Seorang kakek tua terbaring lemah tak berdaya. Di atas tatami itu dia hanya mampu melihat langit biru seterang pancaran jiwa mudanya dulu. Ditemani nyanyian jangkrik menyambut musim panas semakin membuat sang kakek ditelan kesunyian.

Berbaring seperti ini bukan sesuatu yang dia sukai. Bahkan dipenghujung usianya. Namun, dia tahu musim panas kali ini, dia tak perlu lagi mendengar ledakan kembang api yang memekakkan telinga. Jika dimasa mudanya dia sumber segala kebisingan, pada usia senja itu dia lebih mencintai hening.

Belum lagi rasa penyesalan terdalam sang kakek menyeret dirinya keluar dari hiruk-pikuk dunia. Mengasingkan diri ke sebuah daerah terpencil merupakan pilihan utama dirinya memanggul rasa bersalah seumur hidup.

Tak ada satupun orang dapat mendobrak dinding kesendirian yang sudah dibangunnya selama puluhan tahun. Sebab sosok yang sangat dicintai sang kakek hidup dalam kalbu. Meskipun seseorang itu lebih dulu menuju alam baka, sang kakek masih bisa merasakan denyut nadi orang tersebut di dunia fana. Tepat dalam relung hati sang kakek.

Lima dekade sang kakek habiskan untuk mengobati rasa kekecewaan pada diri sendiri, tak jua mempan. Justru sang kakek mendapati dirinya lari dari kenyataan. Dan saat inilah, sang kakek tak sungkan-sungkan jika hidupnya berakhir dikelilingin tembok kesepian. Dengan cara ini, sang kakek menebus dosa terbesarnya.


Naruto (c) Masashi Kishimoto

Warn!

YAOI, AGE GAP ROMANCE, OOC, TYPO(S), AU


Senin pagi adalah hal yang dibenci banyak orang. Baik kalangan pekerja maupun pelajar. Uzumaki Naruto salah satu pembenci hari Senin. Selayaknya murid-murid sekolah pada umumnya, Naruto si anak badung suka membuat onar. Baginya dijemur di bawah terik matahari jauh lebik asyik ketimbang berjam-jam terjebak celotehan panjang para guru.

Namun untuk pagi ini, langkahnya mengarah ke sebuah ruang persegi di ujung koridor. Semua berkat jerih payah Kushina, sulung Uzumaki beranjak dari alam mimpi. Naruto mengucapkan syukur seember air yang disiram ke wajahnya sangat tidak memasuki rongga paru-paru.

Disertai langkah lebar penuh energik, Naruto membanting pintu kelas hingga menimbulkan kegaduhan di tempat.

"Selamat pagi, teman-temanku! Hari ini cerah, ya!" kalimat sapaan bernada tinggi itu menggema seisi kelas.

"Hei, Naruto! Jangan buat kami harus menanggung akibat ulahmu lagi seperti waktu itu!" nada bicara tak kalah tinggi itu berasal dari pemuda pecinta anjing di ujung kelas.

Naruto tak mengindahkan kekesalan sahabat karibnya itu. Dia berjalan santai seakan lontaran keluhan-keluhan satu kelas mengenai perbuatan tak elok dirinya hanya buaian sebelum tidur.

"Bukankah sudah kubilang aku tidak sengaja, Kiba?" Naruto menjatuhkan badan ke bangkunya yang berseberangan dengan Kiba, si sahabat karib.

"Menurutku merusak properti sekolah sebanyak sepuluh kali dalam satu semester bukan suatu ketidaksengajaan," lain Kiba dan Naruto, sebuah suara pelan bercampur rasa kantuk luar biasa terucap dari si tukang tidur di belakang mereka.

"Lihat kan, Naruto? Bahkan Shikamaru bisa terbangun begitu mendengar suaramu!" Kiba melirik Naruto.

"Tepatnya kalian berdua." perkataan Shikamaru dibalas tatapan keji dari dua tukang ribut di kelas di depannya. Belum lagi Kiba membantah, bel sekolah berbunyi. Shikamaru bersyukur, ia tak perlu meladeni kicauan Kiba lebih lama lagi.

