"Maaf, Akane- san, sepertinya saya belum bisa menerima tawaran Anda."
Dara dengan bola mata sewarna batu kecubung ungu tersenyum kecut. Keinginannya untuk menjadi istri dari seorang kazekage harus kandas tatkala penolakan bernada halus keluar dari mulut Gaara Rei.
"Ah, tidak papa, Gaara- kun." Si gadis mengibaskan tangan kanannya ringan, padahal hatinya dipenuhi kelesah yang membuncah. "Mungkin kita belum berjodoh saja."
Lelaki dengan lingkar hitam yang tercetak jelas di bawah kelopak mata berdiri. Ia membungkukkan badannya sedikit demi menghormati orang tua sang dara yang turut serta menindaklanjuti lamaran yang mereka kirimkan dua hari lalu. "Shimizu- san, saya minta maaf atas penolakan saya ini. Semoga anak Anda menemukan lelaki yang lebih baik dari saya."
Pria paruh baya dengan rambut merah delima menggelengkan kepala seraya tersenyum. "Tidak masalah, Gaara- san. Semoga Anda bisa menemukan jodoh Anda segera."
Sepeninggal keluarga Shimizu, Gaara mengembuskan napas kasar. Ia melonggarkan ikatan dasi yang mencekik sembari berjalan menuju kursi kerjanya. Map berisi biodata diri dari Akane Shimizu tercengkam di tangan kirinya. Setelah berhasil mendudukkan pantat di atas busa empuk, pemuda dengan netra sewarna batu giok itu menelaah satu per satu isi dari curiculum vitae gadis berkulit putih tersebut.
Gaara sama sekali tidak mempermasalahkan fisik dari sang gadis. Sebagai lelaki normal, tentu ia mendambakan istri yang cantik parasnya. Namun, manakala visi dan misi sang gadis dalam membina rumah tangga berbanding terbalik dengan dirinya, si Mata Panda tak perlu berpikir dua kali untuk langsung menyatakan penolakan. Yang benar saja, Akane menuntut agar dirinya dimanjakan seperti seorang putri raja? Hah! Gaara tak mau menerima istri semacam itu.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk."
Seorang perempuan memasuki ruangan sambil membawa nampan. Turut serta bersamanya seorang lelaki dengan perawakan tegap menenteng tas kerja dengan tangan kiri. Di atas nampan yang dibawa si wanita, bersemayam secangkir kopi yang mengepulkan asap dan piring berisi tiga tumpuk roti maryam[1].
"Ditolak lagi, Gaara- sama?" wanita itu meletakkan nampan di atas meja Gaara. "Bisa saya lihat di kejauhan mereka menceracau seperti kalah taruhan balapan kuda."
Mencium aroma kopi yang menggelitik hidung, Gaara langsung menegakkan kepala yang sempat tertelungkup di atas meja. Perlahan, ia menyeruput minuman yang berasal dari gilingan biji tanaman kopi tersebut. Setelah lidahnya mengecap rasa pahit yang dominan, selembar roti maryam yang diberi olesan madu ikut masuk ke dalam rongga mulut. Makan siang yang sederhana ini cukup memberi Gaara energi untuk kembali mengerjakan dokumen yang seakan-akan tak pernah habis dari mejanya.
"Maaf jika saya lancang bertanya, Gaara-sama." Si wanita mendekap nampan di depan dada, sedangkan pria dengan setelan jas sewarna arang itu menyerahkan tiga buah map pada sang Kazekage Muda. "Kalau saya tidak salah ingat, ini adalah wanita kedelapan yang Anda tolak, 'kan? Mengapa anda menolak semuanya?"
Seusai meneguk kunyahan roti maryam, Gaara berkata, "Visi misi pernikahan mereka tidak sejalan denganku, Sari. Hanya itu."
Si wanita yang dipanggil Sari itu tersenyum memaklumi. Jikalau ia berada di posisi yang sama dengan sang atasan, tentu ia akan lebih selektif dalam memilih calon pasangan hidup. Pernikahan adalah hal sakral yang menyatukan dua individu menjadi satu. Keduanya tak harus memiliki sifat yang sama, tetapi keinginan untuk mengarungi bahtera kehidupan pasca-pernikahan harus selaras. Mirip dengan sepasang sepatu, berbeda sisi tetapi serasi dan saling melengkapi.
"Mereka semua wanita yang direkomendasikan orang tua anda?"
Si Mata Panda mengangguk.
"Anda tidak mempunyai calon yang anda inginkan?"
Gaara membalik map yang baru saja diserahkan oleh si lelaki. Kertas itu berisi proposal perizinan kegiatan pesantren Ramadan yang akan dilaksanakan dua bulan lagi. "Kau tahu, Sari? Selama ini, kegiatanku sehari-hari diatur oleh chichiue[2, mulai dari bangun tidur hingga menjelang tidur. Aku tak terlalu banyak bergaul dengan orang. Heh, bahkan teman-temanku bisa dihitung oleh jari."
Sebenarnya, Sari kurang lebih sepantaran dengan Gaara. Hubungan atasan-bawahan hanya mereka terapkan jika situasi dan kondisi mengharuskan demikian. Selebihnya, ia dan si Mata Panda tak ubahnya sepasang sahabat dalam batas yang sewajarnya. Oleh karena itu, ia ingin membantu sang atasan menemukan kebahagiaannya.
"Menantu seperti apa yang orang tua anda inginkan, Gaara- sama?"
Gerakan tangan si Mata Panda yang membolak-balik lembaran proposal pesantren Ramadan terhenti. Ia terkekeh. "Sebagai ganti kebebasan masa mudaku yang terenggut, aku meminta wewenang penuh atas urusan pribadiku di masa depan, termasuk calon pasangan hidup. Tapi, karena aku tidak punya calon yang kuinginkan, orang tuaku terpaksa menjodohkanku dengan orang lain. Memangnya ada apa dengan itu, Sari?"
Sari tersenyum, tidak, ia menyengir. " Jadi …, intinya adalah selama calonnya cocok, tidak masalah bagi Anda bukan, Gaara- sama?"
" Oi, oi!" Pria yang sedari memasuki ruangan ini bersamanya membuka suara. "Kalau kau berencana memasukkan Gaara- sama dalam acara kencan buta, lebih baik lupakan saja, Sari. Lagi pula, apa yang akan masyarakat pikirkan jika mereka mengetahui pemimpin mereka mencari calon istri dengan cara semacam itu?"
Gaara menimpali, "Benar kata Baki- san. Meskipun para tetua mendesakku untuk menikah, aku tak perlu sampai mengikuti acara kurang berfaedah seperti itu, Sari."
Sari menyodorkan sebuah brosur pada si Mata Panda. "Siapa bilang saya mau menyarankan kencan buta pada Gaara- sama, Baki- dono?"
Brosur itu berisi kegiatan amal yang akan dilaksanakan di sebuah panti asuhan di pinggir kota Suna akhir pekan ini. Selain kegiatan amal, ada juga bazar yang hasil keuntungannya akan disumbangkan pada para fakir miskin di kota Suna. Mengapa hal seperti ini luput dari perhatian Gaara? Tunggu, apa maksud Sari memberikan brosur ini?
"Datang saja ke sana, Gaara- sama." Seakan tahu apa yang ada dalam pikiran sang atasan, Sari mengucapkan hal itu seraya tersenyum lima jari. "Meskipun orang tahu dengan Anda, bilang saja kalau Anda datang sebagai relawan. Yah, lebih baik kalau Anda menyamar sih. Biar saya dan Baki- dono yang menyelesaikan urusan Anda di kantor."
Intuisi Gaara mengatakan bahwa ia harus pergi. Kegiatan amal, ya? Kedengarannya menarik.
.
.
.
Mawar di Padang Tandus
Embun's Side Story
NARUTO belongs to MASASHI KISHIMOTO
Setting: AU ( Alternate Universe)
Islamic Content
.
.
.
"Bagrir[3] hangat! Bagrir hangat!"
"Kebab[4] gurih! Kebab nikmat!"
"Dushbara[5] lezat! Kalau tak enak, boleh ambil gratis!"
Gaara terhenyak dengan lautan manusia ini. Ia tak menyangka bahwa di pinggiran kota Suna yang cenderung sepi, akan ada kegiatan yang menarik pengunjung sebanyak ini. Apresiasi patut diberikan pada penyelenggara kegiatan amal dan bazar. Selain memajukan perekonomian masyarakat lokal, acara ini juga mendorong masyarakat agar bersemangat mengentaskan kemiskinan.
Setelah berjuang menerobos kerumunan, Gaara tiba juga di depan bangunan sederhana dengan papan nama Arsyadul Rosyidin. Orang yang paling dewasa di antara orang-orang dewasa, ya? Pilihan nama yang tepat sekali. Menurut informasi yang ia terima dari Sari, panti asuhan ini memiliki tujuan yang sangat mulia, yaitu mencerdaskan anak-anak yatim piatu dan melahirkan generasi pejuang yang matang baik fisik maupun budi pekertinya.
Kendatipun bukan bidang yang ia pelajari, Gaara tahu bahwa dalam perspektif islam, kedewasaan itu dinilai dari bagaimana seorang individu mampu memilih mana yang baik dan mana yang buruk, serta bisa mengelola keuangan secara bijak. Jika kedua syarat itu terpenuhi, maka seorang muslim statusnya menjadi mukalaf, artinya orang yang mengemban tanggung jawab dan kewajiban. Ia berhak menerima harta warisan dan boleh mempergunakan harta dalam urusan jual beli, baik skala besar ataupun kecil.
Gaara mengetuk pintu depan perlahan sebanyak tiga kali. Ia mundur setengah langkah agar siapa pun yang membuka pintu tidak terkejut dengan kehadirannya.
" Assalaamu'alaikum."
Bisa Gaara dengar, walaupun samar, suara langkah kaki yang tergesa-gesa. Kenop pintu pun terputar searah jarum jam. " Wa'alaikumussalaam."
Begitu daun pintu terbuka, Gaara bergeming menyengap. Sepanjang hidupnya, si Mata Panda tak pernah sama sekali terpesona dengan makhluk bernama wanita, kecuali sang ibu dan kakak perempuannya. Akan tetapi, lihat keadaannya sekarang, menggerakkan lidah pun ia tak sanggup. Gadis di hadapannya ini sebenarnya tak terlalu cantik. Jika dibandingkan dengan delapan gadis yang pernah melamar Gaara, ia jelas kalah jauh. Namun, sang dara mempunyai aura yang bisa membius pemuda dengan netra sewarna batu giok ini.
