Summary: Di akhir, mereka bertiga memang sudah siap untuk lenyap. Namun bagi William, Louis terlalu cepat perginya.
Moriarty the Patriot belong to Takeuchi Ryousuke and Miyoshi Hikaru
Dear, Louis,
Akhir pekan ini mungkin aku akan pulang terlambat. Ada banyak lembar ujian yang mesti dikoreksi. Akan sangat menyenangkan kalau bisa minum teh buatanmu.
Soal misi kita yang satu lagi, semuanya berjalan lancar kok. Aku tergores sedikit karena tidak ada yang menjaga punggungku, tapi jangan khawatir. Aku bakal lebih sakit kalau Louis lagi-lagi melakukan hal seperti waktu itu. Kapan-kapan kita bertarung bareng lagi, oke?
Sedikit lagi ... dunia ideal yang kita cita-citakan pasti terwujud. Kalau semuanya sudah beres, aku akan menyusulmu dan menyerahkan sisanya pada Holmes.
Tunggu aku ya, Louis.
Tertanda,William James Moriarty
Sebaik apapun rencana William, ada kalanya sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ada hal-hal dari luar yang tidak selalu dapat diperhitungkan kemunculannya. Satu waktu itu berwujud Sherlock Holmes, lain kalinya itu merupakan Charles August Milverton.
Namun, kesalahan perhitungan yang kali ini sama sekali berbeda. Ini adalah sesuatu yang semua orang akan bilang bahwa itu bukan salah William, tetapi berapa kali dan berapa banyak pun mendengarkan, dia tetap tidak akan mau memaafkan dirinya.
Itu terjadi dini hari. Ketika mereka baru selesai membereskan bangunan gudang, yang sebenarnya merupakan tempat penumpukan senjata secara ilegal, oleh salah satu bangsawan yang berambisi untuk mewujudkan revolusi.
Moran dan Bond sudah selesai menghabisi para keroco di lantai tiga. Fred berhasil mengamankan dokumen yang diperlukan, sebelum mereka rencananya membakar habis tempat kejadian perkara.
William dan Louis juga baru saja sukses mengakhiri para pelaku utama. Mereka berdiri diam di tengah ruangan sambil membereskan darah yang mengotori pedang masing-masing.
"Sudah beres semua, Kak." Louis yang duluan memecah kesunyian.
"Iya," sahut William. "Ayo kembali, sepertinya Albert-niisan sudah menunggu."
"Baik. Aku akan memasak menu kesukaan Nii-san buat sarapan."
"Terima kasih, Louis--"
William terbelalak karena tiba-tiba punggungnya didorong kuat-kuat, memaksanya maju beberapa langkah, yang ketika dia menoleh untuk bertanya tujuan Louis, sekali lagi pupilnya dipaksa membuka lebih lebar.
"Louis ..."
Sebilah pisau menembus dada kiri pemuda itu, menyebarkan noda darah yang bagi William masih terlalu jelas, meskipun jubah adiknya berwarna gelap.
"Louis, Louis!"
William berlari cepat, menangkap tubuh yang dengan segera kehilangan kekuatan, dan jatuh ke lantai. Louis awalnya berkedip bingung di pangkuan William, tetapi dengan sekejap dia tersadar tentang apa yang baru saja terjadi.
Alat pelontar senjata. Sepertinya masih tersisa satu orang musuh, yang mengendalikan tuas-tuas dari tempat tidak terlihat. Siapa pun itu, William tahu tembakan yang didengarnya dari ruang sebelah sudah menamatkan riwayatnya.
"Nii-san ..." Louis menggeleng, tahu benar kalau waktunya sudah tidak lama. Dia, William, sudah berulang kali melihat pilihan kehabisan darah jika mencabut senjata yang menancap. Bahkan tidak jarang mereka yang memberi pilihan itu. Tentu saja, tiap-tiap mereka punya kesiapan untuk berakhir dengan cara serupa, tetapi tampaknya kesiapan itu sebatas berlaku pada diri sendiri.
Karena, William tidak pernah siap kehilangan Louis, dan sebaliknya Louis pun tidak pernah mau William pergi. Karena alasan yang sama, yang satu sebisa mungkin tidak melibatkan dalam misi, sementara satunya lagi memaksa buat disertakan.
