"Yak, sudah semuanya."
Duri memasukkan semuanya ke dalam karung sampah. Poster, video game, komik, dan barang-barang lain yang sudah dia anggap tidak baik.
Saat Duri menyeret karung itu ke luar, Blaze dan Taufan melihatnya.
"Eh? Apa itu, Duri?" tanya Taufan.
"Koleksi lamaku, kak. Mau kubuang," jawab Duri.
"Heeh?! Kau yakin, Duri?!" seru Blaze. "Sayang banget kalau dibuang! Aku ambil aja boleh?"
"Gak, kak," jawab Duri tegas. "Aku gak mau barang-barangku malah membawa mudharat. Mending langsung buang."
"Eh? Mudho–apa? Apa itu?" ulang Taufan heran.
"Mudharat kak, artinya keburukan," jelas Duri.
"Kau dapat kata-kata itu dari mana Duri?" tanya Blaze sambil menggaruk kepalanya.
"Dari video kajian islam di internet, kak," jawab Duri.
"Wow, kau belajar begituan Duri? Keren! Duri jadi alim! Duri jadi alim!" teriak Taufan kagum.
Duri tertawa kecil melihat reaksi kakak keduanya. Dia pun izin pergi untuk menaruh karung itu di tempat sampah. Setelah melihat barang-barang itu kini bersama tumpukan sampah, hatinya merasa lega.
Hijrahnya telah dimulai.
PERMATA
Summary: "Kalau menjadi religius membuatmu mudah menghakimi orang lain, keras, kasar, dan fitnah. Periksalah! Kau menyembah Tuhan atau egomu?"
Disclaimer: BoBoiBoy (c) Monsta Studio. Tidak mengambil keuntungan apapun dalam pembuatan fanfiksi ini.
Warning: OOC akut, islamic-contect, Typo(s) dll.
SELAMAT MEMBACA!
"Shodaqallahul'azim..."
Duri menutup Al-Qur'an miliknya sambil menghela napas puas. Dia akhirnya bisa tilawah membaca Al-Qur'an sebanyak 5 halaman. Di hari sebelumnya dia hanya sanggup 3 halaman. Bahkan waktu awal mencoba membaca sehalaman saja dia kelelahan.
'Pokoknya besok harus dapat 7 halaman!' batin Duri semangat.
Saat menaruh kembali Al-Qur'annya di rak, Duri melihat ke arah Solar yang sedang belajar di mejanya. Telinganya tersumbat earphone. Ketukan jari di mejanya cukup menjelaskan kalau dia sedang mendengarkan lagu kesukannya.
Duri seketika ingat tentang dalil pengharaman musik. Katanya musik bisa membuat hati orang keras terhadap ayat-ayat Al-Qur'an, bahkan lalai kepada Allah. Duri lalu berinisiatif menegur Solar.
"Solar..." panggil Duri pelan.
Solar melepas sebelah earphone-nya dan menatap Duri. "Apa?"
"Sebaiknya kau berhenti mendengarkan musik jahiliyah itu, Solar. Ganti saja dengan murottal Al-Qur'an, lebih berkah," ujar Duri.
Solar menaikkan alisnya. "Kenapa Kak Duri tiba-tiba ngomong gitu?"
"Habis katanya musik bisa membuat kita lalai mengingat Allah, Solar. Lebih baik ganti murottal. Atau lagu-lagu islami," jelas Duri.
Solar menggaruk kepalanya. "Hmm... maaf Kak Duri. Aku kalau tidak mendengarkan musik saat belajar bisa ngantuk. Tapi musik islami bukan seleraku, dan kalau mendengar murottal... aku tetap ngantuk."
"Hati-hati lho, Solar. Nanti hatimu bisa keras–"
"Iya, kak! Aku tahu! Tolong jangan ganggu aku belajar!" seru Solar tak sabar.
Duri memutuskan keluar kamar. Dia merasa gelisah karena rasanya dia sudah mendiamkan kemungkaran.
'Apa yang harus aku lakukan?'
"Hai Duri! Kebetulan!"
Blaze tiba-tiba menghampiri Duri. Senyum jahil terlihat di wajahnya.
