Beyond Darkness

Naruto

Adventure/Drama dan mungkin sedikit romance

M


Alarm tengah malam berbunyi bersamaan dengan sosok gelap pada jalanan menghilang. Mata biru safir layu menatap kebawah, menimang-nimang apa yang sebaiknya dia lakukan sekarang. Tentu saja tidur bukan salah satu pilihan yang ada.

Embun tercipta pada jendela akibat hela napas hangat. Dia tidak ingin membuang waktu di kamar, semakin lama dia disini, semakin lama pula sosok tadi menghilang pada kegelapan kota.

Bulan bersembunyi pada balik menara Babel yang runtuh. Menara ratusan kilo sebagai bentuk perlawanan pada Tuhan kini terbagi dua; yang masih berdiri dan setengah lagi yang kini berada pada hutan. Dan Konoha berada pada bayang sisa menara Babel. Selamanya sebagai kota pada bayang.

Lampu gas model terbaru menghiasi garis jalan walaupun tetap tidak begitu berguna untuk menembus kabut kehijauan yang keluar dari lubang selokan. Tidak banyak orang yang berlalu lalang pada malam hari—kecuali untuk mereka yang tidak ada niat berbuat baik.

Konoha terkenal sebagai kota bayang, kota para pencuri, kota dengan kata apapun yang berkonotasi buruk. Dan belakangan kejahatan dimalam abadi Konoha makin meningkat. Meningkat dengan garis yang cukup terlihat darurat.

Naruto mengikuti sosok yang kini lari setelah mengetahui bahwa pemilik rambut kuning tidak jauh di belakang. Naruto sendiri tidak lari, dia berjalan santai menyusuri lorong yang jauh dari lampu gas. Dia tahu setiap jalan pintas pada kota, setiap bayang pada seluk bayangan kota. Mungkin itu kenapa dia diundang masuk dalam Anbu.

Kepolisian khusus yang tidak ada. Mereka tidak nyata, dan sebaiknya tetap begitu.

Sosok bayangan itu mulai tergesa, mulai teledor pada setiap langkah. Barang-barang dia senggol, dan suara dari mulut bisa terdengar jelas.

Hingga akhirnya dia terhenti pada lorong buntu dan Naruto berada di belakang. Matanya bertemu mata biru safir, tenggorokan tercekat ketika melihat pistol kepolisian mengarah pada kepala.

" A-aku bi…"

Ucapannya tidak Naruto dengar hingga habis. Pelatuk dia tarik dan seketika ototnya menengang ketika pistol mengeluarkan tenaga bersamaan dengan suara yang membelah malam. Sosok itu jatuh, terhuyung kebelakang. Darah terhempas mengikuti kepala yang tersentak.

Naruto menghela napas panjang, malam ini juga panjang.


Dia bisa melihat menara Babel dikejauhan. Ada perasaan merindu, pada kota yang kini telah dia tinggali lebih dari beberapa bulan. Dia ingin pulang, dia telah rindu.

Tapi Tuhan dan kota tidak mengizinkan.

Ledakan terjadi di depan. Menghempas tanah dan beton, beruntung dia berlindung pada bangunan yang sesaat bergetar. Dia menggigit gigi dan menahan senapan kuat-kuat, mengutuk divisi artileri yang hampir menghancurkan pasukan sendiri.

Dikejauhan, diantara debu akibat artileri. Terlihat sosok bermata merah, para Uchiha. Klan yang menyebabkan perang ini.

Sosok bermata merah menghilang dan timbul, dari satu bangunan ke jalanan kemudian ke bangunan lain. Entah orang yang sama atau tidak. Naruto menarik napas dalam, membidik dari sela jendela kearah sosok bermata merah yang kini berada pada bangunan yang tidak jauh dari dia.

Otot menegang menahan tendangan dari senapan ketika pelatuk ditarik. Suara dentuman dari peredam senapan bekerja dengan hebat. Hampir tidak ada suara sama sekali kecuali suara badan terjatuh dan-

"- ada lawan! Ada lawan!" juga perkataan yang tidak terdengar ketika lagi-lagi peluru artileri menghujam diantara bangunan Naruto dan bangunan depan.

Sialan.

Dia berharap semua divisi artileri yang saat ini bertugas untuk segera dipecat. Demi kebaikan kota—dan dirinya.

