Pada hari sebelumnya, Blaze dan Thorn bersepakat untuk patungan membeli sesuatu yang cukup menyenangkan untuk dipakai mengisi waktu berbuka puasa. Kini sebuah trampolin menghias halaman rumah mereka. Bagaimana reaksi saudara-saudara Blaze dan Thorn yang lainnya terutama Halilintar dan Taufan? Apalagi Taufan berhasil memancing jiwa kompetitif Halilintar.
Author Note Disclaimer
-Boboiboy dan seluruh karakter yang terkandung di dalamnya adalah milik pemegang hak cipta, saya hanya pinjam karakter-karakternya. Tidak ada keuntungan materi yang saya dapatkan dari fanfic ini.
-BUKAN YAOI, BUKAN SHOUNEN-AI. Elemental sibblings, AU, tanpa super power, OOC (mungkin ?).
-Dalam fanfic ini umur karakter utama adalah sebagai berikut dari yang tertua:
-BoBoiBoy Halilintar: 18 tahun
-BoBoiBoy Taufan: 18 tahun.
-BoBoiBoy Gempa: 18 tahun.
-BoBoiBoy Blaze: 17 tahun.
-Boboiboy Thorn: 17 tahun.
-Boboiboy Ice: 16 tahun.
-Boboiboy Solar: 16 tahun
Puasa Hari Kesembilan.
"Pagiku cerahku, matahari bersinar. Kugendong tas merahku di pundak." Nyanyian riang terdengar mengalun dari mulut Blaze selagi ia bekerja bersama dengan adiknya, Thorn. Peluh keringat membasahi tubuh Blaze yang memilih bertelanjang dada saja ketika bekerja siang itu. Selain tidak ingin menambah jumlah pakaian kotor yang harus dicuci, bekerja tanpa mengenakan baju memang terasa lebih sejuk dan Blaze juga merasa lebih leluasa bergerak kesana kemari.
Mungkin karena itulah Thorn yang menemani Blaze bekerja siang itu mencoba untuk mencontoh cara kakaknya bekerja. Dari awal bekerja, Thorn sudah menanggalkan baju yang melekat di tubuhnya. Bahkan bintik-bintik keringat juga sudah bermunculan membasahi tubuh Thorn yang berkulit jauh lebih pucat daripada Blaze.
Dahaga dan lapar sudah tidak dipedulikan lagi. Dalam benak Blaze dan Thorn hanya ada satu tujuan yang harus diselesaikan, yaitu menyambung potongan-potongan besi yang berserakan di halaman belakang rumah mereka menjadi sebuah sarana permainan.
Kurang dari satu jam berlalu dan terbentuklah sebuah trampolin yang siap pakai. Diameter trampolin yang baru saja selesai dipasang oleh Blaze dan Thorn itu cukup besar, bahkan cukup besar untuk dinaiki tiga orang dalam sekali waktu.
Tidak percuma rasanya Blaze dan Thorn berpatungan untuk membeli trampolin besar itu. Tentu saja saudara-saudaranya juga ikut menyumbang walaupun jumlahnya tidak sebesar pengeluaran Blaze dan Thorn sendiri.
Oleh karena itulah Blaze dan Thorn merasakan kebanggaan tersendiri ketika mereka berhasil membeli dan merakit trampolin yang kini terpasang di halaman belakang rumah mereka.
"Ayo kita coba!" ujar Blaze yang terlihat sangat antusias sembari menaiki tepian rangka besi trampolin barunya.
Lompatan-lompatan dicoba oleh Blaze. Awalnya lompatan Blaze terlihat pendek, namun semakin lama semakin tinggi seiring dengan nyalinya yang semakin terkumpul.
"Coba salto, Blaze!" seru Thorn menyemangati kakaknya.
"Okeee!" Blaze pun mengambil ancang-ancang. Setelah yakin bahwa tinggi lompatannya mencukupi, barulah Blaze mencoba manuver saltonya.
Dalam sebuah hentakan kaki yang kuat, Blaze melambung cukup tinggi. Ia menekuk tubuhnya menjadi sekecil mungkin ketika kakinya yang menghentak itu meninggalkan permukaan terpal trampolinnya.
Dengan tubuh yang menekuk sampai kecil seperti itu, Blaze dengan cepatnya berotasi di udara ketika tubuhnya melambung cukup tinggi.