"Ayo kita main bareng! Aku punya ide bagus lho!" ajaknya.
"Uhm... maaf, kak. Aku gak bisa," tolak Duri halus.
"Eh? Lagi? Kenapa Duri?" tanya Blaze heran.
"Uhm... aku merasa kegiatan itu sama sekali tidak ada manfaatnya... rasanya sia-sia..."
Blaze menggaruk kepalanya. Tampak kesal dengan Duri.
"Sejak kau belajar islam, kenapa kau menjauh dariku dan Kak Upan sih? Sibuk lah, gak ada manfaatnya lah, dan beribu alasan lainnya! Padahal kegiatan kita kan gak dosa! Kalau begini terus bagaimana nasib formasi Trio Troublemaker kita?!"
Duri menggeleng. "Dari namanya saja itu sudah buruk, kak. Lebih baik Kak Blaze ikut aku melakukan hal-hal bermanfaat saja. Mengaji Al-Qur'an misalnya."
Blaze menghela napas. "Ya sudahlah, kalau kau tidak mau ikut aku dan Kak Upan lagi..."
Blaze lalu melangkah pergi meninggalkan Duri. Hati Duri sedikit sedih melihat ekspresi kecewa kakaknya, tapi dia langsung menggeleng.
Lingkaran pertemanan yang salah dapat membuatmu lalai kepada Allah.
Itu pelajaran baru yang didapat Duri hari ini di internet. Walau bersama Taufan dan Blaze selalu menyenangkan, tapi mengingat berapa kali mereka dipanggil komite disiplin sudah cukup menjadi bukti bahwa bersama mereka akan membuat Duri menjauh dari ketaatan.
Duri lalu iseng melihat ke dalam kamar Halilintar, Taufan, dan Gempa yang kebetulan terbuka. Hanya ada Taufan di sana, asyik bermain ponsel. Sepertinya dia sedang bicara dengan seseorang.
"Good night, sweetie..." bisik Taufan ke ponselnya. Sedang bicara dengan pacarnya rupanya.
Taufan tertawa kecil lalu menaruh ponselnya di meja dan melompat tidur ke kasurnya. Tak lama kemudian dia tampak tertidur lelap.
Melihat ponsel itu, Duri menjadi terdorong untuk melihat isinya. Layarnya masih membuat kolom chat antara Taufan dan pacarnya. Membaca isinya membuat Duri geli sekaligus jijik. Penuh dengan kata-kata mesra yang sangat menjurus kepada zina.
Duri menarik napas. Dia harus melakukan sesuatu untuk kakaknya.
Duri mulai mengetik beberapa kalimat di ponsel Taufan.
.
.
.
PLAK!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Taufan. Tangan Amy, pacarnya yang melakukannya. Hal itu membuat seluruh kantin melihat ke arahnya.
"Aku gak percaya kamu tiba-tiba mutusin aku! Udah gitu bawa-bawa dalil lagi! Memangnya aku sebejat itu sampai-sampai kamu bilang aku pezina?!" teriaknya.
Taufan gelagapan, "I-itu bukan aku–"
"Udah! Gak usah ngomong lagi! Oke, kita putus! Jangan coba-coba deketin aku lagi!"
Amy pun melangkah petgi meninggalkan Taufan yang mematung. Kerumunan sedikit demi sedikit mulai bubar. Duri termasuk di antaranya.
Duri merasa lega akhirnya kakaknya Taufan bisa lepas dari zina. Taufan mungkin sekarang sedih, tapi Duri lambat laun Taufan bisa menikmati hidup tanpa pacaran.
"Duri."
Ada seseorang yang menghampiri Duri. Rupanya Ice. Raut wajahnya tampak serius.
"Eh? Kenapa Kak Ice?" tanya Duri.
"Ada yang ingin kutanyakan padamu."
Ice lalu mengeluarkan ponselnya yang menampilkan tangkapan layar isi chat Taufan dan Amy. Ice lalu menunjuk tanda waktu pesan (yang ditulis Duri) dikirim.
"Di jam ini, sebenarnya aku melihatmu memegang ponsel Kak Upan. Aku tak bermaksud menuduhmu, Duri. Tapi... apa kau yang menulis ini?" tanya Ice pelan.