Bunyi tapak sepatu kulit menggelagar sepanjang lorong kelas. Kebetulan Ketua Kelas Naruto bernama Sai duduk paling depan bersebelahan dengan jendela. Sai berdiri menyembulkan kepala dari jendela mencari tahu derap langkah siapa bagaikan kuda perang melaju menuju kelas mereka.

"I... Ibiki-sensei datang!" seruan Sai seperti memperingati teman-teman sekelasnya agar menyikapi perilaku mereka.

Sontak satu kelas duduk rapi dengan tangan terlipat di atas meja. Guru paling berbahaya sepanjang sejarah tersebut menapaki kelas Naruto. Ia berdiri di depan para murid sambil mengedarkan pandangan. Berharap langganan bahan hiburannya bertindak konyol seperti biasa. Rupanya sang pelampiasan beban hidupnya berada dalam kelas sambil menatap lurus padanya. Ibiki mendengus.

"Tadinya aku berpikir bisa sedikit bersenang-senang pagi ini. Sayang sekali, meja kalian terisi penuh." sindir Ibiki.

"Eh? Hehehe..." Naruto tertawa canggung kala seisi kelas menatap tajam padanya.

"Baiklah. Sementara Kakashi-sensei ambil cuti sebulan penuh, guru pengganti sementara akan mengambil alih." Ibiki melihat sangat jelas wajah pucat murid-murid kelas berharap jika guru pengganti tersebut bukanlah ia. Murid-murid kurang ajar, celetuk Ibiki dalan hati.

"Uchiha-san, silahkan masuk." Ibiki menoleh ke ambang pintu.1 Semua yang ada dalam kelas mengikuti atensi Ibiki. Daun pintu berwarna coklat menampilkan seorang pria rupawan dengan kulit putih berseri. Pria yang disapa Uchiha itu tak mempedulikan tatapan siswi-siswi yang terpesona oleh ketampanannya. Ia berdiri di samping Ibiki. Air mukanya datar dan sulit ditebak.

"Selamat pagi. Nama saya Uchiha Sasuke."

Kelas menjadi hening. Mereka terperangah mendengar Sasuke bicara begitu singkat. Murid-murid perempuan di kelas mengurungkan niat untuk bertanya-tanya seputar kehidupan guru tampan itu.

"Ada yang punya pertanyaan? Tidak ada? Baiklah, kupikir itu cukup jelas. Uchiha-san, saya pamit dulu." Ibiki undur diri. Sasuke mengangguk sebagai jawaban. Kemudian sang guru sangar meninggalkan ia beserta murid-murid yang menelan kecanggungan. Sasuke meletakkan buku ke meja.

"Kita mulai pelajaran."


Naruto dan kedua temannya berkumpul di atap gedung sekolah. Sebuah tempat klasik para pelajar untuk merenungi hidup mereka, atau berpikir mau jadi apa ketika mereka lulus sekolah nanti. Namun, hal-hal itu tidak akan dilakukan ketiga pemuda itu. Mereka lebih sering adu ibu-siapa-yang-lebih-galak.

Shikamaru lebih dulu menghabiskan bekalnya, kemudian berbaring menghadap langit dengan kedua tangan sebagai bantal menyimak perbincangan dua sahabatnya.

"Guru pengganti itu tampak tak asing," Kiba bicara dengan mulut yang terisi makanan.

"Tidak ada yang tidak kau kenal. Entah kau ini suka cari tahu tentang orang lain atau bagaimana." Naruto tak ingin ambil pusing. Dia fokus pada sekotak bento yang dimasak sepenuh hati oleh Kushina.

"Aku selalu mengatakan apa yang kutahu. Bukan mengada-ada," Kiba menanggapi Naruto dengan ketus. Tentu ia tak terima Naruto menganggapnya orang yang ingin mencampuri hidup orang lain.

"Aku pernah dengar kalau di seluruh muka bumi ada tujuh orang yang mirip," Naruto berkata lagi. Masih tak ingin ambil pusing.

"Apa hubungannya tujuh orang yang mirip dengan guru pengganti yang tampak tak asing?" terdengar decihan kecil dari Kiba.

