Disclaimer:
Akutami Gege
Warning!
Semi-canon, spoilers, shonen-ai, OOC, Lemon scene include
Sparking Up My Darkest Night
[Prequel of "Sweet Melody Under the Blossom Tree"]
"Apa kau yang bernama Yuta?" tanya seorang pria tinggi dengan penutup mata.
"I-iya … ada apa?" jawabnya sedikit gugup.
"Mulai sekarang ikut saya ke SMK Jujutsu Tokyo."
"Eh? Maksudmu, aku dimutasi ke sekolah lain?"
"Betul sekali!" balas pria itu sembari memberikannya jempol dan memamerkan deretan giginya yang rapi. "Di sana lebih aman. Kau juga bisa mengasah kemampuanmu."
"Tapi aku lebih betah di sini …," ungkap Yuta seraya menundukkan kepalanya.
"Tenang saja. Kau pasti bisa beradaptasi di sekolah barumu. Teman-teman seangkatanmu juga kelewat baik," pungkas Gojo sambil merangkul Yuta dan membawanya masuk ke dalam mobil.
"Aku belum mengemas barang-barangku. Bisakah sensei membawaku ke rumah?"
"Tentu. Kita memang akan ke sana."
Setibanya di rumah, pemuda bernama Okkotsu Yuta meminta waktu dua puluh menit untuk mengemas barang-barangnya. Dilangkahkan kakinya ke kamar, ia mengeluarkan sebuah kardus berukuran sedang, lalu memasukkan beberapa barang yang dianggap penting. Si pemilik surai hitam legam itu membawa tujuh setel pakaian, dua sepatu, dan beberapa barang pribadi. Ada satu benda yang menarik perhatiannya ketika ia sedang mengecek ulang. Sebuah foto yang diberi bingkai. Sepasang sahabat. Siapa lagi kalau bukan dirinya dengan seorang gadis bernama Rika yang telah meninggal beberapa tahun yang lalu.
Ditatapnya dalam, Yuta menghabiskan beberapa menit hanya untuk termangu. Ada perasaan tidak enak di dalam hatinya. Batin seakan ingin berteriak, tapi sudah cukup lelah. Air mata masih dapat terbendung. Pemuda itu memilih untuk menyimpan foto itu kembali pada tempatnya. Ia pun mengangkat kardus yang sudah terisi, kemudian berpamitan dengan sosok yang kini sudah tidak bersamanya. "Aku pergi dulu, Rika-chan."
Gojo mendengar suara pintu terbuka pertanda sang empunya rumah sudah keluar. "Hanya satu kardus?" tanyanya. Yuta mengangguk sebagai jawaban. Pria tinggi itu membantunya memasukkan kardus ke dalam bagasi mobil. Setelahnya, mereka berangkat ke Tokyo.
Dipandangnya lautan biru tanpa awan. Sinar matahari menerpa wajahnya nan rupawan. Mengandai-andai hingga seseorang memecah keheningan. "Oi, Yuta," panggil Gojo menunggu balasan. Yuta memalingkan wajahnya kemudian.
"Saya turut berduka atas kepergian Rika."
Yuta terkejut akan perkataan lawan bicaranya. "B-bagaimana sensei tahu?" tanya sang empunya surai hitam legam sedikit gemetar.
"Saya tahu segala hal tentang murid-murid saya, termasuk murid baru sepertimu. Itu sudah menjadi tugas saya sebagai seorang guru," tutur Gojo. Yuta masih terdiam kaku. Ia kembali mengingat kejadian tragis yang menimpa mantan kekasihnya itu. Menjadi korban tabrak mobil, dan Yuta melihatnya langsung.
"Maaf jika saya membuatmu mengingat hal yang ingin kau lupakan." Gojo menepuk pundak Yuta pelan. Murid baru itu berkata bahwa ia tidak keberatan. Ia juga tidak menyangka bahwasanya sensei barunya ini bisa terlihat 'kalem'. Pada awalnya, Yuta berpikiran bahwa Gojo adalah figur guru yang tidak bisa diandalkan.
"Jika kau ada masalah, boleh cerita kepada sensei-mu ini atau teman barumu di sana." Gojo melipat kedua tangannya. "Mereka tidak sabar untuk bertemu denganmu, loh," lanjutnya.
"M-mereka … sudah mengenaliku? Apa selama ini aku dimata-matai?" Sudah menjadi ciri khas Yuta yang mudah terkejut. Ia pun sedikit merinding ketika mengetahui dirinya selalu diawasi.
"Tentu saja!" Gojo memberikannya dua jempol yang membuat Yuta refleks menjauh.
"Kau membuatku takut, sensei …," ungkap Yuta.
"Eh … jangan begitu, dong. Sensei ini orang baik, tahu!" Gojo merangkul Yuta yang membuat jaraknya kembali mendekat.
•••
Di SMK Jujutsu Tokyo, tampak dua orang dan satu hewan tengah sibuk mendekor ruangan kelas. Hanya memasang dekorasi sederhana dan menulis sambutan di papan tulis. Maki, gadis berkacamata, mendengar ada suara langkah kaki yang mengarah ke ruangan kelas mereka. Terdengar seperti dua orang yang akan datang.
"Toge, Panda, mereka datang! Mana confetti-nya?" tanya Maki sedikit panik.
"Toge yang memegangnya," jawab Panda.
Slide.
Pintu kelas terbuka yang membuat ketiga dari mereka refleks mengucapkan selamat datang. "Selamat da‒"
"Senpai! Apa kalian melihat Gojo-sensei?" tanya Nobara. Yang ditanya menggelengkan kepalanya bersamaan sebagai balasan.
"Pasti sensei yang mencuri rok sekolahku!"
"Tidak mungkin, Kugisaki. Untuk apa juga dia mencurinya?" tanya Megumi.
"Kau tidak tahu dia itu orangnya usil?" Maki, Panda, dan Inumaki menatap adik kelasnya itu aneh. Ditambah lagi, mereka kira yang datang itu Gojo-sensei dan Okkotsu Yuta.
"Sudahlah. Nanti juga ketemu di kamarmu. Kali aja kau kurang teliti," tukas Megumi. Ia pun membungkukkan badannya sebagai ucapan minta maaf kepada kakak kelasnya karena telah mengganggu mereka. Nobara dan Megumi melangkah meninggalkan kelas.
Murid-murid kelas dua itu menghela napas. Mereka pun duduk di bangku, kecuali Panda. "Seperti biasa, Gojo-sensei datang terlambat. Dia bilangnya akan tiba beberapa menit yang lalu," ujar Panda.
"Panda, antar aku ke lobby. Aku ingin beli minum. Toge, jaga kelas ini, ya." Toge menganggukan kepalanya pertanda setuju.
Toge memandang keluar jendela. Halaman sekolah memang jadi satu hal yang disukai sang empunya manik amethyst. Dibukanya jendela, membiarkan surainya ditiup sarayu. Mata dipejamkan, udara segar dihirup dalam-dalam. Hal itu membuatnya menjadi rileks. Terlalu sibuk menenangkan jiwa dan raganya, ia tak menyadari ada seorang pemuda yang memandangnya dengan tatapan terpesona. Mata sayunya terbuka sedikit lebih besar, seperti menemukan harta karun.
"S-sumimasen …." Toge mengalihkan pandangannya ke luar pintu kelas dengan memertahankan posisinya. Iris hitam dan amethyst bertubrukan. Betapa terpananya Yuta ketika melihat sesosok pemuda di depannya dengan surai yang ditiup lembut oleh angin. Tidak ada jawaban selama beberapa detik. Si pemilik surai hitam legam telah tenggelam ke dalam samudera bongkahan berlian. Indahnya, pikirnya.
"Selamat datang," sambut Toge dengan meletupkan confetti. Yuta terperangah karena masih berada di dalam ilusi. "Kau … Okkotsu Yuta?"
"I-iya … benar," sahutnya. Yuta membersihkan confetti di rambutnya.
"Kau tidak bersama Gojo-sensei?" tanya Toge sembari ikut membersihkan confetti di daerah pundaknya.
"E-eh … soal sensei … dia pergi ke ruang guru terlebih dahulu," respons Yuta sedikit gugup. Ia memang orang yang mudah canggung jika bertemu orang baru. Apalagi, orang di hadapannya ini pasti menganggapnya aneh karena ketahuan memandanginya cukup lama. Yuta sangat malu akan hal itu.