" Ano …, ada yang bisa saya bantu?"
Sadar karena melongo terlalu lama, Gaara membungkukkan badannya sedikit. "Sa-saya dengar te-tempat ini membutuhkan lo-lowongan." Sial, kenapa ia mendadak mengidap penyakit gagap? "Sa-saya ingin membantu sebagai re-re-relawan."
Sang dara paham bahwa lawan bicaranya sedikit gugup. "Benarkah? Terima kasih banyak, Tuan. Kalau begitu, mari ikuti saya."
Jantung Gaara berdebar kencang tanpa bisa terkendali; keringat dingin mulai memenuhi dahinya; kedua netra senada batu zamrud berpendar ke segala arah; semua itu merupakan pertanda bahwa pemuda berambut merah bata ini sebetulnya sedang gelisah. Ada apa dengan dirinya hari ini? Ke manakah sikap tenang dan kalem yang biasanya menjadi ciri khasnya?
" Ah!" Kazekage muda itu bahkan tidak menyadari bahwa sang dara mendadak berhenti. "Saya merasa pernah melihat wajah Anda di suatu tempat."
"Yah, lebih baik kalau Anda menyamar sih."
Ucapan Sari tempo hari sudah Gaara pikirkan baik-baik. Oleh karena itu ia berpakaian seperti ini—kaus oblong lengan pendek berwarna merah tanah liat, celana cargo abu-abu, jubah sewarna bagian dalam batang kayu jati, dan serban bermotif kotak-kotak dengan warna hitam putih yang melilit kepala sekaligus menyembunyikan tato di dahi kirinya. Itu adalah penampilan lazim orang Suna ketika bepergian di luar rumah, terutama daerah pinggiran seperti distrik ini. Yang menjadi masalah sekarang adalah identitasnya.
"Mana mungkin, Nona?" Gaara menekan rasa gugup yang mendominasi sanubari. " Ah, maafkan ketidaksopanan saya. Saya Ga … Gaza. Ya, itu nama saya."
Untung saja kecurigaan gadis itu tak berlanjut. "Saya Matsuri. Maafkan kelancangan saya barusan, Tuan." Gaara memuji dalam hati bagaimana tindak tanduk si gadis saat mereka berdua saling memperkenalkan diri masing-masing. Dua pasang netra berbeda warna tersebut hanya bersitatap sesaat. Selebihnya, kedua mata laksana pekatnya jelaga milik sang dara terarah ke lantai kayu di bawah mereka.
Setelah berjalan kurang lebih sekitar satu menit, Gaara dan Matsuri tiba di sebuah ruangan yang cukup luas. Aneka pakaian bersih tertumpuk di beberapa sudut ruangan. Sepuluh orang perempuan duduk bersimpuh di lantai, menyortir pakaian menurut kategori tertentu dan memasukkannya ke dalam kardus. Tak hanya mereka saja yang ada di ruangan tersebut, anak-anak, baik itu laki-laki maupun perempuan, turut serta membantu meskipun mereka lebih sering memainkan pakaian-pakaian itu daripada merapikannya.
Matsuri berjalan melewati kesepuluh wanita tersebut sembari menebar senyum. Gaara menjaga jarak di belakangnya sambil mengobservasi apa saja yang terjadi di ruangan. Para wanita itu bekerja dengan cekatan dan efisien walaupun ada sebagian anak yang iseng merusak baju yang telah terlipat rapi. Sang dara terus berjalan sampai tiba di ujung ruangan. Seorang wanita paruh baya duduk di atas kursi. Menggunakan kacamata sebagai alat bantu melihat, ia mengguratkan pena di atas lembaran kertas. Menyaksikan pemandangan ini membuat si Mata Panda tersenyum tipis.
" Okaa- sama, ada relawan yang ingin membantu."
Wanita itu menegakkan kepalanya. Kerutan di wajah menegaskan usia yang sudah lanjut. Seulas senyum bertengger di bibir keriput. "Relawan? Oh, mohon kerja samanya, Anak Muda." Berbanding terbalik dengan penampilan fisiknya, sang wanita mengeluarkan suara nan lantang lagi enerjik. "Perkenalkan, saya orang yang diamanahkan menjadi pengurus panti asuhan ini, Miyako."
"Saya Gaza." Gaara sedikit membungkukkan badannya ke depan. "Saya siap ditugaskan apa saja, Miyako obaa- san."
"Matsuri, kau bisa melipat kembali baju-baju di sebelah sana." Miyako mengarahkan telunjuknya ke arah barat daya. "Gaza, bisakah kau meletakkan dus-dus yang sudah terbungkus rapi ke dalam gudang?"
"Baik!" sahut Gaara dan Matsuri secara serentak.
~o0o~
" Assalaamu'alaikum, tadaima!"
Mentari telah turun tahta dari singgasana. Gaara memasuki rumah dengan tubuh sedikit lunglai. Ia tak pernah menyangka jika memindahkan kardus-kardus berisi pakaian ke dalam gudang penyimpanan panti asuhan akan melelahkan seperti ini. Pemuda dengan tato di dahi kirinya ini menyadari bahwa selama ini tubuhnya tak pernah berolahraga dan kurang beristirahat. Ada baiknya ia meluangkan waktu beberapa jam saja di akhir pekan untuk mengolah tubuh agar kondisinya lebih sehat.
" Wa'alaikumussalaam warohmatullah." Karura, ibu Gaara, menyambut kehadiran anak bungsunya dengan segelas air putih. Memperhatikan sang anak yang meminum dengan penuh kekhusyukan, wanita ini bertanya, "Gimana? Capek bekerja di panti asuhan?"
Rambut sewarna batu bata tersebut bergerak seiring anggukan kepala Gaara. "Tak kusangka pekerjaan sepele seperti itu bisa membuatku kelelahan begini, Hahaue[6]. Seharusnya, aku menuruti nasihat Hahaue untuk beristi …."
Alangkah! Gaara nyaris saja keceplosan. Akan tetapi, mengapa ibunya bisa tahu?
Karura terkekeh menyaksikan tingkah kikuk sang anak. "Tak ada yang perlu disembunyikan lagi, Gaara. Ibu sudah mendengarnya dari Sari."
Ah! Sungguh Gaara ingin mendamprat sekretaris yang memiliki senyum tengil itu sekarang juga. Tidak bisakah ia berkooperasi untuk menyembunyikan masalah ini? Tunggu dulu! Apa jangan-jangan ibunya menyuruh Sari untuk memata-matai dirinya? Atau mungkinkah justru si Baki yang menjadi mata-mata ibunya?
Paham dengan kemelitan yang dirasakan sang anak, Karura berujar, "Sebaiknya kamu mandi dulu, Gaara. Nanti di meja makan, akan ibu jelaskan semuanya."
Patuh dengan perkataan sang ibu, Gaara beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Biasanya, waktu terlama yang ia habiskan untuk mandi hanya sekitar sepuluh menit. Namun, pemuda dengan bola mata sewarna batu giok ini terus-menerus memikirkan berbagai hal, mulai dari maksud Sari memberikannya brosur itu, gadis bernama Matsuri, sampai ibunya yang mengetahui apa yang ia telah lakukan hari ini. Mungkinkah ketiga hal ini berkaitan satu sama lain?
Gaara selesai tepat saat wana hitam mendominasi langit. Sesampainya di meja makan, pemuda dengan netra sewarna batu giok tersebut cukup terkejut. Selain sang ibu, Rasa, ayahnya, telah duduk di kursi kepala keluarga sambil membaca koran. Di meja, telah tersedia aneka masakan kesukaannya, seperti green pepper steak[7, sidat[8] goreng asam manis, dan nasi putih. Mangkuknya telah terisi dengan nasi yang mengepulkan uap.
Gaara masih terdiam sambil mengamati sang ibu yang terus saja tersenyum sejak ia memasuki ruang makan. Tiba-tiba, Rasa melipat koran dan meletakkannya di atas kulkas. Pemuda berambut merah bata ini mengeryitkan dahi. Ayahnya jarang meletakkan sebuah benda di rumah ini secara sembarangan. Biasanya, sang ibulah yang mengingatkan lelaki itu. Akan tetapi, mereka berdua seakan lupa dengan kebiasaan tersebut.
"Tidak baik kalau semua makanan ini dibiarkan dingin," ujar Karura.
Setelah berkomat-kamit membaca doa, Ketiga orang ini menyantap makanan dalam hening. Gaara heran, biasanya sang ibu akan berceloteh apa saja untuk menghidupkan suasana di ruang makan ini. Akan tetapi, kali ini wanita berambut cokelat pasir itu memilih diam. Ada apa gerangan? Apakah ia berbuat kesalahan? Ia berusaha mencabar berbagai kemungkinan yang berseliweran di kepalanya. Masakan sang ibu jauh lebih penting untuk saat ini.
Aneka lauk di meja makan dan nasi telah tandas. Karura memungut mangkuk, sumpit, dan piring saji menuju bak cuci piring. Gaara memerhatikan ayahnya yang bersedekap sambil memejamkan mata. Sesudah semua peralatan makan tercuci, Karura kembali duduk di kursi meja makan. Keheningan masih setia menyertai ketiga orang ini selama beberapa saat.
"Aku sudah mendengarnya dari Sari." Akhirnya, Rasa berbicara. "Kau menolak lamaran Akane Shimizu tempo hari, Gaara. Kuharap bisa mendengar alasan bagus darimu."
Menghela napas sejenak, si Mata Panda berujar, "Sama seperti tujuh gadis lainnya, visi misi pernikahannya tak sesuai denganku, Chichiue."
"Kau tidak memikirkan bagaimana pandangan para tetua mengenai hal ini?" Urat-urat tampak jelas di leher Rasa. Gaara salut pada sang ayah. Kendatipun dalam hati pria itu sedang berang, ia masih bisa mempertahankan nada kalemnya. "Delapan perempuan yang melamarmu itu bukan berasal dari keluarga sembarangan, Gaara. Mereka punya andil besar dalam terbentuknya kota ini. Dan kau seenaknya menolak mereka hanya gara-gara visi misi pernikahan mereka tidak sejalan denganmu?"
