Bunga di Lehernya
Haikyuu FurudateHaruichi, aku menulis cerita ini hanya karena aku mencintai Libero Mungil yang bernama Nishinoya Yuu.
Pairing : Oikawa x Nishinoya/Tsukishima x Nishinoya (You can hit me later)
Happy Reading
Begitu seluruh pemain voli Karasuno selesai latihan, Oikawa telah menunggu di gerbang sekolah. Nishinoya menggigit bibir. Dadanya terasa sesak dan napasnya mulai tidak beraturan. Sialan. Dari semua hal yang harus dia lihat, kenapa dia harus melihat lelaki itu datang ke sekolahnya?
"Yahoo ... Tobio-chan! Chibi-chan!"
"Oikawa-san, kenapa kamu ada di sini?"
"Tentu saja untuk bertemu kekasihku."
Nishinoya menunduk. Itu bukan untuk dirinya. Lagipula, dia bisa melihat Kageyama memerah karena malu. Panggilan Chibi-chan juga bukan untuknya. Itu untuk Hinata di sebelah Kageyama yang tersenyum mengejek. Sementara itu, Oikawa tersenyum lebar. Senyum yang bukan untuknya.
"Ini benar-benar menyebalkan," gumamnya.
Di sebelahnya, Tanaka mengangkat alis bingung. "Lho, kenapa?"
Nishinoya tersentak. Dia segera menunjukkan senyum lima jari kebanggaannya. "Sehabis ini, aku harus ikut kakek. Ini menyebalkan."
"Kakekmu memang unik. Tidak heran kau juga."
Nishinoya tertawa lebar. Tawa yang terasa palsu. Meskipun semua orang bisa tertipu dengan tawanya, Nishinoya tetap tidak bisa membohongi dirinya sendiri, juga tidak bisa mengenyahkan rasa gatal di tenggorokannya. Dia melewati gerbang, sebisa mungkin tidak menatap Oikawa ketika melambai pada Hinata yang menyapa mereka pelan.
Sial.
Dia tidak tahu sejak kapan hal ini dimulai, tetapi Nishinoya baru menyadarinya setelah pertandingan mereka melawan Shiratorizawa berakhir. Kageyama dan Oikawa akhirnya melepas semua kesalah pahaman mereka, dan berubah menjadi sepasang kekasih. Sejak awal, mereka hanyalah dua orang saling mengagumi yang tidak tahu cara menunjukkannya. Ketika semua masalah itu berakhir, rasa kagum mereka berubah menjadi rasa suka. Tidak perlu waktu lama untuk mereka saling menyadari perasaan setelah beberapa kali bertemu.
Di sisi lain, Nishinoya hanya mengingat Oikawa samar-samar, dan ragu lelaki itu mengingatnya kembali. Lagipula dirinya yang dulu dan sekarang sangat berbeda. Mereka juga tidak bertemu di Miyagi. Dulu sekali, ketika masih bersama ibunya dan menjadi lelaki cilik penakut, Nishinoya bertemu Oikawa. Dia ingat samar-samar syal merah yang membungkus leher dan hidungnya yang pilek. Matanya menatap Nishinoya bertanya-tanya.
"Jangan ganggu dia!"
Nishinoya mendongak bingung. Anak itu tinggi dan semakin terlihat besar ketika tangannya terlentang, lantas menunjuk-nunjuk anak-anak kelas lima yang menganggunya. Nishinoya tidak bisa mengingat jelas seluruh omelannya, itu tidak penting, karena setelahnya anak-anak itu pergi, dan Oikawa akan menjulurkan lidah pada mereka. Dia berbalik, dan menatap Nishinoya.
"Kau juga! Jangan mau diganggu!"
Nishinoya yang saat itu hanyalah lelaki cilik kurus dan penakut, mundur saat Oikawa membentaknya. Suaranya kecil ketika berkata, 'Maafkan aku', dan saat Oikawa kembali bertanya, dia akan terlonjak. Saat dia melangkah mundur, Oikawa menangkap tangannya.
