Disclaimer Penyangkalan

BoBoiBoy belongs to Animonsta Studios

I gain nothing from this work whatsoever

.


.

- "As Good As Any" -

.

Summary - "Kak Hali, yaoi itu apa sih?" tanya Taufan tiba-tiba. Halilintar langsung batuk. Percakapan sulit di musim panas pun terjadi.

.


.

Malam itu pertengahan Agustus, saat musim kemarau tengah memanggang Pulau Rintis bersama setengah permukaan bumi. Angin sejuk bertiup masuk melalui jendela kamar yang didiami dua kembar lelaki, mengeringkan peluh yang bertitikan. Tanpa tanda menyuguhkan jeda menyenangkan dari hawa panas yang membakar, meski matahari telah lama tenggelam.

Pada kamar tersebut, dua orang remaja duduk bersisian menghadap meja belajar. Sang kakak yang berbaju merah jerau sedang sibuk menelaah buku tebal. Sesekali ia menulis dengan cepat pada buku tulis, alisnya bertautan dalam konsentrasi. Matanya tajam menyisir tiap abjad dan numerik.

Seorang lagi yang berkaus biru lazuardi tengah duduk di sebelah saudaranya, matanya melekat pada layar gawai pintar. Jemari tangan yang lain sibuk menjejalkan kerupuk udang ke dalam mulut, menimbulkan suara berisik saat mengunyah. Semakin lama, suara giginya semakin nyaring. Remah-remah berhamburan di buku-buku dan kausnya.

Tak aneh remaja lain yang sedang menulis itu segera menyapu bukunya dengan tangan, roman wajahnya agak terganggu.

"Taufan! Remahnya kemana-mana," protesnya. Remaja bernama Taufan itu berhenti sejenak dari menggerus kerupuknya.

"Maaf Kak Hali. Nanti aku sapu."

Hali atau Halilintar, tak menjawab dan meneruskan berkutat pada PR-nya. Taufan kembali menghabiskan camilannya, kali ini lebih tenang dan lebih rapi. Jarinya lincah bergulir pada touchscreen, matanya melotot pada LCD ponsel. Alisnya meninggi ke atas dan air mukanya tampak bimbang bercampur penasaran.

Sementara itu, Halilintar tengah mengambil jeda sejenak dan menghirup air lemon ketika Taufan melontarkan pertanyaannya.

"Kak Hali, yaoi itu apa sih? Fujoshi itu apa?"

Halilintar tersedak. Ia terbatuk sedikit dan menolehkan kepalanya pada adiknya. Taufan tampak sabar menunggu respon dari kakaknya, membuat dahi Halilintar tiba-tiba sakit.

Apalagi yang ia lihat, batin Halilintar.

"Yaoi itu homoseksual. Yang menyokong dan menyukai yaoi disebut fujoshi kalau perempuan, dan fudanshi kalau laki-laki. Mereka lazimnya memasangkan dua tokoh dari media tertentu dan membuat karya berkaitan pasangan itu. Sebagian besar fujoshi bukan homoseksual sungguhan sih ... walau fudanshi kemungkinan memang gay."

"Ooh, kok bisa menyukai yaoi tapi bukan lesbian atau gay?"

"Entahlah," jawab Halilintar sekenanya. "Kalau fujoshi dan fudanshi ini beragama Islam, mereka sudah dihukumi murtad alias kafir walau tanpa disadarinya."

"Eeeeh? Benarkah?" sahut Taufan terkejut, kerupuk udangnya langsung terlupa. "Kok bisa Kak? Apa enggak berlebihan?"

"Taufan, yang mengeluarkan fatwa kafir itu bukan aku, tapi para ulama besar seperti Al-Buhuti ulama Hambali, Muhammad bin Ismail Ar-Rasyid ulama Hanafiyah dan Imam An-Nawawi. Siapa yang lebih tahu fiqih Islam kecuali para ulama dan imam? Para fujoshi dan fudanshi boleh saja berkelit dan mencari salahnya fatwa ini, tapi itu seperti gak sadar diri. Sudah menyukai hal dosa, merasa lebih tahu pula daripada ulama!"