Duri meneguk ludah. Tapi dia mengumpulkan tekad untuk menyuarakan kebenaran.
"Aku menyelamatkan Kak Upan dari dosa zina, Kak Ice. Itu bagus kan?" katanya.
"Duri, ini bukan masalah zina atau semacamnya! Ini masalah kau membajak ponsel Kak Upan! Yang kau lakukan itu kelewatan Duri! Kau sebaiknya minta maaf!" seru Ice.
Rasa kemarahan mengumpul di dada Duri. Dia hanya membawa Kak Taufan ke jalan yang lurus. Kenapa itu disalahkan?
Duri memutuskan pergi meninggalkan Ice. "Maaf Kak Ice. Aku harus pergi."
"Duri, tunggu! Kalau yang lain tahu tentang ini, kau akan–"
Sisa-sisa kalimat Ice tidak didengarkan Duri. Lagipula Duri tak peduli. Dia hanya ingat perkataan yang dia temukan di internet.
Tinggalkan perdebatan meskipun kamu benar.
.
.
.
Duri melangkah pulang dengan riang. Dia pulang agak telat karena tadi mengurus tanamannya di rumah kaca. Dia yang awalnya merawat tanaman hanya karena hobi, kini memperbaiki niat untuk bertakwa dan merawat makhluk-makhluk Allah itu dalam rangka ibadah.
'Katanya bacaan Al-Qur'an bisa membuat tanaman tumbuh lebih baik ya? Besok aku harus mencobanya….'
"Assalamualaikum…" ucap Duri sambal memasuki rumah.
"Waalaikum salam, Duri…"
Langkah Duri terhenti saat melihat Halilintar duduk di kursi tamu, seolah menunggunya. Yang membuat Duri heran adalah sorot matanya menatap dirinya seolah hendak mengajak Duri berduel.
"Ada yang ingin kubicarakan, ayo ikut aku," ujar Halilintar sambil berdiri lalu berjalan. Duri hanya bisa mengikuti sambil bertanya-tanya dalam hati.
Mereka ternyata menuju dapur. Di meja makan terlihat lima saudaranya yang lain sudah duduk di sana. Atmosfer di dapur terasa mencekam. Duri tak punya pilihan lain selain duduk bersama mereka.
"Kenapa semuanya tiba-tiba berkumpul di sini? Ada apa?" tanya Duri.
Gempa berdehem, lalu mulai bicara dengan pelan. "Duri… kami sama sekali tidak bermaksud menuduhmu. Tapi apa benar… kau yang membajak ponsel Kak Upan?"
Duri terkejut mendengar pertanyaan itu. Tapi dia segera menguatkan hati. Ini kesempatannya untuk menyuarakan kebenaran.
"Iya Kak Gem, aku yang melakukannya," jawab Duri jujur. "Tapi aku melakukan ini agar Kak Upan terhindar dari dosa zina, jadi aku benar kan?"
Gempa terkesiap. Dia mengusap wajahnya, tampak frustasi. "Duri… aku tahu kau melakukan ini karena peduli dengan Kak Upan. Tapi tidak begini caranya. Biar bagaimanapun… ini salah, Duri. Bahkan keterlaluan…."
Duri merasa heran kenapa Gempa bersikap begitu. Padahal dia yakin Gempa akan mendukungnya.
"Kak Gem, kenapa Kak Gem malah menegurku, tapi tak pernah menegur Kak Upan yang jelas-jelas sudah mendekati zina? Padahal kemungkaran sudah jelas terjadi di depan Kak Gem," kata Duri.
"Duri…."
"Dan Kak Upan, aku yakin di akhirat nanti Kak Upan akan berterima kasih padaku karena sudah menyelamatkannya dari dosa zina. Iya kan?"
Duri menatap Taufan, berharap bisa melihat tawa dan senyum jahilnya. Tapi justru mata yang berkaca-kaca yang dilihatnya.
"Jadi… aku ini calon penghuni neraka ya, Duri?" lirihnya.