"Kau beku."
"Maaf," gumamnya.
Oikawa berdecak. "Kenapa minta maaf?" Nishinoya menunduk. "Ya sudahlah. Di mana rumahmu? Biar aku antar. Anak-anak itu, bagaimana mungkin mereka bisa mengganggu gadis? Mereka benar-benar keterlaluan. Kau juga, kenapa gadis sepertimu masih ada di luar? Ini sudah malam. Tidak menggunakan syal ataupun kaus tangan pula."
Saat itu, Nishinoya tidak berani mengoreksi. Dia hanya menunduk dan membiarkan Oikawa mengenggam tangannya yang membeku. Salju belum turun, tetapi hari itu udara begitu membekukan. Oikawa memintanya untuk menunjukkan arah. Nishinoya memberitahunya dengan suara lirih, suaranya hampir dikalahkan oleh deru angin, hingga mereka berhenti di depan rumahnya yang gelap. Ibu dan Ayahnya masih bekerja.
"Naruse, kah?" Oikawa menatap papan tanda di depan rumahnya. Kala itu, dia masih menggunakan nama ayahnya, sampai orang tuanya bercerai dan dia ikut bersama kakek dari pihak ibunya. "Naruse siapa namamu?"
"Yu," jawabnya lirih.
"Nasure Yu-chan, ya? Nama yang manis. Aku Oikawa. Oikawa Toru. Panggil saja aku Toru."
"Toru-san," gumam Nishinoya ragu.
Oikawa tersenyum puas. Nishinoya tidak bisa mengingat hal lain selain itu. Setelah pertemuan itu, mereka bertemu tiga kali, dan Nishinoya tidak pernah begitu akrab dengannya. Mungkin, Nishinoya memang tidak pernah bisa akrab dengan siapa pun. Oikawa adalah satu-satunya orang yang pernah menerjang rasa malunya, dan menyeret Nishinoya ke dalam pertemanan mereka. Sayangnya, pertemanan itu tidak berlangsung lama. Keluarganya mulai berantakan ketika ibu memergoki ayahnya selingkuh. Nishinoya tidak pernah bertemu dengan Oikawa lagi setelahnya. Setahun berikutnya, Nishinoya pindah ke Miyagi. Ibunya sibuk bekerja. Sedangkan Nishinoya disibukan dengan ajaran kakeknya.
Tahun demi tahun berlalu, Nishinoya menjadi sosok yang sangat berbeda. Penuh percaya diri dan tak kenal rasa takut. Di tahun pertama SMP, dia ikut voli untuk posisi libero. Di tahun itu pula, dia bertemu Oikawa. Meski hanya bisa melihat dari jauh. Oikawa Toru tidak berubah. Dia tetap menyenangkan seperti dulu. Namun, ketika Nishinoya ingin menyapa, lelaki itu hanya menatapnya sekilas, tersenyum, dan berkata, 'Kau libero tim tadi, ya? Permainanmu bagus.' Kemudian pergi.
Saat itulah Nishinoya mulai meragukan ingatannya. Oikawa juga tidak ingat padanya, sehingga dia memilih untuk tidak mempedulikan hubungan mereka. Lagipula, sejak awal, mereka tidak memiliki hubungan apa pun selain Oikawa yang menyelamatkannya dari perundungan. Untuk orang baik seperti Oikawa, dia pasti telah menyelamatkan banyak orang, hingga tidak ingat orang seperti dirinya.
Lagipula, Nishinoya tidak menginginkan hubungan. Dia hanya ingin menyapa sebagai kenalan lama, atau mungkin ingin menjadi temannya lagi. Itu adalah pikiran naifnya sebagai anak kelas satu SMP, yang masih penasaran dengan voli.
