Jam Yang Kosong
Disclaimer: Gege Akutami.
Warning: OOC, typo, lokal!AU, sho-ai, dll.
Author tidak mengambil keuntungan apa pun dari fanfic ini. Semata-mata dibuat demi kesenangan pribadi. Untuk ulang tahun Pitik. Didedikasikan kepada event, "Our Home" dengan tema lokal!AU, dan SukuFushi week 2021!
Happy Birthday, Pitik! Hope you like it.
Day 4: Jamkos/bolos (Our Home)
Day 2: Reincarnation/Soulmates (SukuFushi week 2021)
Di dalam sebuah jam kosong tanpa seorang guru fisika untuk mengajari hukum kelembaman, Ryomen Sukuna tampak (pura-pura) tertidur, ketika Fushiguro Megumi datang sembari membawa sekantong keripik kentang.
Tentu Fushiguro membawa untuk memakannya, sambil mungkin ditemani sepasang earphone yang menyanyikan lagu-lagu berbahasa inggris. Bungkusnya berarti tentu harus dibuka. Porsi keripik kentang yang lama-kelamaan kalah dengan udara itu tahu-tahu pula Sukuna rogoh. Secara rakus memasukkan keripiknya ke dalam mulutnya yang menggembung, lalu tersenyum pongah ke arah wajah merengut Fushiguro.
"Bagaimana? Bukankah itu membuatmu ingin marah dan tidak sebangku lagi denganku?"
Fushiguro belum merespons. Netra dark blue itu justru seolah-olah lengah, karena menatap pemutar musik yang menyenandungkan Fine On The Outside, Priscilla Ahn. Ketika jari-jari nakal Sukuna hendak mencurinya lagi–tetapi kali ini sambil membunyikan lirik just me, just me, just me, and I'll be fine on the outside–Fushiguro tahu-tahu merenggut bungkusnya. Cepat-cepat meraup semua keripik yang tersisa yang menyebalkannya, tidak tersedak sama sekali.
"Cih. Bagus juga serangan darimu. Awas saja lain kali."
Air minum di tasnya Fushiguro ambil. Tidak betul-betul ia habiskan yang barulah, Fushiguro membuang bungkusnya ke tong sampah terdekat. Ia pun tidur-tiduran dengan menggunakan jaket untuk bantal. Tiada meminati percakapan yang semenjak Fushiguro menemani Sukuna di pojok kelas, atas perintah Pak Guru Gojo Satoru, hari-hari yang mereka lalui memang selalu diam yang anehnya, Sukuna tetap mengingat Fushiguro sebagai teman sebangku.
"Ternyata memang, ya, lo itu beda dari yang lainnya buat gue." Kaki dinaikkan ke atas meja. Sukuna melipat tangan di belakang kepala, sedangkan matanya menontoni langit-langit kelas.
"Awalnya gue enggak mengerti, kenapa bisa kayak begitu. Lagian lo ini pendiam banget, meski, ya ... gue akui lo kuat. Cuma, kan, membosankan banget harusnya, orang macam lo itu. Anehnya tetap saja gue membiarkan lo duduk di samping gue."
Lalu jeda sejenak. Di tengah ingar bingar kelas yang menikmati jam kosong dengan beraneka cara, Sukuna yang se-intens mendekatkan mulutnya ke telinga Fushiguro hanyalah percikan. Sebuah renjisan yang sebenarnya jika Sukuna benar-benar berbisik, bibirnya nyaris menyentuh Fushiguro, dan suaranya menampakkan lembut dibandingkan keras pun kasar, itu sudah seperti hujan yang sangat cukup untuk menjelma segalanya.
"Tahu enggak, kenapa bisa begitu? Kira-kira lo penasaran kagak sama alasan gue?" Wajah Sukuna masih berada di sekitar Fushiguro. Rasanya begitu lama menunggu ia membalas, padahal Fushiguro belum pulas, sehingga Sukuna berniat berbisik lagi apabila Fushiguro tak tiba-tiba menatap.
"Kalau mau cerita, cerita saja. Jangan bisik-bisik kayak tadi. Menggelikan."
"Oke, oke, oke. Tapi jawab dulu pertanyaan gue tadi."
"Ya sudah. Apa alasannya aku berbeda dari teman sebangkumu yang lain?"