"Ya, mungkin saja yang kau lihat itu orang lain yang mirip dengan guru itu. Benar kan, Shikamaru?" Naruto menoleh ke arah Shikamaru yang tengah memejamkan mata.

"Jangan libatkan aku." usai berkata demikian, Shikamaru membelakangi Naruto dan Kiba.

"Ah, sudahlah. Tidak perlu dibahas lagi. Sebaiknya kita tak usah mengurus orang lain." kalimat Naruto cukup membungkam Kiba. Meskipun wajah pemuda pecinta anjing itu terlihat sangat kesal.


Meskipun Naruto terkenal badung, tetapi dia mempunyai jiwa seni yang diakui orang-orang selitar. Hampir setiap usai jam sekolah, Naruto berkutat dengan alat-alat lukisnya hingga dia lupa waktu di ruang klub seni. Hari mulai gelap, Naruto bergegas membereskan alat-alat lukisnya

"Naruto, sampai jumpa!" beberapa teman Naruto berpamitan padanya sebelum meninggalkannya sendirian di ruang seni. Naruto mengangguk sambil melambaikan tangan.

Naruto membuka celemeknya. Melipatnya dengan rapi lalu pergi menuju loker. Saat di koridor, Naruto mendengar suara langkah lain dari arah yang berbeda. Karena penasaran, Naruto mencari tahu siapa orang di seberang sana.

Naruto mengintip dari ujung koridor. Dia melihat seorang laki-laki yang tengah mengangkat kardus ke dalam ruang guru. Naruto memperjelas pengelihatannya. Ternyata orang itu adalah si guru pengganti.

"Agaknya dia kesulitan." Naruto berujar pada dirinya sendiri, lalu memutuskan menghampiri sang guru untuk membantu.

"Selamat sore, Sense!" sapaan Naruto hanya ditanggapi dengan kebisuan sang gurum

Naruto mengurungkan niatnya sejenak. Dia menyilanglan tanga ke dada lalu bersandar ke dinding. Sasuke menghentikan kegiatannya sejenak. Dengan beban barang yang cukup berat, ia berhasil menyembunyikan rasa lelahnya di depan Naruto.

"Apa maumu?"

"Boleh aku bantu?" Naruto tersenyum tulus.

Sasuke buang muka, kembali berjalan membawa kardus yang cukup berat. "Tidak usah. Bocah dilarang berkeliaran sepulang sekolah."

Naruto mematung. Dia bukan merasa tersinggung. Ada sesuatu yang lain ketika dia memandang manik hitam milik Sasuke. Sesuatu yang belum pernah dia rasakan.

"Sensei, tunggu!" Naruto menarik lengan Sasuke. Sontak sang guru langsung menghadap wajah Naruto. Lebih dekat.

Sasuke terdiam beberapa saat, begitu juga Naruto. Mereka saling melempar pandangan sebelum Sasuke menghempas cengkraman Naruto.

"Aku tidak butuh bantuan. Maaf, aku benci orang asing mencampuri urusanku." Sasuke mempercepat langkah kakinya. Berharap Naruto tidak mengikutinya.

Hingga sosok guru dingin tanpa ekspresi itu hilang dari pandangan, Naruto pergi meninggalkan tempat itu sambil menunduk.

Sasuke berbelok. Merapatkan badannya ke tembok. Dengan was-was, Sasuke meninjau dari sela dinding. Ia melihat Naruto dengan raut wajah yang sulit dijelaskan, tertunduk lesu. Tak lama Naruto enyah dari pandangannya.

Sasuke menghela napas. Kepalanya bersandar pada dinding. Ia mengadah menatap langit-langit koridor. Sementara jantungnya berdetak cepat, Sasuke melanjutkan memindahkan beberapa barang miliknya ke ruang guru.


Cahaya bulan di balik awan menemani Sasuke yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Sasuke melepas dasi serta membuka kancing atas kemeja atasnya. Ia mendaratkan bokongnya ke kursi yang empuk. Sedikit terdengar suara decitan kursi sesaat ia melemparkan badannya untuk melepas penat.