Taufan terkekeh kecil, ia menggaruk pipinya yang tak gatal. Jemarinya mengusap layar ponsel yang masih menayangkan laman sosial media mahsyur.

"Kak Hali bisa aja, hehehe ... terus bagaimana dengan non-Muslim? Apakah menjadi fujoshi, fudanshi dan yaoi itu diperbolehkan?"

Halilintar menaruh penanya pada tulang buku dan mencondongkan tubuhnya pada Taufan.

"Kebanyakan agama melarang keras homoseksual, seperti Kristen dalam Bible-nya, di Bab Leviticus 18 dan 20. Jadi mendukung homoseksual seperti tingkah fujoshi dan fudanshi ini perilaku di luar agama mereka. Ini paham liberalisme alias menuhankan kebebasan bablas individu tanpa kekangan agama."

Mata Taufan membola lebar, ia lantas mengerling ke arah ponselnya. Rautnya bimbang bercampur waspada.

"Kata temanku yang fujoshi, mereka suka yaoi itu gak merugikan siapa-siapa. Gak kayak mencuri atau membunuh orang ... "

"Kata siapa?" dengkus Halilintar. "Kalau Allah menurunkan azab, yang kena itu kita semua, bukan dia saja. Kita ikut kena susahnya."

"Oh benar juga!" tanggap Taufan, tercerahkan. "Kak, kalau gambar dan tulisan yaoi bagaimana? Kan itu diserahkan pada kebijakan individu untuk memilih media yang bersih. Tak perlu repot melarang, kan?"

Halilintar menaikkan alis kanannya, Taufan langsung tersadar jika ini adalah gestur refleks sang kakak ketika menyaksikan perkara tidak menyenangkan namun bercampur kepandiran.

"Memang betul kita bisa memilih media mana yang kita konsumsi, tetapi orang Muslim diwajibkan menolong agama Allah dengan saling menasehati. Allah menimpakan malapetaka pedih pada golongan sholeh jika mereka tidak ikut andil dalam amar ma'ruf nahi munkar ... atau menyeru pada kebaikan dan mencegah kejahatan."

"Jadi seperti orang yang fokus ibadah kuat-kuat tapi sekelilingnya maksiat merajalela?"

"Yeah, dianya diam saja tanpa menasehati. Orang seperti ini yang ikut diazab walau ia tak bermaksiat," tutup Halilintar. "Jadi, bukannya sibuk mengurusi dosa orang, tapi kita yang gak mau ikut-ikutan diazab Allah. Jadi biar kita lepas tanggung jawab di akhirat nanti."

"Hmmm," gumam Taufan, ia mengetuk layar ponselnya beberapa kali lalu tersenyum kecut. "Aku punya teman fujoshi. Apa yang harus aku lakuin, Kak?"

"Nasehati dia baik-baik, jangan pedulikan reaksi dia. Yang penting kamu sudah tunaikan kewajiban. Kalau dirasa post dia bikin dosa mata, baiknya ditinggalkan saja orang ini. Pandailah pilih teman, jangan berpendapat harus berteman dengan semua orang lantas gak disaring. Sebab paparan terlalu lama bisa bikin kamu ikut suka yaoi juga, ikut tepuk tangan pada maksiat juga. Mau kamu?"

"Ya iyalah gak mau!" sungut Taufan. "Bikin celaka diri sendiri ... kayak berdoa minta musibah."

Halilintar tersenyum tawar dan ia meraih penanya. Jemarinya mengapit benda tersebut dan mulai menarikannya di atas kertas.

"Kita ini umat akhir zaman, dalam fase huru-hara dan fitnah yang menyebar seperti wabah tungau. Golongan yang berpegang teguh pada agama ini semakin tersingkir dan diuji besar. Semakin tersudut. Semakin asing. Kita harus menjaga satu sama lain, menjaga keluarga kita dan berkumpul pada teman-teman yang sholeh saja."