Beberapa tahun berikutnya, dia melupakan semuanya. Dia hanya mengenal Oikawa Toru sebagai pemain voli menyebalkan yang digemari banyak wanita. Nishinoya ingin menjadi populer, karena itulah dia begitu iri padanya. Wajahnya tampan, badannya tinggi, kemampuannya luar biasa, dan keribadiannya supel. Tidak heran para wania jatuh hati padanya. Kemudian dia menyadari bahwa adik kelasnya memiliki sejarah panjang dengan Oikawa.
Mereka saling bertemu di pertandingan. Nishinoya bisa melihat hubungan Kageyama dengan Oikawa. Nihsinoya hanya bisa melihat. Dia hanya orang luar yang terjebak dalam ingatan masa lalu. Semakin lama dia melihat, semakin dia iri pada hubungan mereka. Hal terburuk yang pernah dia pikirkan terjadi, Nishinoya jatuh hati pada Oikawa.
Betapa menyebalkannya.
Padahal selama ini dia mengejar Kiyoko. Terkadang dia bertanya-tanya, apakah dia mengejar Kiyoko karena terbawa arus sahabatnya? Tanaka berjalan di sebelahnya sembari menggerutu panjang. Hari-hari melelahkannya dimulai. Setiap pulang latihan, Oikawa akan ada di depan gerbang sekolahnya. Dia datang untuk menjemput Kageyama dan perasaan Nishinoya semakin berat.
Nishinoya memaksa dirinya untuk berpikir rasional. Bahwa mereka hanya dua orang yang tidak saling mengenal. Tidak seharusnya dia cemburu pada hubungan Oikawa dan Kageyama. Bahkan, bila pada akhirnya Oikawa mengingat kejadian itu, dia tidak memiliki hak untuk memisahkan mereka, karena Oikawa terlihat sangat bahagia bersama Kageyama.
Hingga hari itu datang. Hujan turun tiba-tiba. Nishinoya tidak melihat perkiraan cuaca pagi ini, sehingga tidak membawa payung, dan seperti biasa memilih untuk menerobos hujan. Ketika sampai di halte, Nishinoya telah basah kuyup. Rambutnya jatuh. Dingin menusuk kulitnya. Dia menggigil, lantas bersin. Suara bersinnya menarik perhatian seseorang yang sedari tadi duduk di dalam halte.
"Are?" Nishinoya membeku. Oikawa yang menatapnya terkejut. Sial. Nishinoya mengutuk dirinya, karena tidak memeriksa halte itu. Siapa yang menyangka Oikawa akan mendekam di halte itu sendirian? Nishinoya tidak ingin bertemu dengannya, tidak sekarang. Akan tetapi, dia tidak bisa pergi begitu saja. Akan terlihat aneh jika dia menerobos hujan lagi, sementara tidak ada tanda-tanda bis segera datang. "Kau itu?"
Nishinoya bisa berakting sebaik apa pun selama ini, tetapi bertemu dengan Oikawa hanya berdua saja membuat pikirannya menjadi kosong. Oikawa sedikit basah, bahunya masih tersisa bercak-bercak air. Rambutnya sedikit basah. Dia masih menggunakan jersey Aoba Johsai. Hal itu kembali menampar Nishinoya, karena mengetahui lelaki ini datang jauh-jauh untuk orang yang dia suka.
Oikawa tampak mengerjap beberapa kali, baru bertanya, "Naruse Yu-chan?"
Alis Nishinoya mengerut bingung. "Naruse?"
"Bukan, ya?" Oikawa menyentuh dagunya. "Kau mirip sekali dengannya. Tapi kalau dipikir-pikir, kau laki-laki, kan?"
"Aaah ..." Akhirnya Nishinoya mengerti. "Dulu aku tidak mengoreksimu, ya? Aku memang laki-laki. Kau yang seenaknya memutuskan aku perempuan."
Oikawa mengerjap heran. "Tunggu! Jadi, kau benar-benar Naruse Yu-chan?"
Nishinoya mengangguk. "Yeah. Tetapi karena orangtuaku bercerai, sekarang namaku Nishinoya Yu."
