya. Tak ku sangka tiba-tiba.."
"Haha, aku masih ingat saat dia tiba-tiba datang ke tempat kerjaku, lalu menunjukkan hasil tes kehamilan"
"Sakamoto-san.." Mutsu seakan tak percaya dengan cerita yang didengarnya, tapi hanya inilah yang bisa dia lakukan sekarang.
"Kami menikah! Tentu saja aku harus bertanggung jawab. Aku merasa inilah hadiah terindah dari tuhan untukku, aku sangat bahagia kau tahu. Aku sudah menyukainya dari SMA dan aku berhasil menikahinya, juga buah hatiku yang dikandungnya. Bisa kau bayangkan betapa bahagianya aku Mutsu? Aku sangat sangat sangat bahagia"
"Tapi sepertinya hanya aku yang merasa begitu.."
"Sejak pertama kali dia menginjakkan kakinya di rumah ini, dia tidak pernah merasa senang. Berapa kali pun kucoba untuk mengambil hatinya, membuatnya nyaman, membuatnya menerimaku, tak pernah berhasil"
"Saat Naoya lahir pun, dia sama sekali tak merasa senang. Awal-awal kelahiran Naoya yang kuingat dia hanya berdiam diri di kamar. Tsukuyo yang sejak awal membantuku merawat Naoya. Beberapa kali aku mengajaknya bicara tak pernah ada hasil, dia seperti tak ingin didekati olehku"
"Belakangan aku tahu ternyata dia memiliki kekasih sejak awal. Karena hamil pertunangannya batal, aku paham mengapa dia begitu membenciku tapi ini tidak adil! Naoya juga anaknya! Aku tak berharap lebih itu, aku hanya ingin yang terbaik untuk Naoya"
"Puncaknya mungkin aku sudah pernah cerita. Malam itu dia membawa pergi semua barangnya, meninggalkan aku dan Naoya yang menangis di tanganku. Dia memang pergi tapi kami belum resmi bercerai. Seharusnya dia masih memakai nama keluargaku sekarang tapi dia sudah memilih kembali ke nama gadisnya"
"Bersama surat ini, dia juga meminta hak asuh Naoya untuknya"
"Apa?! Itu tidak bisa! anda yang selama ini bersama Naoya!" ucap Mutsu.
"Aku tahu! Aku juga tidak mau melepaskan Naoya begitu saja! Naoya itu anakku, satu-satunya cahaya dalam hidupku. Mutsu, aku ini sangat payah"
Pria itu ternyata bisa rapuh. Sosok yang selalu Mutsu lihat sangat optimis itu kini menunjukkan sisi lemah padanya. Mutsu bisa merasakan betapa hancurnya hati pria itu saat ini. Sebuah dorongan Mutsu rasakan, ia memeluk pria itu. "Daijoubu" katanya. "Mou, daijoubu" ujarnya sekali lagi sembari menekan dengan lembut kepala pria itu dalam dekapannya.
Hangat, sungguh hangat, rasanya sudah lama sekali tak ada yang memberikan rasa ini padanya. Emosi Sakamoto pun luruh, ditumpahkannya segala kesakitan yang terpendam dalam dirinya kala itu. Dengan seluruh perasaannya, Mutsu menemaninya melewati malam terpedih dari pria itu.
Selama beberapa minggu ini, Sakamoto sedang sibuk-sibuknya. Bagaimana tidak, dia harus mengusahakan sebisa mungkin untuk mendapatkan hak asuh atas Naoya di pengadilan nanti. Untuk meringankan, Mutsu memberikan waktu lebih banyak untuk mengasuh Naoya agar tidak terlalu merepotkan ayahnya. Dalam hatinya, Mutsu juga mengharapkan agar Naoya tak pergi jauh darinya.
Hari pengadilan pun tiba, Mutsu ikut menemani Naoya yang berada dalam ruang tunggu khusus bersama perwakilan dari pihak lawan dan seorang penjaga. Selama menunggu, Mutsu tidak bisa tenang. Dari ruangan itu mereka tidak bisa tahu apa yang terjadi di hadapan meja hijau saat ini. Mutsu hanya bisa berharap cemas dengan hasil putusan akhir.