"Megumi percaya sama reinkarnasi? Mula-mula gue enggak percaya, lah, memangnya drama korea apa? Namun, sekarang gue percaya karena beberapa hari terakhir ini, gue memimpikannya." Bertubi-tubi. Setiap malam sampai rasa-rasanya Sukuna muak terlelap, karena ia bosan sementara alasan lainnya adalah, bunga tidur itu menyiksanya.
"... Sayangnya aku kurang percaya, tetapi tetaplah bercerita kalau kau mau."
"Malas, ah. Sana tidur. Kukira lo percaya."
Tanpa diperintah dua kali Fushiguro langsung menuruti kedongkolan Sukuna. Jaketnya ditiduri lagi, sedangkan Sukuna memutuskan membuka-buka medsos di gawai. Namun, belum juga satu jam Sukuna merasakan kantuk mengetuk-ngetuk. Pada akhirnya ia menghabiskan jam kosong dengan cara yang ia benci, yaitu tidur. Sebab rasa-rasanya ingatan reinkarnasi itu tidak ada habis-habisnya–melelahkan saja–dan jam kosong menjadi sesuatu yang–
Jam kosong menjadi tempat, di mana sekitarnya yang mengobrol dengan membahana, yang terdapat suara gawai memainkan gim diiringi bahasa kebun binatang, ataupun dengkuran dari siswa lain yang kerap kali minta ditonjok, justru terasa asing sama sekali. Defisinya berbeda 180 derajat.
Langit telah mewujudkan mimpi sebagai senja tatkala Sukuna terbangun, pada pukul empat sore yang selalu dibiasakan memulangkan para siswa. Warna-warna jingga menjadi apa yang kini menempati bangku kosong di samping Sukuna. Keabsenan Fushiguro yang pergi begitu saja tanpa membangunkan Sukuna pun, tak benar-benar ia permasalahkan karena yang terpenting, Sukuna bisa bangun dan terpikirkan untuk bermain di game center.
"Uang gue sisa sepuluh ribu. Bisalah dapat beberapa koin, mah. Atau gue belikan minuman aja, ya?"
Boba abal-abal di dekat sekolah mereka, sebenarnya lumayan enak. Toh, apa pun itu asalkan Sukuna dapat menunda-nunda waktu kepulangannya, ia bodoh amat uang sepuluh ribu ini mau diapakan. Pedagangnya yang merupakan ibu-ibu paruh baya masih tampak buka. Ia yang tengah melayani dua orang bocah SD berada di seberang, sedangkan Fushiguro bersandar di depan gerbang SMA mereka.
"Belum pulang?" tanya Sukuna impulsif. Gelengan sekadar diberi sebagai jawaban, menilik Fushiguro masih sibuk menekan-nekan kibornya sendiri. Merangkaikan pesan agar menjadi sebuah yang beraneka ragam, tetapi rasanya utuh-utuh saja yakni selalu satu.
"Seru amat. Chatting sama siapa lo?"
"Apa pentingnya bagimu kalau kau tahu?"
"Penasaran doang elah. Aneh saja, padahal biasanya juga lo langsung pulang." Rayuan kelaki-lakian ala klub karate tidak sedikit pun meluluhkan Fushiguro, dan ekstrakulikuler lainnya sama saja. Sukuna pun tak mengikuti yang begituan. Buat apa jika bersantai lebih nikmat?
"Kau sendiri ngapain?"
"Nah. Apa untungnya bagi lo mengetahui yang gue lakukan?" Sukuna menyeringai puas. Sejuta persen yakin balas dendamnya berpengaruh, lalu Fushiguro diam gara-gara merasa Sukuna bangsat.
"Soalnya dari tadi kau tidak kunjung beranjak. Menunggu seseorang juga, kah? Atau mungkin berubah pikiran dan ingin menceritakan mimpimu?"
"Tadi gue pegal berjalan, makanya sekarang berdiri dulu di sini. Urus HP lo sana. Siapa juga yang mau ngobrol?"
Satu-satunya yang mengisi lubang kesunyian mereka hanyalah jalanan, dan lalu-lalang kendaraan yang terlihat semakin ramai. Di depan SMA Negeri ini memang sering macet. Sukuna sendiri memilih berjalan kaki, walaupun ia membutuhkan satu jam lebih untuk tiba di rumah. Sementara Fushiguro naik angkot nomor 04. Satu kali saja yang mengapa pula Sukuna bisa tahu? Diam-diam ia memang memperhatikan Fushigoro, soalnya.
