Siapa yang tidak mengenal Profesor William James Moriarty?

Rupawan, jenius, ramah dan baik hati—begitulah impresi setiap orang acapkali melihatnya, baik saat sedang mengajar maupun berjalan-jalan mengelilingi kota. Benar sekali. Dia adalah si pemuda bangsawan yang yang baru-baru ini mengajar sebagai dosen di universitas bergengsi Durham, meski usianya baru seumur jagung—dua puluh empat tahun!

Suatu pepatah pernah berkata, 'Jangan terpedaya oleh sikap dan penampilan luar seseorang.' Di balik semua itu, siapa yang menyangka bahwa ia memiliki perkerjaan lain sebagai seorang konsultan kriminal? Meski terdengar menggelikan, namun itulah sisi lain kehidupan William James Moriarty—menghabiskan waktu, pemikiran, serta strategi yang luar biasa cerdas untuk membantu masyarakat yang tertindas, sampai-sampai polisi semacam Scotland Yard hingga detektif terbaik sekalipun tak mampu melacaknya.

Semenjak hari itu, suatu julukan tersemat kepadanya; Lord of Crime. Raja Kriminal.

Lawan bagi kalangan atas, kawan bagi kalangan bawah. Di mata orang-orang yang pernah ditolongnya, William adalah seorang pahlawan yang tidak pilih kasih. Dari pembersih cerobong sampai tukang kebun, hampir semua kliennya adalah orang-orang kecil yang merupakan korban kebengisan para penguasa. Di mata orang-orang yang pernah dibinasakannya, William adalah sesosok iblis yang licik dan kejam. Tak hanya bermain di belakang layar, tak segan-segan pula dia menjatuhkan 'hukuman' dengan tangannya sendiri.

Terlepas dari semua itu, bagaimanapun juga dia tetaplah manusia. Sang Raja Kriminal bukanlah monster seutuhnya saat sedang 'mengeksekusi', juga bukan malaikat dikala orang-orang berterima kasih kepadanya. Dia hanya seorang manusia biasa, seorang laki-laki muda dengan yang memiliki jiwa dan... perasaan.

"Meski kita kebetulan bertemu, aku takkan mempermalukan nama keluarga Moriarty."

"Ha! Menarik sekali! Ayo kita lihat siapa yang dapat menangkap penjahatnya duluan!"

Akhir-akhir ini, ada sesuatu yang sedang dia tidak pahami. Bukan gejolak penyesalan maupun rencana mendebarkan yang akan dia jalani selanjutnya, melainkan suatu perasaan misterius yang tengah mengusik dirinya. Sudah kesekian kalinya dia menarik nafas dalam-dalam, memandang langit-langit kamar dengan sepasang mata yang tak kunjung menutup. Entah kemana rasa kantuk itu menghilang; apakah bersembunyi di balik cahaya lampu tidur, menari bersama rembulan, atau... sedang menghisap tembakau di Baker Street?

Sial, rutuknya sebal. Malam ini kau harus tidur, William, kau sudah terlalu banyak begadang.

Menghitung domba sepertinya bukanlah pilihan yang terbaik. Begitu mahluk-mahluk ini melompati pagar imajinernya, mereka malah berkerumun menjadi satu, membentuk wujud solid seorang pemuda bersurai hitam yang tengah mendekapnya sembari membisikkan kata-kata:

"I will catch you if i can, Mr. Moriarty..."

Jangankan merapatkan mata. Tahu-tahu, yang bersangkutan kembali terjaga. Semakin keras dia mencoba untuk tidur, semakin jelaslah sosok itu menghantui benak dan menggedor raganya. Dengan berat hati dia beranjak dari kasur, menghampiri meja tulis, menarik laci dan mengeluarkan sebotol kecil kaca berwarna cokelat.

Laudanum.

"Selamat pagi kakak!"

Louis James Moriarty selalu menyambutnya dengan pekikan lantang nan ceria. Meski sang adik bukan lagi seorang bocah, William selalu merasa tersentuh tatkala pemuda berkaca mata tersebut tetap setia menyeduhkan teh dan menghidangkan sarapanuntuknya. Di matanya, Louis tetaplah adik kecilnya yang menggemaskan dan sangat, sangat dia kasihi.

"Tidak bisa tidur? Wajah kakak lesu sekali."

Ingin sekali dia berkata sejujurnya akan penyebab yang akhir-akhir ini membuatnya sulit tidur. Akan tetapi, William sungkan. Sulit untuk berkata-kata karena dia sendiri tidak memahaminya. Lantas, sebagai jawaban, dia memberi anggukan tanpa mengucapkan sepatah kata.

