Lampu Merah self-challenge
"30 days (harusnya) of otp/random fics"
.
.
.
Prompt 5: Scar worship
.
Title: yang tak bisa hilang
Pair(s)/Character(s): LeoRook/ReoRuku
.
.
.
Terbangun di jam empat pagi tampaknya sudah jadi kebiasaannya sekarang. Di tengah kegelapan yang masih menyelimuti, matanya hanya mengerjap dan berusaha mendapat cahaya sekecil apa pun. Selain kebiasaan bangun subuh yang muncul entah karena apa, ada lagi kebiasaan lainnya yang lama-lama jadi favorit.
Menyentuh bekas luka yang membentuk garis panjang di wajah kiri sang kekasih. Luka itu terbentuk dari atas mata sampai ke pipi bagian atas. Dirinya memang sudah sangat mengagumi bekas luka yang jadi tanda "pertarungan" dari seorang predator sejak lama. Namun, baru belakangan ini ia memperhatikannya dengan seksama bahkan sampai menyentuhnya.
Tak ada yang kasar, tentu saja. Luka itu sudah sangat lama mengering. Rasanya sudah sangat menyatu dengan bagian kulit di sekitarnya. Yang tertinggal hanya bekasnya yang berwarna coklat gelap dan—
"Oi." Ah, mungkinkah ia terlalu asik menyentuh bekas luka itu sampai lupa untuk berhati-hati? Sungguh tidak bisa dimaafkan, membangunkan seorang pangeran singa dari tidur lelapnya.
Si "pengagum" melempar senyum lembut. "... Selamat pagi, Roi du Leon. Masih gelap, lebih baik kau tidur lagi."
"Bagaimana bisa? Kau terus menyentuhku," protesnya. "... Dua minggu ini, kalau aku tidak salah hitung. Kenapa? Kau tidak enak badan atau semacamnya, jadi suka bangun jam segini?"
"Eh? Mana mungkin!" Rook Hunt menjauhkan tangannya dari wajah sang pangeran dan menyembunyikannya di balik selimut. "Aku ... aku hanya suka terbangun. Itu saja. Aku masih merasa sehat bugar, tidak ada yang sakit."
Leona Kingscholar hanya mendengus. Tangannya ikut masuk ke dalam selimut, mencari-cari apa pun yang ada di sana, dan menggenggam erat tangan seorang pemburu yang tadi sempat disembunyikannya. "Bagus kalau begitu, tapi kenapa kau menyentuh dan memandangi lukaku terus?"
Masih dengan senyum, Rook menggelengkan kepala. "Nothing, I just want to touch it. Aku juga ada di punggung, tapi karena di punggung, orang lain tidak akan bisa melihatnya langsung. Kalau Leona-kun ... bisa ada di wajah begitu, apa tidak terganggu?"
"Kau ini ..." Leona mengacak rambut pirang itu gemas. "Tadi bilang cuma pengin sentuh, tapi sekarang malah bertanya soal apa aku terganggu atau tidak dengan lukaku. Jadi sebenarnya, maumu yang mana?"
"Haha! Maaf, maaf." Rook melepaskan genggaman dalam selimut mereka dan menghentikan gerakan tangan Leona yang masih terus mengacak rambutnya dengan brutal. "Huuuh ... rambutku jadi makin berantakan sekarang."
"Rasakan itu," balas sang pangeran dengan senyum miring. "... Kau mau tahu?"
"Tahu apa?"
"Soal lukaku, bodoh. Tadi kau yang tanya, kan?"
Rook tertawa lagi. "Kupikir kau mau mengganti topik."
Leona tidak membalas dan menghela nafas. Ia membiarkan matanya bertemu dengan Rook beberapa saat, sebelum akhirnya bercerita, "... Jujur saja, aku tidak pernah merasa terganggu, bahkan sejak pertama kali aku mendapatkan luka ini. Aniki ... Raja Farena yang justru bicara tiada henti, khawatir akan keadaanku. Namun aku tidak peduli, toh keberadaan luka ini menjadi bukti kalau aku lelaki jantan."
Kernyitan muncul di dahi Leona ketika melihat Rook yang malah memanyunkan sedikit bibirnya. "Tidak juga. Laki-laki tanpa luka, bukan berarti mereka tidak jantan, Leona-kun. Semua orang punya kisahnya masing-masing dan itulah keindahan mereka. Kalau untuk Leona-kun—dan aku, keindahan kita termasuk dari bekas luka yang ada di tubuh."