"Aku Inumaki Toge. Senang berkenalan denganmu." Mereka pun berjabatan tangan. Yuta merasa hangat ketika tangannya menyentuh tangan Toge. Pemuda berseragamkan putih itu sudah lama tidak mendapat kehangatan seperti ini. Lagi-lagi, Yuta kembali terjebak ketika menatap mata lawan bicaranya. Irisnya yang gelap seakan-akan diberi penerangan. Bak tenggelam di dasar samudera, Toge adalah sinar matahari yang menyusup ke dalam gelapnya lautan. Toge adalah simbol harapan dan masa depan bagi Yuta.
"Inumaki‒" Suara Gojo memecah keheningan. Toge dan Yuta mengarahkan pandangannya ke sumber suara. Si murid baru itu tambah terkejut ketika melihat Gojo tidak datang sendiri. Lantas Yuta melepaskan jabatannya sepihak.
"Sudah akrab rupanya," tukas Gojo sembari tersenyum jahil yang membuat pipi Yuta bersemburat merah.
"Oh, jadi ini orangnya. Terlihat tidak sekuat yang kau katakan, sensei …," ungkap Maki. "Sia-sia juga kita mendekor kelas ini untuk menerima seorang beban." Yuta yang mendengarnya tidaklah marah, malah ia membenarkan ucapan gadis itu.
"Kau akan tahu, Zenin."
"Jangan memanggilku dengan nama belakangku, sensei. Sudah kubilang beberapa kali," keluh Maki. Yuta semakin merasa canggung, tapi Gojo mencoba untuk memperbaiki situasi.
"Maafkan dia, ya, Yuta. Omongannya emang sedikit pedas."
Sedikit? Sangat pedas malah, batin Yuta.
"Omong-omong, biar kuperkenalkan teman-teman barumu," lanjut Gojo seraya menyuruh ketiga muridnya berjajar. "Gadis kacamata ini namanya Zenin Maki. Dia tidak punya energi kutukan, tetapi dia memiliki sangat handal dalam menggunakan senjata terkutuk. Jangan membuatnya jengkel, soalnya saya sering dicemoohnya." Yuta yang mengetahui agak sedikit miris ketika gurunya bisa menjadi lebih rendah daripada muridnya.
"Selanjutnya, ada Panda. Meski mukanya lucu sepertiku, dia sama kuatnya dengan gorila." Panda melambaikan tangannya dan dibalas dengan Yuta yang hanya mengangkat tangannya sedikit. "Dan yang terakhir, Inumaki Toge. Kau pasti sudah berkenalan. Dia tidak begitu banyak bicara karena dia pengguna mantra kutukan."
Setelahnya, Yuta yang memperkenalkan diri. "Namaku Okkotsu Yuta. Aku berasal dari Sendai dan … aku mahir dalam menggunakan pedang. Salam kenal dan mohon kerjasamanya." Yuta berojigi.
"Eh, pedang katanya? Aku harap bukan pedang mainan," ejek Maki sambil mengangkat dagunya. Yuta sedikit lelah menanggapinya. Sepertinya, sensei-nya itu berbohong kepadanya.
•••
Hari kedua berada di SMK Jujutsu Tokyo, Yuta merasa belum nyaman dengan teman-teman barunya itu. Terlebih lagi, Maki seperti menindasnya. Jujur, gadis itu sangatlah hebat dalam menggunakan senjata, Yuta saja masih kalah. Sebenarnya, lelaki dengan manik hitam obsidian itu ingin berlatih bersamanya, akan tetapi ia merasa bahwa dia akan dibunuh bukannya diajari.
"Panda, Inumaki … kenapa kalian mengintipku seperti itu?" Yang disebut namanya terkesiap. Mereka pun menundukkan kepalanya agar tidak terlihat. "Aku melihat kalian." Yuta menghela napas lelah dengan tingkah absurd teman-temannya ini. Ia pun menghampiri mereka.
"Toge, sudah kubilang jangan terlalu naik kepalanya," tukas Panda.
"Panda, suaramu terlalu besar … nanti dia dengar," timpal Inumaki. Yuta yang mendapati dua temannya sedang bersembunyi, mencoba menyadarkan mereka dengan dehamannya. Keduanya melirik ke atas dan saling bertukar tatap dengan si murid baru.
"Apa yang sedang kalian lakukan?"
"Kita hanya heran mengapa kau hobi sekali menyendiri di sini," jelas Panda.
"Kenapa pula kalian mengintip seperti itu?"
"Tidak ingin mengganggu," balas Toge yang kemudian membuat Yuta harus menghela napas.
"Apa kau masih sakit hati dengan ucapan Maki?" tanya Panda penasaran.
"E-eh? T-tidak, kok … memangnya aku terlihat begitu?" Panda dan Inumaki mengangguk sebagai respons.
"Jujur saja, tidak, kok, walau memang ucapannya jahat sekali waktu itu …," timpal Yuta,
"Tenang saja … dia tidak bermaksud begitu, kok. Itu memang caranya untuk memotivasi teman-temannya. Contohnya saja Toge. Dia selalu dibentak oleh Maki. Tujuan dia memang baik … jangan terlalu dipikirkan, ya," tutur Panda menenangkan. Yuta sedikit menjadi lega, akan tetapi ia tidak tahu harus bagaimana ketika berhadapan dengan Maki.
"Oi, Panda! Gojo-sensei memanggil kita berdua. Cepat kemari!" panggil Maki. Panda pun pamit dan meninggalkan dua lelaki di satu tempat, lagi.
Yuta yang sangat tidak siap ditinggal berdua, dia membalikkan badannya dan mencari pengalihan. Entah mengapa ia merasa tidak sanggup berada di dekat Inumaki. Bukan dalam artian negatif, sang empunya manik obsidian itu bahkan tidak tahu apa alasannya.
"Kau mau beli minum?" ajak Toge.
"I-iya … boleh," sahutnya.
Mereka pun berjalan menuju lobi. Toge berjalan di belakang teman barunya itu. Mereka melewati lapangan bisbol dan melihat juniornya sedang bermain sepintas. Yuta yang tidak peka akan keadaan, tidak menyadari bahwa bola bisbol itu mengarah kepadanya.
"Menunduklah!" Yuta yang semula berdiri tegak, kini menunduk dengan cepat.
"Hati-hati, Okkotsu …," ucap Toge mengingatkan sembari jalan meninggalkan Yuta di belakang. Si pemilik surai hitam legam itu tidak paham hingga Yuji menghampirinya.
"Ano, senpai. Gomenasai! Untung bolanya tidak mengenaimu …," ungkap Yuji dengan cengiran khasnya.
"Kau ini, kalau lempar bola itu jangan sembarangan! Baka!" caci Megumi dari jauh.
"Ya, aku 'kan tidak lihat ada Okkotsu-senpai lagi lewat!" sahut Yuji tak mau kalah.
"Tidak apa-apa, ettou … Itadori, ya?"
"Betul sekali!" Yuji mengacungkan jempolnya.
"Itadori! Cepat kembali ke sini!" panggil Megumi sedikit memekik. Yuji pun membungkuk ke Yuta dan kembali ke lapangan.
"Okkotsu … sampai kapan kau mau diam di situ?" tanya Toge guna menyadarkan si pemilik iris hitam. Yuta menggelengkan kepalanya, kemudian menyamakan jaraknya dengan Toge.
Setibanya mereka di depan vending machine dan membeli minuman, Yuta mencoba membuka percakapan. Entah dari mana keberanian itu datang. Mungkin dia merasa jenuh karena selama perjalanannya kemari hanya diisi oleh kesunyian. "Ano … Inumaki, bolehkah aku bertanya?" Lawan bicaranya mengiyakan sambil meneguk minuman kalengnya.
"Kenapa kau tidak ikut dengan Maki dan Panda? Mereka akan mengerjakan misi, bukan?" tanya si pemilik manik obsidian.
"Aku tidak berguna untuk misi tingkat 1," jawab sang empunya netra amethyst to the point membuat Yuta membuka mata sayunya tidak percaya.
