Halo, di sini Kay!
Cerita ini kembali di-publish dan dibuat sedikit-banyak penyesuaian dalam beberapa adegan pun diksi. Merupakan salah satu cerita yang paling sering saya ubah-ubah susunan alurnya, entah itu karena waktu eksekusi terlalu melenceng dari rencana awal atau tangan saya yang gatal ingin mengedit adegannya. Hiks, harap maklumi saja ya.
.
Disclaimer
All characters of Naruto belongs to Masashi Kishimoto-sensei. And I'm just playing with it.
.
Warning
AU, OOC mungkin, kesalahan ketik, ejaan berantakan tidak sesuai pakem guru bahasa Indonesia saya, cerita pertama waktu masuk ke fandom Naruto, garing-garing kriuk nyes, diksi lebay (nggak maksud ngelawak, tapi memang modelan gaya bahasanya gini), cerita ini berjalan sesuai imajinasi liar saya makanya selalu tidak masuk akal wkwk.
.
Fragmentaris Cerita © 2019 kayaorangbiasa
.
Enjoy!
.
.
Pagi ini, ya, di pagi ini.
Kembali lagi dengan rutinitas kehidupan membawa buku dan alat tulis. Saat ini perang sedang terjadi di dalam kelas dua belas lantai tiga paling pojok kiri, yang bahkan lalat saja tidak mau lewat dan akhirnya balik arah karena hawa di situ terlihat sangat suram—menyimpan suatu kemistisan.
Semua warga di sana bertempur melawan rangkaian kata penuh teka-teki yang memeras otak, mengais rasa iba melalui sinyal mata kepada sang penjaga, memalak rasa solidaritas kawan seperjuangannya, dan berharap mendapat pencerahan energi yang kuat dalam menit-menit terakhir seperti ini.
Lagi pula ide kreatif biasanya muncul saat sedang kepepet, bukan?
Ringisan pasrah terdengar saat bel berdentang mengkumandangkan suaranya yang khas. Tak sedikit anak yang menghela nafas di saat sang pengawas merebut paksa kertas soal dan jawaban. Mencoba untuk ikhlas mereka semua merapikan alat tulisnya, bergegas keluar dari kelas untuk pulang atau mungkin nge-push satu bintang.
Ah, sudahlah. Mari kita pakai prinsip datang, kerjakan, lalu lupakan.
Tak terkecuali Sakura yang niatnya ingin cepat-cepat pulang, "Yang merasa ketua kelas di sini ikut saya ke ruang guru sekarang juga." Akhirnya tertunda karena tuntutan jabatan yang disandangnya. Sialan.
"Kau dengar enggak, Sara?"
"Sakura, Pak," Sakura menggerutu sembari mengambil tasnya di dekat kaki Fugaku, "saya cewek tulen luar dalam depan belakang tengah samping. Huruf Ku-nya jangan dikorupsi dong, nanti masyarakat pada marah."
Fugaku hanya mengibaskan tangan dan menyuruh Sakura untuk mengekorinya. Eits, bukan ke hotel melati tapi ke ruang guru. Memangnya Fugaku om-om apaan mau sama bocah enggak jelas kayak dia?
Tidak butuh waktu yang lama, mereka sampai di ruangan terangker milik sekolah—ruang guru. Fugaku yang pada dasarnya lebih bakat berjalan cepat seperti setan, menyuruh Sakura untuk mendekat ke arahnya lalu menyodorkan sesuatu.
"Harus banget, Pak?" gerutu Sakura sembari menatap selembar kertas dengan robekan tidak elit di tangannya. Iya, tidak elit. Karena, potongan yang tidak simetris bahkan diragukan ada gradiennya.
Fugaku mendelik. "Yang jadi ketua kelas memangnya siapa?"
"Dih, Bapak bawa-bawa jabatan mulu." Sudah biasa~
"Kamu tuh bandel, cepat buat daftar kelompoknya sana! Awas aja kalau sampai enggak dibuat, besok harus ulangan harian ulang."
Yeh, ngancem. Tetapi dia sendiri juga jadi kicep, YAHAAAA!
"Lagian saya tau kalau kamu mau ngajakin Sasuke nge-date besok."
Sakura jelas saja kaget. "Kok?"
Mampus nih, feeling Sakura merasa enggak enak kalau (calon) mertuanya tahu atau sampai berani ikut campur. Duh, trauma mendalam.
"Loh, memang tebakan saya benar?" Fugaku pura-pura berekspresi kaget yang membuat Sakura setengah mati ingin menonjoknya. Tahan.
"Ish."
Ngeselin, bukan? Mirip bapak-bapak WhatsApp, untung saja Fugaku masih belum mengerti cara menyimpan ataupun mengirim stiker. Iya, untungnya belum.
Melihat Sakura yang cemberut, Fugaku hanya terkekeh sembari menyodori pulpen kebanggan. Dapat sponsor dari murid alumni tahun kemarin katanya.
