Baru-baru ini forget me not memang memiliki nama selain forget me not, yakni kenang-kenangan yang harum musim semi yang sebagai tambahannya, Shimazaki Touson justru turut menjadi musim panas, walaupun payung milik April sedang teduh-teduhnya.
Lalu pada hari ini, tujuh April ketika Touson naik ke kelas dua SMA, ia kembali mendatangi toko bunga tempatnya berkenalan dengan sweet pea. Lonceng emas yang manis langsung berdenting, tatkala Touson membuka pintunya yang dicat putih bersih. Pemiliknya tersenyum ramah menghargai kehadiran Touson. Seulas senyum yang lucunya asing, tetapi bukan karena Touson jarang kemari, melainkan sejujurnya ia baru pertama kali masuk ke dalam.
"Selamat datang di Toko Flos. Ada yang bisa saya bantu?" Telunjuk dan ibu jari Touson bertopang di dagu. Kendatipun tujuannya sudah jelas dan bisa langsung dieksekusi, Touson pikir itu akan terlalu membosankan apabila lurus-lurus amat.
"Hmmm ... boleh aku melihat-lihat dulu?"
"Tentu saja boleh, atau bagaimana jika saya sekalian memberikan tur kecil-kecilan? Biar Tuan lebih tahu soal jenis-jenis bunga yang kami jual."
Tidak buruk. Kenapa pula Touson harus menolaknya, apalagi ia ditemani seulas suara yang lembut pun enak dikenang? Sosoknya adalah seorang lelaki berambut hitam termasuk matanya, dengan tinggi sekitar 165 sentimeter. Lagi-lagi jua kalau boleh jujur, Touson ini sebenarnya jatuh cinta kepada si pemberi tur. Meskipun baru pernah masuk tokonya, begini-begini mereka pernah bertemu tahun lalu di–
"Maaf, Tuan. Apa ada yang salah dengan wajah saya?"
"Enggak, tuh." Cantik di wajahnya mulus. Mata sipit itu menggemaskan. Bibirnya merah delima membuat dilema. Sudah sangat perfek membikin Touson macam melihat kayangan.
"Ah ... maaf. Wajahmu mirip sama istriku, sih."
"I-istri?! Be-begitu, ya. Semoga bahagia."
Canggung yang ia tampilkan diam-diam menyebabkan Touson terkikik-kikik. Pasti pemuda mungil itu mengira Touson benar-benar menikah. Syok, padahal Touson masih sekolah, tetapi mana sopan apabila ikut campur. Rasa-rasanya Touson jadi ingin mengatakan, bahwa si florist ialah istri yang Touson maksud, dan Touson akan berhasil. Kalau tidak begitu sia-sia Touson bolos.
"Benar juga. Siapa namanya, ya?"
Selagi Touson bertanya-tanya, kira-kira siapakah nama "istrinya" ini? Di luar toko tersebut Tayama Katai dan Kunikida Doppo yang mengintip kegiatan mereka, melihat Touson seumpama uang lima ratus yen–memangnya kenapa jika nominalnya kecil? Mereka lelah minum air keran terus selama rumah di luar jangkauan!
Curse of Forget Me Not
Disclaimer: DMM.
Warning: OOC, typo, TouShuu, AU, dll.
Author tidak mengambil keuntungan apa pun dari fanfic ini. Semata-mata dibuat demi kesenangan pribadi, dan untuk event bulanan FFA dengan tema "flower shop!AU".
Karena tokonya kecil tur-nya pun cepat selesai. Segenap penjelasan yang berhasil dituturkan sampai Touson catat di notes, sedangkan lembut pada suaranya direkam dengan kenangan. Jam baru menunjukkan pukul dua belas siang, ketika akhirnya ia kembali bertanya, tuan ingin membeli apa? Jempol dan telunjuk Touson berpulangnya lagi ke dagu. Jika ia menelaah seluruh sudut pandang yang dihasilkan oleh toko ini, berarti hanya tersisa satu jalan.
"Santai saja. Bagaimana kalau kita makan siang dulu? Sekarang sudah pukul dua belas juga." Iris obsidiannya menatap jam dinding yang bundar. Ia manggut-manggut membuat Touson percaya diri ajakannya berhasil, tetapi tangannya malah menunjukkan gestur geleng-geleng yang menghancurkan pertahanan.
