Taufan mendadak menghilang tanpa kabar dan berita. Tentu saja hilangnya Taufan membuat saudaranya khawatir. Namun apa alasan Taufan menghilang itu? Bagaimana reaksi sang kakak tertua, Halilintar?

Disclaimer Dan Author Note

-Boboiboy dan seluruh karakter yang terkandung di dalamnya adalah milik pemegang hak cipta, saya hanya pinjam karakter-karakternya. Tidak ada keuntungan materi yang saya dapatkan dari fanfic ini.

-BUKAN YAOI, BUKAN SHOUNEN-AI. Elemental sibblings, AU, tanpa super power, OOC (mungkin ?).

-Dalam fanfic ini umur karakter utama adalah sebagai berikut dari yang tertua:

-BoBoiBoy Halilintar: 18 tahun

-BoBoiBoy Taufan: 18 tahun.

-BoBoiBoy Gempa: 18 tahun.

-BoBoiBoy Blaze: 17 tahun.

-BoBoiBoy Thorn/Duri: 17 tahun.

-BoBoiBoy Ice: 16 tahun.

-BoBoiBoy Solar: 16 tahun.

-BoBoiBoy FrostFire: 13 tahun.

-BoBoiBoy Glacier: 13 tahun.

-BoBoiBoy Supra: 13 tahun.

Puasa Hari Kedua Belas.

Matahari baru saja melewati puncak tertinggi lintasan parabolanya dan hari pun bergulir dari siang menjadi sore hari.

"Assalamu alaikum warahmatullahi." Halilintar menggumam lembut saat ia mengucapkan salam dan menengokkan kepalanya ke kanan setelah tahiyat akhir. "Assalamu alaikum." Sekali lagi Halilintar mengucap salam selagi menengok ke arah kiri.

Tuntaslah sudah ibadah sholat dzuhur yang diimamkan oleh Halilintar pada siang hari itu. Di belakang Halilintar terdapat beberapa adik-adik dan adik-adik sepupunya yang menjadi makmum. Walau ramai, tidak semua adik Halilintar mengikut ibadah sholat dzuhur pada siang hari itu.

Hanya Blaze, Solar, Glacier dan Supra saja yang mengikuti ibadah sholat dzuhur yang diimamkan Halilintar sementara saudara-saudara mereka yang lain sedang tidak berada di tempat. Oleh karena itulah Halilintar langsung mengambil ponsel miliknya dari dalam saku celana panjangnya dan menghubungi sebuah nomer.

"Halo Kak Hali, ada apa?" Wajah Ice nampak pada layar ponsel milik Halilintar. Kedai Tok Aba-BoBoiBoy Kokotiam terlihat jelas di belakang Ice.

"Ice, kamu sudah sholat dzuhur?" tanya Halilintar.

Pada layar ponsel milik Halilintar itu Ice terlihat menganggukkan kepala. "Sudah, Kak," jawab si adik.

"Lalu yang lainnya?"

Ice tidak langsung menjawab. Layar ponsel Halilintar mengabur sejenak sebelum kembali terfokus pada Gempa yang sedang bersujud dalam sholat dzuhurnya. "Thorn sudah sholat duluan sebelum aku, sekarang gantian Kak Gempa yang sholat."

"Alhamdulilah, baguslah." Kepuasan jelas tersirat di balik kata-kata Halilintar. "Lalu kedai bagaimana?" Si kakak lanjut bertanya.

Ice terlihat mengedikkan bahunya. "Yah lumayan, lah Kak," jawab si adik pada layar ponsel. "Ngga terlalu sepi tapi juga ngga bisa dibilang ramai."

"Bersyukurlah, paling ngga kita masih dapat rejeki," ucap Halilintar tanpa menunjukkan perubahan ekspresi di wajahnya.

Sebuah senyum tipis yang terkesan agak dipaksakan mengulas di wajah Ice. "Ya, Kak. Semoga tahun ini penghasilan kedai bisa untuk bayar THR kita."

"Ya ... semoga ..." Halilintar mendengkus lembut. "Eh ya ... Taufan kemana? Bukannya tadi pagi dia ikut pergi dengan kalian?"

Pertanyaan dari si kakak tertua membuat Ice nampak bingung. Alih-alih menjawab, si adik malah bertanya balik, "Lho? Memang Kak Ufan ngga bilang Kak Hali?"

Perlahan alis mata Halilintar mengernyit. "Ngga ... Taufan ngga bilang apa-apa," jawab Halilintar selagi memutar otaknya dan mengingat-ingat peristiwa-peristiwa yang terjadi beberapa hari ke belakang. Menelaah ingatan jauh sebelum masa puasa pun tidak memberikan jawaban bagi Halilintar.

