"Mau merayakan kejadian hari ini? Aku ada Sake simpanan almarhum Ayah."
"Boleh. Sepertinya tak salah kita rayakan kemenangan hari ini."
"Baiklah. Kita minum sampai pukul 02.00 saja ya, Naruto-kun?"
"Benar. Sampai pukul 02.00 saja."
Disclaimer : Naru Hina milik Masashi Kishimoto. Vincenzo milik Sutradara dan kawan-kawannya
Prompt : Korean Drama.
Warning : OOC, Misstypo(s), Crime 5%
Sekarang sudah pukul 03.00 pagi.
Keduanya masih duduk berhadapan di meja makan. Snack ringan yang mereka beli belum semuanya habis, dan masih ada dua botol sake yang belum tersentuh. Tiga botol sake kosong menandakan bahwa mereka seharusnya sudah berhenti. Nyatanya tak ada satupun yang tertarik untuk berhenti.
Naruto melirik gadis didepannya. Kulit putih saljunya kini merona akibat sake yang diminum. Tapi tampaknya gadis itu masih sadar.
"Tak kusangka Hinata-chan kuat minum."
Hinata mengeluarkan senyum kalemnya. Tangannya memainkan perlahan gelasnya. "Selain mata Hyuuga, kuat minum jadi satu-satunya gen yang ayah turunkan padaku."
Naruto sedikit menyesal berkomentar saat melihat iris amethyst Hinata meredup. Ayah Hinata belum lama meninggal. Obrolan seputar Hiashi pasti masih sensitif bagi Hinata.
Untungnya, Sake membuat Hinata cepat berganti mood.
"Padahal beberapa jam lalu kita habis melakukan hal keji," ucap Hinata seraya tertawa. "Bisa-bisanya sekarang kita minum-minum santai?"
Benar. Dua jam yang lalu mereka baru saja menginterogasi para pembunuh bayaran yang ingin membunuh Naruto. Sebenarnya, interogasi bukanlah tindakan keji. Tapi lain cerita kalau mereka mengurung ketiga pembunuh itu didalam mobil sambil menyalakan gas beracun untuk mengancam.
Naruto ikut tertawa, tawa ringan Hinata kerap berhasil menularkan kehangatan bagi Naruto. Entah sejak kapan. "Sepertinya Hinata-chan berbakat jadi Mafia."
"Mafia cupu," gurau Hinata, meneguk segelas sake lagi. "Aku bahkan tidak berani memakai gas beracun asli untuk mengancam mereka."
"Hey, kamu tidak beritahu mereka kalau itu gas bohongan pun sudah cukup mengerikan," ujar Naruto. Tangannya menyodorkan gelas sakenya, "Manusia bisa tahan dengan siksaan. Tapi tidak dengan rasa takut. Bersulang?"
Hinata cengengesan, membalas ajakan sulang Naruto, kemudian meneguk habis sake nya dalam sekali teguk. Naruto terkesiap. Astaga, sepertinya gadis itu sudah mulai tak sadar. Hinata mana pernah cengengesan, apalagi meneguk alkohol sekaligus.
Hinata meletakan gelas kosongnya sedikit keras. "Aku kesal, tahu! Mereka nyaris membunuhmu! Kau tahu tanganku sangat gatal ingin menjambak mereka?" ketus Hinata, emosi terpampang jelas di wajahnya yang biasa tenang. "Mereka harus bertanggung jawab karena berhasil membuatku takut kehilanganmu."
Oke, Naruto menarik kata-katanya. Hinata sama sekali jauh dari kata sadar. Gadis penuh misteri seperti Hinata, tak mungkin segamblang ini mengutarakan perasaannya.
Naruto mendadak kikuk. Walaupun ia mati-matian menahan ekspresi wajahnya agar tak tampak memalukan, tapi degupan jantungnya begitu keras sampai telinganya berdenging. Kini ia hanya bisa berharap Hinata tak mendengar gemuruh jantungnya.