"Tidak berguna? Teknikmu sangat menguntungkan. Mengapa kau bilang begitu? Bahkan kau bisa saja menyuruh musuh untuk langsung mati," sangkal Yuta sambil bangkit dari tempat duduknya.
"Maka, aku akan mati." Jawaban padat lainnya yang terlontar dari mulut Toge. "Semakin besar dampak mantraku terhadap musuh, semakin besar pula dampaknya untukku. Maka dari itu, aku tidak bisa membantu banyak," lanjutnya.
Mendengar ungkapan jujur dari temannya, membuat api di dalam jiwa Yuta membara. "Inumaki!" panggil Yuta agak menyentak. Toge melirik ke arahnya. "Ayo berlatih bersamaku! Aku tidak begitu paham caranya meningkatkan kemampuanmu dalam teknik kutukanmu, tapi aku bisa mengajarkanmu bela diri."
Toge tersenyum tipis di balik penutup mulutnya ketika ia mendengar tawaran Yuta. "Aku ingin kita bekerja sama sebagai satu tim. Aku tidak akan meninggalkanmu! Mereka harus tahu bahwa kau ini kuat," tambah Yuta. "Bagaimana?" Yuta mengulurkan tangannya.
"Arigatou, Yuta-kun …," responsnya seraya menjabat tangan si murid baru. "Mohon kerjasamanya." Muka Yuta tiba-tiba merah padam ketika mendengar Toge memanggilnya dengan nama panggilannya. Yuta-kun dia bilang? Kenapa hatiku jadi berdegup tidak karuan begini? pikirnya.
"Yuta-kun? Daijoubu?" tanya Toge memastikan. "Mukamu menjadi semerah tomat." Mengetahui hal itu, Yuta mengalihkan pandangannya dan tertawa kikuk.
•••
Tak terasa si pemilik manik obsidian sudah berada di SMK Jujutsu selama dua minggu. Ia menghabiskan waktunya dengan berlatih dengan Toge. Mereka juga sesekali ikut dengan Panda dan Maki untuk mengerjakan misi yang tidak terlalu berat. Maki yang masih merasa belum puas dengan kemampuan Yuta, ia pun mengajaknya latihan. Bagi Yuta, itu bukan tampak seperti latihan, tapi perundungan. Ketimbang mengajarinya teknik penggunaan pedang, gadis berkacamata itu malah menyerangnya. Ya, mungkin itu terjadi karena Yuta belum bisa menyamai kemahiran Maki. Kendatipun, sang empunya surai hitam legam itu belajar dari kesalahannya.
Suatu hari di mana awan mengarsir tipis langit biru, dan angin berhembus sangat lembut. Aroma musim semi menyetubuhi indra penciuman. Semua tanaman tampak hijau dan sehat. Beberapa meter di bagian utara sekolah terdapat lahan yang cukup luas. Satu-satunya pohon sakura di kawasan sekolah tumbuh di sana. Yuta dan Toge berlatih di tempat yang cukup sepi dan mereka dapat menikmati pemandangan dari atas sana.
"Inumaki, refleksmu masih lambat. Gerakan bola matamu sangat berpengaruh. Meski musuhmu menendangmu, kau harus memerhatikan lengannya. Kemungkinan, musuhmu akan menyerangmu dengan tangannya ketika kau berhasil menahan tendangannya," jelas Yuta.
"Baik." Mereka pun memulainya lagi. Kali ini, Toge berlatih untuk menahan, menangkis, dan menghindar dari serangan. Walaupun hanya latihan, Yuta tidak akan mengurangi kekuatan fisiknya guna membuat rekannya itu terbiasa. Berbagai pukulan dan tendangan berhasil diatasi oleh si pemilik surai platinum blonde. Yuta tidak akan berhenti menyerangnya hingga serangannya mengenai Toge.
Bruk.
"I-i-ittai …."
"Inumaki, daijoubu?" tanya Yuta cemas. Yang terjatuh pun menggelengkan kepalanya, kemudian bangkit.
"Maaf jika aku terlalu kasar."
"Tidak apa-apa. Musuhku pasti lebih kuat lagi dan aku harus bisa menanganinya," respons Toge.
"Sebelum kita melanjutkan latihan, bagaimana jika kita istirahat sejenak?" anjur Yuta yang kemudian disetujui oleh sang empunya manik amethyst.
Yuta yang merasa lelah, menidurkan badannya di atas rerumputan. Sedangkan Toge memilih untuk duduk dengan kaki menyila. Ia menawarkan minuman isotonic dan onigiri kepada sesosok yang terlentang itu. Tak ada yang memulai percakapan. Yuta menyembunyikan netra obsidian-nya dan Toge memasang earphone-nya sebelah. Si pengguna mantra kutukan itu refleks bersenandung.
Yuta yang terpesona lantas bangkit dari tidurnya dan meminta temannya itu untuk menyanyi lagi. "Inumaki, suaramu bagus sekali! Bernyanyilah sekali lagi!"
"Nggak."
"Ayolah. Aku tidak pernah menyangka orang yang pelit bicara sepertimu memiliki suara bagai malaikat …."
"Kau mengganggu." Toge yang merasa malu, mulai beranjak dari tempatnya duduk.
"Jangan pergi dulu … satu bait saja, bagaimana?" bujuk Yuta.
"Kau ini memaksa sekali, Yuta-kun. Huft … baiklah." Akhirnya Toge pun bernyanyi lagi di bawah pohon sakura yang baru saja bermekaran. Surai platinum blonde ditiup sarayu yang sangat mendukung suasana saat itu. Sang vokalis tampak menawan di mata Yuta yang membuatnya diam seribu bahasa. Mulutnya menganga tak peduli ada lalat yang masuk. Yuta merasa berada di dimensi yang berbeda. Suaranya menyejukkan hati. Semua bebannya menjadi terasa ringan.
"Inumaki …."
"Hm?"
"Sering-sering bernyanyi untukku, ya," pinta Yuta sambil tersenyum manis. Permintaannya terdengar tidak bisa dibantah.
"Iya …," jawab Toge pelan. Ia bersyukur semburat merahnya tertutupi penutup mulutnya. Setelah merasa cukup beristirahat, mereka pun memulai latihannya lagi. Semenjak mendengar lantunan indah dari mulut Toge yang terhalangi itu, si pemilik surai hitam legam itu menjadi lebih semangat dari sebelumnya.
•••
Ketika Dewi Malam menyinari buana, di situlah para insan tertidur pulas. Angin malam menusuk pori-pori bagi yang berada di luar rumah. Tidak dengan pemuda bersuraikan senada dengan manik obsidian-nya. Lelaki itu masih betah bertukar tatapan dengan purnama. Belum ada niat untuk tidur, padahal jarum jam menunjukkan pukul satu dini hari. Sudah menjadi kebiasaan Yuta untuk tidur terlambat dan bangun cepat, bahkan semenjak ia masih tinggal di Sendai.
Ia masih terperangkap dalam bayang-bayang masa lalunya. Ketika Rika tewas mengenaskan di hadapannya sendiri, membuat sang empunya mata sayu itu trauma. Apalagi mereka masih bocah SD kala itu. Yuta belum bisa merelakan kepergian cinta pertamanya itu. Ya, mereka memang sebenarnya saling mencintai berkedok sahabat.
"Yuta-kun, kau masih belum tidur?"
Suara itu menyadarkan lamunan seorang pemuda yang sudah berjam-jam menatapi langit malam. Terdengar sangat menenangkan dan candu. Yuta merasa ingin terus mendengar suara itu. Betapa rileks dirinya ketika ia mendengar suara Toge yang lembut.
"Belum … aku tidak bisa tidur," balas Yuta yang kembali menatap gemintang di atasnya.
"Mau kopi?"
"Tidak, terima kasih. Sebentar lagi, aku akan mencoba tidur lagi sepertinya."
"Baiklah. Aku masuk ke kamarku lagi kalau begitu."