"Kalau begitu …," sanggah Gaara, "izinkan aku bertanya, Chichiue. Bagaimana Anda memilih hahaue untuk menjadi pasangan hidup?"
Baik Rasa maupun Karura sama-sama tersentak. Mereka berdua sama sekali tak menyangka jika sang bungsu akan menanyakan hal itu.
"Sebagai kazekage, aku telah mempelajari banyak berkas. Itu termasuk berkas para kazekage terdahulu, Chichiue." Gaara meletakkan dua lengannya di atas meja secara silang. "Sebenarnya, yang ingin kutanyakan bukan mengenai 'bagaimana pernikahan Chichiue dan hahaue bisa terjadi?', tapi 'mengapa pernikahan chichiue dan hahaue bisa tetap harmonis?'. Bisakah Anda menjawabku, Chichiue?"
Rasa dan Karura seakan kehilangan suara mereka, tak mampu untuk memenuhi rasa penasaran sang anak. Sebenarnya, hubungan mereka sampai detik ini tak pernah menemui kendala berarti. Temari, Kankuro, dan Gaara yang bisa tumbuh hingga dewasa tanpa harus merasakan kesenjangan rumah tangga adalah bukti kalau mereka pasangan yang cukup harmonis.
Pada awalnya, Rasa dijodohkan dengan Karura untuk memperkuat posisinya sebagai kepala negara di hadapan para tetua. Akan tetapi, tidak pernah tebersit sedikit pun di pikiran mereka mengenai kata "cerai". Karura paham bahwa suaminya akan selalu pulang tengah malam gara-gara pekerjaannya. Wanita itu tak mau berprasangka buruk terhadap suaminya, seperti berselingkuh dengan perempuan lain, atau ke tempat prostitusi untuk menjalin cinta satu malam. Ia mempercayai sang suami sepenuh hati.
Sementara itu, Rasa tak terlalu memusingkan latar belakang sang istri. Pakaian kantor yang selalu tersedia setiap hari kerja, makanan yang selalu tersaji di meja makan, dan sambutan hangat dari wanita itu sudah cukup mengobati kepenatan yang ia alami sepanjang hari. Ia bersyukur istrinya bukan orang yang gampang curiga. Jika ada yang pria ini sesali, itu adalah waktu bersama sang istri yang nyaris selalu ia lewatkan.
" Chichiue, aku mengerti bahwa apa yang selama ini Chichiue perintahkan padaku itu semua demi kebaikanku sendiri," papar Gaara. "Tapi, kumohon untuk kehidupan rumah tanggaku nanti, biar aku yang menentukannya. Aku tak peduli siapa pun orangnya. Asal visi misi pernikahannya sesuai denganku, aku akan menerimanya."
"Jadi …." Rasa yang sempat terdiam sejenak, kini berbicara. "siapakah orang itu, Gaara?"
Karura mengulum senyuman demi menahan tawa yang akan membahana. "Bagaimana jika kau menceritakan pengalamanmu hari ini, Gaara? Ibu ingin mendengarnya darimu."
Gaara menghela napas sejenak. "Baiklah. Jadi, begini …."
~o0o~
"Gaza, ini kardusnya!"
"Gaza, tolong angkat ini!"
"Gaza, sudah dihitung belum kardus-kardusnya?"
Ternyata, pekerjaan ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Gaara menyesal telah menganggapnya mudah terlalu dini. Sedari pagi ia bekerja hingga matahari sedikit condong menuju barat, tumpukan pakaian itu seakan tak pernah habis. Satu per satu dus mulai mengisi gudang hingga tempat penyimpanan tersebut tidak sanggup lagi menampungnya. Anak-anak kecil pun tak banyak membantu, mereka hanya berlarian ke sana kemari sambil bermain dengan tumpukan kardus. Jujur saja, si Mata Panda nyaris naik pitam. Namun, mengingat pesan sang sahabat, Naruto, ia bisa mengendalikan diri.
Gaara duduk beringsut di lantai setelah meletakkan kardus terakhir. Napasnya memburu, keringat bercucuran membasahi serbannya. Jubah sewarna bagian dalam batang kayu jati ia lepaskan demi mengurangi kegerahan. Si Mata Panda ingin membuka kain yang membungkus rambutnya, tetapi ia ingat bahwa ia masih dalam "masa menyamar". Untung saja, panti asuhan ini memiliki sistem sirkulasi udara yang baik sehingga kadar kelembapan di udara tak terlalu tinggi.
"Gaza- san, silakan diminum."
Matsuri datang sembari menyodorkan segelas air di atas sebuah baki kayu. Setelah mengucapkan "bismillah", Gaara meminum air itu hingga tandas. Tunggu dulu! Ini bukan air putih biasa. Kendatipun sedikit, ia yakin mencium aroma nektar yang biasanya terdapat pada bunga. Tak sampai di situ saja, rasa manis yang tertinggal di lidahnya ini ….
"Air kaktus?" tanya si Mata Panda.
Anggukan Matsuri membenarkan asumsi sang pemuda. "Saya yang memintanya pada okaa- sama. Maaf, kami ingin sekali memberi lebih dari ini, Gaza- san. Bukankah salah satu sunah Nabi Muhammad itu adalah memuliakan tamu? Tapi, kami tak punya hidangan yang lebih mewah dari ini. Sekali lagi, saya mewakili okaa- sama dan yang lain meminta maaf atas hidangan ala kadarnya ini."
Tak punya hidangan yang lebih mewah dari ini, ya? Apakah semua panti asuhan di kota Suna seperti ini? Hati Gaara seakan tertohok lembing mendengar kalimat itu. Terkadang, untuk bersedekah saja ia masih sempat memikirkan untung-rugi. Bisa-bisanya ia mengeluh mengenai kehidupan yang ia jalani di saat ada orang lain yang berjuang untuk hidup dengan segenap jiwa dan raga. Alangkah! Ia sungguh malu pada dirinya sendiri.
" Iie, daijobu." Gaara meletakkan gelas itu kembali di atas baki sambil berdiri tegak. Azan telah berkumandang di luar sana. "Matsuri- san, aku izin ke musala sebentar. Tolong sampaikan kepada Miyako obaa- san." Sebelum mendengar respons lebih lanjut, si Mata Panda buru-buru melangkahkan kakinya ke luar panti asuhan.
~o0o~
"Gadis itu menawarkan minum padamu?" Karura terpukau mendengar deskripsi yang Gaara tuturkan. "Dia juga bilang kalau tak punya hidangan yang lebih baik dari air kaktus sambil meminta maaf?"
Rasa berdehem. "Sungguh tidak sopan, menghidangkan minuman seperti itu di depan …."
" Chichiue, setidaknya dia melakukannya sepenuh hati," sanggah Gaara. "Aku tak bisa meminta lebih dari itu di saat mereka sendiri tidak berkecukupan."
Walaupun sebentar, Karura bisa menangkap ekspresi kemarahan yang sempat terlihat di bola mata sang anak. Ekspresi yang sama seperti seorang kakak yang membela adiknya atau seorang kepala keluarga yang membela anggotanya. Selama ini, belum pernah Gaara mempertunjukkan ekspresi itu. Sepertinya, rencana Sari mengikutkan si Mata Panda dalam acara amal membuahkan hasil.
"Kau mau ikut acara itu sampai besok?" nada pesimis sangat terasa pada kalimat yang dilontarkan Rasa. "Bagaimana de …."
"Aku sudah mengurusnya, Chichiue." Gaara meminum air putih yang disediakan sang ibu. Sungguh, masih terbayang dalam pikirannya mengenai air kaktus yang disajikan Matsuri sore tadi. "Aku tahu sudah terlambat untuk mengatakan hal ini. Tapi, kumohon, Chichiue, biarkan aku mengikuti acara itu sampai selesai."
Netra Gaara yang sewarna dengan batu giok memancarkan cahaya kesungguhan. Rasa ingin menyanggah sekali lagi, tetapi Karura, dengan senyuman manisnya, berhasil meluluhkan pemikiran negatif pria itu.
"Baiklah …," ujar Rasa sambil mengembuskan napas kasar, "aku mengizinkanmu untuk mengikuti acara itu, Gaara."
Gaara tersenyum tipis sembari memohon undur diri untuk beristirahat. Sepeninggal pemuda itu, Rasa dan Karura bertatap-tatapan. Tanpa tedeng aling, Rasa meraih telapak tangan kanan mungil Karura menggunakan tangan kiri dan menggenggamnya erat. Ibu tiga anak itu terkejut, tetapi ia menyambut iktikad baik tersebut dengan menyandarkan kepalanya di bahu sang suami seraya memejamkan mata.
"Mengapa kita bisa harmonis, ya?" tanya Rasa entah pada siapa. " Hei, Karura, apakah di matamu aku ini pria yang payah dalam urusan cinta?"
"Tidak," tukas Karura, "kau memang pria yang irit kata, sama seperti Gaara. Tapi, kau mengatakan 'aku cinta padamu' melalui tindakan. Bagaimana kau selalu bekerja keras tak hanya demi kami berempat, tapi seluruh penduduk Suna. Kadang-kadang, cinta memang bisa diucapkan lewat kata. Tapi, aku lebih suka caramu dalam menyatakannya, Rasa."
" Dasar." Rasa melepaskan genggamannya dan merangkul bahu sang istri. "Inilah yang membuatku semakin cinta padamu, Karura."
~o0o~
"Terima kasih telah membeli di tempat kami!"
"Jangan ragu untuk menawar!"
"Silakan dilihat-lihat dulu!"
Para pengasuh panti asuhan Arsyadul Rosyidin sibuk menjajakan pakaian-pakaian yang telah ditata rapi dalam etalase yang dibuat seadanya. Mereka sudah membuka bazar murah ini sedari pagi. Sempat merasa pesimis jika penjualan hari ini sedikit, mereka dikejutkan dengan para pengunjung yang tumpah ruah layaknya air bah. Alhasil, para pembina dan salah satu relawan, Gaara, cukup kewalahan.
Kendatipun yang dipajang hanyalah sandangan bekas, pakaian-pakaian ini berkualitas bagus juga laik pakai. Yang Gaara tahu cuma memasukkan seluruh kardus-kardus berisi sandangan itu ke dalam gudang. Mungkin, pada awalnya baju-baju itu ada dalam kondisi tak layak, kotor, dan berbau tak sedap. Ia dalam hati mengagumi kecekatan serta kelihaian para pengasuh ini.
