H E L L O

Part 1 : Si Pemuda Seragam Cokelat


Cerita ini hanyalah fiksi. Murni imajinasi saya sebagai penulis. Cast semata-mata dibuat untuk kepentingan cerita dan tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan pribadi mereka.

Jika ada kesamaan cerita, itu murni ketidaksengajaan dan saya tidak mentoleransi segala jenis plagiarisme.

E N J O Y ! !

.

.

.

Park Chanyeol. Pemuda berpostur tinggi, berahang tegas, pemilik perpaduan sepasang oniks legam dengan tulang hidung yang sempurna dan bibir berdefinisi sexy.

Semua orang tahu bahwa Chanyeol merupakan musisi muda yang luar biasa, figure yang beberapa tahun belakangan ini menyita banyak atensi masyarakat pecinta musik. Dia merupakan representasi dari sebuah gagasan bahwa perbandingan umur bukanlah stigma yang berhasil menghentikan langkah sebuah karir. Chanyeol telah meraih puluhan penghargaan kompetisi musik meski dia masih berada di bangku sekolah menengah atas.

Suara kereta cepat memecah lamunan Chanyeol. Fantasi hebat idealnya yang telah dibangun beberapa menit lalu hancur berkeping-keping sehingga menimbulkan decakan kesal dari bibirnya.

Kaki jenjang berbalut celana katun hitam itu melangkah memasuki kereta begitu deresi kuda besi berhenti. Kereta cepat saat sore hari selalu penuh setiap harinya. Setiap banjar tempat duduk tidak menyisakan sedikit saja ruang sehingga dia harus berdiri dan bersandar pada sisi kereta. Lalu seorang pemuda berseragam cokelat tortilla masuk, berdiri di sampingnya dan ikut bersandar pada sisi kereta. Si pemuda seragam cokelat itu memasang earphone dan memejamkan kelopak matanya sampai-sampai Chanyeol bisa melihat seberapa lentik bulu mata itu.

Waktu bergulir cepat, sedikit demi sedikit penumpang kereta di deresi itu turun di stasiun tujuan. Chanyeol membenahi tas gitar miliknya yang merosot, lalu mengeluarkan ponsel dan memasang sebelah earphone-nya.

Oniks itu bergerak-gerak memerhatikan pegangan kereta berwarna putih gading yang bergoyang-goyang karena guncangan kereta. Warna oranye langit melukiskan suasana tenang pada hatinya sebagaimana seorang seniman menorehkan seni di atas kanvas. Bermimpi menjadi seorang musisi bukanlah mudah untuk Chanyeol. Orang tuanya merepresifkan dan dengan begitu keras kepala menawarkan masa depan pebisnis muda, seseorang yang akan melanjutkan laju bisnis komersial keluarga—atau sekedar akuntan. Ada banyak masa-masa sulit yang harus dilewati supaya gitar cokelat miliknya bertahan. Dipertahankan meskipun harus berdebat sengit dengan ayahnya sendiri.

Chanyeol menggelengkan kepala, menolak mengingat penyebab beban di atas pundaknya. Sekilas dia melirik arloji di lengan kirinya, memastikan dia akan datang tepat waktu atas janji makan malam dengan keluarganya.

Deresi kereta semakin sepi karena mayoritas umum telah turun di stasiun kota-kota besar, pasak-pasak pagoda ekonomi negara. Di tengah lamunan kosong Chanyeol mendengar gumaman senandung samar-samar dari si pemuda di sampingnya. Siswa sekolah menengah atas—dia membuat gagasan singkat dari visual—yang menikmati musik, sesekali bibir itu tergerak seperti berbisik kepada udara tenang deresi kereta cepat, bernyanyi lewat bisikan dengan mata terpejam.

Chanyeol tidak benar-benar paham. Seakan eksistensi kekuatan elusif memenjarakan jiwa dan seluruh inderanya, Chanyeol berhenti mendengarkan musiknya sendiri—menekan tombol berhenti di layar ponsel—bergerak mendekat, mendengarkan senandung bisik yang semakin sering terlafal.

Bukanlah suara paling merdu seantero jagat raya. Hanya gumaman lembut yang manis dikemas dengan kesederhanaan melodi. Chanyeol bisa merasakan setiap pesan yang tersampaikan.

Bukan tipe lagu yang biasa didengarkam setiap hari sampai-sampai dia tidak sadar telah hafal luar kepala. Itu merupakan genre lagu blue yang sama sekali bukan tipenya.

Chanyeol perlahan-lahan ikut memejamkan mata, euforia membentuk begitu banyak awan berwarna pastel bermetafora kapas, menemani bentangan lembayung oranye kemerahan yang indah di atas laut. Desir ombak yang semakin menjadi tenang dan diam di sore hari, aroma garam laut yang menyeruak hidungnya dengan pesisir keemasan sepi telah secara implisit menekankan perasaan hilang dan keputus-asaan.

Sekali lagi, senandung bisik halus menghantarkan Chanyeol kepada berdirinya tembok ilusif. Tembok nisbi pembatas kenyataan dan bayangan utopis.