"Nishinoya?" Oikawa menganga terkejut. "Libero cilik unik yang rambutnya ke atas?"
Nishinoya mendesah lelah. Deskripsi yang menyenangkan untuk didengar dari orang yang ia suka.
"Yeah."
"Apa-apaan itu? Meski berubah bukankah ada batasnya?! Hee ... heeee?"
Nishinoya tertawa melihat wajah aneh Oikawa yang tidak percaya. Keinginannya untuk pergi menghilang begitu saja. Hatinya menghangat, tetapi kemudian segera luntur ketika mengingat mereka tidak akan menjalin hubungan. Yah ... setidaknya dia telah diingat.
Nishinoya tersenyum. "Senang bertemu denganmu."
Oikawa mengerjap. "Ya," gumamnya linglung. Kemudian dia berkacak pinggang. "Tetapi ada sesuatu yang tidak pernah berubah darimu, ya."
Nishinoya mengerjap bingung.
"Kau tetap ceroboh. Kenapa kau tidak membawa payung? Saat pertama kali kita bertemu, kau bahkan tidak memakai syal dan sarung tangan."
"Kau ingat?"
"Tentu saja." Oikawa mengusap lehernya kikuk. "Kau gadis pertama yang kusuka. Ketika kau tiba-tiba menghilang, dan aku harus kembali ke Miyagi, aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak bisa menghubungimu. Yang kutahu hanyalah rumah dan namamu. Saat aku mendatangimu sebelum kembali kemari, rumahmu kosong dan gelap."
"Ada banyak hal yang terjadi," jawab Nishinoya. "Tetapi gadis pertama yang kau suka, ya. Sayang sekali, saat kita bertemu lagi, kau tidak mengenaliku karena ternyata 'gadis' itu laki-laki."
"Mau bagaimana lagi, bukan? Kau berubah sangat drastis. Aaah ... Gadis kecilku yang pemalu telah hilang," ucap Oikawa bermain-main. "Aku patah hati."
Nishinoya menunduk, dan menggertakkan giginya. "Jangan bicara seolah aku penting buatmu!"
Oikawa membeku. "Yu-chan?"
"Maaf, lupakan."
"Yu-chan, jangan-jangan kau?"
"Yu-chan yang kau maksud sudah tidak ada," tukas Nishinoya. "Lagipula, kau sekarang kan sedang lovey dovey dengan Kageyama. Aku ini hanya orang luar yang tidak kau ingat sebelum ini. Kita kan hanya bertemu sebentar, karena itu kau tidak ingat padaku."
Nishinoya tertawa hambar. Sebagian besar dari tawa itu adalah untuk kebodohannya.
"Tunggu! Aku ..."
"Oh! Ngomong-ngomong, selamat kepada kalian berdua. Kau pasti senang, akhirnya bisa mendapatkan Kageyama. Dia memang manis, kok."
"Yu-chan!" Oikawa membentaknya, tetapi dirinya bukan Naruse. Nama itu dan lelaki cilik penakut yang Oikawa kenal telah menghilang. Atau begitulah yang dipikirkannya. Akan tetapi, lihatlah sekarang! Dia meracau tak jelas, gemetar, tidak bisa berpikir, dan hampir menangis. Sialan, ini benar-benar menyebalkan. Oikawa membuat semua usahanya selama ini terasa tidak berarti. "Yu -chan, apa kau selama ini menyukaiku?"
"Memang ada artinya kalau aku menjawab 'iya'?" Nishinoya menunduk dan menarik tangannya sekuat yang dia bisa. Oikawa bergeming. "Itu tidak ada artinya, karena kau tidak akan membalasnya. Tidak ada artinya, karena kau bahkan tidak mengingatku sebelum ini."
"Maaf, Yu-chan," kata Oikawa—anehnya—lembut. Hal itu terasa janggal di telinga Nishinoya. "Maaf karena tidak mengingatmu saat pertama kali kita bertemu."