Tentu saja beliau menyuruh Sakura untuk memakai pulpen itu, tak luput memberikan wejangan juga agar Sakura tidak membawanya pulang. Fugaku sudah paham akan bakat maling terpendam dari para murid laknat yang tak tahu adat.
"Ish," gerutu Sakura lagi.
"Mau jadi menantu saya, enggak? Buruan kalo ngerjain amanah dari orang tua."
Sakura memutar bola matanya. "Iya, iya."
Si alien campuran ras kingkong ini akhirnya duduk, tanpa melepaskan ranselnya terlebih dahulu, di kursi sebelah Fugaku yang tidak tahu milik guru siapa. Maklum, lagi pula tempatnya kosong. Dia mulai mengerjakan tugasnya dengan membagi anak kelas dalam beberapa kelompok untuk praktik minggu depan.
Sebenarnya, Sakura sudah disuruh melalui perantara salah satu temannya dari dua hari yang lalu, berhubung dia malas ke ruang guru dan kebetulan tidak ada jadwal pelajaran Kimia (sebelum hari ini) jadinya dia memilih untuk mangkir beberapa saat. Dasar anak kurang ajar.
Lagi pula seru juga main kucing-kucingan dengan Fugaku, meski ujungnya bakal tetap ditarik seperti saat ini sih ...
Sakura merasakan ponselnya bergetar di saku rok, tapi dia memilih untuk menghiraukannya dulu. Ngeri acaranya dengan Sasuke hancur berantakan.
Yah, siapa lagi kalau bukan sama biang, bokap, calon mertuanya, juga guru yang sedang mengunyah gummy bear di sampingnya. Ngeri sekali, saudara-saudara. Paket lengkap sekali jabatan Fugaku ini, enggak mau sekalian tambah minuman soda?
Sakura berani bersumpah. Selama tujuh belas tahun hidupnya, dia tidak pernah berharap punya pacar yang bokap-nya kebetulan menjadi RT di komplek perumahan sekaligus guru Kimia di sekolahnya. Ditambah punya calon mertua yang jahil dan mantan preman seperti Fugaku, Sakura terang-terangan saja kalau dirinya sama sekali tidak berharap seujung kuku pun.
Apalagi sudah menjadi rahasia umum kalau Fugaku dinobatkan menjadi guru kedisiplinan melihat pembawaannya yang tegas dan berwibawa seperti bos mafia. Musuh besar ini, bos level terakhir. Membuat Sakura menambahkan poin minus besar dalam buku penilaian kriteria mertua idaman. Mungkin sebentar lagi Fugaku akan dimasukkan ke dalam daftar hitamnya atau bisa juga Death Note. Hmm, sepertinya ide yang terakhir lebih menarik dan cocok sesuai dengan keinginan terselubungnya.
"Selesai."
Sakura menekan pulpen yang digunakannya saat membuat titik sebagai akhir penderitaan. Kemudian, menoleh berseri sembari tersenyum sok manis ke arah Fugaku yang menyuruhnya untuk diam sebentar.
Oh, lagi telepon.
"—Sekarang jangan panik dulu, Papsky nanti nyusul ke sana." Fugaku mengakhiri teleponnya, mungkin takut pulsa si peneleponnya habis. Siapa tahu dia sobat missqueen seperti saya, kalau si jendral besar sih menganggap pulsa tidak menjadi hambatan. Persetan dengan segala ketidakadilan dunia ini.
Sakura mengernyitkan alis, menganggap agak sedikit aneh saat mendengar gelar 'Papsky' yang disandang Fugaku. Oke, jadi ini yang dinamakan plot twist yang menyeleneh dalam pengetikan cerita saya? Ah, sudahlah.
Fugaku sempat termangu dan terlihat sedikit pucat, Sakura menebak pasti ada kabar buruk yang terjadi. Apa anjing peliharaannya mati diserang negara Api atau pihak Sekutu? Tidak ada yang tahu.
Tanpa banyak kata, beliau bergegas menghampiri meja kepala sekolah meminta izin entah untuk apa dan disetujui. Yah, secara fisik memang kepala sekolah itu tentu kalah kalau dipaksa bertarung di atas ring dengan Fugaku. Lagi pula orang normal mana sih yang mau di-smackdown sama manusia yang sudah memiliki sabuk hitam dari umur 8 tahun? Terutama kalau mereka sampai berani menghalangi keinginan jelmaan Pablo Escobar itu, yah siap-siap disikat habis sudah.
Sampai detik ini Sakura masih tidak mengerti, memilih untuk berdiri diam dengan kertas daftar kelompok yang masih digenggam. Menatap Fugaku yang sedang membereskan barang serta mengambil tasnya. Ah, dia tidak melupakan pulpen mahalnya. Sial.
"Sara, ikut Bapak sekarang. Penting."
Sakura mendelik.
"Oke, Sara yang ada huruf Ku-nya," ralat Fugaku sembari mengecek jam lewat ponselnya, "ayo, menantu saya yang lain pasti sedang sedikit panik di rumah sakit."
