Melihat si kakak tertua bermasalah dengan pengendalian emosi, Gempa berinisiatif untuk membantu. Sebuah cara pun dicoba oleh Gempa untuk membantu Halilintar. Sayangnya ada saja hambatan, apalagi mengenal Blaze dan kejahilannya.
Disclaimer Dan Author Note
-Boboiboy dan seluruh karakter yang terkandung di dalamnya adalah milik pemegang hak cipta, saya hanya pinjam karakter-karakternya. Tidak ada keuntungan materi yang saya dapatkan dari fanfic ini.
-BUKAN YAOI, BUKAN SHOUNEN-AI. Elemental sibblings, AU, tanpa super power, OOC (mungkin ?).
-Dalam fanfic ini umur karakter utama adalah sebagai berikut dari yang tertua:
-BoBoiBoy Halilintar: 18 tahun
-BoBoiBoy Taufan: 18 tahun.
-BoBoiBoy Gempa: 18 tahun.
-BoBoiBoy Blaze: 17 tahun.
-BoBoiBoy Thorn/Duri: 17 tahun.
-BoBoiBoy Ice: 16 tahun.
-BoBoiBoy Solar: 16 tahun.
-BoBoiBoy FrostFire: 13 tahun.
-BoBoiBoy Glacier: 13 tahun.
-BoBoiBoy Supra: 13 tahun.
.
Puasa Hari Ketiga Belas.
.
Walau masih jauh dari cakrawala, sang surya sudah terlihat mulai condong ke arah barat. Citra gelap yang tercipta dari benda yang tersentuh cahaya matahari pun semakin panjang condong ke arah timur.
Termasuk dua orang bersaudara yang sedang berada di halaman belakang rumah mereka ...
Gempa bersama Halilintar sedang mengambili pakaian yang sudah kering setelah dijemur di bawah teriknya matahari di atas Pulau Rintis. Memang saat itu bulan puasa namun bukan berarti tanggung jawab berhenti. Sebaliknya, Gempa malah terlihat jauh lebih antusias ketika bulan puasa.
Berbeda lagi dengan Halilintar. Memang dia tetap menjalankan tugas dan tanggung jawabnya namun tugas dan tanggung jawab itu dikerjakan dengan lebih santai daripada biasanya. Semua itu terlihat dari jumlah pakaian bersih dan kering yang dikumpulkan Halilintar, yang jumlahnya lebih sedikit daripada yang dikumpulkan Gempa.
"Istirahat dulu Gem," ucap Halilintar. Dia menyeka keringat di wajahnya dengan menggunakan bagian bawah baju yang melekat di tubuhnya. Keranjang berisi pakaian bersih yang dibawanya diletakkan di dekat pintu rumah.
"Ya, aku juga capek." Gempa mengangguk dan meletakkan keranjangnya yang berisikan pakaian bersih di dekat keranjang Halilintar.
Kedua kakak beradik itu langsung duduk berdampingan bersandarkan tembok rumah. Sebisa mungkin mereka berdua berlindung dari sengatan cahaya matahari yang terasa membakar kulit.
"Hali ...," panggil Gempa seraya melirik ke arah si kakak.
"Hm?" gumam Halilintar tanpa menoleh ke arah Gempa.
Cara Halilintar menjawab itu sama sekali tidak berkenan bagi Gempa. "Astaga, kamu masih kesal dengan Taufan gara-gara masalah kemarin?" lanjut Gempa bertanya.
Halilintar mendengkus dan membuang muka. "Menurutmu?"
"Kamu terlalu paranoid, Hali." Gempa menggelengkan kepalanya sebagai perwujudan tanda ketidak setujuan Gempa akan labilnya emosi Halilintar di bulan puasa itu.
"Mungkin kamu ada cara lain, Gem?" tanya Halilintar dengan nada seperti menantang.
"Ada!" Sebuah senyuman lembut terpampang di wajah Gempa. "Aku punya cara untuk mengalihkan emosimu itu. Tunggu sebentar."
"Hah?" Halilintar tercengang melongo selagi melihat Gempa mendadak bangkit dari duduknya. Tatapan netra merah delima Halilintar tetap tertuju kepada Gempa yang berjalan masuk ke dalam rumah.
Entah apa yang dibuat Gempa. Halilintar hanya mendengar suara-suara dentingan gelas yang beradu dengan sendok dari dalam dapur. Setelah beberapa menit, Gempa kembali dengan membawa sebuah gelas dan sedotan.
"Apa itu?" Halilintar menatap gelas berisikan cairan berwarna hijau yang dibawa oleh si adik.