"Gaza, ambilkan baju-baju lainnya di gudang!" teriak salah satu pengasuh. Rupanya, baju-baju di etalase nyaris habis.
"Baik!"
Gaara berlari secepat kilat ke bagian penyimpanan. Perhatiannya teralihkan oleh pemandangan di aula utama. Kedua kakinya pun otomatis berhenti. Miyako dan Matsuri mengajari anak-anak cara bertayamum atau bersuci dari hadas, baik besar maupun kecil, menggunakan debu atau pasir yang suci. Si Mata Panda terfokus pada gerak-gerik Matsuri yang halus, gemulai, dan anggun seperti tarian bunga mawar yang dibimbing oleh angin sepoi-sepoi.
"Gaza, Mana pakaiannya?"
Akibat teriakan itu, semua pasang mata yang ada di aula tertuju pada Gaara. Tertangkap basah sedang menonton, kedua pipi sang pemuda bersemu merah karena malu. Buru-buru ia menuju gudang demi membawakan barang yang diminta. Saat ia melewati aula sekali lagi, candaan serta celotehan anak-anak tertangkap telinganya. Namun, saking jengahnya, ekspresi lembut Matsuri saat menatap sang pemuda luput dari wawasan.
Tepat saat azan Zuhur berkumandang, semua pakaian ludes tak bersisa. Pendapatan hari ini lumayan besar. Menyaksikan senyuman para pengasuh membuat Gaara ikut tersenyum tipis. Ada rasa lega yang membuncah dalam diri. Kerja kerasnya kemarin akhirnya terbayar juga. Uang itu diserahkan pada Miyako untuk dibagikan pada orang-orang yang membutuhkan. Pembagian akan dilakukan para pengasuh secara berkelompok di tempat yang telah ditentukan.
Gaara memohon izin untuk melaksanakan salat Zuhur di musala. Selepas menunaikan ibadah salat, ia bersyukur sebanyak-banyaknya pada Allah atas kelancaran dalam acara amal hari ini. Tak lupa, pemuda berambut merah bata ini memohon untuk dimudahkan dalam segala urusan, salah satunya adalah mencari pendamping hidup.
Setibanya di aula, Gaara mendapati semua orang duduk lesehan di lantai menghadap nampan-nampan selebar roda mobil. Di atas masing-masing nampan, tertumpuk roti-roti maryam dengan lebar tak lebih dari kepalan tangan sang pemuda. Tak hanya roti maryam saja, di nampan tersebut tersedia mangkuk kecil yang berisi serbuk halus berwarna putih.
"Gaza- san, semoga Allah membalas kebaikanmu," ujar Miyako. "Maaf, hanya roti maryam dan garam saja yang bisa kami sajikan. Tidak apa-apa, bukan?"
Semua pandangan tertuju pada Gaara. Mungkin, baginya makanan ini bisa didapatkan dengan mudah. Akan tetapi, untuk mereka ini adalah suatu anugerah dari Allah Yang Maha Kuasa. Mana bisa ia meminta makanan yang lebih baik dari ini? Si Mata Panda menggeleng seraya duduk di salah satu nampan yang dikelilingi bocah-bocah lelaki.
Setelah membaca doa, mereka semua menyantap makanan dengan ekspresi penuh bahagia. Celotehan demi celotehan yang dikeluarkan anak-anak membuat suasana di aula serbaguna ini menjadi sedikit lebih hidup. Si Mata Panda tersenyum, dalam benak tebersit memoar tentang masa depan. Kehidupan rumah tangganya bersama Matsuri kah? Terlalu dini untuk menaruh harapan, Gaara. Memangnya, gadis lugu itu mau dengan dirimu?
"Ah, mulut Gaza nii-san belepotan!" celetuk seorang anak.
Spontan, perhatian semua orang di sana tertuju pada area yang dimaksud. Hening sejenak, ruangan itu dipenuhi oleh tawa suka cita. Gaara hanya bisa menyengir malu, tak mampu melakukan pembelaan apa pun. Jika mereka tahu identitasnya, niscaya orang-orang ini tak akan berani menertawakan seorang kazekage. Akan tetapi, ada untungnya juga ia mau repot-repot menyamar.
Kapan lagi suasana makan seakrab ini bisa Gaara temui?
~o0o~
" Ma'as salamah[9, Gaza nii-san!"
Sebagian penghuni panti asuhan mengantar kepergian Gaara tepat ketika sang matahari nyaris meninggalkan horizon. Sejujurnya, mereka tak rela berpisah dengan si taruna ramah. Akan tetapi, ketika waktu berjalan, tak ada seorang pun yang dapat menghentikannya. Gaara hanya tersenyum tipis dan berjanji sebisa mungkin ia akan mengunjungi tempat ini jika punya kesempatan.
" Assalaamu'alaikum! Duh, kenapa kalian bersedih?"
Sepeninggal Gaara, muncul sesosok perempuan mengenakan jubah sewarna kayu oak dan jilbab putih gading yang menutupi kepala di hadapan para penghuni panti asuhan. Kedua tangannya melanting dua kantung kain cukup besar.
"Sari nee-chan!"
Wanita yang bekerja sebagai sekretaris kedua Gaara itu langsung dikerubungi anak-anak bagai gula yang dikerumuni semut. Kendatipun sempat kewalahan, Sari terenyuh dengan afeksi bocah-bocah kecil ini. Namun, sebentar lagi azan Magrib akan diperdengarkan. Mereka bisa berpuas diri melepas kerinduan setelah melaksanakan ibadah.
"Anak-anak, tolong bawakan kantung-kantung ini ke dapur, ya!"
"Oke!" Dalam hitungan detik, gerombolan kecil tersebut menghilang. Sebagian pengasuh pun turut serta, menyisakan Sari dan Matsuri.
"Bagaimana hari ini? Acaranya sukses?"
Matsuri mengangguk sekali. Terpatri jelas dalam kenangan bagaimana ia menyerahkan sebotol air kaktus pada sang relawan yang telah bekerja keras selama dua hari bersama mereka dengan rasa malu yang mendominasi sanubari. Kalbu bersenandung, mengalunkan dawai-dawai melodi yang menenangkan sekaligus menggetarkan jiwa.
Tanpa tedeng aling, Sari merangkul bahu sang sahabat. "Dari ekspresimu saja, aku sudah tahu jawabannya. Tapi, kau tetap harus menceritakan semuanya padaku nanti ya, Matsuri!"
Seusai salat Magrib, anak-anak dibimbing sepuluh orang pengasuh untuk membaca Alquran. Sementara itu, para pengasuh lainnya menyiapkan makan malam mereka. Sari dan Matsuri termasuk golongan yang berkutat di dapur.
"Gaza- san, ya?" Sari berusaha keras mengulum senyum. Meskipun nyaris bekerja sepanjang hari di kantor administrasi urusan negara, jangan remehkan kemampuannya dalam memasak. Gadis ini bisa dibilang cukup mahir. Lihat, betapa cekatan ia memotong bawang bombai tanpa menumpahkan setetes pun air mata.
Kedua tangan Matsuri begitu terampil membersihkan kentang dan wortel dari sisa-sisa tanah yang menempel mesra. "Bagaimana dengan pekerjaanmu, Sari? Kudengar, Kazekage- sama adalah orang yang ketat dengan peraturan."
Kekehen geli keluar dari mulut Sari. Oh, ingin sekali sang dara memberitahu temannya bahwa relawan yang bekerja selama dua hari terakhir membantu kegiatan amal panti asuhan adalah orang yang sedang mereka bicarakan, kazekage termuda dalam sejarah Sunagakure. Akan tetapi, jika fakta itu bocor, maka rencana yang ia susun bersama banyak orang, termasuk ibu Gaara sendiri, akan sia-sia. Tak ada faedah yang akan didapat dari mempertemukan kedua insan ini.
"Kau tahu, Matsuri? Kazekage- sama bukan termasuk orang yang kaku kok," tukas Sari. Pisau tajam dalam cengkaman mengiris kentang dan wortel dengan mudah. "Memang, tampangnya menyeramkan dan ia sangat irit kata. Tapi, dia bisa bercanda dan tertawa."
"Benarkah?" Setelah menyerahkan sebaskom sayuran pada sang sahabat karib, dengan jari telunjuk nan basah, Matsuri mengetuk pelan dagunya. Di panti asuhan ini, memang tak ada alat penyiar berita maupun informasi, seperti televisi atau radio. Koran pun jarang hinggap ke mari, sehingga ia tak tahu pasti mengenai sosok sang Kazekage. Hanya desas-desuslah yang rajin menghampiri telinga gadis dengan netra sekelam malam ini. Akan tetapi, ia tak mau terlalu bergantung dengan kalimat berawal "katanya".
"Lalu, bagaimana dengan Gaza- san?" Sari menahan diri untuk tak bertanya sejak hari pertama Gaara menginjakkan kaki di tempat ini. Yang ia nantikan adalah impresi sang sahabat karib terhadap relawan baru itu sembari menyimpan asa dalam sanubari akan masa depan cerah nan menanti sepasang manusia ini.
"Ah, tentu saja Gaza- san adalah orang yang baik." Bisa Sari tangkap bahwa bunga-bunga bermekaran dalam jiwa Matsuri. "Dia saleh, rajin, sabar, ulet, dan tekun. Oh, dia juga penyayang dan mudah bergaul dengan anak-anak."
"Dan tampan?"
Tanpa sadar, gadis berkulit kuning langsat itu mengangguk.
"Begitukah?" Sari mengulum senyum. Potongan aneka sayur ia serahkan pada pengasuh yang sedang mengaduk bahan di atas kompor. Seusai mencuci tangan, sang dara mengajak sahabatnya untuk berjalan menuju aula utama. Anak-anak menyimak dengan saksama cerita mengenai pahlawan-pahlawan muslim dan sumbangsih mereka untuk umat.
"Matsuri, apa keinginanmu masih sama dengan yang dulu?"