"Tsk ... masih pagi sudah dapat ceramah." Kali ini giliran rambut Leona yang diacaknya sendiri. "Iya, iya, maaf. Aku tahu kau sedang membela Vil atau idolamu yang anak RSA itu. Siapa namanya? Blanch?"
"Neige LeBlanche. Namanya dalam bahasa Perancis dan artinya salju putih, bukan pucat."
"Mana peduli." Leona mencubit hidung Rook dan menolak melepasnya saat ia kembali bicara, "Kenapa jadi ke mana-mana, sih? Aku selalu tidak bisa bicara lurus kalau sedang denganmu."
Rook melepaskan tangan yang menahan saluran pernafasannya. Bibirnya kian maju sekarang. "Itu karena kata-kata Leona-kun yang memancingku."
"Mau tahu lagi atau tidak lanjutannya?"
"Mau!"
Helaan nafas lainnya Leona keluarkan. "... Nggak jadi."
"Heh?! Kenapa?!"
"Nggak kenapa-kenapa." Sang singa meregangkan tubuhnya dan bangun. Ia menguap dengan besar, sebelum menarik Rook keluar dari selimut dan membawanya turun dari kasur. Menggendongnya di depan—seperti anak kecil, Leona membawa tubuh sang kekasih hingga masuk ke kamar mandi.
Rook yang bingung harus bagaimana hanya diam, membiarkan Leona melakukan apa pun yang ingin dilakukannya, sampai akhirnya ia diturunkan tepat di dalam bathtub. "... Mandi?"
"Ya," jawab Leona singkat. Ia sibuk membuka keran dan mengatur panasnya air. Dalam sekali jentikan jari, pakaian mereka sudah tanggal dan kini keduanya telanjang bulat.
"Kebetulan sekali aku bangun jam segini. Nanti jam tujuh sudah harus berangkat kerja," terang Leona sambil ikut masuk ke bathtub dan duduk di atasnya. Kakinya diluruskan, membiarkan Rook mengikuti instingnya untuk duduk di tengah-tengahnya, dan ternyata langsung dilaksanakan.
Mereka saling berhadapan dalam diam. Air hangat di sekeliling mereka rupanya lebih seperti embun pagi hari yang membuat keduanya menggigil. Meski begitu, tak ada yang bergeming satu pun dari keduanya. Terus diam, hingga kemudian Rook mengulurkan tangannya untuk menyentuh bekas luka itu lagi.
"... Pasti sakit."
"Saat pertama kali dapat, ya, jelas sakit." Leona memejamkan mata, merasakan elusan lembut dari jemari halus milik orang terkasih. Diam-diam singa itu tersenyum. "Ibuku pernah bilang; kalau kau mencium luka yang baru kau dapat, maka lukanya akan cepat sembuh."
Rook ikut tersenyum mendengarnya. "Romantis ..." Balasan dari Leona hanyalah anggukan, sebab singa itu masih terus menikmati setiap kehangatan yang perlahan masuk ke dalam tubuh. "... Mau kucium?"
"Justru itu kodeku."
Rook tertawa pelan, lalu kedua tangannya menangkup wajah tampan di hadapan. Ia tidak langsung melaksanakan apa yang Leona pinta. Menempelkan dahi menjadi pilihannya terlebih dahulu. Matanya ikut terpejam, nafasnya teratur, dan tubuhnya mulai menghangat—seperti apa yang Leona rasa. Saat matanya terbuka kembali, rupanya Leona juga melakukan hal yang sama. Cahaya hijau itu saling bertubrukan, kemudian Rook mengecup pelan bekas luka yang berada di bawah mata Leona, membuat singa itu kembali menutup cahaya hijaunya.
Kecupan itu berlangsung cukup lama, dan rasanya dingin. Sepertinya Rook masih belum cukup dapatkan kehangatan. Mengetahui itu, Leona menekuk kedua kakinya, sementara kedua tangannya berada di pinggang Rook dan menariknya mendekat. Kakinya mengapit tubuh yang ternyata memang sedang kedinginan itu.
Rook cukup terkejut dengan apa yang dilakukan Leona, tapi dia memilih diam. Kecupan di bagian bawah mata ia sudahi, kini bibirnya merangsek naik. Bekas luka yang terdapat tepat di atas kelopak mata menjadi tujuannya. Bulu mata lentik milik Leona menggelitik bibirnya sekilas. Ia pun tersenyum.
Dari kelopak, kecupannya naik lagi dan sekarang berada di bagian terujung. Saat sampai di sana, Rook memeluk leher sang pangeran. Sesekali tangannya menyentuh surai coklat tua itu dan membiarkannya basah oleh air hangat. Hanya dengan melakukan itu, tanpa disangka, hatinya sudah sanggup dibuat berbunga-bunga.