Para Uchiha, atau yang lebih suka Naruto panggil 'mata merah' mulai bermunculan. Delapan, sepuluh—satu regu. Mereka bergerak pelan menyusuri gedung ke gedung mencari pembunuh rekan mereka.

Naruto berharap diantara mereka tidak ada yang cukup pintar untuk melirik keseberang jalan—kearahnya. Seperti mereka, dia bergerak pelan. Menuju lantai dua bangunan dan berharap dapat membidik satu atau dua orang mata merah.

Dia tersenyum ketika melihat jendela yang sedikit tertutupi panel kayu. Mempersiapkan diri, dia kembali membidik. Seperti tadi, dia menarik napas panjang. Matanya tertuju pada mata merah yang paling belakang. Bila tebakan dia benar, orang paling belakang itu adalah atasan mereka.

Peluru melesat. Menembus kepala milik Uchiha, menghentak tubuh sedemikian rupa pada lantai. Regu di depan kalang kabut, mencari tempat sembunyi dan saling berteriak. Dari yang Naruto lihat, mereka bukan regu terbaik. Mungkin saja baru lulus dari pelatihan melihat mereka tidak bisa menjaga mulut ketika berhadapan dengan lawan yang tidak diketahui.

Naruto kembali membidik. Beruntung mereka belum mengira bahwa lawan mereka berada pada bangunan seberang. Satu lagi jatuh, kali ini darah tersebar pada dinding dan meja pada lorong.

Sebelum dia kembali membidik, ada suara yang menganggu nan familiar. Dari luar, bukan dari depan. Dengan cepat kepala mengadah keatas ketika sadar, suara itu dari atas. Seperti siulan panjang yang melengking. Dengan cepat dia berlari dan mengumpat.

Artileri siala-

Tet…tet…tet…

Alarm menghentak dia bangun. Peluh membasahi dahi akibat dari mimpi yang kini hilang—apapun itu bukanlah mimpi indah. Dia tidak membuang waktu pada kasur yang terasa seperti papan, bahkan kini badan terasa lebih pegal dari sebelum tidur.

Di luar berkabut. Heh, bukan sesuatu yang baru. Walaupun sekarang dia bisa melihat garis-garis cahaya matahari yang berhasil menembus bayang menara dan kabut hijau.

Pukul menunjukkan 11.30.

Jantung serasa tercekat, dia tahu dia terlambat. Dan kenyataan itu didorong dengan bukti nyata beberapa panggilan tidak terjawab. Oh Tuhan, Danzo akan membunuhnya.

Keburu-buruan dihentikan oleh pemilik flat. Ibu tua dengan rambut bergelombang yang diikat seperti nanas—mengingatkannya kepada Shikamaru. " Naruto! Senang kita bisa berpapasan seperti ini…" Pemilik flat menarik napas, melirik kiri dan kanan lorong. " Kita punya anggota baru. Dari desa, dan masih berusaha mencari kerja. Jadi aku berpikir untuk membuat pesta selamat datang malam ini. Tentu saja tidak besar. Jadi, apa kau mau ikut?".

" Gratis?"

Ibu itu menggeram, tapi tetap tersenyum. " Tentu saja".

Pesta? Gratis? Siapa yang tidak ingin.

Naruto mengangguk. Dia melirik pada jam dinding dibelakang, sial. 11.50.

" Baiklah sana kau pergi. Kau tampak buru-buru dan aku tidak ingin menahanmu lebih lama dari yang sebaiknya."

Naruto berterima kasih, dan kali ini berlari.


Naruto disapa ketika masuk kantor berisi orang-orang yang sibuk dengan kertas dan koran. Rokok memenuhi ruangan, sedikit bau parfum saling campur aduk. Beberapa berkutat pada mesin ketik, beberapa lagi sibuk melihat kertas yang akan dimuat pada koran esok hari.

Dia mengambil koran yang terletak pada meja sembari berjalan kearah dalam bangunan. Lorong sempit dengan cat putih yang mulai pudar—bila saja putih ada pudarnya—dan berhenti ketika membaca bait pertama,

'Anak mayor siap memimpin!'

Naruto menggigit bibir. Foto pria yang tidak jauh berbeda darinya terpampang, tidak luput tiga garis pada pipi yang menjadi identitas diri.

Menma.