Si empunya nama terhenyak. Beberapa detik berantara, senyuman terpatri perlahan di sepasang bibir. "Aku bukan bermaksud menjadi anak durhaka. Tapi, aku tak terlalu mempermasalahkan mengapa orang tuaku membuang diriku. Selama ada kalian, kurasa ini lebih dari cukup. Maksudku, bukankah sebuah anugerah luar biasa jika diriku berada di sini? Di antara orang yang menyayangiku sepenuh hati?"
"Benar juga," pungkas Sari.
~o0o~
" Jazakillah khairan[10, Sari."
Karura mengempit telepon genggam di lembah antara leher dan bahu. Kedua tangannya sibuk menyapukan spon yang berbusa ke permukaan peralatan makan yang penuh dengan minyak serta sisa makan malam yang menempel. Ia mendendangkan senandung kecil sembari bertukar laporan dengan asisten perempuan pribadinya yang ia tunjuk sebagai sekretaris kedua Gaara.
"Ano …, Karura-sama, Anda yakin ini akan berhasil?"
Ibu tiga anak itu memutar penutup keran. Air bening meluncur turun ke bak pencucian piring, membilas busa-busa yang menempel di peralatan makan. "Setidaknya kita telah berusaha, Sari. Aku bahkan membujuk suamiku untuk mendukung penuh rencana ini Biarkan Allah yang menentukan panggung terakhir bagi mereka berdua."
"Bukan begitu, Karura-sama." Terdengar embusan napas kasar di seberang telepon. "Saya … hanya mengkhawatirkan sahabat saya saja. Maksud saya, bagaimana jika Gaara-sama menolak lagi? Saya … tak sanggup membayangkan wajah kecewa Matsuri, Karura-sama …."
Tatkala busa-busa sudah lenyap dan semua peralatan makan itu memancarkan kemilau saat tertimpa sinar lampu, Karura menyerap sisa-sia air yang menempel dengan lap bersih. "Begitu, ya …. Aku paham, Sari. Sebagai ibu, aku juga ingin yang terbaik buat anakku."
Wanita berambut cokelat pasir itu meletakkan peralatan sesuai kategori. Piring bertemu piring, mangkuk bersanding dengan mangkuk, sumpit berkumpul bersama sendok dan garpu. "Kalau boleh jujur, dua hari terakhir, Gaara selalu semringah saat membahas Matsuri. Bahkan, ketika suamiku mencibir air kaktus yang ia sajikan pada anakku, Gaara marah dan membela Matsuri. Belum pernah aku lihat dia marah atas masalah seorang wanita, kecuali aku dan Temari tentu saja."
"Bagaimana dengan Matsuri di sana?"
"Bisa saya simpulkan bahwa dia cukup tertarik dengan putra Anda, Karura-sama." Nada gembira Sari mengalun jelas di telinga Karura. Ibu tiga anak ini cukup senang atas naiknya suasana hati sang lawan bicara. "Ah, okaa-sama juga bilang akan mempercayakan rencana ini pada kita berdua, Karura-sama."
"Kalau begitu, tinggal satu masalah saja yang perlu diselesaikan, Sari."
"Apa itu, Karura-sama?"
Sang wanita tersenyum simpul. "Para tetua."
~o0o~
Sebulan kemudian ….
Restoran Sakka Majalla.
"Oh, kalian semua sudah datang?"
Seorang lelaki paruh baya memasuki ruangan dengan kapasitas hingga seratus lima puluh orang. Tak ada meja, tak ada bangku. Hanya karpet tebal semerah daging semangka dilengkapi sulaman benang emas berbentuk bunga kamelia yang menjadi alas duduk bagi tiga puluh sembilan lelaki dengan kerutan di wajah dan helaian rambut putih mendominasi kepala.
"Sebenarnya, apa maksud dari Rasa mengumpulkan kita semua di sini?" seorang pria tua menggerutu. "Dia sudah tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintahan, 'kan?"
"Entahlah …." Tetua lain mengendikkan bahu. "apalagi mengundang kita semua ke restoran ini. Memang makanannya lezat, tapi apa ia tidak ingat kalau hampir semua hidangan di sini adalah pantangan bagi kita?"
Sakka Majalla, restoran tradisional yang menawarkan pengalaman menyantap hidangan ala suku badui, berlesehan. Tentu saja masakan utama adalah masakan khas timur tengah, seperti nasi mandi, nasi biryani[11, nasi kabsah[12, kofta, kebab, bagrir, dll. Akan tetapi, restoran ini juga menyediakan makanan Jepang. Mengingat usia yang sudah uzur, para tetua itu empot jika seandainya masakan timur tengah disajikan. Kolesterol, asam urat, darah tinggi, dan penyakit masa tua lain yang menanti bertahana dalam pikiran.
"Selamat sore, Para Tetua yang terhormat."
Tibalah orang yang mengundang mereka semua. Rasa dalam balutan pakaian semi-formal tetaplah memiliki kharisma bagi yang memandang. Sorot mata setajam tatapan elang itu selalu ampuh menundukkan rasa angkuh yang dimiliki lawan bicara. Ayah dari tiga anak tersebut duduk tenang di atas karpet. Matanya terpejam, kedua tangan bersedekap di depan dada.
"Rasa, ada apa dengan semua ini?" Salah satu tetua tak bisa menyimpan lagi rasa ingin tahu yang membuncah dalam kalbu. "Kau sudah tidak ada …."
"Maaf menunggu!"
Untung saja bagi para orang tua itu, masakan kali ini sangat ramah bagi tubuh mereka. Beberapa potong sushi, sepiring goma-ae[13, dan semangkuk sup miso. Sementara itu, seorang pelayan meletakkan sepiring stik dengan aneka sayuran rebus, seperti kentang, wortel, dan asparagus, di hadapan Rasa.
Saat sang mantan Kazekage menyantap hidangannya, para tetua mau tak mau juga mengikuti pria itu. Suasana makan kali ini berlangsung khidmat. Bunyi sendok atau sepasang bilah sumpit yang bertemu dengan piringlah yang mendominasi telinga. Bahkan, hingga para pelayan mengangkati piring-piring kotor, mereka masih setia tutup mulut.
"Ehm … Para Tetua yang terhormat, kita di sini hendak membahas tentang pernikahan Gaara."
Orang-orang paruh baya itu terkejut, tetapi unek-unek dalam kalbu meminta untuk dilepaskan. "Kau tahu, Rasa? Anakmu itu telah mengecewakan kami! Bisa-bisanya ia menolak delapan wanita yang dijodohkan padanya!"
"Apa dia tidak tahu siapa para orang tua gadis-gadis itu?" berang salah satu tetua. "Entah muka apa yang harus kami pasang saat didamprat oleh mereka. Sungguh memalukan!"
"Sebenarnya, mau anak itu apa?" Kali ini, pria di ujung meja sana yang mengutarakan isi hatinya. "Semua gadis itu cantik, kaya, dan berasal dari keluarga bermartabat. Banyak laki-laki di Sunagakure yang mengidolakan mereka. Jika gadis seperti itu belum cukup untuk memikat hati Gaara, lantas wanita macam apa yang bisa membuat anakmu menikah, Rasa?"
"Bukankah mereka semua merupakan rekomendasi dari kalian?"
Satu kalimat dari ayah si Mata Panda sukses membungkam semua kericuhan di ruangan ini. Entah mengapa, para tetua mendadak berkeringat dingin.
"Gaara mungkin hanya mengetahui jika aku yang menawarkan gadis-gadis itu padanya. Dia belum mengetahui dari mana semua gadis itu berasal." Rasa menenggak segelas air demi menghilangkan dahaga. "Sejak awal, aku tak pernah memaksakan dia harus menikah dengan siapa. Lagi pula, dia sudah dewasa dan bisa menetapkan pilihannya sendiri. Dia bukan anak kecil yang harus disuruh ini itu. Bukankah sejauh ini pembangunan Kota Suna berkembang lebih pesat sejak ia menjabat sebagai Kazekage?"
"Kalau begitu, apakah dia sudah punya …."
Rasa mengangguk.
"Dari kalangan mana? Bangsawan? Saudagar kaya? Anak pengusaha?"
"Tidak ketiganya." Ayah tiga anak tersebut bersedekap sembari memejamkan mata. "Ia hanyalah seorang penduduk biasa."
"Tidak boleh! Bagaimana posisi Gaara jika sampai negara-negara tetangga tahu bahwa Kazekage kita menikahi rakyat jelata?" Salah satu tetua menggebu-gebu mengutarakan pemikirannya. "Apa kau tahu dengan itu maka kita juga melecehkan para gadis yang telah dijodohkan padanya, Rasa? Mereka itu tidak …."
"Sederajat?" sanggah lelaki berambut cokelat kemerahan itu. "Mohon maaf, itu tak berlaku di keluarga kami. Jikalau takaran keharmonisan diukur dari kesetaraan dalam hal harta, keturunan, juga kecantikan, semua itu akan ada sirna pada akhirnya, bukan?"
"Kami mengerti," sahut tetua lain. "Tapi, coba kau renungkan kemungkinan yang terjadi jika itu …."
"Yang menjalani kehidupan pernikahan adalah mereka berdua, bukan kita." Rasa semakin memahami perasaan sang bungsu yang terus dicekoki paksaan dengan kedok permintaan dan saran dari para lelaki berusia lanjut ini. "Lagi pula, Suna tak akan jatuh hanya gara-gara cibiran negara tetangga. Selain itu, bukankah pernikahan ini akan membuat Gaara semakin dicintai oleh rakyat? Tidakkah kalian berpikir sampai ke sana? Kalian selalu berpusat pada hal-hal di luar kendali, sedangkan apa yang bisa diatur terabaikan. Tetua macam apa kalian ini?"
"Daripada mengurusi kepala negara, lebih baik perhatikan rakyatnya," pungkas Rasa. "Menurutku, Gaara adalah pemimpin yang bijak dan baik. Amatilah tingkat kesejahteraan masyarakat secara langsung, maka kalian akan tahu maksud dari pernyataanku ini."
~o0o~
Gaara mewawas deretan kata dalam kertas di hadapannya. Merupakan hal penting untuk memahami isi sebuah dokumen sebelum disahkan agar tanda tangannya tidak disalahgunakan. Gara-gara tak bisa mengonsumsi apa pun di bulan Ramadan ini, membuat sang pemuda harus berjuang keras memeras otak. Ah, ia merindukan kopi dan roti-roti maryam yang biasa menemani makan siangnya.