Toge menutup pintu kamarnya, lalu membaringkan badan kecilnya di atas kasur empuknya. Ditariknya selimut seatas dada dan tidur menghadap kiri. Indra penglihatan diistirahatkan dan mulai bermimpi. Namun, suara pintu terbuka menggagalkannya. Pemuda bersurai platinum blonde itu merasa ada yang mendatanginya. Aura kehadirannya semakin mendekat. Lantas orang yang tak diundang itu ikut tidur di sampingnya. Toge terkesiap ketika tangan orang yang memasuki kamarnya itu, melingkari perutnya. Deru napasnya menggelitik tengkuk Toge. "Biarkan aku begini … sebentar saja," lelaki itu berbisik di telinganya. Toge tidak berniat untuk menolaknya. Ia juga merasa nyaman meski jantungnya berdebar lebih cepat.
Siapa lagi kalau bukan Okkotsu Yuta yang tidur satu kasur dengan Toge. Orang yang sedari tadi termangu di teras asrama, kini bisa seenaknya tidur di kamar rekannya. Ia pun masih memertahankan posisinya.
"Harum," ungkap Yuta ketika mencium aroma rambut Toge.
Sekarang, malah Toge yang tidak bisa tertidur. Mengetahui rekan timnya itu tidur bersamanya dengan posisi yang tidak terpikirkan akan terjadi, Toge tetap membuka matanya.
Ia mencoba melepaskan pelukan Yuta walau terasa nyaman. Namun, ada perasaan aneh tatkala ia menyentuh tangan lelaki bersurai hitam legam itu. Begitu gelap, jahat, dan abstrak. Aura negatif menjulur dari tangan Yuta yang membuat Toge matanya terbelalak. Ia memilih untuk diam dan tetap membiarkan Yuta memeluknya. Bukan masalah Toge tidak ingin memertahankan posisi romantis itu, hanya saja ia sedikit merinding ketika merasakan aura gelap itu. Pemuda bermanik amethyst itu seketika teringat ucapan sensei-nya.
Gojo pernah berkata bahwa Yuta memiliki kekuatan yang sangat besar dan menakutkan. Yuta sendiri belum tahu cara mengaktifkannya. Namun, kekuatan tersebut sebenarnya bisa keluar kapan saja, yang dibutuhkan adalah pemicu. Yuta dan Gojo juga merupakan kerabat jauh. Mereka berasal dari klan yang memiliki kutukan yang kuat. Tidak heran jika sebenarnya Yuta adalah penyihir jujutsu yang kuat. Walaupun, ia belum menunjukkan potensi besarnya itu.
Kini Toge paham dan sedikit berhati-hati terhadap pemuda yang tengah memeluknya. Ia juga akan menjaga Yuta meski pada kenyataannya, ia jauh lebih lemah daripadanya. Toge pun memilih untuk kembali tidur setelah beberapa menit terbangun.
•••
"Eh? Kenapa aku ada di kamar Inumaki?" Yuta bertanya-tanya kala ia melihat sekitarnya. Pemilik kamar pun tidak menunjukkan batang hidungnya. Yuta masih duduk di tepian kasur sambil mencoba untuk mengingat kejadian semalam. Nyatanya, ia sama sekali tidak ingat, padahal ia merasa sadar sepenuhnya.
"Sudah bangun?" tanya Inumaki sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Inumaki … mengapa aku ada di kamarmu?"
"Kau ikut tidur di kamarku," balas Toge.
"Lalu … kau tidur di mana?"
"Di kasur."
"M-maksudmu … kita tidur satu kasur?" Yuta mulai berkeringat dingin. Jika Toge mengiyakan‒
"Ya," jawabnya singkat yang membuat Yuta mulai gelagapan. "Dan kau memelukku …."
"I-itu … sepertinya … aku," Yuta kehabisan kata-kata. Tak tahu cara membela. "Gomen …," lanjutnya dengan nada menyesal.
"Tidak masalah. Kurasa kau sedang butuh kenyamanan." Jawaban dari pemuda pengguna mantra terkutuk itu membuat Yuta menunduk malu. Sungguh memalukan, dan mengapa Yuta melakukan itu?
"Jangan diambil pusing … lebih baik kau cepat mandi. Kita ada misi." Yuta pun mengiyakan dan beranjak dari kasur. Namun, mau bagaimanapun, ia tidak habis pikir kalau ia tidur bersama dengan Toge semalam. Antara menyesal dan senang‒ tunggu … senang?
Apa yang kau pikirkan, Yuta! pemuda bersurai hitam legam itu menepuk kedua pipinya. Mencoba mengembalikkan pikiran jernihnya. Ujung bibirnya terangkat sedikit. Ia mulai merasakan ada sesuatu yang bergejolak di dalam hatinya. Memang tiba-tiba, tapi Yuta mencoba mengikuti apa kata hatinya.
Setelah kedua dari mereka telah bersiap-siap, mereka lantas mengunjungi lokasi misi. Mall yang sudah memiliki nol pengunjung sejak kejadian dua bulan yang lalu. Kebakaran selalu terjadi setiap bulannya menjadi latar belakang kesepian ini. Sudah tidak ada kios yang buka karena mereka takut jika kiosnya akan mendapat giliran menjadi abu. Kemungkinan memang ada kutukan yang mendiami mall tersebut.
Yuta dan Toge hanya ditugaskan berdua untuk misi yang terbilang cukup mudah. Dari data yang didapat, kemungkinan besar kutukan tersebut berada di tingkat tiga. Mereka berdua sangat lega ketika mendengarnya, akan tetapi mereka juga ingin mengikuti misi yang lebih menantang meski nyawa adalah bayarannya. Mereka ingin membuktikkan sejauh mana hasil latihannya.
Mereka memutuskan untuk berpencar karena mall yang mereka kunjungi itu lumayan luas. Kutukan yang harus dibasmi memang hanya satu, tapi tidak menutup kemungkinan bila mereka bertemu dengan kutukan lain.
Lelaki beririskan amethyst itu mulai menjelajahi lantai dua. Sudah sekitar tujuh menit ia berkeliling dan belum menemukan apa-apa. Namun, ada satu toko yang tampak mencurigakan. Satu-satunya toko yang lampunya menyala dan pintunya terbuka. Toge berpikir kalau pemilik toko tersebut sedang mampir. Ia pun mencoba untuk memeriksanya tanpa gentar. Dan benar saja, ada seorang pria yang sedang merunduk di depan kulkas dua pintu. Kelihatannya sedang mengecek persediaan‒
"Tidak mungkin." Toge pun mendekati orang tersebut dan ia mendapati jasad tanpa kepala. Pemuda dengan penutup mulut itu merasakan ada sesuatu di belakangnya. Aura terkutuk yang sangat kuat.
"Jangan bergerak!" Ia pun lari setelahnya. Toge tidak lupa untuk menghubungi rekannya. "Yuta-kun, di lantai dua ada kutukan tingkat dua. Bisakah kau kemari?" tanyanya.
"Baik‒" Ponsel Yuta seketika terlempar ketika dua kutukan muncul di hadapannya.
"Yuta-kun?" panggil Toge, lalu ia mematikannya sepihak ketika tak ada respons dari seberang. "Ini di luar perkiraan."
Tiba-tiba saja kutukan yang mengejar Toge muncul di depannya. Toge refleks mundur. Si pengguna mantra kutukan ini tidak bisa membasminya seorang diri. Ia butuh Yuta, tapi jarak memisahkan mereka. Yang bisa Toge lakukan hanya menghindar untuk saat ini. Sejenak, sang empunya manik amethyst itu menyadari bahwa lawannya ini menyerang hanya dengan tangan kosong. Namun, Toge tidak yakin jika ia membalas serangannya dengan bela diri akan membuat kutukan itu terbasmi. Ia tidak bisa mengalirkan energi kutukannya ke anggota geraknya. Maka dari itu, Toge memilih untuk mengulur waktu hingga Yuta datang dengan terus menangkis serangannya.
Brak!
Toge terpental jauh dan punggungnya mengenai tembok salah satu toko. Toge meringis kesakitan dan darah keluar dari mulutnya. Saking kesakitannya, Toge tidak memiliki cukup tenaga untuk kembali bangkit. Dia memiliki satu kartu as, tapi ia tidak tahu itu akan mengulur waktu lebih lama atau musuhnya itu memiliki daya tahan yang bagus.