Begitu kembali ke dunia setelah beberapa menit dihabiskan hanya untuk menikmati setiap sentuhan yang diberikan Rook, Leona menggerakkan jarinya di punggung tubuh yang ada dalam dekapannya dengan gerakan yang cukup membuat Rook tersentak kaget. Leona terus menggerakkan jarinya di sana, seakan tengah mencari sesuatu. Namun, mau dicari sampai berapa lama pun, hal yang diinginkan tidak akan bisa ditemukan.
"... Ge-geli, Leona-kun," keluh Rook pelan seraya menggoyangkan pinggulnya, berharap Leona menghentikan gerakan itu.
Leona hanya tersenyum. Cahaya hijaunya kembali dipertemukan dengan milik Rook. "Aku mau cari lukamu juga, biar bisa kucium."
"..." Tubuhnya tak lagi menggigil. Bukan, bukan karena hangat, justru karena panas. Sekujur tubuhnya merasakan panas aneh yang dia tak tahu apa. Mungkin penyebabnya sama dengan apa yang membuat jantungnya berdetak gusar. "... Lain waktu saja. Sekarang kita fokus mandi supaya cepat keluar dari sini. Aku kedinginan."
"Tapi muka dan badanmu merah begini. Tandanya kau tidak kedinginan, kan?"
Rook tidak menjawab, malah mencipratkan air yang ada di sekeliling mereka. "Ini masih pagi buta, Leona-kun. Dilarang bercanda."
Leona mendengus. "Iya, iya. Jangan ceramahi aku lagi, Tuan Putri."
"Jangan panggil aku begitu, berapa kali sudah kukatakan?"
Bukannya minta maaf, Leona justru tertawa dengan puas. "Manis sekali ... kau 'menyembuhkan' luka yang bahkan sudah sembuh dari bertahun-tahun lalu." Gerakan tak nyaman yang tadi sempat Leona berikan, berubah menjadi elusan lembut, selembut yang Rook berikan padanya.
"..." Sembari menikmati sentuhannya, Rook kembali mengecup bekas luka yang berada di pipi bagian atas. "Lukanya mungkin sudah sembuh, dan rasa sakitnya juga sudah lama hilang. Namun kau akan memiliki bekasnya sampai mati, menjadi tanda bahwa kau tidak diizinkan untuk melupakan rasa sakit yang pernah kau dapat ketika lukanya belum sembuh."
Senyuman Leona tidak lagi menyebalkan seperti yang biasa ia tunjukkan. Kali ini senyumannya terasa hangat dan menenangkan. "... Kau benar. Aku tidak akan pernah bisa melupakan hari itu."
"Aku memang tidak tahu penyebab kau mendapatkan luka ini," Rook menangkup wajah Leona lagi dan ia kembali mempertemukan dahi mereka, "tapi jangan jadikan ini halangan untuk terus maju. Kau dengar aku? Jadikan luka ini sebagai pendorong karena kau harus tahu kalau aku ada di sini." Rook menarik nafas sebelum meneruskan, "Selama aku ada di sisimu, aku tidak akan membiarkan kau mendapatkan luka yang sama untuk kedua kalinya. Tidak akan."
Leona masih terus mempertahankan senyumannya. "Ya ... ya, terima kasih sudah mau menemaniku."
"Tentu saja." Rook mencium bibir sang singa sekilas sebelum bangun dan meraih shower yang ada di atas mereka. "Berbalik, biar kucuci rambutmu."
"Hei, aku nanti mau kerja? Bagaimana bisa aku masuk kantor Aniki dengan rambut basah?"
"Oya? Sekarang Leona-kun sudah peduli dengan kerapian ketika masuk ruangan Yang Mulia Raja?"
Pangeran kedua itu mendecakkan lidah. Tak ada protesan lanjutan, dan dia akhirnya menuruti perkataan Rook. Rook yang terduduk di pinggir bathtub tertawa pelan. Di tangannya sudah ada sampo yang biasa Leona pakai. "Nanti kukeringkan. Tidak sampai setengah jam, aku janji," katanya rendah di dekat telinga berbulu nan lucu itu saat tangannya sudah mulai membasuh rambut itu dengan sampo.
Leona memutar bola matanya. "Kugigit kau kalau tidak kering."
"Fufu. Kau justru membuatku ingin tidak mengeringkannya."
"... Dasar aneh." Meski kedengarannya Leona mengambek, sebenarnya dia justru senang. Dibuktikan dengan rona tipis di pipinya yang muncul, juga senyuman yang sama yang terukir kembali di bibirnya.