Nishinoya mencoba menarik tangannya kembali. Namun, tidak sekuat tenaga, gerakannya yang perlahan membuat Oikawa melepaskan tangannya. Dia bisa mendengar suara bus datang dari belakangnya. Dia tidak tahu ke mana bus itu pergi. Pada akhirnya, dia tidak perlu naik bus untuk pulang.
Akan tetapi, dia memerlukan bus itu untuk melarikan diri.
"Busku datang," gumamnya bohong. Bus itu berhenti di depan mereka, dan Nishinoya segera berdiri. "Senang bertemu denganmu lagi, Oikawa."
"Yu-chan, tetaplah berteman denganku!"
Nishinoya menatap Oikawa. Hanya kesungguhan yang memenuhi wajahnya. Sayangnya, Nishinoya mungkin tidak bisa memenuhinya. Apalagi dia baru saja meracau seperti orang kesetanan, karena tidak bisa menahan diri.
Tidak ketika Oikawa takkan pernah menyukainya.
Nishinoya menarik napas perlahan, perih dan terbakar terasa menggelitik tenggorokannya, lantas memasuki bus yang entah ke mana akan membawanya. Saat dia melihat ke luar jendela, Oikawa menatap dirinya, seolah mampu menempus ke dalam benaknya.
Saat bus mulai berjalan, Nishinoya menunduk. Rasa perih dan terbakar itu kembali, dan membuatnya terbatuk-batuk. Awalnya hanya batuk-batuk ringan, tetapi kemudian dia terbatuk hebat, sebelah tangannya menutup mulut, sementara tangan lain mencengkram perutnya yang kram. Rasa sakitnya tak tertahankan. Tidak hanya tenggorokannya serasa disilet dari dalam, perutnya terasa kebas. Nishinoya merasa ada sesuatu yang mendorong paru-parunya keluar, hingga kemudian dia bisa merasakan hangat di tangannya.
Setetes darah bercampur liur keluar dari sela-sela jarinya. Begitu dia menjauhkan tangan, ada benda putih bernoda darah di tangannya. Benda itu adalah kelopak bunga. Bagaimana kelopak bunya ini bisa berada di tenggorokannya? Dan mengapa dia tidak merasa lega sama sekali? Rasa gatal, perih, dan terbakar itu masih tersisa di tenggorokannya, seolah menunjukkan bahwa tidak hanya kelopak ini saja yang ada di sana.
Keesokan harinya, Nishinoya mengetahui bahwa cintanya pada Oikawa yang bertepuk sebelah tangan mengancam hidupnya. Bahwa kelopak bunga ini adalah tanda dari penyakit yang terasa tak masuk akal. Hanahaki Disease. Sebuah penyakit dimana cinta tak terbalas menumbuhkan duri-duri yang merenggut nyawanya secara perlahan dan menyakitkan.
Nishinoya kembali terbatuk hebat. Kelopak bunga putih dengan jejak-jejak darah mengerikan kembali memenuhi telapak tangannya. Hah ... seolah memiliki cinta tak terbalas belum cukup membuatnya menderita, sekarang penyakit sialan ini menginggapinya.
Latihan menjadi begitu berat sekarang, padahal sebentar lagi mereka harus menghadapi kejuaraan nasional setelah penantian panjang Karasuno. Nishinoya tidak bisa membiarkan timnya pulang cepat karena penyakit konyol bernama Hanahaki. Namun, lihatlah sekarang! Baru satu permainan, dia harus izin ke belakang. Rasa gatal itu tak membiarkannya pergi hingga ke kamar mandi, sehingga dia segera berlari ke kran tempat mereka selalu mendinginkan kepala. Nishinoya hampir mencuci tangannya, ketika dia menyadari seseorang mencengkram tangannya.