"Jangan terlalu sering begadang, kak, angin malam kurang bagus untuk kesehatan. Nah, kuseduhkan teh jahe untukmu. Jahe bagus untuk daya tahan tubuh."

"Terima kasih banyak, Louis. Kak Albert belum pulang?"

"Belum," Louis menggelengkan kepala, lalu menyeduhkan teh untuk dirinya sendiri. "Sepertinya masih sibuk diluar."

Harmonisnya acara sarapan pagi itu adalah sebuah bukti dari kehangatan hubungan persaudaraan Moriarty, meski sang kakak tertua belum kembali sejak kemarin. Itu wajar, karena Albert adalah seorang direktur perusahaan sekaligus kepala intelijen yang jarang berada di rumah. Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi. Di halaman, bunga-bunga mawar dan daffodil merekah, mempertunjukkan sebagian kecil fenomena alam bagi empat pasang mata scarlet tersebut. Lama mereka berbincang, tak terasa jarum panjang mulai bergeser ke angka enam.

Tepat pukul setengah delapan.

"Kak, sebelum berangkat, bolehkah aku berkata sesuatu?"

"Ya?"

Sendok berdenting begitu sang pemuda mengantukkannya di pinggir cangkir. Kepulan uap teh menciptakan embun di bilah pisaunya, bersamaan dengan roman geram yang terpatri begitu dia menggigit bibir bawahnya. "Jauhi orang itu, kak," desisnya. "Jika dia sudah tidak berguna lagi, aku akan..."

"Huh? Siapa maksudmu, Louis?"

"Sherlock Holmes."

Di sepanjang perjalanan, William termenung. Keriuhan masyarakat, derap langkah kuda dan pemandangan hijau Durham tak lagi menggoda sisi naturalis dirinya. Bagaikan boneka tanpa jiwa, iris scarlet itu menatap kosong bangku di depannya. Salahkan saja pada nama yang telah disebutkan sang adik barusan; sebuah nama yang sukses merampas perhatian dan konsentrasinya, sampai-sampai menara universitas yang megah tersebut luput dari pandangan.

"Tuan? Kita sudah sampai."

Sang kusir merasakan adanya sedikit keanehan dengan penumpangnya itu. Tidak seperti biasa, pemuda itu terlonjak kaget, seakan-akan kalimat sang kusir barusan mengantarnya kembali ke realitas. Begitu kakinya memijak tanah, William James Moriarty pun menyadari sesuatu.

Dirinya sedang tidak beres.

"Pak dosen, mengapa pelajaran hari ini cepat sekali?"

Selagi membereskan buku-buku, seseorang menghampirinya. Dia adalah Lucien Atwood, putera seorang viscount yang menjadi anak didiknya. Meski secara akademis dia tidak terlalu pandai, Lucien adalah seorang pemuda yang memiliki kepedulian dan bakat seni yang tinggi. Sang dosen menyadari sifat itu setelah membereskan kasus bunuh diri kekasihnya minggu lalu.

"Saya ada urusan mendadak, Lucien."

"Begitu... saya kira, hari ini pak dosen sedang kurang sehat. Selama jam pelajaran, tidak seperti biasanya, saya mendengar pak dosen berdeham berkali-kali. Selain itu, bapak tampak pucat dan bergetar saat menulis. Apakah pak dosen membutuhkan sesuatu? Mungkin saya bisa membantu jika pak dosen tidak keberatan."

DONG! DONG! DONG!

Jam berdentang begitu waktu menunjuk angka sebelas. Sembari mengapit buku-buku di bawah lengan, William menyentuh bahu sang murid dan melayangkan senyuman, "Terima kasih, Lucien. Kamu ini perhatian sekali, tapi saya baik-baik saja. Sampai jumpa besok, ya?"

Di depan gerbang, sebuah kereta kuda telah menunggunya. Sembari memegangi topinya agar tidak tertiup angin kencang, William menghempaskan diri ke dalam gerbong. Dipandanginya keseluruhan bangunan dan beberapa murid yang sedang menikmati makan siang di taman; mengingatkannya pada saat-saat pertama kali Holmes datang dan mengikuti ujian matematika secara diam-diam, lalu berbicara empat mata di salah satu paviliun yang indah...

William mengernyitkan mata. Perasaan itu kembali bergemuruh, membuat tangannya secara reflek menyentuh dadanya. Benar kata Lucien, pikirnya. Mungkin aku sedang tidak sehat. Kalau dibiarkan begini terus... aku tidak akan bisa fokus!