"Sepertinya kamu sudah mabuk. Kita sudahi saja, ya?" Naruto berucap lembut, berusaha menyembunyikan nada yang sedikit goyah. Tangannya meraih piring dan gelas untuk dirapikan.
"Jam 4," cegah Hinata, mencengkeram pergelangan Naruto. "Sampai jam 4."
"Please?"
Mereka saling pandang cukup lama, sampai terasa menyesakkan bagi Naruto untuk menarik nafas. Cekalan tangan Hinata rasanya membakar tangannya sampai ke dada.
Padahal menghadapi puluhan pembunuh sekaligus tak membuat Naruto takut. Bisa-bisanya dia gugup menghadapi gadis mabuk?!
Naruto mendesah, mengutuk dirinya sendiri. "Baiklah," putus Naruto. Itu permintaan tuan rumah. Naruto bisa apa?
Hinata mengangguk senang, melepaskan cengkeramannya. Tangannya kembali menuangkan sake kedalam gelas Naruto dan gelasnya sendiri. "Kita tidak boleh menyiakan botol yang sudah keluar, bukan?"
Manik Sapphire Blue hanya menatap gemas gadis yang mulai meracau petualangan mereka hari ini. Binaran matanya begitu bersinar. Sisi Hinata ini tak pernah Naruto lihat sama sekali. Sejauh yang Naruto ketahui, Hinata adalah wanita misterius, jenius, dan tangguh. Jarang berekspresi, apalagi tertawa. Melihat Hinata yang tertawa berseri-seri menjadi hal baru bagi Naruto, sekaligus candu.
Sejak awal pertemuan mereka, Naruto bisa melihat dengan jelas Hinata bukanlah gadis sembarangan. Benar saja, kejeniusan Hinata terbukti berkali-kali menyelamatkan mereka dari persidangan penuh konspirasi yang sedang mereka tangani.
Sejak memutuskan melawan Akatsuki Group, perusahaan terkaya sekaligus terkorup dan terlicik se Jepang, hidup Hinata dan Naruto tak bisa kembali normal. Hari-hari mereka dihadapankan berbagai teror. Akatsuki Group berkali-kali ingin menghancurkan mereka. Sampai Naruto, sang mantan mafia, terpaksa turun tangan mengotori tangannya lagi.
Hinata melawan dengan otak, Naruto melawan dengan darah.
Meskipun nyawa terancam, keduanya tak mau berhenti. Apalagi kedua ayah mereka dibunuh oleh utusan Akatsuki Group. Hal itu membuat keduanya tak tertarik untuk menyerah sebelum menjatuhkan Akatsuki Group.
Awalnya Naruto iba karena merasa Hinata senasib dengannya. Jeritan tangis Hinata saat Hiashi meninggal masih sering terngiang di benaknya. Namun perasaan senasib ini semakin lama semakin berubah. Menjadi sesuatu yang lebih... lebih ingin melindunginya, lebih ingin menjaganya, lebih ingin... bersamanya.
"Aku merasa bersalah," Naruto menoleh, menangkap Iris Amethyst sedang menatapnya kelam. "Naruto-kun pasti kaget saat aku peluk tadi di lokasi? Maafkan aku, ya."
Benak Naruto mundur kembali ke saat Hinata berlari memeluknya. Ia baru saja melawan 3 orang pembunuh, bajunya penuh darah, badannya bau mesiu. Tapi gadis itu memeluknya erat, mencengkeram jasnya, melenyapkan kekalutan Naruto seketika.
"Kenapa harus merasa bersalah?" Naruto mengabaikan hasrat untuk tersenyum lebar saat mengingat pelukan Hinata. "Kamu begitu pasti karena khawatir."
"Benarkah?" kening gadis itu mengernyit, tampak lucu dimata Naruto.
"Tapi kenapa saat memelukmu, jantungku berdetak cepat?" Gadis itu memainkan kembali gelas kosongnya. Mata sayunya tak lepas dari Naruto. "Apa jangan-jangan aku suka Naruto-kun?"