Ngomong-ngomong soal roti maryam, bagaimana keadaan anak-anak di panti asuhan itu? Apa kabar Matsuri? Membayangkan hal tersebut membuat pena yang tercengkam di tangan si Mata Panda tergeletak di atas meja.
Sambil menelaah laporan yang telah mendapat pengesahan, gerak-gerik sang atasan tak luput dari pantauan Baki. "Ada apa, Gaara- sama?"
Tersadar dari lamunan, sang jejaka berrambut merah bata merentangkan kedua tangan seraya memejamkan mata. Belum patut ia memikirkan gadis lain yang belum halal baginya. Yang bisa dilakukan saat ini hanya berdoa mengharap Sang Pencipta Yang Maha Penyayang melindungi dan memberkahi si dara dan orang-orang yang ia kasihi.
"Dari tadi, aku belum melihat Sari."
"Karura-sama memanggilnya pagi ini, Gaara-sama." Baki meletakkan kembali dokumen tersebut sesuai tempatnya. Tangan kekar tersebut kembali menggamit lembaran kertas lain. "Ada sesuatu yang menggangu Anda?"
Fakta itu menguatkan salah satu asumsi si Mata Panda. Sari-lah yang menjadi asisten pribadi ibunya.
"Tidak." Senyuman tipis terbentuk di sepasang bibir taruna dengan netra sewarna batu giok itu. Semua rentetan kejadian dua bulan lalu mulai menemui titik terang. Ia cukup memercayakan sisanya pada Sang Ilahi saja.
~o0o~
"Gaza nii-san!"
"Wah, benar. Itu Gaza nii-san!"
"Hore, Gaza nii-san datang!"
Selepas pelaksanaan ibadah salat tarawih dan witir, semua penghuni Panti Asuhan Arsyadul Rosyidin kedatangan tamu spesial. Ya, orang itu adalah sang relawan muda, Gaza, dengan jubah khas dan serban yang tersemat di kepala. Tanpa bisa dicegah, anak-anak langsung mengerumuni sang jejaka layaknya gula dikerubuti semut-semut.
"Maafkan kedatangan saya yang terkesan mendadak, Miyako obaa- san, Minna- san" Si pemuda tersenyum rikuh. Ia membiarkan bocah-bocah itu memeluk sepasang kakinya. "Ah, saya ke sini juga bersama kedua orang tua saya."
Betapa terkejutnya mereka melihat orang yang dimaksud. Rasa Rei beserta sang istri, Karura. Semua orang dewasa di sana langsung mengenali dua tokoh tersebut. Bukankah lelaki kharismatik itu sempat memimpin negeri ini? Mengapa Gaza mengatakan bahwa mereka adalah orang tuanya?
"Saya juga minta maaf telah 'sedikit' berbohong pada kalian semua."
Jubah sewarna empulur pohon jati disibak, menampilkan gamis putih sepanjang lutut dengan corak bunga teratai merah juga celana putih bermotif sama. Serban kotak-kotak dilepaskan perlahan, mempertontonkan rambut sewarna batu bata tua dan kanji " ai" yang terpahat di dahi sebelah kiri. Pesona sang taruna tak bisa dimungkiri bertambah berkali-kali lipat.
"Izinkan saya memperkenalkan diri sekali lagi." Remaja itu membungkuk sedikit dan menegakkan tubuhnya lagi. "Saya Gaara Rei, anak ketiga dari pasangan Rasa Rei dan Karura Rei. Ada yang ingin saya bicarakan pada Anda selaku pimpinan panti asuhan ini, Miyako obaa-san."
"Saya sudah mendengarnya dari Sari, Kazekage-sama." Dengan tenang, wanita yang tampak seumur dengan Nenek Chiyo tersebut merespons permintaan sang jejaka. Semua orang terpana mendengarnya. Buru-buru mereka menundukkan kepala ke lantai, kecuali anak-anak yang tak tahu-menahu siapa itu "Kazekage". Sebuah malam yang tak pernah disangka, tiga tokoh luar biasa mampir di pinggiran Kota Suna.
"Mari kita diskusikan hal itu di ruangan saya saja." Sang wanita mengayunkan tangan kanannya menuju sebuah bilik. "Sari, Matsuri, kalian juga harus ikut."
Duduk di atas dipan bambu yang dibatasi meja kopi, ditemani enam cangkir teh adeni juga aneka camilan, keenam orang ini saling bersitatap.
"Mungkin, Anda sudah mendengarnya dari ibu saya dan Sari." Gaara memilih untuk membuka percakapan dengan asumsi hanya ia dan Matsuri yang tak tahu-menahu rencana perjodohan terselubung ini. "Saya hendak mempersunting salah satu anak Anda, Matsuri, untuk dijadikan istri."
Benar seperti perkiraannya. Wajah si dara kontan merah padam laksana tomat ranum.
"Kazekage-sama …."
"Mohon maaf, cukup panggil saja 'Gaara', Miyako obaa-san," sanggah sang taruna. "Saya di sini bukan sebagai kepala negara, melainkan seorang pemuda yang meminta restu pada wali seorang gadis pujaannya."
"Baiklah." Wanita paruh baya tersebut memaklumi. Jemari keriputnya membolak-balik lembaran kertas dalam sebuah map berwarna hijau telur asin. "Jadi, Gaara-san, saya sudah membaca data pribadi Anda berulang-ulang."
Netra sewarna batu giok terarah pada sekretaris kedua yang tengah tersenyum tengil. Ia harap tak ada fakta-fakta aneh yang tercantum di sana.
"Tak ada alasan bagi saya untuk menolak lamaran Anda, Gaara-san." Map pun berpindah tangan kepada Matsuri yang masih betah menatap lantai berupa deretan papan kayu. "Namun, saya kembalikan keputusan terakhir pada Allah lalu anak saya ini karena ini menyangkut masa depannya sendiri."
Keheningan meraja sejenak. Sang dara masih enggan menengok isi dari data pribadi calon suaminya. Ekspresi wajahnya bahkan tak bisa dibaca oleh Miyako. Kelima orang lainnya menanti kata yang akan keluar dari perempuan berambut cokelat tersebut.
"Mohon maaf …." Akhirnya, sepasang bibir mungil itu bergerak. "Apakah saya bisa meminta waktu, Kazekage-sama?"
"Berapa lama?" Kelesah mulai memenuhi hati.
"Ini semua terlalu mendadak bagi saya …." Si gadis seakan tak berani mewawas calon suami beserta calon mertuanya. "Berikan saya waktu seminggu, tidak, dua minggu untuk berpikir …."
Rasa nyaris berdiri karena tak suka sang anak dipermainkan seperti itu. Akan tetapi, baik Karura maupun Gaara menahan pria kharismatik tersebut agar tidak menjatuhkan mental dari calon istri Kazekage yang kesembilan ini.
"Baik jika memang demikian …." Sekeras apa pun si taruna menyembunyikan kegusarannya, hal itu dapat terbaca jelas dari tindak tanduknya. "Kami akan menunggu. Maaf, sudah menyita waktu Anda semua malam ini." Sang Kazekage Muda beserta keluarga memohon pamit undur diri dan beranjak pergi dari panti asuhan ini.
Sepeninggal keluarga Rei, Matsuri semakin merasa tak enak hati. Namun, mau bagaimana lagi? Dalam benak maupun kalbu saja tidak ada jawaban pasti, kecenderungan pada salah satu di antara dua pilihan pun tiada menghampiri.
"Matsuri …," lirih Miyako seraya mendekap sang anak asuh, "tidak apa-apa. Okaa- sama ada di sini untukmu …."
Melihat kegundahan yang tercetak jelas di muka sang sahabat, Sari menjadi bimbang. Tepatkah perjodohan antara dua insan ini?
Memang, selain kesetaraan dari segi agama juga budi pekerti, aspek-aspek lain tak perlu banyak dipusingkan. Akan tetapi, rasa dalam sanubari pun turut serta menjadi pertimbangan. Manusia bukanlah robot, melainkan individu yang berpikir serta bergerak menggunakan akal sehat juga perasaan. Merupakan sebuah langkah sembrono jika kita memasangkan sepasang manusia dalam tali pernikahan tanpa kecenderungan di antara mereka berdua.
Tunggu! Ikhtiar mereka belum maksimal. Masih ada satu cara lagi yang masih bisa dilakukan.
~o0o~
"Etto … Ka-Ka-Karura-sama …!"
Wanita berambut cokelat pasir itu menoleh. Pena yang menggurat kertas di tangannya tergeletak di atas meja kayu kokoh. Senyuman teduh nan menenangkan jiwa terpatri di sepasang bibir. "Ya, Matsuri?"
"Ba-ba-bahan masakan … te-te-telah habis …!" Keringat dingin membasahi jidat sang dara. Kedua matanya terpejam, badannya sedikit membungkuk, sepasang tangan terkepal di samping pinggang. "Sa-sa-saya mohon izin untuk … be-be-berbelanja ke pasar …!"
Ibu dari Temari, Kankurou, dan Gaara tersebut menghela napas pendek. Nyaris seminggu ini ia hidup di Panti Asuhan Arsyadul Rosyidin menggantikan peran Miyako sebagai penanggung jawab utama. Dari sekian banyak staf yang sudah terbiasa dengan kehadirannya, hanya calon istri anaknya inilah yang masih terlihat kaku juga canggung ketika bersosialisasi.
"Baiklah, kalau begitu aku juga ikut."
"Eh …?" Netra cokelat sang gadis membelalang. "Ta-ta-tapi …."
"Kau sudah punya daftar belanjanya?" Tanpa tedeng aling, wanita tersebut merangkul bahu Matsuri sembari menyeretnya keluar dari ruangan. "Aku juga ingin berjalan santai keluar."
Sudah seminggu sejak lamaran itu terlaksana. Sari mencetuskan sebuah ide yang cukup gila, yaitu pertukaran tempat tinggal selama sepekan antara Karura dan Miyako. Ibu si Mata Panda tinggal di panti asuhan, sedangkan si perempuan paruh baya tinggal di rumah Rasa sebagai juru masak. Dan sejauh ini, rencana itu cukup lancar tanpa hambatan yang berarti.
"Bagaimana dengan kentang ini, Matsuri?"
"Etto … me-me-menurut saya itu cukup bagus …."