Tok tok tok, akhirnya suara ketukan palu tanda putusan terakhir terdengar. Tak lama kemudian terdengar derap langkah kaki menuju ruangan Mutsu berada sekarang. Pintu itu terbuka, menunjukkan sesosok lelaki yang terburu dengan napas terengah. Lelaki itu menuju arahnya, menerjangnya dengan sebuah pelukan kejut yang tak terduga. "Yokatta Mutsu, yokatta..".
"Papa..!" Naoya kecil pun tak mau kalah dan ikut memeluk papanya. Tanpa penjelasan lanjut pun, Mutsu tahu apa yang terjadi.
"Tatsuma-san" dari balik tubuhnya, terdengar sebuah suara wanita yang memanggil Sakamoto. Mereka pun melepas pelukan dan berbalik arah menghadap wanita itu. Di sana, Oryo mengulas senyum kepada mereka.
"Selamat kepadamu, Tatsuma-san" ujarnya sambil menjabat tangan Sakamoto.
"Ah, maaf aku belum memperkenalkan diri, namaku Fujisaki Ryo, mantan istri Tatsuma-san sekaligus ibu Naoya"
Mutsu sudah menduga itu, namun untuk Naoya yang sejak kecil ditinggal ibunya, hal ini memberikan sedikit kebingungan untuknya.
"Papa, kenapa tante itu mengatakan hal aneh? Kata Papa, Mama Nao seorang putri yang tinggal jauh di bulan" tanya bocah kecil itu pada ayahnya.
Oryo terkejut, tak disangkanya Tatsuma akan membuat alasan seperti itu perihal keberadaan ibunya. Namun karena Naoya juga anaknya, dia tak mungkin akan menghancurkan realita dalam pikiran bocah itu.
"Naoya, kemarilah" panggil Oryo pada putranya. Nao kecil menurut dan menghampiri Oryo.
"Hei pangeran kecil! apa kau tak mengingat Mama mu sendiri? Padahal Mama rindu sekali padamu" ujar Oryo sambil memeluk erat putra kecilnya itu.
"Jadi tante beneran Mama? Kalau Mama putri, berarti aku pangeran?"
"Tentu saja pangeran! Tapi, karena Mama harus cepat kembali ke bulan, Mama jadi tidak bisa lama bertemu denganmu"
"Mama jangan pergi.."
Mata Oryo berkaca, sudah lama sekali ia tak memeluk putra kecil kesayangannya itu. Dia mungkin menyesal, namun jika dipaksa yang ada hanya hati yang saling menyakiti satu sama lain. Keputusan ini mungkin memanglah yang paling tepat untuk keluarga kecilnya.
"Naoya, Naoya dengarkan Mama. Mama minta maaf, Mama tidak bisa temani Naoya, Naoya sekarang sama Papa dulu ya, baik-baik sama Papa, nurut sama Papa. Meskipun Mama nanti jauh, Mama pasti bakal sering hubungi Nao. Jadilah pangeran kecil yang buat Papa Mama bangga, Mama sayang sama Nao"
"Nao sayang Mama"
"Boleh aku bergabung?" Tatsuma tiba-tiba menyela mereka berdua.
"Oh, jangan bercanda Tatsuma, kemarilah. Mari kita berpelukan"
Mereka pun berpelukan sebagai sebuah keluarga, untuk yang pertama dan terakhir kalinya.
XXX
Genap sudah dua tahun namanya Sakamoto Tatsuma resmi menjadi duda. Naoya kini sudah mulai bersekolah, yang berarti Mutsu sudah tidak sesibuk dulu untuk merawat Naoya. Karena setiap sorenya Naoya akan diantar pulang oleh guru di sekolahnya, maka Mutsu hanya tinggal menunggunya pulang, memasak makan malam untuknya dan membantunya belajar.