Kereta mulai berjalan dalam tempo yang sedikit cepat. Hentakan sepatu kuda bergema di telinga sang profesor, sama sekali tidak mengusik benaknya yang entah terbang kemana. Untuk beberapa saat kesadarannya kembali ke realita begitu roda kereta menginjak kerikil atau menyusuri jalan yang tidak rata, membuatnya sedikit sebal dengan keadaan tersebut.

Tunggu. Sejak kapan William mudah tersinggung oleh hal-hal semacam ini?

"Pak, tolong turunkan saya di pasar."

"Baik, tuan!"

Orang-orang merasa keheranan dengan si penumpang yang turun dan berjalan secara tergesa-gesa ke arah perempatan. Namun, William tidak menggubris dan terus memantapkan targetnya—seorang pria bertopi putih yang sedang membeli roti. Begitu dia menepuk bahunya, orang itu menoleh dan terkejut.

"Anda... bukankah Tuan Moriarty yang waktu itu?"

"Tepat sekali, Dokter Watson. Kita bertemu saat insiden kereta api."

"Apa yang bisa saya lakukan untuk membantu anda, tuan?"

Keduanya kini berada di sebuah taman kota yang hening, tidak jauh dari pasar. Hijaunya pepohonan terasa begitu segar dipandang, begitupun bunga-bunga yang sedang bermekaran. Burung-burung berkicauan dengan riuhnya. Kupu-kupu hinggap dan berterbangan, mengepak-ngepakkan sayapnya yang indah untuk menciptakan suasana musim semi yang menyenangkan. Sembari menikmati croissant, John Watson mendengarkan setiap kata-kata yang diutarakan sang profesor dengan cermat. Begitu mencapai penghujung cerita, mendadak William terbatuk-batuk keras, mendorong insiatif sang dokter untuk menyodorkan botol air minumnya.

"Sebelumnya maafkan saya, Tuan Moriarty. Tapi, menurut cerita anda, gejala yang sedang anda alami itu adalah salah satu reaksi alami perasaan manusia yang sedang merindukan seseorang."

"Rindu?"

"Ya. Apakah akhir-akhir ini Tuan Moriarty bertemu dengan seseorang yang menarik?"

"Hmm... sepertinya begitu."

"Dan tuan tidak bisa melupakan wajahnya?"

"Ya."

"Suaranya juga?"

"Itulah yang saya maksud."

"Kalau begitu, Tuan Moriarty baik-baik saja, kok. Anda sama sekali tidak mengidap suatu penyakit serius."

"Tapi, bagaimana dengan debaran di dadaku? Itu menganggu sekali."

"Oh, jangan permasalahkan itu, tuan. Pemicunya adalah adrenalin dan norepinefrin yang sedang bereaksi karena..." Dokter Watson mengeluarkan sapu tangannya. Alih-alih membersihkan remahan roti, ia malah menutupi senyum yang telah terukir di bibirnya, "...anda sedang jatuh cinta, tuan!"

"APA!?"

""Hal yang wajar, tuan, mengingat ini adalah pertama kalinya bagi tuan untuk menyukai seseorang. Pikiran bisa saja menyangkal, namun cobalah untuk mendengarkan suara hati. Saran saya, temuilah wanita itu dan katakan perasaan tuan yang sebenarnya. Jika dibiarkan, tuan akan terus merasa tidak nyaman seperti ini."

"Kalau begitu, Dokter Watson, katakan kepadaku. Apakah detektif itu ada disini?"

"Sherlock? Tentu saja. Justru dia yang mengajakku kemari untuk menemaninya membereskan kasus pencur—ah! Mengapa anda bertanya demikian?! Apakah anda ingin menggunakan jasa detek—"

"Bukan begitu!" sela William, tampak jauh lebih parah dari sebelumnya. Pipinya tak lagi merona, melainkan merah padam dengan rasa dagdigdug yang menggila. Sejenak Watson terdiam, berpikir keras dengan maksud si pasien. Mengapa Tuan Moriarty menanyakan Sherlock? Tidak, dia tidak berniat meminta bantuan detektif. Apakah dia pernah menemui seorang perempuan yang dekat dengan Sherlock? Seingatku, tidak pernah ada perempuan yang dekat dengannya. Tidak mungkin 'kan tuan ini mengenal Nona Hudson karena mereka tidak pernah bertemu, jadi...