Setibanya di pasar, kedua perempuan tersebut bergerak cepat. Mereka melihat, menimbang, dan memilih bahan makanan yang dirasa paling baik dari setiap kategori. Aneka sayuran, tepung gandum, telur, minyak samin, serta ikan pun memenuhi kantung belanja.
Dalam perjalanan, mereka melalui seorang penjual yang menjajakan air kaktus sebagai minuman berbuka puasa. Tanpa bisa dicegah, memoar kembali hadir dalam benak Matsuri. Ia terhanyut dalam kenangan manis.
"Kau ingat anakku?"
Karura hanya berniat menggoda sang dara. Namun, karena masih merasa canggung gadis itu melonjak kaget. Nyaris kantung yang terlanting di masing-masing tangannya terlepas.
"Ti-ti-tidak …."
"Dulu … Gaara itu anak yang periang," ujar ibu sang Kazekage Muda. "Semuanya berubah saat suamiku mengambil alih dunianya …."
"Maksud Anda …."
"Sejak SMP, dia telah diarahkan agar mengambil jalan sebagai 'kazekage'." Karura menatap langit biru yang telah didominasi warna jingga kemerahan. "Setelah pulang sekolah, dia harus belajar mengenai politik dan tata wilayah kota Suna. Tak pernah lagi ada hari libur dan teman bermain untuknya. Semuanya hanya untuk menjadi seorang kepala negara."
"Andai waktu bisa diputar kembali, aku ingin menentang keinginan suamiku waktu itu. Tapi, semuanya sudah terlambat. Gaara benar-benar menutup diri dari kami semua. Dia bahkan lebih parah dari suamiku. Ucapan yang pernah diucapkannya selama di rumah hanya salam ketika masuk dan salam ketika meninggalkan rumah. Uuh …."
Matsuri tersenyum. Jadi, begini, ya, rasa khawatir seorang ibu terhadap anaknya.
"Alhamdulillah ada anak baik seperti Naruto-kun." Wanita berambut cokelat pasir itu terkekeh. "Sejak bertemu anak itu, Gaara menjadi terbuka dan lebih berterus terang. Dia masih pelit sekali untuk berbicara, tapi dia lebih sering tersenyum sekarang."
"Memang, tampangnya menyeramkan dan ia sangat irit kata. Tapi, dia bisa bercanda dan tertawa."
Lagi-lagi, gadis dengan netra sekelam jelaga tersebut tersenyum. Dia sempat melihat beberapa kali semburat warna merah hinggap di pipi calon suaminya. Benar-benar manis. Mengingat kenangan-kenangan itu, Matsuri terkikik pelan.
"Ada yang lucu dari ucapanku, Matsuri?"
"Tidak, Okaa- sama," kilah sang dara, "maaf sudah membuat Anda salah sangka."
Karura terkesiap sesaat mendengar panggilan itu. Apa ini artinya ….
"Saya juga minta maaf telah membuat Anda menunggu terlalu lama, Okaa- sama. Bisakah Anda memanggil suami dan anak Anda kemari?"
~o0o~
"Mohon maaf, izinkan saya bertanya, Gaara-sama."
Si Mata Panda yang sedang duduk di kursi kayu berkeringat dingin. Sore tadi, sang ibu memberitahukan bahwa Matsuri meminta semua anggota keluarga Rei untuk berbuka puasa di Panti Asuhan Arsyadul Rasyidin. Ada perihal apakah ini?
"Saya ini hanyalah perempuan biasa." Gadis berkulit kuning langsat itu mengeratkan jalinan jemari tangannya. "Hidup tanpa limpahan harta, tumbuh besar tanpa buaian orang tua. Perbedaan antara saya dan Anda amatlah jauh. Lalu, apa yang Anda lihat dari saya?"
Lidah sang taruna terasa kelu. Dia sudah mengetahui fakta ini dari Miyako. Akan tetapi, sampai detik ini, dia masih bingung mesti menjawab apa. Mereka hanya saling mengenal saat acara bazar murah, tak kurang dan tak lebih. Namun, jika ada alasan yang mampu mengenyahkan semua perkara itu, maka ….
"Kesalehan dan ketulusanmu, Matsuri," ujar Gaara. "Ini memang naif, tapi aku bisa menilai betapa tulusnya kau menyayangi anak-anak di sini, betapa tulusnya kau menghargai jerih payahku waktu itu meskipun yang kulakukan tidaklah seberapa."
Sang dara menggigit bibir bawahnya. "Bagaimana … jika saya tidak mencintai Anda? Anda masih mau menikah dengan saya?"
"Aku pernah mendengar dari seorang sahabat …." Pemuda berambut merah bata itu tersenyum sejenak. "bahwa bangunan yang indah semestinya didirikan di atas pondasi yang kokoh. Begitu pula rasa cinta yang sebaiknya dibangun di atas jalinan suci bernama pernikahan. Jika kita membangun pernikahan di atas cinta, maka saat rasa itu tiada ikatan pun akan sirna."
"Kau bilang bahwa dirimu jauh berbeda dariku. Aku memahami hal itu. Tapi, pernikahan bukanlah mencari kesempurnaan, Matsuri. Ia merupakan proses bagaimana dua insan yang penuh kekurangan saling membantu dalam menggapai rida Ilahi."
Gadis itu terharu mendengar penuturan Gaara. Dulu, ia berharap jika calon suaminya adalah orang yang paham luar dalam mengenai agama dan bisa memuliakan wanita. Tak kurang dan tak lebih. Sekarang, Allah menghadirkan calon pasangan yang jauh lebih baik dari angan-angannya. Saleh, cerdas, serta memiliki harta dan takhta. Bisa jadi inilah jawaban dari Sang Maha Penyayang atas segala doa yang ia panjatkan hingga sekarang.
"Bismillah …," lirih Matsuri dengan linangan air mata.
Semua orang di ruangan tersebut tercekat melihat sang gadis menangis. Gaara sampai lupa bagaimana bernapas sejenak. Jantungnya seolah-olah berhenti sesaat. Apakah lamarannya kali ini ditolak? Mungkinkah cinta yang pertama kali ia rasakan harus kandas? Namun, pikiran negatif pun sirna tatkala Matsuri melanjutkan ….
"Saya menerima lamaran Anda, Gaara Rei-sama."
~o0o~
" Assalaamu'alaikum. Tadaima."
Gaara memasuki rumahnya dengan perlahan. Ia melepas sepatu dan kaus kaki secara hati-hati lalu meletakkannya ke dalam rak sepatu. Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam waktu Suna. Tak ada bunyi yang terdengar, tiada lampu yang menyala. Istrinya dan Nenek Chiyo pasti kemungkinan besar sudah mengembara ke alam mimpi.
Langkahnya terhenti di ruang tamu. Matsuri, istrinya terlelap di atas sofa empuk berwarna cokelat sambil mendekap Al Qur'an erat. Gaara bingung. Tidak patut membiarkan sang istri tidur dalam keadaan seperti itu. Namun, jika dipangku, wanita cantik tersebut pasti terbangun. Sementara itu, tas yang ia bawa semakin berat dan badannya terasa lunglai. Ia butuh istirahat segera.
Akhirnya, pria berambut merah bata itu putuskan untuk memangku sang belahan jiwa. Di luar dugaan, Matsuri sama sekali tidak bereaksi terhadap sentuhannya. Ia letakkan kitab suci di dalam almari dan memapah sang pepuja hati menuju kamar mereka.
" Ngh … Gaara-sama …."
Lelaki itu tersenyum miris. Rencananya mengagetkan si istri gagal lagi untuk kesekian kali.
"Maaf membuatmu menunggu, Matsuri."
"Anda tidak capek? Sudah makan?"
Mulut hendak berdusta, tetapi perut tak bisa diajak bekerja sama. Bunyi khas orang kelaparan pun terdengar dari perut, membuat si empunya sedikit merona.
"Hihihi … saya sudah hafal kebiasaan Anda, Gaara-sama."
Tawa merdu sang istri mengalun di telinganya. Ah, suara inilah yang ia rindukan sejak berangkat ke kantor Kazekage tadi pagi. Sudah sebulan mereka menikah, tetapi belahan jiwanya itu masih laksana candu, susah lepas dari dalam benaknya kini.
"Tolong turunkan saya, Gaara-sama. Saya akan siapkan air panas untuk Anda mandi."
Pria kalem itu patuh. Ia turunkan badan mungil sang pepuja hati. Saat kedua kaki anggun Matsuri menapak lantai dan jarak muka mereka menipis, si Kazekage Muda tiba-tiba mengecup kening istrinya.
" Tadaima, Matsuri."
Bias rona merah tercetak di kedua pipi wanita periang itu. " O- okaeri, Gaara-sama ….. Semoga Allah membalas kerja kerasmu dengan keberkahan …."
"Begitu juga denganmu …."
~o0o~
Alis Gaara naik sebelah saat memasuki dapur. Istrinya tak ada di sana. Ia yakin betul beberapa saat lalu terdengar suara sutil yang beradu dengan wajan dan menguarnya aroma harum masakan hingga ke kamar mandi; hal yang wajar karena kedua ruangan ini bersebelahan.
"Matsuri?"
Tak ada sahutan sedikit pun.
Lelaki berkulit putih itu memutuskan untuk beranjak ke kamar. Sesampainya di sana, alangkah terkejutnya ia. Tikar anyaman bambu telah digelar, aneka hidangan yang menggugah selera telah tersedia. Sang istri duduk bersimpuh, menyambutnya dengan senyuman manis dan ceria.
"Tadinya, saya mau menyiapkan acara makan malam kita di balkon, Gaara-sama." Cahaya lampu yang remang menyinari wajah indah sang wanita. Rona merah di pipi itu sungguh memesona. "Tapi, angin di luar cukup kencang. Saya tidak mau Anda jatuh sakit."
Ctak! Dahi Matsuri disentil oleh suami tercinta.
"Kau sendiri tidak berpikir kalau kau akan jatuh sakit, heh? Di sini pun cukup."
Setelah membaca doa, keduanya menikmati makan malam dalam keheningan. Sesekali, mereka melirik satu sama lain dan tersipu malu saat ketahuan oleh objek yang dilirik. Ketika semua hidangan telah tandas, mereka membersihkannya bersama-sama. Ditemani oleh suara gemericik air serta decitan piring kesat, aneka rasa menghampiri hati kedua insan ini silih berganti.