Instruksi suara yang keluar dari pengeras suara kereta sama sekali tidak berhasil mendistraksi Chanyeol. Dia telah hanyut dalam senandung ringan si pemuda seragam cokelat di sebelahnya. Pemuda bersurai kelabu yang halus seperti permen kapas itu masih berbisik kepada angin; dia mungkin marah dan menyumpahi Chanyeol ketika sadar bahwa orang asing telah diam-diam menguping.

Sementara waktu tidak pernah beristirahat, kereta cepat berhenti tepat waktu di stasiun berikutnya. Sepasang oniks itu terbuka paksa karena mendapati alunan itu tidak terdengar lagi. Pemuda itu—siswa berseragam cokelat, bersurai kelabu yang memikul tas navy polos dan gantungan kunci berbentuk L di sisi tasnya—Chanyeol baru mendapatkan fungsi otaknya lagi.

Dongkol. Chanyeol tahu setidak-tidaknya dia harus berhenti diam-diam menguping dan mengabaikan eksistensi si siswa seragam cokelat. Tapi dia juga sedikit banyak berharap bisa berteman dengan orang itu. Topik yang ringan dan netral akan bisa membantunya mendapatkan pengetahuan—jawaban—tentang apa yang si seragam cokelat itu alunkan. Seharusnya dia tidak membiarkan otaknya kacau. Semua itu terjadi begitu cepat, dan Chanyeol tidak tahu mengapa dia kini menyesal.

Pintu kereta tertutup otomatis. Chanyeol mencari-cari pemuda itu dari balik jendela pintu kereta. Dia tidak terlalu yakin bisa menemukannya karena mayoritas massa di sana merupakan konstelasi pekerja kantoran. Chanyeol mengusak rambutnya frustasi, dan pertanyaan sederhana menyeruak memenuhi otaknya; Siapa namanya? Kenapa dia merasa telah memiliki hubungan yang rumit dengan orang asing itu? Dan yang terpenting, mengapa dia tidak bisa menghapus keteringatannya kepada suara alunan bisik itu?

Kereta kembali melaju konstan sementara keadaan berubah semakin gelap di luar. Chanyeol memasang earphone-nya; sebuah usaha untuk melupakan si seragam cokelat dan senandung bisik yang perlahan-lahan membuat jantungnya berdegup-degup aneh. Musik RB merambat elegan, tapi Chanyeol masih teringat senandung bisik si pemuda seragam cokelat itu. Mereka terngiang jauh di dalam kepalanya; mungkinkah dia telah mulai berdelusi?

Otaknya berpikir keras dan menemukan konklusi bahwa dia telah sangat tertarik pada apa yang disenandungkan pemuda asing sebayanya itu. Dia memutuskan menyimpan potongan bisikan bermelodi di kepalanya karena dia gagal menyingkirkan itu; dan dia semakin penasaran!

Jika saja Chanyeol bisa menemukan akordnya, dia akan semakin dekat dengan judulnya, penyanyinya, dan mungkin saja dia bisa berhenti gelisah—kegelisahan aneh yang muncul hanya karena sebuah lagu.

Rasa tidak sabar semakin dirasakan Chanyeol karena perjalanan kereta cepat yang seharusnya mempersingkat waktu semakin menjadi lamban. Chanyeol sangat tahu jantungnya menggila. Obsesi astral menuntunnya menuju keresahan jiwa tak berujung. Dia semakin banyak berharap menjadi lebih cepat berada di rumahnya dan segera memainkan gitar untuk akord yang tepat.

Lima belas menit Chanyeol berdiri mengetuk-ngetuk lantai kereta dengan sepatunya, sesekali berdecak kesal. Ketika instruksi suara terdengar, Chanyeol langsung memposisikan dirinya di depan pintu otomatis. Bahkan dia mengabaikan tatapan para pengguna kereta cepat yang kebingungan. Pintu kereta terbuka lebar dan Chanyeol berlari keluar secepat mungkin sebelum senandung bisik sederhana itu telah semakin mengendalikan otak dan tubuhnya lebih jauh. Chanyeol membuka pintu rumah dengan tergesa dan mengabaikan seruan tidak terima dari Ibunya. Chanyeol melempar tasnya, membuka resleting tas gitar dan mulai memetik senar gitar. Mengulangi setiap senandung yang diingatnya seperti orang tolol, berkali-kali memetik akord yang berbeda untuk menemukan bagian yang tepat supaya dia bebas dari kemenyesalannya.

Beberapa akord telah ditemukan sementara sejumlah yang lain masih terdengar ambigu. Chanyeol tetap memetik senar-senar itu dengan jemarinya untuk mencari setiap kemungkinan dan mengerahkan kemampuan gitarnya yang tidak seberapa hanya untuk rasa penasaran yang mahal. Dua puluh menit berlalu. Chanyeol stagnan, menatap jendela yang berada tepat di hadapannya. Dia tidak begitu tahu sejak kapan dia punya obsesi gila pada sebuah lagu.

Sepasang oniks itu bergulir ke arah lembaran kertas yang dia pegang, lalu dia memainkan akord-akord itu. Suara si seragam cokelat, Chanyeol tidak punya clue sama sekali mengapa suara itu bisa sangat membekas di ingatannya. Mereka terlantun begitu jernih sebagaimana orang itu bernyanyi di sampingnya saat ini.