"Jangan repot-repot. Bukankah lebih baik Tuan segera menyebutkan pesananmu, sehingga–", "Kamu capek, ya? Tunggu sebentar. Kubuatkan teh," potong Touson cepat. Cangkir dan termos yang sejak awal terletak di meja kasir merupakan prolognya. Sang florist lumayan membuka mulutnya, ketika ia terpukau akan Touson yang seolah-olah tahu, ia turut menyimpan chamomile di sekitar meja kasir.
"Silakan dinikmati. Anggap saja rumah sendiri."
"Rumah? Tapi ini toko bunga dan ini–" Toko orang tuaku, batinnya yang tidak dapat melanjutkan, gara-gara punggungnya didorong ke arah kursi. Secangkir teh chamomile betul-betul disuguhkan. Bahkan Touson bisa-bisanya duduk di tempat kasir, membikin posisi mereka terbalik 180 derajat.
"Posisi kita tertukar, lho."
"Katanya kamu capek."
"Saya enggak bicara begitu. Tuan saja yang langsung berspekulasi."
"Jadi mau makan apa? Atau mungkin kamu ingin memesan saja?"
Telepon yang juga sepaket dengan meja kasir, gagangnya Touson angkat. Florist muda itu menghela napas, saat ia pikir Touson mustahil melepaskannya, sehingga ramen asal-asalan disebut daripada dipesankan yang aneh-aneh, mungkin. Selama menunggu pengantarnya datang, ternyata menjadi giliran si florist untuk menatap wajah samping Touson. Rasa-rasanya ia kenal. Sekitar tahun lalu sewaktu dirinya masih semester satu, kalau tak salah–
"Enggak apa-apa. Tatap saja sebanyak yang kamu mau."
Semua yang ia lihat sekarang ini hanyalah paras depan Touson. Mereka terus berpandangan sampai mulutnya batuk-batuk, ketika baru kali itu wajah seseorang justru membingungkannya. Sebuah rupa yang membuat mimpi, dan realitas berdetak bersamaan. Lalu nantinya di mana pun ia berada, kata "selalu" yang hanya satu buah pun sudah cukup, untuk membuat selama-lamanya menemukan serta menyatukan mereka.
"Bu-bukan begitu, Tuan. Ini mungkin hanya firasat saya, tetapi saya pikir–" Dibatasi meja pun Touson tetap mendekat. Kini napasnya adalah wajahnya juga, dan itu hangat seolah-olah Touson menyimpan matahari. "Iya. Kita memang pernah bertemu, kok. Tahun lalu di jembatan."
"Dugaanku benar ternyata. Pantas saja wajahmu familier."
"Ah ... jadi kamu juga ingat, ya." Bibirnya ditahan seperti Touson memakan gula-gula, melahirkan senyuman tanggung yang ketika dilihat olehnya, matanya langsung menggambarkan. Merah yang malu-malu duduk di sepasang pipi Touson pun, tidak dapat ia rayu. Di hadapan rasa manis yang mewujud manusia ini yang tak bisa ia kunyah, kulum, selain ditatap, ia baru paham apa makna sesungguhnya dari mati kutu.
"Yah. Mustahil juga aku lupa."
"Berarti boleh aku tahu, siapa–?"
Seruan permisi menginterupsi omongannya. Pintu toko lantas dibuka begitu saja, memperlihatkan sesosok pemuda sepantaran sang florist. Tangan kanan yang dibantu bagian kiri tersebut tampak sibuk menggotong kotak besi. Uap terbaik dari dua mangkuk ramen langsung ditampilkan, sebelum mendingin akibat dibuat melupakan sentuhan manusia. Namun, Touson justru menatapnya sinis seolah-olah musuh tengah menghadangnya.
"... Tuan?" Kekhawatiran terselip pada panggilan itu. Kendatipun wajah Touson tetap sedatar kata-kata yang dikandung kamus, sesuatu di dalam diri Touson dapat dirasakan sedang menanjak, melonjak, meledak sedikit demi sedikit, melalui jempolnya yang diarahkan ke sang florist.