"Aku juga ngga tahu Kak Ufan pergi kemana." Ice mengedikkan bahunya. "Eh, sudah dulu, Kak. Ada pelanggan yang datang." Tanpa menunggu jawaban balik dari si kakak Ice mengakhiri sambungan video call-nya dengan Halilintar.

"Kenapa? Ada apa dengan Abang Taufan?" tanya Supra sembari mengintip layar ponsel Halilintar melewati pundak si kakak sepupu.

Halilintar menoleh ke belakang dan melihat Supra yang baru saja selesai melipat sarung yang dikenakannya selagi menunaikan ibadah sholat dzuhur.

"Taufan pergi entah kemana. Dia ngga ada di kedai," jawab Halilintar.

"Alaa, palingan Abang Ufan pergi mencari pacar baru," celetuk Supra dengan nada suara melagu.

Walaupun hanya sepersekian detik, tetap saja seluruh tubuh Halilintat berkedut setelah apa yang dikatakan oleh Supra berhasil dicerna oleh otak Halilintar. "Ja-jangan mikir yang aneh-aneh!" desis Halilintar dengan nada sangat tidak rela. "I-ini bulan puasa!"ketusnya lagi di antara kedua rahang yang mendadak kaku.

"Kalau begitu, tanyakan saja nanti kalau Abang Taufan kembali."

Jawaban yang diberikan oleh Supra itu adalah satu-satunya solusi yang bisa dikerjakan oleh Halilintar. Mencari Taufan tidak mungkin dilakukkan karena tidak ada yang tahu kemana dia pergi dan Taufan tidak meninggalkan pesan kepada siapapun. Yang lebih membuat Halilintar resah adalah tidak aktifnya ponsel Taufan.

Berulang kali Halilintar mencoba menghubungi Taufan namun hasilnya selalu nihil. Hanya pesan mesin otomatis yang menjawab panggilan telepon Halilintar. Bahkan ketika matahari mulai condong mendekati tepi langit barat, Taufan masih belum bisa dihubungi ponselnya.

Allaahu Akbar, Allaahu Akbar .

Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.

Asyhadu allaa illaaha illallaah.

Asyhadu allaa illaaha illallaah.

Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah.

Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah.

Hayya 'alashshalaah .

Hayya 'alashshalaah .

Hayya 'alalfalaah.

Hayya 'alalfalaah.

Allaahu Akbar, Allaahu Akbar .

Laa ilaaha illallaah .

Gelora suara adzan bersahut-sahutan di waktu berbuka puasa tidak membuat Halilintar semakin tenang. Sebaliknya, justru dia semakin gelisah karena tidak ada tanda-tanda mengenai keberadaan Taufan. Tidak hanya gelisah, Halilintar malah terlihat enggan menyentuh berbagai gorengan untuk berbuka puasa yang terhidang di atas meja kedai.

Sore maghrib kali itu, Halilintar dan semua saudara-saudaranya berbuka puasa di kedai Tok Aba-BoBoiBoy Kokotiam.

"Hali, ayo buka puasa dulu." Entah sudah berapa kali Gempa menyodorkan pisang goreng ke hadapan Halilintar. "Dari tadi kamu cuma minum air putih, nanti maag-mu kumat."

Halilintar membisu. Tatapan manik netra merah delimanya kaku tertuju ke arah depan. Tumpukan makanan yang terhidang di hadapannya bagai sesajen tidak digubris sama sekali. "Mana Taufan ...?" desisnya diantara kedua rahang yang terasa kaku.

"Nanti juga dia kembali,"jawab Gempa dengan nada sedikit ketus karena kesabarannya yang menipis karena tingkah kakak kembarnya. " Ayo, dulu." Sekali lagi Gempa menyodorkan sepotong pisang goreng untuk Halilintar, yang membuat total pisang goreng yang menumpuk di depan Halilintar menjadi lima potong.

Tangan Halilintar terasa sangat berat ketika ia meraih sebuah pisang goreng. Berkilo-kilo bobot pisang goreng itu terasa oleh Halilintar saat ia membawa gorengan itu mendekati bibirnya. Hanya satu gigitan kecil saja yang masuk ke dalam rongga mulut Halilintar sebelum sisa pisa goreng yang dipegangnya itu dikembalikan ke atas piring.

Gempa menghela napas panjang dengan diikuti dengkusan gusar. "Makan yang betul, Hali," desisnya sembari menatap sipit ke arah si kakak tertua.

"Ngga lapar." Halilintar menjawab balik dengan singkat dan nada ketus.

"Bulan puasa ngga boleh marah-marah, Bang," celetuk Supra diantara keasyikannya menyeruput secangkir kopi susu. "Nanti cepat keriput muka Abang Hali."

