Disclaimer/Penyangkalan

BoBoiBoy belongs to Animonsta Studios

I gain no profit from this work whatsoever

.


.

- "Rebahan" -

.

Summary - Siang hari itu, Gempa tiba-tiba mendobrak pintu kamar Ice dengan marah.

.


.

Gempa, sang manajer di rumah Tok Aba tiba-tiba membuka pintu kamar Ice dan Blaze tanpa mengetuk atau mengucapkan salam, yang mana cukup aneh mengingat betapa sopannya Gempa.

Sontak Ice yang kebetulan hanya sendiri saja di kamarnya tanpa Blaze, segera menoleh dari smartphone di tangan. Ia menyaksikan roman wajah Gempa yang seolah hendak menelannya bulat-bulat.

Ice, yang datarnya melebihi Halilintar dan selalu tenang dalam kondisi genting apapun, langsung memucat. Jarang-jarang Gempa tampak semarah ini.

"Ice! Astaghfirullah, dari habis Subuh sampai jam 11 siang kamu diem aja di kamar, ngukur kasur!" semprot Gempa. "Kamu ngapain aja? Mengerami telor? Udah netas belom?"

Ice menaruh gawainya, kedua tangannya terangkat tanda ia minta damai. Gempa sarkas itu langka sekali, apalagi jika ditambah emosi.

"Maaf Kak, kalau kita puasa terus tidur aja atau rebahan seharian itu menghemat energi."

Gempa tampak gemas dan kian jengkel. Ice rasa ia salah ucap.

"Iya, tapi puasanya jadi rugi. Puasa itu kesempatan bikin amal baik. Puasa itu harus capek, Ice! Kalau gak capek, berarti gak paham kenapa harus puasa!"

Ice memainkan jarinya, ia mulai gugup. Habis sudah.

"Tapi, aku beneran gak tau harus ngapain, Kak."

"Kamu bisa ngaji kayak Kak Hali sama Kak Upan, udah khatam dua kali tuh mereka. Atau ikut kajian kayak Solar. Blaze dan Duri aja bantu-bantu di masjid lho, walau kadang suka main petasan! Kamu aja dari awal puasa sampai sekarang cuma rebahan, Ice. Malah binge nonton anime sama drakor ... "

Sang adik tak menjawab, ia sedikit merajuk walau hampir tak terlihat dari wajah datarnya. Untungnya Gempa itu jeli membaca perubahan raut walau setipis benang, membuat amarahnya barusan segera terkuras habis diganti perasaan bersalah sudah mengomeli adiknya.

Gempa menghela nafas lelah dan duduk di sisi tempat tidur sang adik. Ia meraih gawai pintar milik Ice dan menaruhnya di meja bufet sisi ranjang.

"Ice, kalau kamu begini terus, abis Ramadhan ini kamu gak bakalan dapet hikmah apa-apa. Tetap jadi pemalas tanpa terdidik jadi rajin. Gak kenal capek, maunya enak-enakan terus. Gak berubah, segini-gini aja."

Ice diam, hatinya tersengat mendengar tamparan ini. Ia tak menatap Gempa dan hanya mengerutkan alis. Ekspresinya penuh dilema, antara menerima nasihat kakaknya atau tetap meneruskan godaan menonton film dan membaca Webtoon.

Memang dari dulu ia lumayan bandel. Tok Aba sudah menasehati baik-baik, Ice tetap enggan menurut.

Halilintar sudah menegur, Ice tetap keras kepala.

Taufan dan Duri sudah berulang kali mengajaknya beraktivitas bersama di masjid, Ice tetap setia pada ponselnya.

Blaze mengajaknya tarawih berjamaah, Ice tetap asyik menonton video.

Solar mengirim cuplikan kajian, Ice memilih membaca manga.

Akhirnya datanglah Gempa dengan nasehat tegasnya, ia tak berkata manis lagi. Langsung ke poin, tanpa sensor. Kata-katanya seperti mengguyur orang yang asyik tidur dengan air es. Ice akui, ia memang perlu ditampar sesekali agar ia tersadar. Mengapa ia harus marah? Ia tak suka jika egonya terlalu sensitif untuk menerima masukan.

Melihat diamnya Ice dalam renungan muram, Gempa mengerutkan alisnya sedikit. Ia lalu meremas pelan pundak adiknya.

"Maaf juga Kakak sempat emosi tadi. Soalnya Kakak agak ... khawatir. Maafkan ya."

Ice mengangguk kecil, ia mengangkat wajahnya dan balas menatap Gempa. Luluh sudah rasa tersinggungnya barusan saat mendengar permintaan maaf sang kakak.

"Iya Kak. Aku sadar kok kalau ini salah aku ... Kakak hanya mau aku ngelakuin hal baik."

Gempa tersenyum sedikit. Ia memegang longgar pergelangan Ice.

"Tok Aba khawatir soal kamu, Ice. Kita semua khawatir."

"Iya, Kak."

"Jadi, kamu mau ikut kita?" tawar Gempa. "Pelan-pelan aja dulu, yang penting kamu gak berhenti berusaha."

Ice merasa energinya terperah kering. Memang berat menghilangkan rasa malas yang sudah berkerak dan mendarah daging, perubahannya takkan satu malam. Lebih enak diam saja ayun-ayun kaki tanpa berlelah-lelah ketika puasa. Ice sejak dahulu tak pernah menyukai membuang tenaga, ia tahan diam dalam kamarnya tanpa keluar seharian.

Namun Ice rasa sudah masanya ia berhenti menjadi manja dan mulai melawan rasa malas. Mungkin ia akan dikalahkan lagi dengan rasa malasnya, tapi setidaknya ia berniat akan melawan kembali. Apa ia akan seperti ini terus, menukar amal baik dengan rebahan saja?

Apa ia terus menjadi pecundang, berulang kali dikalahkan kemalasannya?

Ice malu melihat saudara-saudaranya melakukan sesuatu yang bermanfaat, sementara ia hanya bolak-balik di ranjangnya dan berkutat di ponsel. Seperti tergerus waktu. Tapi, apa ia kuat melawan rasa malas ini? Apa ia mampu?

Ice melihat Gempa dan hanya menemukan optimisme dari wajah sang kakak. Ia tersadar jika Gempa lebih yakin pada kemampuan dirinya daripada dirinya sendiri. Mengapa seperti itu? Ia saja takut gagal dan lumayan pesimis.

Ice baru saja hendak membuka mulutnya untuk mengeluh ketika ia melihat Gempa tersenyum penuh harap. Ice menahan lidahnya dan tanpa ia sadari, Ice mengangguk kecil dalam afirmasi. Tutur selanjutnya ialah sesuatu yang bertolak belakang dari niatnya semula.

"Oke, tunjukin caranya, Kak."

Kalau ia tak melakukannya seorang diri, mungkin ia bisa.

.


Selesai.


.

Ff ini juga di publish di wattpad, dalam House of Elemental, buku kumpulan kisah singkat para elemental dan Kaizo-Fang.