Sasuke menggerakkan badannya memutar kursi menghadap jendela yang terbuka. Semilir angin perlahan menerobos masuk. Seakan menjadi musik tarian helaian rambutnya.

Bulan kuning mengingatkan Sasuke pada Naruto. Terutama ketika Sasuke melihat wajah lesu Naruto karena ia menolak bantuannya. Sasuke menggelengkan kepala. Menghalau bayang-bayang Naruto dalam benaknya.

Sasuke melirik jam tangan. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Sasuke rasa sudah waktunya untuk pulang.

Sasuke menenteng tas menuruni anak tangga. Penjaga sekolah yang melihat Sasuke dari kejauhan berinisiasi membuka gerbang. Sebuah kalimat sapaan dari Penjaga Sekolah ditanggapi anggukan kecil oleh Sasuke.

Baru satu langkah Sasuke seutuhnya keluar dari lingkungan sekolah. Seketika saja langkah itu terhenti dengan sorot matanya yang tajam. Bayangan orang dari seberangnya membuat Sasuke ragu melanjutkan perjalanan. Lagi-lagi Sasuke berhasil menyembunyikan emosinya dibalik wajah datar.

"Sudah kukatakan bocah dilarang berkeliaran sepulang sekolah." Sasuke melihat bayangan itu mulai mendekat. Hingga pantulan sinar bulan menyinari siluet itu menjadi sosok pemuda bermata biru.

"Kau tidak takut radang sendi karena udara dingin, Sensei? Kau tahu, kau mulai tua." Naruto memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Dia tersenyum simpul mendekati Sasuke.

Sasuke menghela napas. Ia memijit pelipisnya. "Cukup tua untuk menghadapi bocah sepertimu."

"Kau bahkan tidak bertanya apakah aku sudah lama menunggumu," Naruto berdiri tepat di depan Sasuke.

Air muka Sasuke berubah picik. Ia sudah menduga Naruto akan mengatakan itu.

"Aku tidak minta kau menungguku, Bocah." Sasuke menilik Naruto yang masih lengkap dengan atribut sekolah.

"Ibumu akan marah melihat kau keluyuran malam-malam begini." imbuh Sasuke lagi.

Naruto tak menunjukkan apa-apa selain tawa renyah. Dia menatap Sasuke. "Tidak akan karena aku sedang membantu guru di sekolah."

Mata Sasuke berkilat, "Aku bukan kambing hitam."

Entah apa yang membuat Naruto semakin terkikik geli, dia sama sekali menghiraukan peringatan gurunya.

"Sasuke-sensei, aku baru tahu kau punya aura yang jauh lebih gelap dari Ibiki-sensei." Naruto tergelak tawa, seakan perkataannya bahan guyonan yang bisa mengocok perut siapa saja yang mendengarnya.

Sasuke memutar bola matanya. Ia menggeleng. Belum ada satu hari ia mengajar di sekolah itu, ia sudah dapat kesulitan.

"Baiklah, apa yang kau mau?" Sasuke berharap murid konyol enyah.

"Aku sendiri tidak tahu apa mauku, yang pasti..." gelak tawa Naruto berubah menjadi senyuman. "Kau mendapatkan rasa penasaranku, Sensei."

Buaian angin malam ibarat melodi dalam keheningan. Cukup lama Sasuke terdiam, ia menerka apakah bocah itu sadar apa yang diucapkannya.

Namun situasinya sedikit aneh dan rumit. Sasuke sendiri bahkan tidak bisa menghempas Naruto dengan makian. Ia hening beberapa saat sebelum menghela napas.

"Baiklah. Terserah." Sasuke membelakangi Naruto yang mulai mengikuti langkahnya.

Sepanjang jalan, Nartuto menatap punggung Sasuke yang enggan menghadapnya. Naruto tak peduli. Dia tetap mengikuti jejak kaki Sasuke.

Meskipun dia sendiri tidak tahu apa yang membuatnya betah mengikuti punggung gurunya itu.

Tikungan demi tikungan mereka lewati, Naruto sesekali menguap. Naruto melipat tangannya ke belakang kepala. Dia menyadari sesuatu.

"Aku suka menebak isi pikiranmu, Sensei."