"Chanyeol, apa semua baik-baik saja?" itu suara Ibunya yang khawatir.

"Semua baik-baik saja, bu."

Chanyeol menjawab tanpa berpikir perlu membuka pintu kamarnya. Dia hanya merasa tidak nyaman setiap Ibunya memaksa masuk dan menanyakan ini itu. Mereka punya kesamaan dengan hubungan wartawan dan polisi; Chanyeol adalah polisinya, dan Ibunya adalah wartawan yang dipenuhi rasa ingin tahu.

"Lantas kenapa kamu tidak membuka pintu ini untuk Ibumu? Ibu sudah mengetuk untuk kesekian kalinya disini dan Ibu kurang suka kamu membuat jarak dengan pintu kamar."

Chanyeol menghela napas, menaruh gitar dan terpaksa membuka pintu jati kamarnya yang berwarna cokelat kacang. Ibunya—Lee Young mi—menatap jengkel, sebuah kerutan baru telah muncul di atas kulit dahi wanita tua itu.

"Berhenti memainkan gitarmu, ini sudah malam. Turunlah, Ayah dan Kakakmu menunggu untuk makan malam."

Chanyeol mengangguk paham. Tangannya terulur meraih gagang pintu, lalu menutupnya perlahan-lahan. Kedua tungkai jenjangnya melangkah menuruni tangga rumah menuju ruang makan.

Beberapa mangkuk kecil dan sebuah hot pot tertata rapih di atas meja makan. Sang kepala keluarga duduk di hadapan Chanyeol, sementara kakak perempuan Chanyeol—Park Yoora—duduk menghadap Sang Ibu. Makan malam merupakan waktu sakral bagi keluarga Chanyeol sebagai satu-satunya waktu berkualitas untuk mereka berkesempatan berbincang lebih banyak, berdiskusi atau sekedar bercerita tentang hari yang penuh kesibukan.

"Chanyeol, apa yang baru saja terjadi?" Yoora membuka pembicaraan pertama kali.

"Kupikir tidak ada sesuatu yang khusus hari ini." Chanyeol menuang beberapa sendok mandu jeongol dari hot pot.

"Benar, dan kamu masuk ke rumah seperti dikejar setan. Beberapa saat setelah itu aku bisa mendengar jelas suara gitar dari lantai atas. Kamu aneh sekali, Chanyeol."

"Kamu juga mengabaikan ketukan pintu, Chanyeol." karena stimulus kakaknya, Ibunya menjadi khawatir telalu banyak.

Chanyeol menggidikan bahu, "Ada proyek lagu baru. Aku hanya tidak suka kehilangan inspirasi saat mereka sulit didapatkan beberapa waktu belakangan."

"Bagaimana nilaimu akhir-akhir ini?" Ayah Chanyeol—Park Sung Jin—menyela pembicaraan dengan pertanyaan kaku. Wajahnya keruh dan tangannya sibuk menyuap makanan.

"Semua baik-baik saja, Ayah tidak perlu khawatir." intonasinya turun dan lurus sebagaimana seorang Samurai di hadapan Sang Kaisar.

Suasana berubah kaku saat topik pembicaraan telah berubah. Merupakan pertanyaan yang paling mendistraksi Chanyeol karena perjanjian batin telah mengikat kebebasan Chanyeol. Dia telah diizinkan bermain musik hanya jika dia bisa sanggup mempertahankan nilainya dengan baik sebagai sebuah syarat utuh. Keputusan itu harus diambil supaya tidak ada perdebatan serius diantara dia dengan Ayahnya sendiri.

Makan malam dengan cepat telah selesai karena keheningan tidak lagi dipecah oleh seorangpun di atas meja makan. Chanyeol telah selesai pertama kali. Lalu pemuda tinggi itu pergi dari meja makan dan menaiki tangga.

Entah sejak kapan penghalang yang begitu astral memisahkan hubungannya dengan keluarganya sendiri. Chanyeol cenderung tidak sadar sejak kapan orangtuanya berubah apatis, menahannya bermain musik sementara nilainya tidak pernah sekalipun mengecewakan.

Jemari panjang Chanyeol meraih ponselnya lalu menekan bar pencarian. Dia mengetik setiap akord yang sejauh ini telah ditemukan dan berharap pada teknologi mutakhir satu dekade ini. Sejumlah web pencarian memenuhi layar. Masing-masing dari mereka berisi akord lengkap dengan judul lagu yang berbeda-beda. Chanyeol meraih gitarnya, mencoba satu persatu web yang telah muncul.

"Chanyeol! Berhenti bermain gitar!" Yoora mengetuk pintu kamar. Ritmenya terburu-buru dan kasar.

"Ayah akan marah jika kamu tetap memainkan gitar selarut ini."

Chanyeol berdehem sebagai tanggapan. Dia menyimpan gitarnya di pojok kamar, lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang—memandangi langit-langit rumah berwarna putih pualam.[ ]


Feedback is highly appreciated