"Tahu nama dia enggak?" tanya Touson lurus kepada si ungu, alias pengantar ramen, mentang-mentang rambut dan matanya ungu. Gelengan yang gugup ia taruh sebagai jawaban. Kasihan juga menilik wajahnya jadi pucat, usai diintimidasi Touson.
"Nah. Aku juga enggak tahu." Dahinya mengernyit. Konklusi yang terangkai pada benak Touson benar-benar memiliki bentuk yang susah ditebak.
"Te-terus ... bagaimana?"
"Harusnya kau jangan masuk saat aku hendak menanyakan namanya."
"Mana ku tahu kau mau menanyakan nama dia?!" batin si pengantar ramen sembari mengelus dada. Aura di sekelilingnya kini suram, sedangkan mata ikan mati kepunyaan Touson tetap bersikukuh "menghukum" pemuda serba ungu, dengan menjadikannya tontonan.
"Namaku Tokuda Shuusei, Tuan. Tolong berhentilah memelototinya."
"Tokuda Shuusei, ya ... nama yang bagus. Boleh kupanggil Shuusei-san?"
"Shuusei pun enggak apa-apa, kok. Nama Tuan siapa?"
"Shimazaki Touson. Hilangkan saja panggilan tuannya. Shuusei juga boleh memanggilku pakai nama depan, kok."
"Sayangnya aku canggung soal hal-hal seperti itu. Shimazaki dulu saja tidak apa-apa, 'kan?"
Percakapan mereka sangat menikmati dirinya sendiri. Mengalirnya begitu warna-warni sampai seolah-olah tidak boleh disalip apa pun, terutama oleh Masao Kume–identitas si pengantar ramen–lebih-lebih ia habis menerima uang dari Shuusei. Pekerja paruh waktu itu seratus persen diabaikan, jelas. Tololnya memang ia masih di sini untuk sekadar meratapi nasib–kenapa kerja begini amat? Pelanggannya yang hanya anak SMA pun mengesalkan banget.
"... Selamat menikmati ramennya."
Suara terlampau kecil itu dianggap tidak berada di mana-mana. Namun, Shuusei sekiranya masih berbaik hati dengan repot-repot membuka pintu toko. Berlari kecil-kecilan menghampiri Kume untuk menyampaikan tulusnya terima kasih, dan Kume setidaknya bahagia di cerita ini. Sumpit Touson tengah mengapit babi goreng kala Shuusei kembali. Kedua ramen berakhir dengan disantap dalam khidmat, tetapi sunyi hadir sebagai menyenangkan.
"Tokonya baru buka lagi bukan?" Posisi menuang teh masih Touson pertahankan, begitu pun menempati kursi untuk kasir. Teh hijau sehabis ramen sangatlah mantap untuk menyegarkan mulut, tetapi Shuusei pikir baru sekarang ini ia bisa menikmati hal yang tersaji dalam segelas minuman yang ternyata adalah segalanya. Atau menjadi segala-galanya hanya ketika bersama Touson, mungkin–anak SMA ini juga spesial bagi Shuusei, soalnya.
"Bahkan kau menyadari itu. Ada banyak masalah terjadi, bahkan sebelum acara tersebut dimulai. Makanya kami tutup dulu setahun. Sekarang, sih, sudah baik-baik saja. Detailnya tidak bisa kuceritakan. Maaf."
"Gara-gara itukah Shuusei terlihat menangis di jembatan?"
"Y-ya ... memalukan sekali rasanya."
Singkat cerita di dalam waktu yang terasa panjang itu, Touson sempat melewati toko bunga yang pemiliknya tiba-tiba saja menghampiri Touson. Tangannya dipinjam sebentar, barulah diangkat yang dijadikan pemenang oleh acara, "Memilih orang secara acak untuk mendapatkan buket gratis". Bunga entahlah apa menjadi miliknya, kemudian orang-orang bertepuk tangan seru sekali.
Sebagai bukan penggiat botani, sikap Touson amat dibingungkan menilik ia pun menolak memajangnya di rumah.
Dari sanalah ide tersebut tercetus yang jika dipikir-pikir, eksistensi Shimazaki Touson amat menggelikan. Jadi, Touson kepikiran untuk mencari seseorang dengan beberapa kriteria, agar dialah yang membawa bunganya. Terpenting adalah ia memancarkan culun, sendirian atau sengaja menyendiri, dan sepertinya lupa bahwa ia berhak memercayai penolakan.