Naruto tersedak sakenya, terbatuk-batuk hebat. Barusan gadis ini bilang apa?!
Keterkejutan Naruto belum reda, dan Hinata sudah bangkit dari kursinya. "Bangun," Perintahnya.
"Eh?"
"Ku bilang, Bangun."
"Ah, ya." Naruto lekas berdiri, tak mau cari gara-gara.
Kini mereka berhadapan. Satu meter, tapi cukup membuat Naruto nyaris gila. Hinata yang mabuk sangat menyeramkan. Mata penuh intimidasi yang biasanya hanya muncul saat sidang kali ini menatapnya.
"Naruto-kun diam disana," titah Hinata. Badannya sedikit oleng. "Aku mau peluk Naruto-kun lagi selama 10 detik."
"Hah?"
Gadis itu benar-benar mengabaikan wajah bingung partner kerjanya. "Aku mau memastikan kalau jatungku berdebar," Hinata menepuk dadanya, "karena khawatir dan bukan karena suka."
Naruto menelan ludah. Tenggorokannya mendadak kering. Fokusnya luluh lantah, hancur berantakan. Ia sedang berusaha membangun pertahanan, sedangkan Hinata malah pemanasan didepannya.
"Siap-siap, Naruto-kun!"
"Tung-tunggu."
Pelukan Hinata mendarat ditubuh Naruto. Gadis itu menubruk dan lekas membenamkan wajahnya pada dada bidang Naruto. Tangan mungilnya melingkari tubuh Naruto, bergerak sesekali mencari kenyamanan dalam rengkuhan sang mafia.
Naruto tak berani membalas pelukan Hinata. Tangannya mencengkeram kuat sandaran kursi di sebelahnya. Api seperti menggerogoti tulangnya satu persatu. Begitu perlahan, begitu menyiksa. Aroma tubuh Hinata menamparnya kuat, nyaris membuatnya kehilangan akal sehat.
Bagaimana bisa tubuh Hinata terasa pas, sampai-sampai Naruto merasa menemukan kepingan tubuhnya yang hilang?
Hinata tengadah, mengundang manik laut terperangkap dalam Amethystnya. Atau Naruto memang sengaja memerangkapkan diri, karena maniknya kesulitan mengabaikan bibir tipis Hinata.
"Waah," Mata gadis itu mengerjap. Jemari kakinya jinjit, mempersempit jarak mereka. "Aku sudah dapat jawabannya."
"Hina-"
Mata Naruto terbelak saat merasakan kecupan lembut Hinata di bibirnya. Tubuhnya mati rasa dan hampir terjungkal karena punggungnya seperti rontok. Fokusnya yang sempat terbangun kembali luluh lantah. Sedetik, namun sukses menggetarkan tiap sel tubuh Naruto. Membuatnya ingin lagi, dan lagi.
"Hinata..."
Senyum lebar Hinata yang tak mungkin Naruto lupakan terpahat. Dan sepertinya akan menghantui Naruto bertahun-tahun kedepan.
"Ternyata aku suka Naruto-kun."
.
.
"Selamat pagi."
Hinata mengeratkan jaket rajutnya, bersandar pada pilar. Kepalanya sakit luar biasa dan membutuhkan beberapa detik untuk mengumpulkan dirinya.
Sedangkan Naruto, telah sibuk di dapur. Bahkan pria itu tampak tak terpengaruh sake semalam. Wajahnya begitu segar dan bersinar, sampai Hinata tak dapat menahan rona yang menjalar memenuhi wajahnya.
"Pagi," Hinata menarik bangku yang semalam ia duduki. Meja makan sudah bersih, botol-botol sake tak tampak. Kapan ia membersihkannya? atau Naruto yang melakukannya semua? Kenapa Hinata tak ingat sama sekali? Sial.
Sebuah sup beraroma lezat diletakan Naruto dihadapan Hinata. "Untuk menghilangkan pengar," jawab Naruto, menanggapi wajah kebingungan Hinata.