Sasuke diam. Tak ingin berkutik. Kendati kakinya cukup lelah untuk melanjutkan perjalanan.

"Ini ketiga kalinya kita melewati jalan yang sama, eh?" Naruto sumringah.

"Aku tidak suka mengundang orang asing ke rumahku." Sasuke mempercepat langkahnya. Berharap pemuda pirang itu menyerah dan memutuskan untuk pulang.

"Aku anggap ini sebagai kencan," Naruto meraih tangan Sasuke. "Kau pasti lelah. Biarkan aku mengantarmu pulang."

Pandangan Sasuke bertemu dengan safir biru Naruto. Kedua manik yang berbeda itu menyatu dalam pandangan lurus. Sasuke menghempas tangan Naruto.

"Cukup. Aku tidak punya waktu bermain." Sasuke memutar badan. Memutuskan aksi saling lempar pandang di antara mereka.

Kali ini Naruto membiarkan Sasuke berjalan sendiri dalam kegelapan malam. Akal sehatnya paham yang dia lakukan salah dan tak seharusnya dia begitu. Namun perasaan Naruto tak bisa bohong, sesuatu dari guru surai hitam itu seperti magnet yang menarik dirinya.

"Mungkin bukan sekarang," Naruto bergumam sambil memandang Sasuke yang menjauh.


Begitu Sasuke sampai di kediamannya, ia buru-buru membuka engsel pintu dan langsung menutupnya kembali. Lututnya lemas. Tubuh Sasuke merosot ke bawah. Ambruk dibalik pintu yang terkunci.

Sasuke bisa mengatur napasnya yang terengah-engah, tetapi tidak dengan rona merah di pipinya. Sasuke meremas dada. Seperti ada sesuatu yang bergejolak, namun ia tidak tahu persis seperti apa itu.

"Bocah bodoh," Sasuke berdesis. Sementara jantungnya semakin berdegup kencang, bayang-bayang Naruto mulai timbul dalam benak Sasuke.

"Kalau begini, aku..." mata sekelam langit malam itu berkaca-kaca.

"Aku bisa terperangkap dalam permainannya."


Hari berjalan begitu cepat. Rasanya baru sebentar Naruto menutup matanya menuju alam mimpi, sekarang teriakan Kushina sudah terdengar kembali membuyarkan mimpi indahnya.

"Awal yang baik untuk memulai hari yang panjang," ucap Naruto begitu lesu. Dia berdiri di depan cermin. Mungkin nyawanya belum menyatu dengan sempurna, tapi Naruto melihat pantulan dirinya menjadi sosok Sasuke. Wajah yang sama yang ada dalam mimpinya.

"Ah," Naruto tertegun. "Aku mulai gila," dia mengacak rambut pirangnya lalu menatap pantulan dirinya di cermin. "Tapi, itu yang dikatakan orang-orang saat jatuh cinta, kan?"

Hari kedua Sasuke mengajar di SMA Konoha. Hari ini pula langkah kakinya terasa sangat berat. Ia harap-harap cemas tak ingin diusik pemuda pirang yang membuat tidurnya terganggu.

Sasuke berangkat lebih pagi. Sekolah masih sepi, mungkin saja si pirang itu masih terbaring di atas tempat tidurnya.

Tapi sosok di ujung matanya membuat napas Sasuke tersekat.

Bagaimana mungkin dia datang sepagi ini?

Naruto berdiri di koridor, dimana koridor itu mengarah ke kantor para guru. Dia menanti kedatangan Sasuke.

Naruto tersenyum di seberang sana. "Ohayou, Sensei!" Naruto menyapa. Tangannya melambai pada guru dingin itu.

Sasuke pasrah.

Baiklah, aku kalah.


TBC


Hai, Kyu disini!

Gomenne minna-san, niatnya mau dibikin oneshot, tapi kepanjangan jadi saya bagi jadi beberapa chapter :3

Saya harap kalian suka fanfic NaruSasu saya ini. Jangan lupa tinggalkan jejak kalian di kolom review, minna-san! Karena dengan itu saya makin semangat untuk update chapter berikutnya. Sankyuuu!