Kutukan itu sudah berada sepuluh meter di depan lelaki yang hampir tumbang itu. Ketika musuhnya semakin memperpendek jaraknya, Toge berucap, "Terlemparlah!" Itu berhasil membuat sang lawan terlempar jauh dan mengalami hal yang serupa dengan si pengguna mantra kutukan. Berbeda dengannya, kutukan itu dengan mudahnya bangkit lagi. Di sisi lain, darah mengalir deras dari mulut Toge. Begitu menyakitkan membuat dirinya terkulai lemas.
"Y-yuta … -kun …."
"Rika, serang dia!" Dalam sekejap, kutukan itu terbasmi dengan mudahnya. Yuta merasa lega ketika kutukan itu berhasil dimusnahkan. Namun, perasaan lega itu sirna ketika ia melihat seseorang terkapar tidak berdaya beberapa meter di depannya. Yuta berlari ke arahnya ketika ia mendapati lelaki itu bersurai platinum blonde.
"Tidak, Rika! Jangan bunuh dia!" Jantung sang pengguna pedang itu nyaris copot ketika Rika hampir menyerang Toge. Yuta kembali mendekat dan memangku rekannya itu. Ia terhenyak saat melihat banyak darah di sekitar Toge dan bibirnya.
"Oi, Inumaki … apakah kau bisa mendengarku?" tanya Yuta sedikit berteriak. Ia terus mengulang pertanyaannya hingga lelaki yang dipangkunya memamerkan iris indahnya lagi.
"Yu … ta … -kun," sebut Toge. Mata Yuta berbinar senang dan merasa lega. Tidak dengan Toge yang terkesiap ketika melihat roh terkutuk di belakang Yuta.
"Tenang saja, dia tidak akan membunuhmu," jelas Yuta. Toge merasa tidak yakin karena roh kutukan itu terlihat sangat tidak menyukai dirinya. Seketika Toge teringat bahwa Yuta memiliki satu kekuatan yang tidak pernah ia tunjukkan. Apakah roh kutukan itu merupakan milik sang empunya manik obsidian?
Yuta melirik ke arah Rika dan mendapati aura yang tidak mengenakkan. "Rika-chan … kau tidak perlu cemburu begitu. Inumaki hanya sekadar teman bagiku," pungkas Yuta yang membuat seseorang menurunkan harapannya tanpa ia sadari.
"Ayo, kita pulang, Inumaki … Eiri-san akan menyembuhkanmu."
•••
Proses pemulihan Toge berlangsung cepat namun pasti. Ia disarankan untuk mengistirahatkan dirinya selama empat hari. Si pemilik surai platinum blonde itu hanya menghabiskan waktunya di kamar seorang diri. Suatu waktu, Yuta menjenguknya sambil membawanya buah-buahan.
"Sudah merasa lebih baik?" tanya Yuta basa-basi.
"Iya."
"Bolehkah aku duduk di sini?" tanyanya lagi yang kemudian diiyakan oleh si pemilik kamar.
"Aku baru saja pulang dari misi bersama Maki dan Panda. Sungguh melelahkan mendapat misi dengan tingkat 1," keluh Yuta diawali dengan helaan napas.
"Kenapa dari awal kau tidak ikut dengan mereka? Kau sepertinya memang lebih kuat daripada mereka," tanya Toge seraya meraih satu buah apel.
"I-itu …." Toge benar-benar menunggu jawaban dari lelaki yang menjenguknya. "Agar … aku … bisa latihan bersamamu. Ya, benar. Aku ingin berlatih bersamamu!" lanjut Yuta terdengar semangat. Sayangnya, Toge tidak memercayainya.
"Roh kutukan itu … apakah kau membuat kontrak dengannya?"
"Oh, aku belum pernah memberitahumu soal itu, ya?" Toge menggelengkan kepalanya.
"Dia itu Rika … cinta pertamaku. Tragisnya, ia tewas di tempat saat tertabrak mobil dan aku melihatnya langsung. Menyedihkan memang, belum saja aku mengungkapkan perasaanku pada dia," jawab Yuta menjelaskan. "Menurut Gojo-sensei, akulah yang membuatnya jadi roh kutukan tanpa kusadari. Dia akan muncul ketika aku berada di situasi genting seperti saat misi kita waktu itu."
"Maaf aku telah membuatmu harus menceritakannya."
"Santai saja, Inumaki …." Yuta tertawa hambar di akhir. "Um, mau kuajak pergi keluar? Diam di kamar terlalu lama itu tidak baik untuk kesehatanmu, loh."
"Ke mana?"
"Ke tempat latihan kita. Kita tidak akan latihan. Kau harus menghirup banyak udara segar di sore hari. Pemandangannya juga sangat menyejukkan jiwa," respons Yuta, lalu Toge menyetujuinya.
Setibanya di tempat latihan, mereka duduk di bawah pohon sakura. Seperti biasa, Yuta berbasa-basi ketika tidak ada yang memulai percakapan. "Inumaki … lihatlah matahari itu! Sebentar lagi akan terbenam," celetuk Yuta antusias.
"Iya."
"Inumaki … apa yang kau lakukan jika di dunia ini tidak ada kutukan dan kau bisa hidup dengan tenang?" tanya Yuta yang tidak bisa lepas menatap lelaki di sampingnya. Menatap betapa paripurnanya makhluk di sisinya saat ini.
"Tidak tahu," balasnya yang masih memandang mentari di depannya.
"Jika tidak ada kutukan, maka aku tidak akan pernah melawan. Jika tidak ada kutukan, mungkin aku tidak akan pernah mengenalimu hingga sekarang. Senang bisa mengenalmu, Inumaki …," ungkap Yuta yang tanpa disadari telah membuat Toge mengukir senyumannya di balik seragamnya.
"Aku juga."
Beberapa detik sebelum matahari tenggelam di ufuk barat, Yuta memanfaatkan momen tersebut untuk mengungkapkan satu hal yang selama ini ia pendam. "Aishiteru, Inumaki." Ungkapan itu berhasil membuat Toge terkejut bukan main. Pasalnya, ia tidak mengira bahwa Yuta akan mengatakan itu. Ditambah lagi, ia tampaknya belum bisa melupakan perasaannya terhadap Rika.
"Aku tidak peduli jika kau tidak bisa membalas perasaanku. Aku hanya ingin bilang kalau kau adalah sosok penerang hidupku. Kau bagai gemintang di gelapnya angkasa. Kau adalah pantulan cahaya di iris hitamku. Setelah sekian lama aku tenggelam di lautan masa lalu, hingga kau datang membawa harapan di atas permukaan," ungkapnya. "Eh … ucapanku terlihat norak, ya?" Yuta menggaruk pelipisnya saat ia tidak mendapat respons apa-apa dari lelaki di sampingnya.
"Apa kau tidak terpikirkan apabila Rika akan menyerang orang yang kau cinta suatu waktu?"
"Tidak akan. Beberapa hari yang lalu, aku sudah mengatakan padanya untuk tidak menyerang teman-temanku, terutama seseorang yang kucintai. Siapapun itu," balas Yuta meyakinkan.
Tugas mentari digantikan dengan rembulan. Mereka berdua memilih untuk kembali ke asramanya. Pada awalnya, Yuta ingin menginap di kamar Toge, tapi sudah jelas kalau sang pemilik kamar menolaknya meski itu hanya sekadar candaan.
Aku akan selalu melindungimu, Inumaki.
Kalimat itu terus berputar di benak sang empunya netra amethyst. Terdengar seperti sebuah janji dan meyakinkan. Toge semakin memeluk gulingnya lebih erat. Malu? Terpesona? Entah apa yang dirasakan olehnya.
•••
Masa pemulihan Toge sudah berakhir dan ia sudah bisa menjalani misi seperti biasanya. Toge masih mendapatkan misi-misi yang selevel dengannya demi menjaga keselamatannya. Setelah dipikir-dipikir, Toge tidak akan bisa menjalankan misi bersama semua teman seangkatannya di misi tingkat satu. Si pengguna mantra kutukan itu tidak akan bisa menyetarakan levelnya dengan yang lain, bahkan dipromosikan menjadi penyihir tingkat satu. Meskipun begitu, Yuta tetap berusaha agar Toge lebih diakui oleh orang lain, terutama petinggi.
Suatu hari, Toge sedang berkeliling kota seorang diri. Dia tidak mengabari dan tidak akan mengangkat telepon dari siapapun, termasuk Yuta. Si pemilik manik amethyst itu beranggapan kalau Yuta akan memaksa atau mungkin tiba-tiba menghampirinya. Toge ingin refreshing. Membeli baju, pergi ke toko buku, dan memakan sushi.