Menma Namikaze. Saudara tiri Naruto, sama ayah berbeda ibu. Dia tidak pernah dekat dengan Menma dan berencana tetap seperti itu. Bagaimana pun juga dia sudah mati di mata mereka, di mata semua orang. Ya, dia sudah mati.

Anggota Anbu berisi orang-orang yang dipercayai telah mati, atau lebih tepatnya—dibuat percaya. Karena mereka harus tidak ada, mereka tidak nyata.

Dia bahkan masih ingat peti beratas namakan " Naruto Namikaze" yang bukan berisi dia. Entah tubuh dari mana Danzo ambilkan. Tapi keluarganya percaya itu dia, bahwa tubuh yang tidak lagi bisa dikenali karena dimakan sihir Uchiha adalah dia. Tubuh yang lebih cocok dibilang patty burger.

Mengingat kembali pemakan itu membuka luka yang tidak kunjung sembuh. Dia masih bisa merasakan tetes hujan hari itu—klise, angin yang manja pada pipi, suara tangis yang pecah, dan pidato singkat nan dingin dari sang ayah. Sesaat dia kembali dibawah pada hari itu, hanya sesaat. Sebelum kenyataan kembali membawa dia pada saat sekarang.

Ruangannya sempit, hampir seukuran toilet pada musium kota. Dinding putih, lantai kelabu, meja berantakan—kalian mengerti gambarannya.

Kursi berderit ketika dia duduk. Ada selembar kertas diatas meja, tanpa nama. Hanya lambang familiar Anbu.

' Gedung Kesenian. Ino Yamanaka.'

Naruto segera membakar surat tersebut. Sederet kata itu sudah cukup untuk menjelaskan tugasnya. Nama Ino Yamanaka mengusap dia pada bagian yang salah. Ada rasa familiar yang tidak dia ingat. Mata biru safir kembali melirik koran yang tadi dia baca.

Ah, itu dia. Kenapa dia merasa familiar kini menjadi jelas.

' Ino Yamanaka akan tampil membawakan drama klasik ' O Love, O Death' malam besok sebagai tuan puteri'

Bila ingatan Naruto tidak berbohong, drama itu berakhir kematian sang aktor utama, si tuan puteri.

Oh ironi.


Malam pada Konoha bukan yang terbaik. Bulan tidak bekerja semestinya karena tertutupi menara Babel, jalan yang dipenuhi kabut abadi, bau pembakaran mayat yang baru beraktifitas. Singkat kata, orang-orang tidak memilih untuk beraktifitas pada malam.

Bangunan-bangunan bergaya Baroque menjulang tinggi dan mencekam, sedikit menampilkan karakteristik diantara bayang dan lampu gas yang remang. Ada suara tawa setiap guntur menghantam Babel. Tidak perlu dipertanyakan lagi, pasti ada ilmuwan gila sedang bekerja.

Langkah kaki Kabuto menggema diantara lorong kuil. Bau rempah-rempah Tuhan yang dibakar memenuhi hidung, mengingatkan kenapa dia tidak suka datang pada kuil. Ada sesuatu yang jahat disekitar, dari ujung lorong ada tawa kecil terdengar.

Dia mengerinyit, tangan bersandar pada pistol. Tawa itu lagi-lagi datang ketika guntur menghujam tidak jauh dari mereka, sesaat memberi cahaya pada lorong. Dan hujan perlahan dapat didengar turun, kian deras dibawah angin menghantam kaca kuil.

Orochimaru berdiri pada balkon membelakangi Kabuto. Rambut panjang tersapu angin yang makin ganas dan guntur kian mencekam.

" Tuan…"

" Ah Kabuto…" Orochimaru berbalik sesaat, kemudian kembali pada kotak besi yang berada pada pengaman balkon. Dia tertawa tiap guntur menyambar. Bila ingatan Kabuto tidak menghianati, alasan tuan dia tertawa adalah untuk personal branding atau personal image, terserah mau pilih yang mana. Biar orang-orang tahu siapa ilmuan sinting yang tengah bekerja pada kegelapan Konoha.

" Katakan padaku, apa kau familiar dengan cara kerja gravitasi?"

Kabuto mengangguk pelan dan Orochimaru berjalan mendekati kotak besi seukuran brankas—kotak itu memang brankas. "… aku ingin membuktikan rumor tentang bila koin dijatuhkan dari menara Babel bisa membunuh orang."