"Kak Upan… ini justru yang terbaik bagi Kak Upan. Daripada nanti di akhirat Kak Upan menuntutku karena tidak memperingatkan soal dosa zina-"
"DURI!" Halilintar menggebrak meja, memotong kalimat Duri. "Kau ini selalu saja bilang dosa, dosa, dosa! Apa kamu gak sadar yang kau lakukan itu juga dosa?! Kebenaran jika ditegakkan dengan cara yang salah itu dosa juga tahu! Kalau saja kau bukan adikku, pasti sudah kuhajar kau habis-habisan!"
Teriakan Halilintar membuat tubuh Duri merinding. Tapi dia tetap berusaha mengumpulkan keberaniannya.
"K-kalau Kak Hali mau menghajarku… tidak apa-apa…" ucapnya gemetar. "Rasulullah dan para sahabat dulu… diancam seperti ini kan?"
"OHH! JADI MAKSUDMU KAMI INI ANTEK-ANTEK ABU JAHAL BEGITU?! KAMI SEJENIS DENGAN MANUSIA PEMBENCI ISLAM MACAM ZIONIS DAN ISLAMPHOBIA?! APA BETUL BAGIMU KAMI SERENDAH ITU?!" teriak Blaze.
"Ti-tidak! Maksudku bukan begitu!" sergah Duri.
"Kalau begitu sikapmu aneh, Duri!" seru Solar. "Kalau diibaratkan, kau seperti orang yang senang dengan tragedy 9/11 karena itu membuat banyak orang belajar islam, tapi kau tidak peduli dengan mereka yang hidupnya hancur karena dituduh sebagai teroris!"
Duri terdiam. Antara terkejut dan tak paham apa maksud Solar.
Melihat Duri tak mengerti, Solar buru-buru berdehem. "Duri, aku bukan ahli agama, tapi aku punya kalimat yang cocok untukmu. Kalau menjadi religius membuatmu mudah menghakimi orang lain, keras, kasar, dan fitnah. Periksalah! Kau menyembah Tuhan atau egomu?!"
Duri tak tahan lagi mendengar semua perkataan itu. Air matanya mendadak mengalir deras.
"HWAAAAAAAAAAAA!"
"DURI!"
Duri tak menghiraukan suara yang memanggil Namanya itu. Dia langsung berlari ke kamar dan menguncinya rapat-rapat.
.
.
.
Duri tidak tahu berapa lama waktu berlalu sejak dia bergelung di dalam selimut sambil menangis. Hatinya sangat sakit mendengar perkataan mereka.
'Kenapa mereka marah? Bukankah aku benar? Tapi kenapa mereka tidak menerimanya? Apa karena hati mereka sudah membatu?'
Duri menyeka air matanya.
'Kalau begitu… rumah ini bukan tempat yang tepat untukku meningkatkan iman?'
Duri teringat istilah hijrah, yaitu berpindah ke tempat yang lebih baik untuk beribadah kepada Allah. Sama seperti umat muslim dahulu kala berhijrah ke Habasyah dan Madinah karena tekanan kaum kafir Quraisy.
Sempat terpikir mungkin yang terbaik baginya adalah pergi dari rumah ini ke tempat yang lebih baik. Tapi ke mana? Rumah ayahnya di kota? Tapi ayah mereka sering pergi sehingga rumah itu kosong. Duri juga merasa berat meninggalkan saudara-saudaranya.
Duri menggeleng kuat. Dia harus kuat meninggalkan hal yang dia sayangi demi kecintaannya kepada Allah semata. Bukankah Mushab bin Umair juga melakukannya? Dia meninggalkan semua harta dan popularitasnya demi islam.
Tok tok tok…
"Duri?"
Pintu kamar Duri terketuk disertai suara lembut yang memanggil namanya. Itu suara Tok Aba, kakeknya.
Sebenarnya Duri merasa enggan membuka pintu. Tapi mengingat dia harus menghormati orang tua, Duri memutuskan membukanya. Siapa tahu Tok Aba mendukungnya.
Pintu terbuka. Terlihat wajah senja Tok Aba dengan senyum menghiasinya. Tanpa kata-kata Tok Aba mengajak Duri duduk bersama di pinggir ranjangnya.
Selama sesaat tak ada suara di antara mereka. Hingga pada akhirnya Tok Aba mulai bicara.
"Atok sudah dengar semuanya dari Gempa…."