Tuk! Seekor tupai tak sengaja menjatuhkan biji hazel, persis mengenai topi sang dokter. Sontak, Watson membelalakkan mata. Jangan-jangan...

"Bukan begitu, dokter," ulang William seraya menahan suaranya agar tidak bergetar. "Karena, sepertinya tuan detektif itulah yang menyebabkan saya begini. J-jadi, saya rasa... saya harus menemuinya."

Tak kuasa mendengarnya, Watson tertawa terbahak-bahak. Di masa itu, masalah 'cinta' seperti ini tergolong langka dan unik. Diusapnya air mata dengan sapu tangan, menyadari kenaifan dirinya dalam memahami sang pasien. Baru setelah tawanya mereda, sang dokter kembali berbicara.

"S-saya... mengerti maksud anda, Tuan Moriarty! Ahaha! Dia akan selesai kira-kira jam tiga sore nanti. Temuilah kami di kafe dekat Westleton Square. Itu adalah tempat ngopi favoritnya di Durham, jadi dia tak mungkin melewatkannya sebelum kembali ke London."

"Aku pulang, Loui—Kak Albert?!"

Sesampainya di rumah, sang kakak tertua telah kembali. Rambut cokelat yang biasa dibelah tengah itu dibiarkan menjuntai turun dengan sehelai handuk basah, menandakan ia baru saja pulang dan mendinginkan kepalanya. "Ah, selamat datang, William. Bagaimana harimu?"

"Yah... seperti biasa menyenangkan. Kemarin Kak Albert sedang banyak urusan 'kah?"

"Ya," jawabnya santai sembari menuangkan anggur ke dalam gelas. "Ada sedikit masalah dengan ekspedisi kali ini. Tapi, untung saja cepat terselesaikan. Ah, kemarilah. Anggur membuatmu rileks setelah berpikir keras."

"Terima kasih."

Selagi keduanya berbincang-bincang, si pemuda berkaca mata menampakkan diri dari dapur. Sembari membawakan sepiring kue brownies almond yang telah dipotong-potong, wajahnya berseri begitu menyadari kepulangan William.

"Eh? Tumben hari ini kakak pulang cepat."

"Ya. Tidak banyak materi yang ku berikan karena ada rapat dadakan kepala sekolah."

"Begitu... nah, sekarang cicipilah brownies perdanaku. Kemarin, saat membersihkan gudang, aku menemukan sebuah buku masak lama. Jadi, jika rasanya kurang enak, harap maklum ya. Hehehe."

"Tidak!" sanggah Albert kemudian, menjawab dengan mulut penuh. "Ini enak!"

"Ya, tekstur dan rasanya pas. Kau benar-benar berbakat, Louis," tambah William kemudian. Mendengar pujian kedua kakaknya, semburat kemerahan muncul di pipi sang adik.

"Selain mengurus rumah, ternyata adikku ini juga handal memasak ya! Ah, tak bisa kubayangkan nanti jika kau sudah berkeluarga, Louis. Kau adalah sosok ayah dan suami idaman loh, hihihihi.."

"Kak Albert!"

"Sungguhan, loh. Aku dan William saja tak mungkin membuat kue yang seenak ini. Benar 'kan, Will—"

Alih-alih menjawab, yang bersangkutan malah memandangi kue-kue cokelat tersebut dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Ukiran senyum terpatri di bibirnya, sementara tangannya terus mengaduk-aduk sendok teh tanpa henti.

"Will? Kau tidak apa-apa?"

"Ah!" bagaikan tersengat, William terlonjak di atas kursi, lalu memandang saudara-saudaranya dengan ekspresi malu. "Ti-tidak apa-apa kok. Lanjutkan saja percakapan kalian. Aku, ya... sedang memikirkan sesuatu—"

"Aku tahu!" potong Albert dengan ceria. "Senyam-senyum begitu... jangan iri pada adikmu, Lord of Crime. Kau juga suami idaman kok. Mana ada lelaki lain yang setangguh dan secerdas dirimu?"

"E-enak saja!"

"Wajah kakak memerah tuh, hihihi..."

"Kamu juga, Louis?!"

"Hahaha!"

Kehangatan dan kedekatan ketiga insan itu menjadikan acara makan siang terasa berwarna. Setelah membantu saudara-saudaranya membereskan meja makan, William pergi ke kamarnya untuk bergumul kembali dengan buku-buku. Tak terasa, waktu menunjukkan pukul dua siang. William menutup halaman terakhir yang dibacanya, beranjak dari meja tulis dan menatap dirinya sendiri di depan cermin. Sejenak ia menarik nafas, membusungkan dada, lalu menyemangati dirinya sendiri. Ayolah, kau pasti bisa, William. Seperti kata Dokter Watson tadi, kau tidak mau 'kan perasaan bodoh ini mengganggu hidupmu?