"Lah. Si ibu tutup, dong," batin Sukuna yang cengo, ketika menontoni wanita gempal itu membereskan peralatan. Berarti sekarang adalah waktunya ke game center. Ada pula ratusan tiket yang harus ditukarkan hari ini, atau nanti kedaluwarsa, tetapi Sukuna malah omong doang. Membuat matanya-lah yang pergi untuk menontoni Fushiguro.
"Mau disangkal berapa kali pun ... ternyata emang mirip, ya, bangsat banget sumpah."
Mendadak saja Sukuna memuntahkannya. Mendadak pula Fushiguro berhenti mengirimkan balasan, untuk seseorang di sekolah lain, karena salah Sukuna yang membuat gumamam itu terlalu jelas. Sebelah alis Fushiguro naik mengindikasikan heran. Padahal selama ini, meskipun Fushiguro senantiasa percaya ia bisa mengabaikan janggal yang Sukuna pancarkan kepadanya seorang, siapa sangka ternyata Fushigoro masih mempunyai batas.
"Apa kau yang beberapa waktu terakhir terus memperhatikanku, ada hubungannya dengan mimpi perihal reinkarnasi tersebut?" Ekor mata Fushigoro bergerak tajam ke arah Sukuna. Ia sudah melewati batasannya membuatnya sedikit enggan mengendalikan diri.
"Begitulah. Namun, gue tetap enggak mau cerita, karena lo juga kagak percaya sama reinkarnasi. Terus, lo juga jangan berani-beraninya bilang, sekarang lo percaya itu. Entar kutonjok sampai mampus."
"Baiklah. Jika begitu biarkan aku menebak kau dulu adalah apa, dan kalau aku benar, kau harus cerita."
"Tebak, gih. Omong-omong kesempatan lo hanya sekali." Mendengar kesombongan berbicara Fushiguro menghela napas. Karena sejak jam fisika kosong Fushigoro sudah merenungkannya, mengenai apakah Fushiguro percaya atau tidak, ia merasa cukup yakin untuk tak mengulangi meramalkan lagi.
"Diktator."
"Hah? Apaan, tuh? Adik traktor?"
"Maksudnya pemerintah yang kejam, dan hanya memikirkan diri sendiri. Aku merasa kau seperti itu."
Hitler, Fidel Castro, Joseph Stalin, Soeharto ... mungkin saja Sukuna adalah kejam dan tajam seperti itu–sosok yang kehidupannya hanya tersisa untuk dibenci. Seantero sekolah mengenal Sukuna sebagai raja segala keji. Siapa pun yang berhadapan dengannya digambarkan mengalami neraka, dan mereka akan dikutuk agar memiliki ingatan yang terus mengingatnya. Bahkan seakan-akan baru merasainya, baru merasainya, baru merasainya lagi.
Tangannya memang begitu bengis. Memukul yang hanya ingin berhenti apabila orang itu mati, barangkali. Atau sudah meregang nyawa pun tetap Sukuna hantam. Kepada cara meninggal si lemah akan Sukuna tanamkan bahwa, mati pun tidak pernah tidak lepas dari kesakitan; penderitaan. Makanya jangan sampai suatu kepayahan berani-beraninya membayangkan, ia ini jagoan.
Fushiguro tahu, karena ia pernah menghadapi Sukuna dan kalah telak. Mereka memang sesama preman sekolah. Perkelahian seperti itu tidaklah aneh apabila sesekali terjadi, tetapi ketika Fushigoro telaah lagi ...
Ternyata memang ada yang aneh, sebenarnya.
Yang aneh, seolah-olah bukan kali pertama Fushiguro sekarat di hadapan Sukuna, dan kekuatan Sukuna yang maha itu tidaklah asing.
Dimulai dari akar yang menancap kukuh itu, Fushiguro membiarkan Sukuna melakukan apa pun yang ia sukai–merebut earphone-nya ketika Fushigoro mendengarkan lagu, Sukuna yang mencari tahu ke mana arah Fushigoro pulang, lain-lainnya lagi–agar Sukuna ingin membuka kain yang menutupi cerita-ceritanya. Fushigoro pun akan menangkap alasan Sukuna begitu berusaha mendekatinya (meski ternyata Fushigoro gagal.).