Kata-kata itu membuat Duri ingin ikut bicara.
"Tok Aba… yang Duri lakukan ini benar kan? Duri cuma mau Kak Upan berhenti pacaran supaya terhindar dari dosa zina… supaya Kak Upan tidak masuk neraka…."
Tok Aba kembali tersenyum lalu mengelus kepala Duri lembut.
"Duri… sebenarnya Atok sangat senang Duri mau belajar islam lebih dalam dan mengajak yang lain kepada kebaikan… tapi seperti apa yang Gempa bilang… caramu itu salah."
Duri bingung. "Kenapa bisa salah, Tok?"
"Karena Duri menyakiti perasaan Taufan dengan menggunakan ponselnya tanpa izin dan membuat salah paham. Duri sadar kan kalau yang lain marah padamu bukan karena kau melarang Taufan berzina, tapi karena Duri menggunakan ponsel Taufan tanpa izin… iya kan?" jawab Tok Aba.
Duri terdiam sejenak. "Tapi… Duri cuma mau supaya Kak Upan gak dapat dosa zina… Duri cuma gak mau Kak Upan masuk neraka…."
"Duri…" Tok Aba berkata pelan. "Kalau diibaratkan, Duri seperti ingin memberikan sebuah permata kepada Taufan. Tapi Duri memberikannya dengan cara dilempar dan mengenai kepalanya Taufan. Sehingga yang dia tahu kau melemparinya dengan batu yang keras dan menyakitkan…."
"Tapi… bukannya kalau kita tidak keras, mereka tidak akan jera?" tanya Duri.
"Kita memang harus keras, Duri. Tapi harus pada tempatnya. Seandainya menyebarkan agama islam itu harus keras, pasti tertulis dalam sejarah kalau ada tentara muslim yang menyerang Malaysia," jelas Tok Aba. "Sekarang Atok tanya. Menurut Duri, Taufan itu pantas ditegur secara keras atau tidak?"
Duri memikirkan baik-baik pertanyaan Tok Aba. Taufan kakaknya memang bandel dan jahil, tapi dia sangat baik. Di saat Halilintar dan Blaze memarahinya sekalipun, Taufan tidak ikut menyerangnya. Dia hanya tampak sedih.
Duri akhirnya memutuskan menggeleng.
"Kalau begitu Duri harusnya tetap berusaha mengingatkan Taufan. Mungkin Taufan akan tetap membandel. Tapi jangan lupa bahwa batu sekalipun dapat berlubang oleh tetesan air yang terus-menerus…" nasihat Tok Aba.
"Kalau Kak Upan tetap tidak menerima bahkan menolak dengan keras bagaimana?" tanya Duri.
"Hidayah itu hanya Allah yang menentukan, Duri. Tugas kita hanya menyampaikan dan berbuat sebaik-baiknya. Supaya agar ketika mendapat hidayah mereka dengan mudah menggapainya," jelas Tok Aba.
"Karena di manapun kita berada, kita harus membawa spirit islam, rahmatan lil 'alamin, rahmat bagi seluruh alam…."
Duri memangguk paham. Rasa penyesalan mulai menguasainya.
"Lalu… Duri harus bagaimana sekarang? Mereka pasti sangat membenci Duri…" gumam Duri putus asa.
"Ya minta maaf lah, minta maaf yang tulus…" kata Tok Aba. "Nah, ayo Atok temani…."
Tok Aba memegang bahu Duri. Mereka berdua lalu berjalan keluar kamar. Di depan pintu, terlihat enam saudaranya berkumpul. Mereka masih terlihat kesal, tapi ekspresi mereka mulai melunak.
Duri berdiri di depan mereka. Bersiap meminta maaf. Apapun reaksi mereka, Duri akan menerimanya.
"Semuanya…" Duri mulai bicara. "Aku… aku minta maaf… dan Kak Upan… maaf… maaf sudah menggunakan ponsel Kak Upan tanpa izin… aku yang salah… maafkan aku…."
Duri terdiam. Keheningan menyelimuti mereka sebelum dipecah oleh suara tawa. Tawa milik Taufan.
"Ya ampun… hanya gara-gara aku pacaran, semua jadi ribut begini…" kekehnya.