"Nishinoya-san, kau terluka?" Nishinoya mengerjap. Ketika berbalik, dia bertemu dengan tubuh jakung Tsukishima yang memperhatikan tangannya. Sejak kapan dia ada di belakangnya? Tsukishima mendesah lega. "Nampaknya tidak."
Nishinoya segera menarik tangannya, tetapi Tsukishima tidak melepaskannya. Libero itu tertawa hambar. "Ini bukan luka, kok. Jangan khawatir!"
"Apa ini?"
Nishinoya menggeleng. "Bukan apa-apa." Lelaki berkaca mata itu mendengus tidak percaya, lantas mengambil kelopak bunga di tangan Nishinoya tanpa rasa jijik. "Itu kotor!"
Tsukishima tampak tak peduli. "Ini kelopak bunga? Apa ini dari tenggorokanmu?" Nishinoya menunduk. "Ini Hanahaki, kan? Apa yang terjadi?"
Nishinoya terdiam.
"Nishinoya-san, tolong jawab!"
"Bukan urusanmu!" bentaknya. "Ini bukan urusanmu!"
"Nishinoya-san, apa kau tahu bahwa penyakit ini berbahaya? Siapa saja yang tahu? Semua orang di tim? Tidak, mereka tampaknya tidak tahu. Apa kau memberi tahu keluargamu? Sejak kapan kau menderitanya?"
"Ini bukan urusanmu!" jeritnya.
Akan tetapi, hal itu membuat rasa perih dan terbakar di tenggorokannya kembali. Bahkan lebih dahsyat daripada sebelumnya. Nishinoya mencengkram lehernya kuat-kuat dengan tangannya yang bebas. Melihat hal itu, Tsukishima reflek menahan tangan Nishinoya.
"Nishinoya-san, tolong jangan mencekik lehermu!"
Batuk-batuk Nishinoya semakin parah. Dia jatuh berlutut di tanah, diikuti Tsukishima yang menahan tangan Nishinoya dari menyakiti dirinya sendiri. Tubuhnya gemetar. Darah mulai meleleh di mulutnya, disusul dengan kelopak bunga yang berjatuhan. Begitu kelopak-kelopak itu keluar, Nishinoya mulai bisa mengendalikan napasnya.
"Kau tak apa?" tanya Tsukishima panik. Dia melepaskan sebelah tangan Nishinoya untuk menangkup dagunya. Wajah lelaki mungil itu pucat, dan ini adalah kali pertama bagi Tsukishima melihat lelaki itu kesakitan. Tsukishima menggigit bibir. "Siapa yang tidak membalas cintamu, Nishinoya-san?"
Nishinoya tidak menjawab.
"Nishinoya-san, kumohon, jawab aku! Kau bisa melewati ini. Aku bisa membantumu, orang-orang di tim bisa membantumu, tetapi kami tidak bisa apa-apa jika kau tidak mengatakan siapa orangnya," bujuk Tsukishima perlahan. "Apa itu Shimizu-san? Kalau dia tahu tentang ini, aku yakin dia akan ..."
"Bukan Kiyoko-san," gumamnya di sela napas tersenggal. "Dan jangan beritahu siapa pun tentang ini!"
"Tapi ..."
Nishinoya mencengkram lengan baju Tsukishima lemah. "Kumohon!"
"Aku mengerti," desah Tsukishima. "Namun biarkan aku membantumu agar gadis itu membalas perasaanmu. Dia bisa saja menyukaimu juga."
"Kalau saja semua itu, aku tidak akan menderita penyakit sialan ini." Nishinoya tertawa lirih. "Dia[1] tidak akan menyukaiku, Tsukishima. Tidak akan pernah."
"Dia?" Tsukishima menarik napas guna menenangkan diri dari keterkejutan. Ini bukan tentang wanita, sehingga mungkin akan sulit. "Apa kau takut dia tidak menerima perasaanmu karena kalian sama-sama lelaki?"
Nishinoya menggeleng. Kalau bukan karena itu, lalu kenapa? Tsukishima ingin mendesaknya, tetapi kakak kelasnya itu hanya menunduk.