"Mmhh... aroma ini..."

Louis, yang biasanya tidak akan terganggu oleh apapun saat sedang membaca buku, kini tergoda oleh aroma parfum yang samar-samar melintas di belakangnya. Begitu dia menoleh, didapatinya William dalam setelan berwarna biru donker, plus rambut belah tengah yang telah disisir rapi ke belakang.

"Eh?! Kakak mau kemana? Kok wangi banget?"

Alih-alih menjawab, yang bersangkutan berbalik bertanya, "Mana Kak Albert?"

"Tidur siang di kamarnya. Kakak rapi banget, mau kemana sih?"

"Jangan bilang-bilang ya, Louis," William membungkuk dan mengerling. "Aku akan pergi berkencan."

"APAAA?!"

.

.

.

.

"O-oi John! Lepaskan tanganku!"

"Tidak bisa! Kita harus cepat!"

Luar biasa terkejutnya Sherlock Holmes sore itu begitu sahabatnya, Watson, tiba-tiba mengajaknya pergi ke kafe favoritnya di Westleton Square secara terburu-buru. Padahal, ia baru saja memutar otak dan beradu mulut dengan para penyidik Scotland Yard yang luar biasa ribet itu.

"Ini tidak seperti dirimu biasanya, John. Tak mungkin kan' kau ingin memberi kejutan kepadaku? Hari ini bukanlah hari ulang tahun maupun hari kelulusanku, jadi apa yang—"

"Ikuti saja aku. Ada seseorang yang benar-benar membutuhkan bantuanmu, Sherlock. Siang tadi, kami bertemu di Suffolk Park. Lalu, kusuruh saja dia datang lagi pada pukul tiga. Ayolah, bukankah kopi juga akan melegakan syarafmu setelah berpikir keras?"

"Ya nggak begitu juga sih..."

Begitu bel pintu berbunyi, seorang pelayan segera menunjukkan tempat duduk kosong. Namun, dengan cepat John menyela dan mengatakan bahwa mereka ingin duduk di sudut; di sebuah meja dimana seorang pemuda bersurai pirang tengah menunggu dengan secangkir kopi.

"E-eh!? Apa-apaan ini, John!? Kok jadi dia?!"

Tanpa menghiraukan pandangan seisi kafe dan protesan Sherlock, Watson terus menyeretnya hingga kedua pihak yang dimaksud bertatap muka satu sama lain. Tidak seperti tadi siang, kali ini sang profesor tampak berbeda. Dia tidak lagi bersemu maupun salah tingkah, melainkan tersenyum ramah seraya mengangkat topinya.

"Anda tiba juga, tuan detektif."

"Jangan basa-basi, Liam. Katakan saja apa yang ingin kau katakan padaku."

"Astaga! Sopanlah sedikit, Sherlock!"

"Tidak perlu, John. Aku tahu dia pasti merencanakan sesuatu. Dari matanya saja sudah—"

Belum sampai kalimat itu habis, keburu sang dokter sudah menarik telinganya dan membisikkan sesuatu disana. Secepat kilat, wajah lugas sang detektif berubah menjadi ekspresi pucat, seakan-akan sebuah petir imajiner menyambarnya tepat di atas ubun-ubun.

"Hah?! B-benarkah itu... John?"

"Ya."

"Kau tidak berbohong?"

"Aku serius."

"Tidak berniat mengerjaiku 'kan?!"

"Sumpah!"

"..."

Keadaan di meja itu menjadi hening. Hanya terdengar suara para pengunjung yang tengah menikmati sajian, detik jarum jam, siulan teko, serta langkah sepatu para pelayan yang berderap cepat. Namun, begitu jarum panjang menunjuk angka tiga, sebuah tawa meledak—membahana dan mengejutkan semua orang di sana.

"Oi, Sherlock! Kecilkan suaramu!"

"AKU TIDAK BISA! DEMI TUHAN, JOHN, INI ANEH! TERLALU ANEH!"

"Tuan Holmes," suara lembut bernada rendah itu terdengar lagi, menginterupsi tawa sang detektif sekaligus kegelisahan sang dokter yang merasa malu menjadi pusat perhatian orang-orang. "Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan."

"Apa itu?"