Di jalan, kebetulan sekali ia bertemu dengan Yuji. Sebenarnya lelaki pelit bicara itu tidak masalah asalkan tidak mengganggu waktunya saja. Adik kelasnya juga kelihatannya pergi sendiri.
"Oi, Inumaki-senpai!" sapa Yuji riang. Toge hanya menengok ke arahnya. "Sedang apa kau ke sini?" tanyanya.
"Hanya berkeliling dan membeli beberapa barang," sahut Toge sambil memperlihatkan belanjaannya. Yuji ber-oh ria.
"Kalau kau ke sini juga, harusnya kau mengabariku. Jadi, kita bisa pergi bersama," anjur Yuji.
"Aku hanya ingin sendirian."
"Eh, tumben sekali kau tidak mengajak Okkotsu-senpai …," tukas Yuji.
Toge menghela napas setelah mendengar pernyataan dari adik kelasnya itu. "Sedekat itukah aku dengannya?" Yuji mengiyakan.
"Apakah kalian sedang bertengkar?"
"Tidak. Untuk apa juga?"
"Ya … sepasang kekasih terkadang 'kan suka bertengkar‒"
"Baka!" pekik Toge. "Huh, memang berbicara denganmu tidak akan pernah benar." Toge mengembuskan napasnya berat diikuti dengan cengiran tak bersalah khas Yuji.
"Itadori, jangan bilang ke siapa-siapa kalau kau menemuiku di sini, ya. Aku benar-benar ingin sendiri," pinta Toge.
"Ha'i, wakarimashita!" respons Yuji sambil memberinya hormat. Mereka pun berpamitan.
Sang empunya surai platinum blonde menikmati skyline view. Ia benar-benar menatapi langit itu seperti sedang berinteraksi non-kasat mata. Beberapa menit kemudian, dering ponsel menginterupsi momen meditasinya. Ia sudah berfirasat, pasti Yuta yang meneleponnya. Maka dari itu, Toge mengabaikannya. Namun, ada di suatu saat ia merasa jengkel dan mencoba untuk mematikan ringtone-nya.
Fushiguro Megumi. Nama itu yang terpampang di layer ponselnya. Toge yang awalnya berniat untuk mengabaikan semua panggilan, kini ia malah mengangkatnya karena Megumi jarang sekali meneleponnya. Apalagi sampai berulang kali.
"Ada apa?" tanya Toge.
"Inumaki … kau ada di mana?" Ternyata yang berada di seberang sana adalah Yuta. Seharusnya Toge menyadarinya, tapi terlanjur menerima teleponnya. "Kukira kau sedang dalam bahaya atau semacamnya. Aku menjadi panik karena kau tidak mengangkat teleponku."
"Kau terlalu berlebihan."
"Ayolah, hargai sedikit rasa khawatirku ini …," ujar Yuta memelas.
"Nanti malam aku pulang. Aku ingin sendiri dulu untuk hari ini. Aku mohon." Kini Toge yang meminta. Yuta yang mendengarnya lantas menyetujuinya. Toge mematikan panggilan sepihak.
Manik amethyst-nya kembali menatap kanvas biru di atasnya. Awalnya, Toge berniat untuk menikmati indahnya langit. Ia tidak tahu jika berbagai pemikiran yang akan memenuhi benaknya ketika melamun. Okkotsu Yuta menjadi topik utama di pikirannya saat ini.
Otaknya memutar kembali adegan di mana si pemilik manik obsidian itu mengungkapkan perasaannya di bawah pohon sakura dan panorama sunset yang sangat mendukung suasana. Toge tahu kalau sebenarnya Yuta berharap dan ingin perasaannya terbalas. Sejujurnya, Toge ingin sekali langsung mengungkapkan perasaannya. Ya, Toge pun mencintai Yuta. Mungkin terdengar picisan dan klise. Sedari awal mereka betukar tatap, tidak ada yang memulai pembicaraan selama beberapa saat. Mereka berdua saling tenggelam fantasinya. Mengagumi insan yang menawan.
Cinta memang terdengar membingungkan. Ada yang berawal dari rupa, ada pula yang berawal dari sikap. Kedua hal itu bisa saja menipu. Tidak dengan Yuta yang jelas sekali sangat yakin dengan ucapannya itu. Munafik memang jika Toge tidak menerima cintanya. Ia hanya tidak ingin perilaku Yuta jadi berbeda jika ia menolaknya ataupun menerimanya. Dua kemungkinan berbeda yang memiliki akibat yang sama. Itulah mengapa Toge menggantung perasaan si pemilik surai hitam legam hingga saat ini.
Setelah beberapa saat memandang langit, Toge pun berniat untuk pulang ke asrama. Pandangannya sedikit terhalang oleh kerumunan orang. Hingga kerumunannya sudah tidak padat, ia melihat seseorang berseragam putih, rambut hitam yang disibakkan ke belakang, dan matanya yang tampak sayu.
"Eh, tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini, Inumaki."
"Kau sengaja, kan?"
"T-tidak, kok," sangkal Yuta sembari mengalihkan penglihatannya. "Aku ingin membeli ramen di sekitar sini. Panda dan Maki juga meminta untuk dibawakan juga."
"Panda tidak suka ramen." Yuta skakmat.
"M-maksudku … kau tahu 'kan …." Yuta kehabisan alasan, lalu menghela napas.
"Ya sudah, kuantarkan kau pergi ke kedai ramen," pungkas Toge.
"Aku hanya bercanda … aku hanya ingin menjemputmu pulang," sanggah Yuta kedua kalinya.
"Aku bisa pulang sendiri." Yuta hanya bisa sweatdrop. "Ayo, kita ke kedai ramen saja. Kebetulan aku juga lapar," ajaknya dan Yuta menyetujui.
Yuta dan Toge memasuki kedai ramen yang cukup ramai pengunjung. Pilihan bagus sebenarnya daripada hanya mereka berdua. Dicarinya meja kosong, kemudian menempatinya. Kedua lelaki itu memesan menu pilihannya, lalu menunggu hingga disajikan.
"Sebenarnya, ada yang ingin kusampaikan. Aku harap kau senang," ungkap Yuta. Toge memilih untuk diam dan menunggu Yuta melanjutkan.
"Minggu depan kita harus menjalankan misi tingkat satu. Tentunya bersama dengan Maki dan Panda," kata Yuta. Bukannya raut senang yang terpahat di wajah Togee, tetapi raut kebingungan.
"Bagaimana bisa?" tanyanya heran.
"Aku yang membujuk Gojo-sensei untuk melibatkanmu ke dalam misi nanti. Aku ingin membuktikan bahwa kau ini tidak selemah yang mereka kira."
"Baka." Kata umpatan favoritnya terlontar dengan pelan. Yuta yang mendengarnya sedikit kecewa karena sepertinya Toge tidak menyukai tindakannya. "Mau bagaimanapun, aku tidak akan bisa seperti kalian. Penyihir sepertiku tidak akan bisa melawan kutukan tingkat dua ke atas, apalagi seorang diri," lanjutnya.
"Kecuali kau ingin aku mati di tangan musuh." Yuta terbelalak dibuatnya.
"Inumaki, kau bicara apa? Sudah kubilang, kan? Aku akan selalu melindungimu. Kekuatanmu sangat dibutuhkan di misi tingkat apapun. Kita sudah berlatih bela diri juga, kau bisa menggunakannya untuk melawan atau setidaknya mengulur waktu hingga kau dapat bantuan," tutur Yuta serius. Pesanan mereka juga datang di saat yang bersamaan. "Kumohon, jangan menyerah begitu cepat, Inumaki. Percayalah padaku."
Sepanjang apapun penjelasan Yuta, nyatanya Toge tidak semudah itu terenyuh. Namun, memasang topeng saat ini bukankah pilihan terbaik? Jujur, Toge tidak begitu setuju dengan tindakan Yuta. Yang mengetahui Toge ialah dirinya sendiri. Memang benar jika dirinya ingin merasa diandalkan, tapi ia mencoba untuk realistis.