Hanya saja mendaratnya kurang mulus. Blaze kembali menyentuh permukaan terpal trampolin dengan punggungnya. "Yaaah! Ngga pas mendaratnya," keluh Blaze yang langsung jatuh terduduk.
"Buka matamu, Blaze." Mendadak terdengarlah suara Taufan dari ambang pintu belakang rumah. "Biar aku coba," ucap Taufan lagi sembari berjalan dan naik ke atas trampolin.
Buru-buru Blaze menyingkir dan memberi ruang untuk kakaknya itu. "Hati-hati Kak," ujar Blaze ketika Taufan mulai melompat-lompat kecil di atas trampolin.
Sekuat tenaga Taufan menolakkan kakinya pada permukaan terpal trampolin itu. Tubuhnya melambung cukup tinggi dan tanpa diduga langsung bersalto ke belakang.
Kedua kaki Taufan mendarat mulus dan langsung mendorong tubuhnya kembali melambung tinggi. Kali ini dua kali roll beruntun langsung menyambung lambungan tubuh Taufan yang terlihat nyaris tanpa bobot di udara. Begitu luwes dan fleksibel Taufan yang menari di udara itu sampai membuat Blaze dan Thorn terpana melihatnya.
"Waaaaw. Kak Ufan hebaaat!" puji Thorn selepas menyaksikan Taufan yang pamer ilmu.
"Ba-bagaimana itu caranya, Kak?" tanya Blaze yang masih tercengang. "Ajarin, Kak!"
Kontan Taufan membusungkan dada dan menebar sebuah senyum penuh kebanggaan. "Ada sebab mengapa ayah menamaiku Angin BoBoiBoy Taufan, Blaze ..."
"Yaaaah Kak Ufaaaan!" Mulailah Blaze merengek. "Ajariiiin!" keluhnya lagi sambil menarik-narik pinggiran baju yang dikenakan kakaknya itu.
"Kalau begitu saja sih aku juga bisa." Terlihatlah Halilintar di ambang pintu belakang rumahnya. Raut wajah datarnya menyembunyikan penasarannya akan keramaian antara Blaze, Taufan dan Thorn.
"Oh? Masa iya?" Taufan menoleh ke arah kakak kembarnya sembari mencibirkan mulutnya. "Kamu 'kan orangnya kasar, Hali. Mana bisa kamu main trampolin yang butuh keluwesan dan kelembutan seperti aku ini."
Tanpa disembunyikan terlihatlah alis mata Halilintar yang berkedut. Ia mendecih kesal sembari melipat kedua tangannya di depan dada. "Kau, lembut? Gabus pencuci piring dapur lebih lembut daripada kau, Taufan ..."
Kedua kelopak mata Taufan mendelik lebar. "Begitu? Ayo buktikan," tantang Taufan sembari menggeser posisi berdirinya seakan memberi Halilintar jalan untuk naik ke atas trampolin.
Tanpa keraguan sedikit pun Halilintar langsung naik ke atas trampolin. Sama seperti Taufan, Halilintar melompat-lompat kecil terlebih dahulu sebagai pemanasan.
Sebuah hentakan kuat memulai aksi Halilintar. Bertumpukan otot kaki yang kuat, Halilintar melambung tinggi, bahkan boleh dibilang melampaui tinggi lompatan Taufan sebelumnya. Tepat pada titik maksimal lompatannya, tubuh Halilintar terlihat berhenti melawan gravitasi bumi. Waktu seakan berhenti bergulir ketika tubuh Halilintar seakan mengambang di udara.
Tepat pada saat ketika daya tolak pegas trampolin itu seimbang dengan gravitasi bumi, Halilintar meliukkan tubuhnya dan membentuk garis lengkungan luwes seakan melukis langit.
Kedua kaki Halilintar kembali menjejak permukaan terpal trampolin sebelum menolak sekuat tenaga lagi. Dengan menggunakan sebelah kaki sebagai porosnya, Halilintar memutar tubuhnya berotasi dengan cepatnya.
"Waaaahhhh!" Kak Hali hebaaat!" Bahkan Blaze dan Thorn tercengang melihat akrobatik udara sang kakak tertua yang begitu indah.