Menyadari dirinya cuma seekor nyamuk, John undur diri tanpa memperdulikan sinyal protes sang rekan. Kini, hanya mereka berdua di kafe, duduk berhadap-hadapan dengan William yang mati-matian mengatur nafas dan pacu jantungnya. Oh, Tuhan, situasi ini benar-benar mengguncang seluruh kewarasannya!

Sherlock melemparkan lengan kirinya ke sandaran kursi, menanti jawaban sekaligus menilai ekspresi si lawan bicara. Aneh sekali, batinnya. Memang dia sulit ditebak, namun aku yakin ada sesuatu yang salah dengannya hari ini.

"Waktu habis."

"Huh?"

"Jelas sekali kau benar-benar tidak beres, Liam. Aku sudah mendengar semuanya dari John. Jujurlah padaku. Akhir-akhir ini kau merasa tidak tenang? Selalu terbayang-bayang akan sesuatu?"

William terdiam.

"Kau menjadi begitu tegang dan berdebar, bahkan sampai harus menggunakan laudanum sebagai obat tidur?"

William membuang wajah, menatap jendela.

"Lalu kau ingin memintaku bertanggung jawab bahwa aku-lah penyebab 'penyakitmu' ini!? Demi Tuhan!"

Dengan wajah tersipu, sang profesor menunduk, tak kuasa menatap balik sang lawan bicara. Melihat reaksinya, secepat kilat syaraf-syaraf di kepala Sherlock melepas semacam reaksi kebahagiaan lewat tawa terbahak-bahak; penuh semangat dan suka cita untuk melihat ekspresi langka si putera kedua Keluarga Moriarty.

"Ay, kau ini manis sekali, Liam! Hahaha! Tak kusangka orang sedingin dirimu—"

"Tuan Holmes," sejenak William berhasil mengumpulkan keberanian untuk mengangkat wajahnya, memandang si pujaan hati yang selama ini dia simpan rapat-rapat semenjak insiden kereta api. "T-tolong berhenti menertawaiku. Rasanya benar-benar tidak nyaman."

"Baiklah, baiklah. Aku mengerti. Kau tak usah malu," tanpa berbasa-basi lagi, Sherlock memajukan wajahnya. Chu! Sebuah ciuman kecil pun mendarat di pipi William.

Spontan, sang pemilik wajah mengangkat tangan dan menyentuh bagian yang dikecup si detektif.

"H-Holmes..."

"Sebenarnya, aku juga menyukaimu, Tuan Ahli Matematika. Semoga kita bisa menjadi teman yang baik, ya?"

Deg! Sebatang anak panah imajiner pun menembak sang profesor tepat di jantung.

"Eeehh!? Kok jadi begini?! Bangun, Liam, jangan pingsan di depan umum!"

"Astaga! Tuan! Anda baik-baik saja!?"

Kafe di Westleton Square menjadi saksi bagaimana William James Moriarty menuntaskan misterinya hari itu. Begitu dia mendapatkan ciumannya, seluruh tubuh dan pikirannya berhenti berkerja. Tak kuasa menerima sinyal mendadak ini, secara otomatis otaknya merespon dengan cara menjatuhkan beban tubuhnya di atas meja kayu, menciptakan suara debuman yang mengalihkan perhatian seisi kedai kopi serta seorang pelayan yang sedang membawakan pesanan kopi sang detektif.

Di dalam pingsannya, William tersenyum. Akhirnya dia menjadapatkan jawaban itu;

Sherlock Holmes.

"Eh! Anda...anda bukankah adiknya Tuan Moriarty?!"

Tanpa seorangpun sadari, seorang pemuda berkaca mata berambut pirang sedari tadi telah menanti di depan jendela kafe dengan mata berkilat. Api imajiner berkobar-kobar di dalam matanya begitu melihat sang kakak yang jatuh pingsan, lalu Holmes dengan sigap menyentuh-nyentuh tubuhnya. Sabar, Louis, sabar... lakukan saja tugasmu dengan baik.

"Anda 'kan..."

"Ah, maafkan saya, Dokter Watson," menyadari ada seseorang yang hendak mengajaknya berbicara, Louis menoleh dan tersenyum manis. "Saya sedang menunggu kakak saya disini. Dokter, apakah anda mengenal pria berambut hitam itu?"

"Ya, dia adalah rekanku."

Tanpa membuang waktu, si pemuda berkaca mata berbisik;

"KALAU BEGITU, TOLONG SINGKIRKAN REKAN ANDA DARI KAKAKKU!"[]