Pilihan Touson lantas jatuh kepada pemuda berambut hitam termasuk jua matanya, tetapi ia tengah sembab sehingga lebih terlihat biru. Biru yang bukan lautan, langit, sesuatu yang mungkin dilukiskan sebagai bukanlah apa pun di dunia ini.
Buketnya tetap Touson berikan, memang. Akan tetapi Touson langsung meninggalkannya. Mengingat satu air mata sebelum ia melepaskan langkah, juga mungkin sejak hari itu, Touson merasa ia terus berlari di dalam pikirannya. Berlari untuk tetap mencari sosoknya yang biru, tetapi Touson sungguh-sungguh merasa ...
yang akan Touson temukan adalah sosok yang tetap biru, tetapi ia cerah dan tak perlu sampai berseri-seri asalkan ia puas.
Entahlah Touson dikutuk oleh pemuda itu, ataukah bunga yang Touson berikanlah yang mengutuknya, karena ternyata ia diberi nama forget me not. Dalam hanakotoba diartikan, "Jangan lupakan aku".
Karena Touson bilang janganlah melupakannya, berarti saat itu juga sampai seterusnya, Touson pun mengenang dia ketika mana mungkin, Touson tak ingat kepada seseorang yang ia minta untuk mengingatnya; tiba-tiba pula.
"Air matamu indah, kok."
"Indah di bagian mananya? Atau mungkin Shimazaki sedang berpuisi?" Tetapi kenapa temanya harus membawa Shuusei? Lelaki yang menangis itu sudah seperti aib bagi masyarakat. Apabila Touson sekadar menghibur Shuusei dengan berkata demikian, maka Shuusei diwajibkan meminta Touson berhenti, bukan?
"Memang iya aku senang membuat puisi. Namun, kata-kataku barusan bukanlah diksi semata."
Ah. Lagi-lagi Touson mendekat. Ditatapnya lekat-lekat sepasang obsidian Shuusei, agar Shuusei hanya melihat dan memiliki Touson.
"Dari air matamu, lahirlah senyuman yang indah. Artinya tangisanmu enggak jelek, dong. Lagi pula buatku, dasar dari semua senyuman adalah karena dulu kita pernah menangis."
"Itu kata-kata yang sangat bagus. Kapan-kapan aku ingin membaca puisimu, boleh?"
"Di internet ada, kok. Cari saja Shimazaki Touson."
Pada pertemuan pertama mereka, yang memungut air mata Shuusei dan memulihkan rangkaiannya agar menjadi senyuman untuk suatu hari nanti, memang adalah waktu. Bahwa karenanya jua, barulah Touson bisa melihat Shuusei bersenang-senang dengan tersipu malu, memakan ramen, mereguk teh hijau.
Namun, dimulai dari detik ini sampai ke masa depan, Touson-lah yang akan berlari, menggenggam air mata Shuusei, membuang kesedihan di dalamnya dan memasangkan bulir demi bulir itu di bibirnya. Akan Touson beri perhatian dengan memperhatikan, bagaimanakah Shuusei mengembangkannya yang kira-kira menjadi langit, laut, atau mata lainnya yang bedanya hanya mengetahui cara melihat Touson.
Soalnya memang begitulah cara Touson mengingat sosok sang biru; ia jatuh cinta, seperti yang dikatakannya di awal, hanya karena prolog yang mereka pilin sudah sedemikian menarik; dipertemukan oleh air mata, Touson yang langsung merasa ingin mengubah sedu sedan menjadi lengkung pelangi, lalu sekarang di pertemuan kedua ini, Touson tahu kenapa.
Semua bahkan sesederhana, hanya karena Touson semakin diyakinkan Shuusei memiliki wajah yang baik, dan Touson ingin melindungi kebaikan tersebut agar masih bertahan sewaktu bersama Touson, ataupun Shuusei nanti lepas dari Touson.
(Mengutuk dirinya sendiri, secara lebih sederhananya.).
"Omong-omong sudah sore. Shimazaki enggak pulang?" Pertama-tama Touson melihat ke arah pintu. Senja memang semakin matang, walaupun arah fokus Touson adalah mengecek kedua sohibnya. Mereka tak di mana pun yang memperburuk firasat Touson.