"Baiklah." Tsukishima menghela napas. "Nishinoya-san, biarkan aku membantumu!"
"Apa kau tidak mengerti?" bentaknya. Dia menarik diri dari Tsukishima, lantas berdiri terhuyung-huyung mundur. "Dia tidak akan menyukaiku."
"Kalau begitu biarkan aku membantumu melupakannya!"
Nishinoya menatap tajam. Kenapa Tsukishima keras kepala sekali? Kenapa dia ingin membantunya? Kenapa yang biasanya bersikap menyebalkan ini mau merepotkan diri terlibat dengannya?
"Nishinoya-san ..."
"Oi! Kalian berdua!"
Dua lelaki itu terdiam begitu suara Sugawara terdengar. Detik berikutnya, lelaki itu muncul dari balik dinding. Tsukishima segera menutupi Nishinoya dengan tubuhnya. Dia tidak bisa mengambil resiko Sugawara melihat darah di tangan Nishinoya. Lagipula, Tsukishima menghargai keputusan si Libero untuk menyembunyikan penyakitnya. Setidaknya sampai Tsukishima menemukan waktu yang tepat untuk memberitahu Sugawara.
Sementara itu, Nishinoya hanya menunduk.
"Kalian lama sekali. Daichi akan memarahi kalian, loh."
"Maaf. Nishinoya-san tadi jatuh karena aku mengagetkannya. Bisa tolong sampaikan pada Sawamura-san kami akan segera kembali setelah mencuci tangannya?"
"Eh, benarkah? Nishinoya, kau baik-baik saja?" Nishinoya menggangguk. Sugawara menghela napas. "Bercandanya jangan keterlaluan! Okay, segera kembali, ya? Permainan kedua akan segera dimulai."
"Baik." Begitu Sugawara meninggalkan mereka, Tsukishima segera menyentuh tangan Nishinoya lembut. "Ayo! Kita harus mencuci tanganmu, lalu kembali."
"Terima kasih."
Tsukishima terdiam. Dia membiarkan air dingin itu membasahi tangannya. Ketika menyentuh telapak tangan Nishinoya, dia bisa merasakan betapa besar perbedaan lebar telapak tangan mereka. Dibandingkan miliknya, tangan Nishinoya terasa kecil. Seperti tangan para gadis, tetapi tangan Nishinoya lebih kokoh. Gadis-gadis akan menangis ketika ditolak dan patah hati. Akan tetapi, berbeda dengan para gadis, Nishinoya tidak menangis. Sebagai gantinya, penyakit mengerikan itu malah menyerangnya.
Sejak kapan? Kenapa tidak ada yang menyadarinya? Siapa lelaki yang dicintai Nishinoya? Sedalam apa cinta Nishinoya hingga dia bisa menumbuhkan bunga di tenggorokannya?
"Nishinoya-san, bila kau siap, katakan saja padaku. Aku berjanji akan membantumu," gumamnya. Tsukishima tersenyum setelah dengan puas memastikan tangan Nishinoya bersih. "Ayo kembali!"
Satu-satunya jawaban Nishinoya saat itu adalah Ya. Hanya saja, dia tidak bisa memastikan, apakah dia menyanggupi tawaran Tsukishima, atau hanya sekadar ajakannya untuk kembali?
To Be Continued
[1] : Dia laki-laki.
...
Kalian kalo mau mukul aku boleh, loh.
Sebenernya ini tuh buat Oneshot, tapi ya gimana, kok kayaknya menarik. Padahal Madly in Love With U belum kukerjain. Padahal Onigiri Miya belum selesai. Padahal aku mau bikin novel voli beneran. Hueeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee ...
Btw ... cerita ini cuma update hari jum'at buat bedah karya di grup Harem Noya. Makanya, aku bikin cerita baru. Blink-blink.
Terima kasih sudah membaca. Aku cinta kalian semua/Ditabok rame-rame