Mendadak kedua kelopak netra merah delima Halilintar membelalak. Dipelototinya si adik sepupu yang baru saja berceletuk.

"Salahkah aku?" Pertanyaan balik Supra itu terdengar lebih mendekati ledekan daripada sekadar pertanyaan biasa.

"Salah sih ngga, tapi coba lebih sensitif sedikit kalau ngomong," ucap Gempa menengahi si kakak tertua dan si adik sepupu terkecil sebelum adu mulut mereka menghebat. "Kamu juga Hali, jangan ambegan begitu bisa 'kan?" Gantian Gempa melirik tajam ke arah Halilintar.

Tiba-tiba ...

"Haliiii!" Membahanalah suara cempreng nan kampret membelah syahdunya maghrib. Kontan tatapan semua pasang mata tertuju ke arah sumber suara cempreng yang baru saja memanggil nama Halilintar.

"Panjang umur, Kak Tau ... Fan?" Serempak dari Halilintar, Gempa, Blaze sampai ke Supra tercengang melihat sosok yang datang mendekati kedai. Meteka semua yakin bahwa yang datang itu adalah Taufan, namun ada sesuatu yang sangat janggal darinya.

"As ... ta ... ga ..." Hanya itu kata-kata yang mampu terucap oleh Gempa dan Halilintar saat keduanya mengamati Taufan dari kepala sampai ke kaki.

Tidak seperti biasa, bahkan jauh berbeda daripada biasanya, rambut Taufan kini panjangnya sudah mencapai pinggang.

"Waaaa Kak Ufan jadi cewek!" seru Blaze dan Thorn lengkap dengan cengiran lebar.

"Astaghfirullah! Ada jin!" Ice menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir pemandangan yang sangat meresahkan di hadapannya.

Halilintar yang biasanya pasif dan kalem langsung menarik Taufan untuk duduk di sebelahnya. Terdorong rasa penasaran, Halilintar menyentuh dan membelai rambut Taufan yang mendafak panjang dalam hitungan jam.

"Ba-bagaimana mungkin?" tanya Halilintar. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Ke-kenapa?"

"Aku pakai hair extension!" ujar Taufan sambil memperlihatkan rangkaian rambut palsu yang direkatkan pada bagian belakang kepalanya dan tertutup rambut asli. "Besok aku mau casting iklan shampo!"

"Ma-manis sekali ...," gumam Halilintar memuji perubahan penampilan Taufan yang begitu drastis.

"Nah, terjawab sudah kemana hilangnya Taufan," celetuk Gempa yang memperhatikan petubahan mood Halilintar.

Pada saat itulah raut wajah Halilintar mendadak berubah. Wajahnya yang sempat terlihat santai kini bertukar menjadi kaku dan cemberut.

"Kamu membuat aku khawatir, tahu ngga?" Mulailah Halilintar menyerocos setelah mendaratkan sebuah jitakan sayang di atas batok kepala Taufan. "Kenapa ngga bilang-bilang dulu sebelum pergi, hah?"

Belum sempat Taufan menjawab ketika Gempa lebih dahulu menengahi. "Sudah, sudah. Ini bulan puasa, ngga bagus marah-marah begitu, Hali. Kayaknya kamu harus belajar mengendalikan emosi deh ..."

"Ya wajar lah aku emosi," ketus Halilintar. Perhatian dan cemberutnya kini tertuju kepada Gempa. "Aku ... khawatir ..."

Buru-buru Taufan menyandarkan tubuhnya pada lengan Halilintar. "Tapi aku sudah kembali 'kan?" tanya Taufan sembari menatap dan mengedip-ngedipkan kelopak matanya pada Halilintar.

"Erk ..." Halilintar kontan terdiam membisu. Tentu saja Halilintar tidak bisa melihat rona merah yang mulai merambati sekeliling leher dan wajahnya namun dia bisa merasakan kehangatan aneh di sekeliling leher dan wajahnya itu. "I-iya ...," cicit Halilintar yang kini merasakan sekujur tubuhnya lemas seketika.

Gempa hanya bisa menghela napas panjang. Dia menepuk-nepuk pundak Halilintar sembari menggelengkan kepala. "Yap, mulai besok kamu harus belajar mengendalikan emosimu itu, Hali."

.

.

.

Tamat.

Terima kasih kepada para pembaca yang sudah bersedia singgah. Bila berkenan bolehlah saya meminta saran, kritik atau tanggapan pembaca pada bagian review untuk peningkatan kualitas fanfic atau chapter yang akan datang. Sebisa mungkin akan saya jawab satu-persatu secara pribadi.

Sampai jumpa lagi pada kesempatan berikutnya.