"Anda bisa naik ke atas dulu, Gaara-sama," ujar Matsuri. Ia tahu betul suaminya itu pasti merasa lelah tiada terperi. Namun, sang wanita agak berkecil hati karena apa yang ia simpan di dalam kulkas mungkin tidak bisa dinikmati oleh si pepuja hati malam ini.
"Ada sesuatu yang ingin kau sampaikan padaku?"
Netra sekelam jelaga itu beralih ke samping. "Tidak … tidak ada."
Si pria berambut merah bata menghela napas pelan. Seperti inilah gelagat istrinya jika ada yang mengganjal di benaknya tetapi sungkan untuk disampaikan. Sekian lama ia menjadi seseorang yang acuh tak acuh, sekarang kepekaannya harus terus diasah untuk memahami bahasa cinta maupun isyarat belahan jiwa.
"Kau naiklah dulu," pintanya sambil meletakkan piring yang telah dikeringkan ke dalam rak.
Matsuri menyeret kakinya menjauhi dapur. Tangannya terkulai lemas di samping badan. Kekecewaan terpampang jelas di paras cantiknya. Namun, biarlah ia meredam sedikit keinginan kecil untuk kemaslahatan yang lebih besar. Masyarakat Suna amat membutuhkan Gaara. Ia tak boleh egois memaksakan kehendak pribadinya dan membuat suaminya jatuh sakit.
~o0o~
Kasur yang diduduki oleh Matsuri sedikit menghangat. Kegelisahan mulai merambati hatinya kala sang suami tak kunjung jua datang ke kamar mereka.
"Apa Gaara-sama marah padaku …?"
Wanita berkulit kuning langsat tersebut menggeleng kuat. Rasanya mustahil. Suaminya itu bersikap santun dan lemah lembut saat di rumah. Jangankan menampar wajah, meninggikan suara pun tak pernah.
"Maaf membuatmu menunggu, Sayang."
Dua buah cangkir yang sedikit mengepulkan asap bertakhta di atas nampan kayu yang dibawa Gaara. Senyuman terpatri di wajahnya. Netra sehijau batu giok itu memandang teduh kepada belahan jiwa, membuat kemelitan hati Matsuri seketika sirna.
"Silakan diminum dulu."
Saat lidah mengecap rasa manis dari minuman hangat itu, si wanita membelalak. "Gaara-sama! Bagaimana bisa Anda …."
Pucuk kepala bermahkota rambut cokelat lurus sebahu dielus. "Aku sadar kau terus memperhatikan kulkas saat kita mencuci piring tadi. Rupanya, ini yang kausimpan dan ingin kau persembahkan kepadaku. Kenapa tidak terus terang saja?"
"Saya … tidak boleh egois. Banyak orang di luar sana membutuhkan Anda. Jika Anda sakit, bagaimana dengan urusan negara? Bukankah setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak? Saya tak mau Anda melalaikan tugas-tugas Anda hanya gara-gara kemauan saya …."
Si pria kalem tertegun. Detik berikutnya, ia menarik sang istri ke dalam dekapan hangat. Kedua tangannya yang besar melingkari pinggang Matsuri. Ia benamkan wajahnya di antara leher dan bahu kanan wanita mungil tersebut.
"Pertama," ujar Gaara, "air kaktus memang nikmat disajikan dingin. Namun, bukan berarti dia tak bisa menjadi minuman hangat. Tak perlu merebusnya hingga mendidih, cukup rebus suam-suam kuku."
"Kedua, urusan negara memang penting. Tapi, keluarga tetaplah yang utama, Matsuri." Lelaki berkulit putih itu menyandarkan dagunya ke bahu sang istri. "Bukankah Rasulullah pernah bersabda yang artinya 'orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling baik terhadap keluarganya'? Jika aku tak bisa memuliakanmu, berarti aku gagal dalam mengayomi keluarga. Aku tak pantas disebut sebagai pemimpin."
Suara Gaara yang rendah ditambah hawa panas yang keluar dari mulutnya membuat wajah Matsuri merona.
"Dan yang terakhir, aku mohon. Sampaikanlah apa saja yang kaurasa mengganjal dalam hatimu. Aku sadar bahwa, sebagai lelaki, aku jauh dari rasa sempurna dalam meraba perasaan perempuan. Jika aku salah, tegurlah. Jika aku khilaf, nasihatilah. Insyaallah, aku pun akan berterus terang menyampaikan apa yang aku pikirkan tentangmu, Matsuri."
"Baik, Gaara-sama."
Salah satu kunci keharmonisan rumah tangga adalah komitmen kedua pasangan untuk saling terbuka dan mau berbagi keluh kesah bersama. Meskipun tidak saling kenal pada awalnya, dengan komunikasi juga saling percaya, maka insyaallah masalah akan mudah ditemukan solusinya. Itulah pelajaran yang dipahami oleh Matsuri dan Gaara, yang akan mereka sampaikan kelak kepada generasi selanjutnya.
.
.
.
Owari.
.
.
.
[1] roti berbentuk bundar yang terbuat dari tepung terigu, air, minyak samin, telur, dan sejumput garam; bisa disajikan secara manis dengan menambahkan sirup atau madu; bisa juga dihidangkan secara gurih dengan aneka kari.
[2] ayah; formal dan sopan; sekarang, sapaan ini jarang digunakan.
[3] makanan yang mirip dengan pancake; berasal dari Maroko; terbuat dari semolina; biasanya disajikan saat sarapan.
[4] sebuah penganan cepat saji dengan bahan dasar utama yaitu daging; sangat umum dijumpai di timur tengah dan beberapa negara di Afrika; versi yang banyak beredar adalah makanan seperti roti lapis, yaitu suwiran daging, selada, saus tomat, dan mayones yang dibalut roti tipis berbentuk bundar.
[5] berasal dari Azerbaijan, makanan yang terbuat dari daging kambing yang dibungkus dalam adonan tepung ini hampir mirip dengan sajian dim sum dari Cina; bentuknya lebih kecil dari dim sum biasa; dimasak dalam kuah kaldu kambing sehingga memberikan rasa yang gurih nan lezat.
[6] Ibu; formal dan sopan; sekarang, sapaan ini jarang digunakan.
[7] masakan Cina yang terdiri dari daging dan paprika, yang telah dibuang bijinya, diiris memanjang; ciri khas makanan ini adalah kerenyahan paprika dan kelembutan daging; dimasak dengan cara menumis semua bahan bersama dengan bawang putih dan jahe cincang, garam dan lada, kecap ikan, gula, serta larutan tepung maizena untuk mengentalkan kuahnya.
[8] ikan laut yang berbentuk mirip dengan belut; sidat memiliki sisik unik yang berbentuk seperti anyaman bambu; ikan ini mampu hidup di perairan air asin maupun tawar.
[9] semoga keselamatan menyertaimu.
[10] semoga Allah membalas kebaikanmu dengan kebaikan yang setimpal.
[11] hidangan khas dari Asia selatan (India dan Pakistan) berupa beras basmati yang dimasak di atas campuran rempah-rempah dan pelengkap.
[12] masakan khas dari Arab Saudi; namanya berasal dari teknik pengolahan hidangan itu sendiri ( kabsa: tekan); nasi basmati yang telah matang digabung bersama daging, rempah-rempah, serta sayuran dimasak dalam satu panci; warnanya sedikit gelap dibandingkan hidangan mandi atau biryani.
[13] hidangan dari Jepang; aneka sayuran hijau yang telah direbus dicampur dengan bumbu seperti pasta miso, mirin, dan kecap asin; disajikan bersama biji wijen.
Assalaamu'alaikum. Salam sejahtera, Minna-san.
Bagaimana kabar kalian semua? Semoga selalu sehat, baik lahir maupun batin; semoga pandemi covid-19 segera berakhir dan kita bisa beraktivitas seperti sediakala.
Sekian lama terpendam, akhirnya cerita ini pun terbit. Saya ingin berterima kasih kepada seseorang. Atas izin Allah, setelah berdiskusi dengannya saya bisa menuntaskan karya ini. Saya persembahkan karya ini juga bagi para bujang dan puan di luar sana yang masih berikhtiar mencari jodoh. Semoga dipertemukan di waktu dan kesempatan yang penuh berkah.
Mungkin ada orang yang bertanya nanti, "Kok taarufnya lebay banget sampai menyuruh Karura (Ibunya Gaara) tinggal di panti asuhan Matsuri?"
Saya punya beberapa pertimbangan. Pertama, urusan di kantor pemerintahan amat padat sehingga Gaara tak bisa izin seenaknya. Seorang pemimpin harus menjadi contoh juga bagi apa yang dia pimpin. Jika Gaara sesuka hati bolos hanya demi mengenal calon pasangannya, tentu bawahannya pun akan mengikuti tindakannya.
Kedua, menikah itu tak hanya mempersatukan dua insan, laki-laki dan perempuan. Ia juga menyatukan kedua keluarga dengan kebiasaan juga adat yang berbeda. Bukan hal yang bijak jika kedua pasangan menikah, tetapi kedua keluarga mereka amat jauh dari kata harmonis. Dalam kasus Matsuri, keluarganya adalah seluruh penghuni panti asuhan. Itu sebabnya Sari dan Karura memutuskan untuk mengikutsertakan Gaara ke dalam persiapan juga pelaksanaan bazaar. Tidak hanya demi mengenal sifat satu sama lain, kegiatan tersebut juga membuat para penghuni panti menaruh respek dan hormat kepada Gaara.
Mungkin ada juga yang bertanya, "Memangnya apa visi misi pernikahan menurut Gaara?"
Saya bebaskan kalian untuk menentukannya. Lho, kok gitu? Hehehe yang baca dengan saksama pasti paham apa sih visi misi pernikahan Gaara. Pungkas saya, ketika hendak menikah jangan lupa menyeleraskan visi misi pernikahan dengan calon pasangan sehingga meski ujian tiada henti menerpa, kalian tetap akan bisa menghadapinya bersama.
Sekian dari saya. Mohon maaf jika ada yang tersinggung dengan apa yang saya tulis. Semoga amal ibadah kita di bulan Ramadan diterima oleh Allah ta'ala dan kita menjadi orang yang berbahagia di hari kemenangan. Aamiin.
Wasalam.
.
.
.
Sincerely,
~Hasan Kabar.