Untuk Sakamoto hal ini juga semakin mempermudahnya dalam bekerja. Karena perluasan pemasaran produk, akhir-akhir ini Sakamoto diharuskan untuk beberapa kali melakukan perjalanan luar kota. Terkadang Naoya akan menginap di rumah Tsukuyo jika memang Sakamoto tidak bisa pulang malam itu.
Pada suatu malam, saat itu Sakamoto baru pulang kerja dan sedang bersantai di ruang tamu sembari memperhatikan Naoya belajar penjumlahan angka bersama Mutsu. Cara Mutsu mengajar sangat mudah dipahami oleh Naoya sehingga anak itu tidak merasa sulit mempelajarinya.
Beberapa menit kemudian Naoya sudah selesai belajar, lalu berlari menuju kamarnya, menyisakan ayahnya dan Mutsu berdua di ruang tamu.
Tiba-tiba, Mutsu menyisipkan tawa kecil saat melihat Naoya.
"Ada yang lucu, Mutsu?" tanya Sakamoto.
"Tidak, bukan apa-apa Sakamoto-san. Hanya saja, melihat Naoya tumbuh setiap harinya, terkadang aku jadi berpikir mungkin sudah saatnya aku menikah"
Mendengar itu, Sakamoto terdiam dan perlahan meletakkan cangkir tehnya di meja. Dia memandangi Mutsu yang masih memperhatikan Naoya dari jauh.
"Mutsu, mau menikah?" tanya pria itu.
"Haha, bukan begitu, ini hanya angan-anganku saja"
"Menikah saja denganku Mutsu"
"Hah?"
Kalimat itu meluncur begitu saja. Mereka terdiam, tersadar akan sesuatu yang baru saja terucap. Raut pria itu serius, tak menunjukkan lelucon sedikit pun. Membuat wajah Mutsu memerah, apa yang baru saja didengarnya itu sebuah lamaran? Mutsu tak habis pikir dengannya.
"A-anda suka sekali bercanda, Sakamoto-san" Mutsu menjadi salah tingkah dan gugup.
"Aku tidak bercanda Mutsu. Menikahlah denganku, lalu kau sudah tidak perlu lagi jadi ibu paruh waktu untuknya"
"Tapi itu akan menjadikanku ibu penuh waktu untuk Naoya, aku belum yakin untuk hal itu. Juga.. Upahnya akan berbeda"
"Oh, apa benar begitu? Hm.. Kalau begitu.. Aku tidak akan lagi menggajimu. Aku akan menafkahimu. Semua kebutuhanmu akan kupenuhi asalkan kau mau jadi istriku, bagaimana?"
"Ahaha, hahaha, Sakamoto-san. Sudah, hentikan lelucon ini, anda membuatku sakit perut hahaha"
"Hei, sudah kubilang aku ini serius, apa yang kau tertawakan? Aih, kau membuatku malu"
"Haha, kalau begitu biar kutanya satu hal. Apa yang anda suka dariku?"
"Banyak! Saat kau menggendong Nao, mengajari Nao, memasak untuk Nao—"
"Sangat membuktikan anda hanya melihatku untuk Naoya saja, benar?"
Sejurus kemudian, Mutsu sudah jatuh di atas pangkuan Sakamoto karena ditarik olehnya.
"Sudah, katakan saja iya" dan lelaki itu pun menghujani Mutsu dengan kecupan lembut di bibirnya.
"Aku mencintaimu, Sakamoto-san"
"Aku juga mencintaimu, Mutsu"
Ciuman itu perlahan beralih menjadi pagutan yang panas. Bukan hanya bibir saja yang beradu juga lidah kini ikut andil dalam permainan. Mutsu semakin dalam menekan tengkuk lawan mainnya sedangkan jemari Sakamoto malah sudah menyelusup ke balik kaos yang Mutsu kenakan. Merasakan halusnya kulit dibalik seonggok kain tipis itu.
"Papa, di mana kaus kaki ku? Aku tidak menemukannya"
Beruntunglah Naoya berteriak memanggil Papanya. Jika tidak, entah sampai mana permainan mereka berlanjut.
"Kita lanjutkan ini setelah menikah saja, ok?"
Fin