Kabuto pernah mendengar mitos itu, bah! Semua orang di Konoha familiar dengan mitos itu. Tapi mitos adalah mitos, sayang Kabuto tidak berani menyanggah tuan Orochimaru. Kabuto hanya mengangguk, antara setuju dan tidak. Lebih baik netral ketika berurusan dengan tuan yang satu ini.

" Ada yang ingin kau laporkan?" Tanya Orochimaru seraya mendorong kotak tersebut jatuh. Beberapa detik baru terdengar suara dari bawah, disusul teriakan, " Suamiku!" dan sejenisnya. Wajah Orochimaru yang pucat berubah makin pucat, buru-buru melihat kebawah. " well, mitos itu tampaknya benar. Jadi ada yang ingin kau laporkan?"

" Ya. Itachi Uchiha sudah siap" Kata Kabuto pelan membuat Orochimaru makin tertawa bahkan saat tidak ada guntur. Dan ketika guntur kembali menyambar dia tertawa walaupun terdengar canggung karena dia baru saja berhenti.

" Persiapkan semuanya. Malam ini monster yang ditakutkan Konoha akan bangkit kembali, dengan beberapa perubahan tentu saja"

Kasur diangkat melalui lubang pada atap. Dengan mekanisme tua yang berbunyi setiap tarikan yang dilakukan. Orochimaru bergumam, tangan menunjuk-nunjuk panel. Kabuto melihat, eskpresi berubah setiap petir menyambar. " Voila!" Teriak Orochimaru, kali ini pandangannya seperti Kabuto—kearah kasur yang terdapat mayat Itachi.

Setiap petir nyaris menyambar kasur, wajah keduanya berubah. Ekspresi yang jarang mereka tunjukkan, menanti dan menanti. Petir menyambar pada balkon, pada atap, tapi tidak pada tangkai besi yang menyambung dengan kasur. Seolah-olah Alam menggoda mereka, ingin melihat ekspresi dari ilmuwan dan asistennya.

Hingga akhirnya. Mata Orochimaru dan Kabuto membulat, cahaya meledak pada kasur. Bunyi ledakan dan suara desir listrik mengalir kuat. Lampu gas pada langit-langit bergoyang diterpa angin. Aroma gosong tercium.

Perintah keluar dengan cepat dan Kabuto tidak menghianati ekspektasi Orochimaru kepada asisten dia. Kerja Kabuto cepat dan efisien. Tidak lama kasur tersebut sudah di turunkan oleh dia. Asap memenuhi sekitar. Orochimaru menunggu pada pengaman besi dengan harapan.

Beberapa detik terlewat tanpa ada perubahan, tanpa ada tanda. Tapi Orochimaru tahu percobaan kali ini berbeda dari yang telah lewat. Ada sesuatu yang tidak bisa dia jelaskan pada perut, instingnya. Waktu yang terlewat terasa begitu lama, dengan waktu yang terlewat—optimisme yang ada juga menghilang.

Kabuto sendiri sudah mulai mematikan panel yang masih kedap-kedip sesuai standar yang telah dia pelajari. Dia tidak begitu optimis, yang ada pada pikirannya adalah mencari mayat lain untuk tuan dia uji coba. Mengingat belakangan mencari mayat lebih susah dari sebelum ini semenjak naiknya ilmuwan sinting karbitan dan kepolisian yang makin…ngadi-ngadi?

Entah lah.

Wajah Orochimaru berubah. Senyum tercipta yang perlahan makin memanjang, makin menakutkan. Tawa keluar tidak bisa dia tahan-tahan. " Voila! Lihat dia! Bangun. Bangun. Tapi jangan kaget, jangan heran. Biarkan aku menjadi penyambut mu. Selamat datang kembali kepada dunia terkutuk ini"

Itachi melihat kedua orang itu dengan heran, dengan tatapan kosong yang berusaha menebak apa yang terjadi. Ucapan pria itu tidak dia dengar jelas, bahkan saat ini telinganya masih berdenging mengganggu. Dia yakin ini bukan surga, tidak ada satupun kitab yang dia baca tentang bidadari atau malaikat dengan ciri-ciri dihadapan dia. Kecuali tentu saja…

Ini neraka.


RnR