"Terima kasih, Yuta-kun. Kuhargai itu." Yuta merasa lega dan senang terhadap kebohongan lelaki di hadapannya ini. Mereka pun mulai menikmati ramen-nya.
•••
Seperti biasa, Yuta dan Toge berlatih untuk mempersiapkan diri mereka saat misi nanti. Semakin hari, kemampuan sang empunya surai platinum blonde berkembang pesat. Yuta semakin yakin jika misi kali ini akan berhasil dan mereka akan pulang dengan selamat. Di sisi lain, Toge tidak hanya mempersiapkan fisiknya, tapi ia juga bersiap-siap untuk mengungkapkan sesuatu sebelum terlambat. Ia terus berpikir akan kemungkinan terburuk.
"Yuta-kun, kau meleset."
"Maaf, pedang ini agak berat," jawab Yuta sembari menguatkan genggamannya pada pedang.
"Sepertinya kau harus sering berolahraga. Kau terlihat tidak sehat, lihat saja matamu."
Terkadang aku bersyukur Toge orangnya pelit bicara. Sekalinya banyak bicara, jahat banget! batin Yuta mengeluh.
"Kalau badanku berotot, sepertinya kau akan tergiur," goda Yuta diiringi tawa hambar khasnya.
"Baka!" ejek Toge sembari menendang tulang kering sang empunya netra senada dengan surainya.
"Ittai! Aku hanya bercanda …." Yuta mengusap-usap bagian yang sakit.
"Aku ingin makan salmon. Aku pergi dulu, ya!" pamit Toge.
"Tunggu! Temani aku latihan sebentar lagi …," pinta Yuta sedikit memelas. Si pemilik surai platinum blonde hanya bisa menghela napas kemudian mengiyakan. Kali ini, Yuta bisa mengendalikan pedangnya jauh lebih baik, akan tetapi teman latihannya itu masih bisa menghindar dari tebasannya yang cukup cepat. Padahal Yuta menggunakan tendangan sebagai pengalihan, tapi Toge terlalu pintar untuk membaca gerakannya.
"Bagaimana bisa kau menghindar, oi, Inumaki?" tanya Yuta yang terlihat letih.
"Entahlah. Sekarang giliranku." Yuta meletakkan pedangnya, kemudian bersiap-siap untuk menangkis serangan dari Toge. Sang empunya mata panda itu merasa senang ketika berhasil menghindar dari sepuluh pukulan dan tendangan, tetapi ada serangan tak terduga dari sang lawan.
Toge menarik tengkuk Yuta, kemudian mencium bibir ranumnya. Yuta yang terkejut, membiarkan Toge menikmatinya, kemudian membalasnya. "Aishiteru, Yuta-kun."
"Eh, kau belajar dari siapa kata-kata itu?" tanya Yuta sedikit terkesiap ketika mendengar Inumaki berucap seperti itu. Baginya, itu adalah 'sweet melody'. Lebih indah daripada nyanyiannya.
"Kau duluan 'kan yang bilang begitu saat kita sedang menikmati panorama matahari terbenam. Ingat?" Yuta terkekeh geli saat mengingatnya.
"Aishiteru mo, Inumaki."
Mereka terlihat lebih semangat dari biasanya, terutama si pemilik surai hitam legam. Hingga mereka akhirnya mencapai batasnya, latihan disudahi. Toge pergi ke kamarnya untuk menikmati salmon yang sedari tadi harusnya dimakan, tapi Yuta mencegahnya. Yuta sendiri masih ingin menikmati udara segar di luar. Perasaannya sedang berbunga-bunga hari ini.
Ketika malam tiba, Toge tidur lebih cepat dari biasanya. Ia itu orangnya mudah terlelap dan mudah terusik. Seperti halnya saat ini, seseorang kembali membuka pintu tanpa mengetuk. Toge terbangun, akan tetapi terlalu malas untuk menengok. Orang yang sudah dipastikan bernama Okkotsu Yuta itu dengan santainya menindih pemilik kamar.
"Cepat sekali tidurnya …."
"Menyingkirlah, Yuta-kun!" Toge mengaktifkan mantra kutukannya, tapi tampaknya Yuta tidak terkena efeknya.
"Aku mengamankan pendengaranku dengan energi kutukan. Maaf ya …," jelas Yuta sembari tertawa kecil.
"Aku ingin tidur."
"Kau tidak ingin main sebentar?"
"A-apa maksudmu?" Toge sedikit gugup ketika mendengar pertanyaan Yuta yang terkesan persuasif dan seduktif di waktu yang bersamaan.
Yuta membuat Toge berada di bawahnya. Lalu, ia mulai mencium bibir lelaki itu yang berakhir dengan lumatan yang lembut. Toge masih belum membalas ciumannya, membuat Yuta menggigit bibir bawah milik lelaki di bawahnya ini. Kelihatannya Toge masih terkejut dengan apa yang sedang terjadi. Ketika sang empunya manik amethyst membuka mulutnya, di situlah kesempatan Yuta untuk memasukkan lidahnya ke dalam. Memeriksa setiap gigi dan memberi kode untuk dibalas.
"Ngh, Yu … ta‒h …," sebut Toge terdengar melenguh. Yuta sepertinya benar-benar mengabaikan omongan si pemilik kamar.
Si pemilik surai hitam legam itu mulai menggigit leher Toge. Satu desahan lolos dari mulut Toge dan itu membuat Yuta semakin bergairah. Entah dari mana niat nakalnya ini. Ia pun menatap wajah Toge yang terlihat menawan. Ditambah keringat yang mengalir dari dahinya. Disibakkannya poni lelaki pujaannya itu, kemudian mengecup lembut dahinya.
"Biarkan aku yang melakukan semuanya, kau nikmati saja, ya?" ucap Yuta lembut. Toge yang sebenarnya polos, mengetahui maksud dari lelaki di atas ini. Jujur, Toge tidak siap. Dia ingin menolaknya. Namun, ia mengingat sesuatu yang membuat ia mengiyakan Yuta pada akhirnya.
"U-umn …." Lelaki di atasnya ini memamerkan senyuman terindahnya ketika mendengar jawaban gugup dari dirinya. Kawaii ne, pujinya dalam hati.
"A-ri-ga-tou," bisik Yuta di telinga Toge.
•••
Sudah memasuki hari di mana Maki, Panda, Toge, dan Yuta pergi menjalankan misi bersama. Mereka sudah pernah melakukannya bersama, tapi bukan di misi tingkat seperti yang saat ini. Misi tingkat satu memiliki banyak sekali risiko. Meskipun Maki dan Panda dapat melaksanakannya dengan baik, tapi terkadang mereka pulang dengan banyak luka yang ada di tubuhnya. Semenjak Yuta memulai mengikuti misi, risiko itu sedikit berkurang. Rika akan muncul ketika ia berada di situasi gawat. Maki dan Panda yang mengetahui itu merasa terkejut. Akhirnya, Maki mengakui kemampuan Okkotsu Yuta. Ditambah lagi, Yuta sedikit menjadi gila ketika ia men-summon roh kutukannya itu yang membuat ia tampak mahir sekali dalam berpedang.
Bagaimana dengan Inumaki Toge? Sudah jelas ia berkembang, akan tetapi tetap saja tidak akan menyamai posisinya dengan ketiga temannya. Maki selalu mengomelinya supaya Toge bisa menjadi kuat atau setidaknya bisa melindungi dirinya sendiri. Namun, di sana ada Panda yang menetralkan suasana. Maki dan Panda sangat menyayangi pemuda pengguna mantra kutukan itu. Maka dari itu, mereka tidak pernah menyarankan Gojo-sensei untuk melibatkan Toge ke dalam misi yang bukan levelnya.
Kemudian, di sana ada Yuta yang membuat niat baik Maki dan Panda sirna. Sebelum mereka berangkat ke lokasi, Panda dan gadis bersurai emerald itu menanyakan apakah Toge siap atau tidak, tapi malah Yuta yang menjawabnya. Ia bilang bahwa Toge siap dan Yuta akan selalu melindunginya.
"Aura kutukan ini … sangatlah kuat," celetuk Panda.
"Benar, lebih kuat daripada yang pernah kita sucikan," timpal Maki.