Setelah mengetahui motif yang Sukuna percayai, apa yang sekiranya Fushiguro perbuat terhadap Sukuna?
Kendatipun semua rangkaian ini bukan untuk murni pertemanan, ataupun mematuhi keinginan Pak Gojo agar Fushiguro membantu Sukuna belajar, Fushiguro tidak akan setega itu meninggalkan Sukuna. Tidak akan yang bukan berarti, Fushiguro tak kuasa melakukannya. Melainkan tanpa perlu Fushiguro menjaga jarak pun, sebenar-benarnya mereka sudah jauh, menjauh, berjauh-jauhan, Fushiguro adalah yang terjauh bagi Sukuna.
"Sayangnya kau salah, walau enggak sepenuhnya salah, sih. Tadi, kan, Bu Utahime membicarakan soal puisi, ya, di pelajaran bahasa indonesia. Rasa-rasanya aku memiliki bakat berpuisi, setelah mendengar dia menjelaskan pelajaran."
"Majas metafora saja kaujawab, majas yang memiliki metal dan suka pora-pora." Nada mengejek terang-terangan mencolek Sukuna. Dibandingkan menjitak kepala si pelaku, Sukuna malah mencubit pipi Fushiguro yang saat ia menyadarinya, jari-jari Sukuna terburu-buru pamit. Sengaja berdeham yang artinya, jangan Fushiguro bahas lagi.
"Itu hanya masa lalu. Dengarkan dulu, dong, jawabanku."
"Ya sudah. Apa memangnya?"
"Jam yang kosong. Dahulu aku adalah sebuah jam yang kosong. Terinspirasi dari kalimat jam kosong."
Menyebutnya raja para kutukan terlalu hiperbolis, dan macam kecanduan khayal saja, jadilah Sukuna rela menjungkirbalikkan otaknya. Fushiguro masih bergeming tatkala mendengar istilah yang memang, kesan puitisnya cukup kuat. Selama Sukuna menontoni wajah samping Fushiguro berpikir, tahu-tahu hari kian terbenam saja di ufuk barat. Sukuna lantas menawarkan akan menjawabnya untuk Fushiguro. Kapan lagi ia bisa terlihat keren?
"Saat aku membayangkan jam, dan isinya kosong, berarti tidak ada angka-angka di sana. Apa artinya dahulu kau merasa, waktu tak pernah ada bagimu maupun bergerak?"
Sekarang pun begitu, sebenarnya.
Semenjak Sukuna terlahir di sebuah keluarga yang pekerjaan orang tuanya hanya bertengkar, dan menjadi jagoan sekolah bahkan terkenal di luar sana, Sukuna tetap menjelma semua kehampaan sebelum mengenali Fushiguro. Ketika ia merupakan raja para kutukan pun, sama saja. Jam begitu kosong tanpa sebuah waktu yang membuat Sukuna berdebar-debar, mengalami penantian, bersitegang, ataupun sengit.
Sampai akhirnya, Sukuna yang dahulu merupakan raja kutukan bertemu Fushiguro Megumi yang memerankan penyihir jujutsu. Mereka adalah musuh ketika sekarang ini, Sukuna tahu bahwa segalanya lebih parah lagi; bahwa keduanya bukanlah apa-apa.
Lantas Sukuna mulai merasakan waktu. Seharusnya 24 jam diisi dengan memburu dan diburu, tetapi Sukuna justru ingin melindungi dan menunggu Fushigoro menjadi miliknya. Menjadi miliknya yang semestinya jua bermakna, Sukuna-lah yang akan sesuka hati membunuh Fushiguro. Namun, tanpa si raja para kutukan sadari, maknanya telah bergeser tetapi ia baru menyadari itu, kala Fushiguro mati di tengah pertempuran.
"Pengamatan yang bagus. Kemudian jam yang kosong itu berubah menjadi memiliki waktu, semenjak bertemu seseorang. Keren, 'kan?"
"Keren, tetapi di satu sisi miris juga." Punggung Fushiguro berhenti bersandar pada tembok sekolah. Sepertinya sebentar lagi adalah waktunya mengucapkan selamat tinggal.