Mereka semua mengangkat alis. Merasa heran dengan reaksi Taufan.
Sambil menggaruk kepalanya, Taufan mendekati Duri.
"Pertama-tama, jangan salahkan Gempa, Duri. Dia sebenarnya sudah sering menegurku. Tapi aku tak pernah menggubrisnya," jelasnya.
"Yah… sekarang nasi sudah menjadi bubur, aku dan Amy sudah putus. Jadi… aku akan mencoba menjadi jomblo fi sabilillah… aku akan mencoba hidup tanpa pacaran… walau itu pasti tak mudah."
Taufan tersenyum ke arah Duri.
"Nasihat itu permata kan? Mau diberikan baik-baik ataupun ditimpukkan ke wajah, permata tetaplah permata. Aku akan mencoba menerima permata pemberianmu, Duri. Lebih baik daripada aku harus menggali ke dasar bumi…."
Duri menatap mata Taufan. Ada sedikit sendu, tapi Duri yakin perasaan Taufan sudah menjadi lebih baik.
"Terima kasih Kak Upan…" ujar Duri. "Lagipula aku yakin Allah sudah menyiapkan jodoh untuk Kak Upan yang jauh lebih baik-"
DUAK!
"Jangan mentang-mentang Taufan memaafkanmu kau bisa bersikap seenaknya ya…" geram Halilintar setelah memukul kepala Duri.
"Dengar, tidak semua orang bisa tahu kalau yang dilemparkan padanya itu permata, bukan batu. Nasihat pun harus lihat situasi dan kondisi. Kalau tidak, bisa-bisa kau menciptakan orang yang berpikiran 'Tidak apa-apa tidak sholat asal jangan korupsi!'" tambahnya.
Duri mengelus kepalanya yang sakit sambil melihat Halilintar. Walau dia memukulnya, tapi Duri tidak melihat kebencian di matanya.
"Kak Duri, aku tahu Kak Duri memang bendul, tapi jangan bendul soal agama ya?" kata Solar sambil menepuk bahu Duri.
"Bagaimana kalau kita nanti belajar sama-sama? Mari kita babat habis semua pelajaran agama seperti aqidah-akhlak, fiqih, hadist, kalau perlu nahwu-sharaf dan tafsir sekalian! Orang islam itu bukan hanya sholeh, tapi juga harus pintar!" tambahnya semangat.
Duri mengangguk. Mata Duri tiba-tiba menangkap sosok Blaze. Anehnya, saat bertatapan Blaze justru memalingkan wajah.
"Kak Blaze?"
"Huh! Kau minta maaf hanya karena Tok Aba menyuruhmu kan?" katanya ketus.
"Hah?" Duri sama sekali tak paham maksud perkataan Blaze.
"Oke, kau sekarang memang minta maaf, tapi setelah itu kau pasti akan tetap menjauhi aku dan Kak Upan. Karena bagimu kami ini teman yang buruk, mengajakmu kepada maksiat, membuatmu masuk neraka dan bla bla bla. Yang layak masuk surga hanya kamu. Orang macam kami ini akan dibakar di neraka," sembur Blaze.
"Kak Blaze, jangan-"
"Sudah, sana masuk surga sendirian. Kakakmu yang bandel lagi bejat ini tak usah diajak," potong Blaze sambil melangkah pergi.
Duri menatap punggung Blaze dengan perasaan kalut dan bersalah. Dia melirik Tok Aba, meminta bantuan.
Tok Aba hanya tersenyum, lalu dengan isyarat mata menyuruhnya mendekati Blaze.
Duri mengangguk, dia tahu apa yang harus dilakukan. Dia langsung mengejar Blaze lalu menarik bajunya untuk menahan langkahnya.
"Ish, kau kenapa sih?!" seru Blaze kesal.
"Aku minta maaf Kak…."
"Maaf maaf! Kau pikir ini hari raya-"
"Bukan, aku minta maaf bukan karena Tok Aba menyuruhku…" potong Duri. "Aku minta maaf… karena membuat perasaan Kak Blaze tersinggung…."
Hening sesaat, sebelum akhirnya Blaze mencubit pipi Duri dengan keras.