"Jangan bilang Katai sama Kunikida–"
Pelanggan lainnya datang dengan tidak disangka-sangka. Sisi kiri dan kanannya sibuk menggotong dua anak sekolah. Berseragam sama seperti Touson, di mana rambut pink serta kuning bersanding apik.
"Apa yang kaulakukan di sini, Shimazaki?" Suara Satou Haruo menggelegar macam badai. Shuusei menatap mereka bulak-balik, sedangkan Touson masih datar seolah-olah tidak menemukan kiamat di depan mata.
"Seperti yang Sensei lihat, saya bekerja sebagai kasir di sini untuk membantu istriku."
"Lah?! Istrinya itu aku?" ujar Shuusei kaget sambil menunjuk dirinya sendiri. Hanya anggukan singkat yang Touson beri. Dengan cepat ia melompat meninggalkan meja kasir. Namun, telunjuknya masih lebih sempat untuk menunjuk forget me not–bunga yang meleburkan nasib mereka.
"Beli bunga itu, ya, Shuusei."
"Tu-tunggulah sebentar kalau begitu."
Pelototan Haruo tiada membohongi siapa pun bahwa guru kesenian itu dongkol, ditambah bertanya-tanya, mengapa Touson bisa-bisanya santai membeli bunga? Shuusei jadi bingung dengan tindakannya. Menyodorkan buket forget me not ragu-ragu yang sejurus kemudian, semuanya lagi-lagi seperti sihir.
"Sampai jumpa besok, Shuusei. Aku enggak akan bolos lagi, kok. Jadi, jangan ceramahi aku." Buketnya diserahkan balik ke Shuusei. Sebelah tangan Touson terangkat menyampaikan sampai jumpa, membuat Haruo merasa terabaikan.
Kakinya dipacu secepat mungkin. Teriakan Kunikida bahwa Touson wajib memberikan lima ratus yen kepada keduanya, karena mereka tertangkap basah oleh Haruo, sekilas menggema memenuhi toko bunga. Entahlah apa maksudnya. Namun, sekiranya Shuusei bisa menghela napas lega sekarang. Jantung yang kencang dan seolah-olah ingin meledak gara-gara anak SMA itu, tetapi tak bisa sebab Shuusei takut kehilangan perasaannya ... Shuusei bahkan belum pernah mengkhayalkannya, kemudian mengalaminya. Wajar, bukan, Shuusei kelabakan?
"Anak SMA zaman sekarang beringas-beringas, ya ..."
Buketnya Shuusei peluk erat-erat. Pemberian tersebut tentu berbeda dari bunga yang pertama, karena sekarang ini Shuusei menerimanya dengan bahagia. Pertanyaan itu kemudian mencuat begitu saja. Shuusei sendiri tak pernah bosan menjawabnya, tetapi satu kali saja Shuusei berharap Touson mengetahuinya dari kata-kata Shuusei.
Pernahkah Touson bertanya-tanya, apa Shuusei benar-benar mengingat Touson selama ini?
Jawabannya tentu saja, adalah iya. Bagaimana mungkin Shuusei lupa, ketika ada seorang anak SMA berparas lugu tiba-tiba memberikan bunga? Lebih-lebih buket itu dari tokonya sendiri, membuat Shuusei bisa tertawa kecil di tengah sulit yang membungkam kehidupannya.
"Sekarang kita enggak akan terpisahkan lagi, kok."
Semoga besok Touson berkunjung di waktu sore, atau Shuusei akan betul-betul menceramahinya.
Tamat.
A/N: Awalnya mau dibikin hurt, tapi karena selama pengerjaan dapet ilham bikin fluff, yaudah bikin fluff. Sebenernya juga aku kurang yakin, soal cinta pertamanya pas atau enggak. Di sini pun jatuhnya TouShuu, dan aku suka banget sama touson jadi seme walaupun dia masih sma kelas 2, sementara shuusei anggaplah udah semester 3 wkwkw. Aku gak berapa tau mau ngomong apa lagi, tapi tengkyu buat yang udah baca, fav, follow, review, atau numpang lewat doang. Mari bertemu di fanfic lainnya~