"Miris kenapa, dah?"
"Jam yang kosong menjadi memiliki waktu, sejak dia bertemu seseorang. Artinya ia adalah jam dan juga waktu. Waktu hanya bisa melihat, terlupakan, tetapi tetap mengalir, dan jika sang waktu bisa jatuh cinta kepada manusia ... hanya tiga hal itu, bukan, yang bisa ia perbuat?"
Ryomen Sukuna merasakan waktu sejak bertemu Fushiguro Megumi, dan Sukuna akan membawa kutukan dari waktu itu sendiri–hanya bisa melihat melalui dua belas angka, terlupakan yang maknanya ia di antara ada dan tiada, tetapi tetap mengalir selama manusia hidup; adalah Fushiguro bagi Sukuna, sosok yang memberikannya waktu kepada jam kosong ini.
Daun telinga Sukuna kemudian spontan bergerak, mendapati seseorang memanggil nama Fushiguro, dan Fushiguro membalasnya hangat–berbeda dengan nada bicaranya terhadap Sukuna yang cenderung dingin, acuh untuk tak acuh.
Cowok itu adalah Itadori Yuuji dari SMA lain. Sukuna dan Itadori berkenalan sebentar, sebelum akhirnya Fushiguro mengajak Itadori pergi. Mencium bibir itu di tengah remang-remang jalanan yang lampunya berkedip sesuka hati. Tawa Itadori terdengar renyah gara-gara malu.
Di mana inilah yang Fushiguro maksud dengan, tanpa perlu Fushiguro menjaga jarak pun, sebenar-benarnya mereka sudah jauh, menjauh, berjauh-jauhan, Fushiguro adalah yang terjauh bagi Sukuna (semakin Sukuna bisa mendekati Fushiguro.).
Seusai kepergian Fushiguro, lantas Sukuna menghela napas. Berbalik badan menuju game center, dan bersantai di tengah malam saja–melupakan segudang PR yang palingan, Sukuna bakalan memalak jawaban daripada pusing-pusing.
"Meski tahu bakal kayak tadi, pasti kau tetap mewariskan perasaan ini padaku, 'kan? Kau benar-benar diriku, ya, bangsat banget."
Raja kutukan tolol itu jatuh cinta, maksudnya, dan Sukuna merasainya lagi sejak ia mengobrol dengan Fushiguro sekaligus menyadari, siapakah dirinya di masa lalu. Mengetahui jua mengenai waktu di luar mereka yang menertawai keduanya, sebagai jarak yang tidak dapat bersatu.
Raja kutukan dengan penyihir jujutsu yang ingin membasminya.
Seseorang yang tetap jahat, dan ia hanyalah teman sebangku Fushiguro. Sementara Fushiguro tidak melupakan ia sekadar baik terhadap orang yang ia anggap baik, dan Fushiguro adalah pacar Itadori.
Lain waktu kalau ingin bereinkarnasi, jadilah takdir daripada seorang anak SMA, idiot.
Tamat.
A/N: Sejujurnya ini bukan bener-bener buat ultah-nya pitik. Aku sendiri udah bikin fic-nya dari kemarin, dan cuma mau didedikasikan buat grup our home sebenernya, tapi karena ternyata pitik hari ini ultah … ya sekalian aja gift buat dia. Gak ada salahnya kan bikin orang seneng~ semoga ya pitik suka fic SukuFushi-nya. Maaf deh kalo ada bau2 angst.
Fic ini pun harusnya ku-publish kemarin, tapi aku belum selesai gegara malah nonton miawaug main scary teacher 3D. Telat sehari gak masalah sih daripada setahun ya wkwkw. Aku pribadi bosen sama tema jam kosong/bolos, makanya aku bikin eksperimen kayak gini dan lahirlah fic "Jam Yang Kosong" yang terinspirasi dari jam kosong. Seenggaknya aku bahagia juga selama proses pembuatannya, dan udah enggak malu-malu kucing kayak di fic pertama. Jadi, mau sehancur apa pun fic ini, yaudah terima aja dan publish.
Thx buat yang udah mampir ke sini. Semoga ke depannya aku bisa bikin pair lain, atau fic SukuFushi yang lain.