"Haduh… syakit Khak Blezh…" rintih Duri.
"Itu hukuman karena kau membuatku kesal," kata Blaze. "Sudah cukup Kak Gem yang suka cerewet soal ini-itu, kau jangan ikut-ikutan."
Duri hanya diam sambil mengelus pipinya yang sakit.
"Lagipula…" Blaze tiba-tiba menyeringai. "Kalau semua orang di dunia ini patuh pada peraturan, dunia ini pasti akan sangat membosankan kan? Jadi bandel sedikit tidak apa-apa dong!"
Duri tersenyum kecil. Perkataan Blaze memang tidak sepenuhnya bisa dibenarkan, tapi semua itu sudah cukup membuktikan bahwa Blaze sudah memaafkannya.
"Yosh, jangan hanya Duri yang jadi sholeh, kita juga harus!"seru Gempa tiba-tiba. "Bagaimana kalau kita agendakan sehari membaca 1 juz Al-Qur'an, One Day One Juz?"
"Uh… jangan langsung 1 juz kak… terlalu banyak…" kata Ice. "Bagaimana… kalau sehari satu halaman dulu? Biar pelan-pelan…."
"Baik, sehari satu halaman. Tapi setiap malam Jumat kita harus membaca Surah Al-Kahfi bersama-sama!" usul Gempa.
"Eh? Buat apa Gem? Ngusir setan?" tanya Halilintar.
"Bukan, Kak Hali. Kan itu sunnah hari Jumat. Katanya orang yang membaca Surah Al-Kahfi di hari itu wajahnya akan bersinar hingga Jumat selanjutnya. Itu bagus kan?" jelas Gempa.
"Wow, jadi itu semacam membuat wajah glowing secara ghaib ya, Gem?" celetuk Taufan.
"GAK BEGITU KAKK!"
Mereka semua pun tertawa. Di balik tawa itu, Duri merasa lega. Walau sempat terjadi pertengkaran, tapi dia lega saudaranya kini mulai selangkah menuju kebaikan.
.
.
.
"Maka dengan rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut kepada mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkan ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal."
[QS Ali Imran (3): 159]
TAMAT
A/N: Anu… ada yang merindukan saya? /plakk
Hweeeee akhirnya setelah hampir setahun aku bisa nulis lagi HOREEEEEEEEE! XD
Btw ada yg nungguin Faith dan Fighter? Stay tuned ya!
Terima kasih sudah membaca fic ini!
REVIEW! REVIEW! REVIEW!
.
.
.
BONUS
"Baik, wahai anak murid kebenaran. Hari ini kita akan belajar tentang sanad dan matan dalam hadist," kata Cikgu Papa Zola memulai pelajaran. "Sebelum itu, Cikgu ingin tahu sejauh mana pengetahuan kalian. Taufan, coba kau sebutkan apa itu matan dan apa contohnya!"
"B-baik Cikgu Papa…" kata Taufan sambil berdiri. Matanya tampak berkaca-kaca, seperti menahan tangis.
Taufan lalu mengeluarkan selembar foto Amy dan berkata, "Matan adalah… seseorang dari masa lalu yang kita tinggalkan, untuk hidup yang lebih baik…" jelasnya sambil terisak.
Seisi kelas pun dipenuhi oleh gelak tawa, sebelum dihentikan oleh pecutan rotan Papa Zola.
"BERANINYA KAU MELAWAK DI KELAS KEBENARAN HAAAAAHH?!" raungnya. "Sekarang keluar! Istighfar 100 kali sambil robek-robek foto MANTAN kamu ituuuuu!"
Taufan mengangguk. Dia pun berjalan keluar kelas. Dari luar, sayup-sayup terdengar suara robekan kertas diselingi isak tangis bercampur istighfar Taufan.
Yaya, teman sekelas Taufan hanya tersenyum kecil. Kalau saja dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Taufan, dia pasti akan ikut tertawa.
'Perubahan seseorang itu perlu waktu kan? Kalau kita mencela orang yang sedang dalam proses, lalu membuat prosesnya terhenti, pasti dosanya besar kan?'
.
.
.
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk."
"Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar."
[QS An-Nahl (16): 125-126]