Tidak butuh waktu lama sampai terdengar langkah kaki yang berlarian menyerbu ruangan. Yang pertama sampai adalah Moran, meneriakkan, "hei, kalian baik-baik saja?!" yang berubah menjadi umpatan, "sial!"
Menyusul pula Bond dan Fred yang sama-sama segera pucat kala melihat kondisi Louis, sekaligus ekspresi yang tidak pernah mereka lihat dari William.
"Nii-san, pergilah ..." Louis melepaskan genggamannya, membuat William tercekat dari gumamnya yang berulang kali membisikkan satu nama.
"Louis? Apa-apaan ..." William gagal paham ketika tangan gemetar adiknya beralih mengeluarkan granat.
"Tubuhku ... tidak boleh ketahuan ... ada di sini ..."
'Louis, kenapa?''Orang dewasa tidak akan mencurigai anak-anak yang terluka, tidak mungkin curiga. Selain itu, ini adalah bentuk rasa terima kasihku kepada kalian.'
"Biar campur tangan kita ... tidak ketahuan ..."
Louis berniat meledakkan tubuhnya sendiri.
"Tidak, Louis, jangan!"
Tahu kalau tubuh adiknya semakin dingin saja sudah cukup membuatnya tidak tahu mesti berbuat bagaimana. Apalagi harus melihat tubuh itu hancur tak bersisa? Melihat Louis, yang seumur hidup William prioritaskan, malah lenyap lebih dulu darinya?
Louis melirik Moran, sungguh-sungguh memohon agar sang kolonel segera membawa William menjauh, secara paksa sekali pun. Moran mendecih, lagi-lagi merasa pilu. Menyerahkan kesetiaan pada William sejak dulu, membuatnya tahu banyak soal Louis juga. Terutama soal seberapa erat tangan bersaudara saling menggenggam.
Namun, Moran memang selalu seperti ini, ditugasi hal-hal paling berat secara mental, dan tetap sanggup menyempurnakan misi. Sekarang pun, dia tengah menyeret William menuju pintu. Di mana pemuda itu berontak, berusaha melepaskan diri, sementara adiknya tersenyum penuh rasa terima kasih.
"Selamat tinggal, Nii-san ... aku menyayangimu."
Dhuar!
Ketika mereka sampai di ambang pintu, dan Louis menarik pemicunya, William tiba-tiba berhenti melawan. "Selesaikan," gumamnya lirih, yang diangguki Fred dan Bond. Mereka berdua bergegas menyulut api dari ujung-ujung bangunan, membakar habis lokasi.
William masih berdiri diam di depan kobaran api, mengepalkan tangan, yang entah kepada siapa perasaannya saat itu bisa dilampiaskan. Moran membiarkannya, melirik jam saku untuk menghitung waktu paling mepet untuk memaksa pemuda itu beranjak dari sana.
'Aku merasa semakin jauh rencana Kakak sukses, semakin berjarak juga kita.''Apa maksudnya itu, Louis? Kita kan selalu bersama.'
Di hadapan makam batu itu, William menatap jauh ke angkasa. Apa semacam inilah perasaan yang ingin Louis sampaikan padanya saat itu?
"William," panggil Albert yang juga sorot matanya redup. "Jika kamu berniat untuk berhenti, aku tidak akan berkomentar." Karena sejak awal, Albert sadar dialah yang mengawali semuanya. Penderitaan William saat ini, pilihan yang dibuat Louis, semuanya dimulai dari permintaannya.
"Tidak." William menggeleng pelan. Kalau berhenti di sini, rasanya seperti luka bakar di pipi Louis tidak berarti apa-apa. Kalau menyerah sekarang, dia harus bilang apa, ke anak yang selalu menatapnya dengan kekaguman dan kepercayaan penuh?
"Kita akan membuat negeri ini menjadi lebih baik, lalu lenyap bersama." Setidaknya dengan begitu, dia bisa menemui Louis dengan kepala tegak.
Albert mengangguk, tanpa seulas senyum pun yang biasanya ada. Rasa sakit di dadanya sekarang ini terasa aneh, karena justru dia tidak merasakan apa-apa bertahun lalu, saat pemakaman ayah, ibu, dan saudara aslinya.
End.
A/N:
Gegara baca ulang chat sama Vira soal 'Louis mati', jadinya ... bikin ginian.