"Terima kasih," ucapnya pelan. Tangannya mulai menyendokkan sesuap kedalam mulut. Ia kira Naruto hanya jago menembak dan berkelahi. Ternyata Naruto jago masak? Rasa mual dan pusing yang melandanya perlahan menghilang berkat sup Naruto.
Hinata melirik Naruto yang makan supnya sendiri. Pertanyaan berkecamuk di otaknya, tapi ia tak berani bertanya. Takut jawaban Naruto tidak sesuai keinginannya.
"Ada sesuatu diwajahku?"
"Eh?" Hinata mengerjap, mendadak salah tingkah.
"Hinata-chan memandangku seperti ingin melubangi kepalaku," sahut Naruto seraya tertawa. "Apa ada sesuatu diwajahku?"
"Ah, tida-"
"Atau Hinata-chan penasaran dengan yang terjadi semalam?"
Hinata menelan ludah, gugup. Ia seperti tertangkap basah. Memangnya raut wajahnya terbaca sekali, ya? "Aku takut semalam merepotkan Naruto-kun."
"Tidak sama sekali, kok," elak Naruto. Cengiran yang sering membuat Hinata gagal bernafas normal kini terukir. "Setelah botol keempat, Hinata-chan tertidur. Aku hanya menggendong Hinata sampai kamar."
Itu menjawab pertanyaan Hinata mengapa ia bisa terbangun di kamar. Namun tetap, lubang kosong dalam ingatan Hinata membuatnya tak tenang.
"Apa aku mengatakan atau melakukan sesuatu yang memalukan?"
Naruto tampak berpikir sejenak, jantung Hinata berdegup cepat menunggu jawaban.
Akhirnya Naruto menggeleng. "Tidak ada, kok."
Desahan lega Hinata nyaris mengundang tawa Naruto. Gadis itu nampaknya benar-benar lupa dengan kejadian semalam. Yah, kalaupun ingat, Hinata pasti akan histeris, shock sendiri dengan apa yang ia lakukan.
"Aku akan siap-siap setelah ini. Sidangnya jam 2 siang, kan?"
"Iya," mata Naruto tak teralih sedetikpun dari gadis yang sibuk menghabiskan supnya. Maniknya seakan terpaku hanya untuk menatap sosoknya.
Senyuman Naruto terkulum, teringat kecupan manis Hinata semalam. Singkat, namun begitu mendamba, seakan dalam perutnya meledakkan berjuta kembang api.
Sepertinya Naruto akan membiarkan mereka tetap seperti ini. Mempertahankan hubungan profesional mereka hingga mereka selesai melawan cecunguk-cecunguk Akatsuki. Setelah itu Naruto akan menyatakan perasaannya dengan benar.
Aku takkan membiarkan Hinata menyatakan perasaan duluan. Gadis itu pantas mendapatkan pernyataan yang terbaik,
"Tunggu," Amethyst Hinata mendadak terbelalak. Tangannya menjatuhkan sendok.
"Ada apa?"
Gadis itu menggigit bibirnya kuat-kuat. Saking cepatnya, Hinata menjatuhkan bangku saat bangkit berdiri. Naruto memandang khawatir. "Hey, ada apa?"
Hinata berlari masuk kamar, membanting pintu. Naruto kebingungan. Sepertinya tadi tidak ada sesuatu. Lalu apa yang terjadi?
"Hina-"
"AKU INGAT SEMUAAA!!"
yah, atau tidak.
FIN
Dalam rangka memeriahkan NaruHina Fluffy Day dan meratapi kesedihan karena minggu kemaren nggak ada episode terbaru Vincenzo, akhirnya terpikirkan bikin cerita dengn prompt Korean drama ini wkwowkwokwowkwo
Yah, alurnya agak terburu-buru dan memaksa, jadi ku mau berterima kasih karena kalian berhasil membacanya sampai akhir hahahahaha
oke, cukup sekian. Happy NaruHina daaaay