Hanya Taufan saja yang terlihat tidak terkesan. Sebaliknya, ia merasa tersaingi. Apalagi ketika Halilintar menambah beberapa kali salto diantara lompatan-lompatannya yang semakin tinggi "Sini, biar-"
"Astaga! Hali! Turun!" Gempa yang panik sudah berdiri di ambang pintu belakang. Wajahnya memucat dan kedua kakinya gemetaran selagi ia menyaksikan Halilintar yang nyaris terbang mendekati tingkat kedua rumahnya. "TURUN!" teriak Gempa lagi.
Buyarlah konsentrasi Halilintar setelah ia diteriaki oleh Gempa. Apalagi dari sudut netra merah rubinya ia melihat penggiling kue yang digenggam oleh si adik kembar, ditambah lagi gilingan kue yang berada dalam genggaman Gempa mengacung ke arahnya.
Bumi terlihat semakin dekat di mata Halilintar ketika dirinya terjun bebas tanpa kendali. "GEMPA! AWASS!" jerit Halilintar sembari mengibas-ngibaskan tangannya dengan liar.
Kedua pupil mata Gempa mengecil, mimik wajahnya bertukar horor dan gelombang kepanikan melumpuhkan otot-otot kedua kakinya.
-BRUK!-
"A ... la ... mak ..." Taufan meneguk ludahnya ketika ia menyaksikan bagaimana tubuh Halilintar mendarat tepat di atas Gempa. Secepat kedua kakinya mampu Taufan langsung berlari menghampiri kakak dan adik kembarnya yang baru saja bertumbukan itu.
Pemandangan aneh langsung menyambut Taufan. Halilintar dan Gempa yang saling tumpang tindih. Dari kelopak mata yang menutup, jelas sekali bahwa kedua saudaranya itu sudah tidak siuman lagi. "Ha-Halilintar?" panggil Taufan sembari berjongkok di dekat Halilintar.
"Hueeee! Kak Gempa mati!" Thorn langsung histeris melihat Gempa yang terkulai di atas tanah. "Inna Lilahi-"
Blaze langsung meninju lengan adik kembarnya yang asal bicara itu. "Jangan ngawur, Thorn!" ketus Blaze sembari berjongkok di dekat Gempa. "Mau makan apa kita kalau Kak Gempa mati?"
"Kira-kira apa yang bakal terjadi begitu mereka sadar ya?" Taufan menunjuk ke arah Halilintar dan Gempa yang masih tergeletak di atas tanah.
Blaze mengedikkan bahunya. "Entah. Tapi mendingan kita ngga ada disini waktu mereka sadar ..."
Taufan mengerenyitkan dahinya. Ia memikirkan kata-kata yang terlontar dari mulut adiknya dan menemukan bahwa apa yang dikatakan Blaze itu ada benarnya. "Hmm ...," gumam Taufan sembari melirik ke arah Blaze dan Thorn. "Yuk, kita masuk ke dalam ... Anggap saja ngga apa-apa yang terjadi."
Serempak Blaze dan Thorn menganggukkan kepala mereka. Dengan langkah yang mengendap-endap sesunyi mungkin keduanya berjalan mengikuti Taufan masuk ke dalam rumah. Baik Taufan, Blaze maupun Thorn berharap tidak ada dari Halilintar dan Gempa yang bangun sebelum ketiganya sudah menghilangkan jejak.
Taufan, Blaze dan Thorn tidak perlu menunggu lama, sebab ...
"SINI KAU HALILINTAAARR!" Terdengarlah suara teriakan Gempa yang menggema membelah kesunyian sore.
"Sa-sabar Gem! INGAT PUASAAAAA!" Menyusul terdengar suara Halilintar yang menggema menjauh dari rumah.
Di dalam rumah, Trio Troublemaker favorit kita menonton adegan kejar-kejaran antara Gempa dan Halilintar di jalanan depan rumah mereka dari jendela kamar Blaze. "Betul 'kan kubilang. Untung kita pergi sebelum Gempa atau Hali sadar ...," gumam Taufan sembari menarik napas lega.
.
.
.
Tamat.
Terima kasih juga sudah meluangkan waktumu untuk membaca, semoga berkenan. Mohon maaf apabila ada yang menyinggung atau kurang berkenan bagi pembaca.