Alis Taufan naik beberapa milimeter.

"Karena ini Kak Hali berhenti main media sosial kecuali whatsapp?"

"Iya. Tapi baiknya kita berdakwah via media sosial sebab kebanyakan orang main ini. Jadi agar tersebar ke segala tempat syariat agama. Kalau fujoshi dan fudanshi menebar maksiat di media sosial aja gak apa-apa, lantas kenapa dakwah harus dipermasalahkan?"

"Oooh, aku paham," sahut Taufan, ia menjentikkan jarinya. "Terbaiklah Kak Hali, maasyaa Allah. Calon ustadz nih, hihihi ... "

"Mana ada," sungut si sulung agak malu.

"Aamiin-kan saja dong Kak, hahaha ... " gelak Taufan. Halilintar mengerutkan alisnya, matanya melirik pada buku di depannya.

"Aku juga diberi tahu Solar dan Gempa, mereka lebih tahu soal melawan argumen-argumen liberalisme. Kata mereka, Muslim harus pintar dan rajin membaca biar gak dibodohi. Contoh kecilnya ya soal yaoi dan fujoshi, fudanshi ini. Argumen mereka selalu soal menyembah kebebasan individu yang kelewat batas, banyak orang di fandom yang bingung dan tersesat akibat dalil-dalil mereka."

Taufan melipat jemari tangannya di belakang kepala, matanya beradu pada lukisan ikan koi di langit-langit kamarnya. Sekilas, seolah ikan-ikan itu berenang bebas di langit cerah.

"Kontradiksi gak sih Kak? Saling menasehati dan meluruskan itu ciri dari kepedulian sosial, sementara pembiaran itu basis dari paham individualis? Manusia sejak lahir hingga mati memerlukan bantuan orang lain, ya kan?"

"Yeah," afirmasi si sulung, ia menghela nafas kecil. "Yang jelas Taufan, jaga matamu dari hal-hal haram. Taatlah beragama tanpa takut cap jelek orang lain."

"Daaann doakan biar dapat hidayah, ya kan Kak?" imbuh sang adik. "Kata Ustadz Adi Hidayat, surga itu terlalu luas buat seorang diri, makanya jangan sholeh sendirian. Ajakin orang lain juga!"

"Yeah," jawab Halilintar, ia tersenyum simpul. "You got this, Taufan."

"Ehehe ... " kekeh sang adik.

Dari sana, terdengar sayup ranting pohon menampar kaca jendela kamar mereka diselingi desir angin mewangi. Malam itu bulan hampir separuh, menandai masa bulan suci. Sebuah tandan muda yang kian menua dan kelak dirindui jiwa-jiwa pecinta Rabbi.

Bahkan tiap helai jiwa bukan milik sendiri, tapi wasilah untuk kembali pada Yang Maha Pengasih. Sebagaimana ikrar kita sekalian, sebelum turun menggarap bumi.

.


Selesai.


.

A/N

.

Jika ada di antara para pembaca adalah fujoshi/fudanshi, maupun yang punya teman suka yaoi/shounen-ai, fanfic ini tidaklah datang dari saya. Tapi dari Allah yang ingin kalian taubat dan saling mengajak pada kebajikan.

Mohon direnungkan, sebab hidayah itu dicari, bukan ditunggu.

Moga Allah selamatkan kita semua aamiin Allahumma aamiin.

"Kalimat yang paling Allah benci, seseorang menasehati temannya, 'Bertaqwalah kepada Allah', namun dia menjawab: 'Urus saja dirimu sendiri."

(HR. Baihaqi dalam Syu'abul Iman, 1/359, an-Nasai dalam Amal al-Yaum wa al-Lailah, 849, dan dishahihkan al-Albani dalam as-Shahihah, no. 2598).