Gempa tidak langsung menjawab. Dia mencelupkan sedotan yang juga ia bawa ke dalam gelas berisikan cairan hijau yang ia pegang. Setelah dicelupkan, sedotan itu ditiup ujungnya yang masih kering.
Puluhan gelembung busa segera beterbangan dengan indahnya dari ujung sedotan yang ditiup oleh Gempa. warna-warni kilauan pelangi terpancar dari permukaan gelembung-gelembung yang terbang terbawa oleh hembusan angin.
"Nah, katanya meniup busa sabun begini bisa mengurangi stress lho." Gempa menyodorkan sedotan dan gelas yang ia bawa kepada Halilintar. "Cobalah."
Halilintar diam saja selagi ia menerima gelas dan sedotan dari Gempa, yang kini melangkah kembali masuk ke dalam rumah. Beberapa saat lamanya Halilintar mengamati gelas berisikan air sabun di tangannya dengan penuh keraguan.
Dengan penuh keraguan di dalam batinnya pula Halilintar akhirnya mencoba cara yang disarankan Gempa. Sebentar saja puluhan gelembung busa sabun beterbangan dari ujung sedotan yang ditiup oleh Halilintar. Entah mengapa, Halilintar merasakan sebuah kepuasan aneh ketika ia melihat kilauan pelangi pada permukaan gelembung busa sabun yang terombang-ambing terbawa hembusan angin.
Sayangnya kepuasan yang tengah dinikmati Halilintar tidak berlangsung lama karena sebuah cekikikan cempreng terdengar menyengat indera pendengaran Halilintar.
"Pffttt ... Macam anak SD saja mainan busa sabun!" celetuk seseorang dari arah pintu rumah.
Halilintar memutar bola matanya ke atas. Tanpa menengok pun dia tahu siapa si empunya suara cekikikan dan celetukan itu. "Blaze ..."
Benar saja, Halilintar menemukan Blaze sedang bersandar di ambang pintu belakang rumah dengan cengiran jahil ekstra lebar.
Tatapan manik netra merah delima Halilintar bergulir dari gelas, sedotan lalu kepada Blaze. Perlahan tapi pasti, Halilintar pun berjalan mendekati Blaze
"Eit, puasa, Kak Hali ngga boleh marah, nanti batal," ledek Blaze dengan cengiran dan tatapan mata yang semakin jahil.
Mendadak sebuah cengiran jahil yang amat sangat jarang terlihat muncul mengulas di wajah Halilintar. Sejujurnya, cengiran jahil Halilintar itu membuat Blaze terkejut.
Pantas kalau Blaze terkejut karena Halilintar mendadak mencelupkan sedotan yang dipegangnya ke dalam air sabun. Tanpa memberikan Blaze kesempatan bereaksi, Halilintar meniup sedotannya.
Malangnya bagi Blaze, ujung sedotan yang ditiup Halilintar itu terarah tepat ke wajahnya.
Dan ...
"HUAAAAA! MATAKUUU!" Pecahlah jeritan serak parau Blaze. Gelembung busa sabun yang ditiup oleh Halilintar mendarat di mata Blaze.
Terbutakan oleh gelembung busa sabun dari Halilintar, Blaze berlarian kesana kemari mencari keran air. Malangnya, dia tidak dapat melihat kemana arah kakinya melangkah. Sebentar saja Blaze tersandung oleh kakinya sendiri dan menggelepar-gelepar di atas rumput halaman belakang rumah sembari mengucek-ngucek matanya yang terasa perih.
Jeritan Blaze yang cetar membahana itu kontan menarik perhatian Gempa yang berada di dalam rumah.
"Hali ..." Sembari bertolak pinggang laksana ceret di ambang pintu rumah, Gempa menggelengkan kepalanya.
"Heh ... heh ... heh ...," kekeh Halilintar, yang kini tersenyum sinis ekstra lebar. "Manjur juga saranmu Gem."
Gempa yang merasa pusing mendadak hanya bisa menepuk dahi. Dengan bijaknya, dia memilih untuk kembali ke dalam rumah dan memasak takjil untul buka puasa.
Dan sejak saat itu Gempa bersumpah untuk tidak ikut campur dengan manajemen emosional Halilintar ...
.
.
.
Tamat.
Terima kasih kepada para pembaca yang sudah bersedia singgah. Bila berkenan bolehlah saya meminta saran, kritik atau tanggapan pembaca pada bagian review untuk peningkatan kualitas fanfic atau chapter yang akan datang. Sebisa mungkin akan saya jawab satu-persatu secara pribadi.
Sampai jumpa lagi pada kesempatan berikutnya.