Toge yang mendengar ucapan Maki dan Panda merasa biasa saja. Ia sama sekali tidak gentar. Sebenarnya, ia sengaja berlaku demikian guna tidak dikhawatirkan oleh ketiga temannya itu. Di lubuk hatinya yang paling dalam, ia sudah menyerah pada takdir yang akan datang. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Apakah dia akan mati dalam penyesalan jika ia memang benar akan mati?
"Toge," panggil Panda. "Kau harus tetap hidup, ya."
Yang dipanggil mengangguk pelan. Yuta pun langsung menaruh tangannya di atas bahu si pemilik manik amethyst. Ia seperti berkata 'semangat' tanpa suara.
Mereka pun langsung memasuki lokasi. Mereka berada di Perluasan Domain yang tidak sempurna. Ini cukup merugikan, akan tetapi mereka yakin bisa mengatasinya.
"Maki!" pekik Panda ketika melihat temannya dibawa masuk ke dalam portal. Gadis yang disebut Namanya itu menyunggingkan senyumnya pertanda Panda tidak perlu khawatir.
Tersisa Yuta, Panda, dan Toge di dalam ruangan yang cukup luas. Aura mencekam mengisi kehampaan. Tiba-tiba saja muncul kutukan dari atas mereka dan meninju pijakan mereka. Ketiga dari mereka berhasil menghindar. Betapa terkejutnya ketika mereka mengetahui bahwa kutukan yang mendatangi mereka itu tidak terdaftar di dalam data. Kemungkinan besar, kutukan ini berada di tingkat khusus. Sedangkan musuh sebenarnya adalah kutukan yang menculik Maki.
"Toge, jaga jaraklah dengan‒" Belum saja Panda menyelesaikan kalimatnya, sebuah pukulan keras berhasil mendarat di pipi kiri Toge yang membuatnya terpental.
"Inumaki!" Mata Yuta mulai memanas ketika melihat pujaan hatinya diserang tanpa aba-aba. Dihunuskannya pedangnya, lalu menebas tangan kutukan tersebut. Ya, dia berhasil. Namun, membuatnya terluka adalah suatu hal yang tidak berguna. Kutukan itu dapat memulihkan tubuhnya dengan cepat.
"Rasakan ini!" Panda memukul punggung kutukan tersebut dan dapat membuatnya terhempas.
"Okkotsu, jaga Toge. Biar kuurus ini‒"
"Aku akan ikut bertarung. Aku masih memiliki cukup tenaga. Tenang saja," sela Toge.
Mereka bertiga membentuk formasi. Panda berada di garda terdepan, Yuta di tengah, dan Toge di belakang. Panda berusaha untuk melayangkan tinjunya ke bagian dada lawannya itu, akan tetapi kutukan itu pandai menghindar. Yuta datang dari belakang sebagai pengalih perhatian. Akhirnya, Panda dapat melancarkan satu hingga lima pukulan kerasnya. Yuta menebas kedua kaki kutukan tersebut yang membuatnya tidak dapat bergerak bebas untuk sementara waktu.
"Jangan bergerak!" ucap Toge yang memberi efek lebih.
Energi kutukan dipusatkan pada kepalan tangan Panda, kemudian mendaratkannya pada bagian perut musuhnya. Mereka belum selesai, tampaknya kutukan itu cukup kuat untuk bangkit kembali. Pada akhirnya, Yuta memanggil Rika untuk cepat-cepat menghabisi musuhnya. Sayangnya, tidak semudah itu untuk membasminya.
Ketika mereka bertiga terpojok, Maki datang dari entah berantah. Menyerang kutukan itu dengan peralatan terkutuk favoritnya berbentuk tiga tongkat. Itu berhasil membuat sang musuh terlempar jauh. "Sepertinya kalian mengalami kesulitan."
"Hati-hati, Maki! Itu kutukan tingkat khusus," ujar Panda mengingatkan.
"Tingkat khusus? Dasar Gojo-sensei … harusnya jangan menyerahkan misi ini kepada kita," keluh Maki.
"Ini sepertinya sama sulitnya dengan kutukan yang dilawan oleh Itadori. Kita harus sangat berhati-hati."
"Toge, buat dia berhenti bergerak saat kita menyerangnya secara bersamaan," kata Maki meminta tolong.
"Ha'i."
Yuta berlari ke arah lorong dan kutukan tersebut mengikutinya. Lorong itu cukup sempit untuk seukuran kutukan dengan tinggi hampir tiga meter. Sang empunya surai hitam legam itu membuat luka di sekujur tubuh sang lawan. Dari belakang, Panda meninju punggung kutukan tersebut hingga bertubrukan dengan tembok. Ketika kutukan tersebut terpojok, Toge mengaktifkan mantranya.
"Jangan ber‒" Darah mengalir dari tenggorokannya.
"Inumaki!" sebut Yuta menjerit panik.
Bahaya. Mantra terkutuknya tidak bisa berdampak banyak untuk melawan kutukan tingkat khusus. Tenggorokannya terluka, pikir Panda.
Karena tidak ada perlawanan selama sekian detik, kutukan tersebut menyerang balik ketiga penyihir itu. Semuanya terhempas dan merasa kesakitan. Tanpa mereka sadari, sang musuh sudah tidak berada di posisi semulanya. Mereka melirik ke arah sekitar dan mendapati Toge sudah kehilangan tangan kirinya. Di sana, si penyihir mantra terkutuk berlari demi menyelamatkan dirinya dari serangan lainnya.
"Terlemparlah!" Kutukan tersebut akhirnya sudah berada jauh dari titik di mana Toge berdiri. Kini, pemuda bersurai platinum blonde itu menghampiri ketiga temannya, tapi ia terlambat. Perut bagian kirinya tertusuk oleh cakar besar milik kutukan tingkat khusus. Tragisnya lagi, kejadian itu terjadi ketika Toge sudah berada di depan Yuta.
"I-nu-maki …," sebut Yuta lirih.
"Yu-ta-kun …."
Dilihatnya lelaki yang terkulai lemas di hadapannya, membuat amarah si pemilik netra hitam kelam itu keluar.
"Rika! Cepat habisi dia!" Roh kutukannya pun kembali ikut menyerang, diikuti dengan Yuta yang menggila. Maki dan Panda ikut membantu. Sang musuh mulai kewalahan ketika remaja-remaja tersebut sudah mengeluarkan kekuatan maksimalnya. Meski kutukan tersebut masih sempat menangkis serangan, ia pun akhirnya terkalahkan ketika Maki berhasil mengeluarkan pusaka terkutuk di dalam dada sang musuh.
Mereka pikir ini adalah akhirnya, ternyata tidak. Gedung yang mereka masuki akan roboh. Hanya menunggu beberapa detik sebelum roboh. Yuta yang teringat bahwa Toge masih berada di lorong, lantas berlari. Namun, Panda menggendongnya agar bisa cepat-cepat keluar.
"Panda, lepaskan! Toge masih ada di sana!" pekik Yuta.
"Kita tidak akan sempat keluar jika menyelamatkannya!" sahutnya.
"Aku pasti bisa! Cepat lepas‒"
"Okkotsu! Seorang penyihir jujutsu harus mengutamakan keselamatan dirinya," timpal Maki sembari berlari keluar gedung.
"Apa kalian tidak sedih ketika melihat teman sendiri mati? Inumaki masih bisa kita selamatkan‒" Ucapan Yuta terpotong kala ia melihat ekspresi terluka dari Maki. Ditambah lagi Panda yang mengeluarkan air mata.
Suhu kamar menjadi naik sekian derajat. Karbondioksida yang tak hentinya keluar dari kedua insan itu hampir memenuhi ruangan. Peluh mengalir di sekujur tubuh mereka. Seprai yang sudah kusut dan selimut yang bertumpuk dengan pakaian di lantai.
Dipandanginya lelaki yang menutup wajah nirmalanya dengan salah satu tangannya. Pemuda bersurai hitam legam itu menyingkirkan tangan yang menghalangi guna manik amethyst-nya terlihat. Begitu indahnya hingga membuat Yuta menebarkan senyumannya.
"Aishiteru, Inumaki."
"Inu … maki …." Yuta ikut mengeluarkan air matanya ketika mereka akhirnya berhasil lolos dan meninggalkan Toge yang sudah tertimpa reruntuhan.
FIN
