"NARUTO MILIK MASASHI KISHIMOTO. TIDAK ADA KEUNTUNGAN MATERIAL YANG SAYA DAPATKAN DARI PEMBUATAN FANFIC INI."

.

.

.

Sejak pagi hujan terus saja mengguyur bumi seakan-akan ikut bersedih melihat sekumpulan orang yang sedang berada di sebuah pemakaman. Orang-orang yang semuanya memakai baju berwarna hitam itu nampak sedang mengelilingi sebuah makam dengan batu nisan yang bertuliskan Hinata Uzumaki.

Pria yang merupakan suami dari pemilik nisan itu nampak sedang bersimpuh sambil mengelus batu nisan di hadapannya. "Selamat tinggal, Sayang. Tidurlah dengan tenang."

"Hiks."

Dari arah belakangnya, lelaki bernama lengkap Naruto Uzumaki itu dapat mendengar suara tangisan seorang perempuan. "Ibu," ucap lelaki itu kemudian berbalik menatap wanita yang wajahnya sangat mirip dengan almarhumah istrinya. Wanita itu masih dengan setia memayungi kepala menantunya.

"Ibu yang tabah. Masih ada aku yang menjaga Ibu di sini," tambah Naruto panjang lebar sambil merengkuh ibu mertuanya itu sambil mengambil payung dari tangan ibu Hinata. Kali ini Narutolah yang memayungi mereka berdua. "Sekarang Hinata sudah tenang bersama dengan ayah."

Naruto tiba-tiba teringat dengan wajah ayah mertuanya itu. Dulu, ayah mertuanya itu adalah atasannya. Tapi saat Beliau meninggal, wasiatnya meminta Hinata untuk menikah dengannya. Naruto tentu saja tidak menolak. Karena sejak awal memang itulah rencananya. Menikahi putri tunggal pemilik Hyuga Group hingga pada akhirnya menjadi pemiliknya langsung. Dan sekarang ia benar-benar menjadi pemilik tunggalnya.

Ibu Hinata balas memeluk Naruto dan menangis di dada menantunya itu. "Ke-kejam sekali orang yang mem-membunuh Hinata," ujar wanita tersebut saat ia mengingat kondisi mayat anaknya. Anaknya dianiaya sedemikian rupa sebelum akhirnya menghembuskan napas terakhirnya.

"Sstt... Ibu, tenanglah. Aku yakin polisi akan menemukan pelakunya. Lebih baik sekarang ibu pulang, hm?" saran Naruto kemudian menoleh ke arah pelayan ibu mertuanya. Wanita itu segera mengerti isyarat Naruto dan mendekati majikannya.

"Nyonya, ayo kita pulang," ucap wanita yang sudah menjadi pelayan Nyonya Hyuga selama hampir lima tahun itu.

Ibu Hinata menarik napas, melepas pelukannya, kemudian menengadahkan kepalanya menatap wajah Naruto. Tangannya yang sudah keriput itu menyentuh wajah Naruto dengan begitu lembut. "Bawah matamu hitam, Nak. Beristirahatlah dengan benar, jangan sampai kau sakit."

Naruto menganggukkan kepalanya sambil tersenyum hangat. "Ya, Bu."

"Kutitip perusahaan padamu," lanjut ibu Hinata.

Naruto menggenggam salah satu tangan ibu mertuanya. "Ibu tidak usah memikirkan soal perusahaan dulu. Yang terpenting sekarang ibu beristirahat, aku tidak ingin ibu pingsan lagi."

Wanita itu itu mengangguk. "Kalau begitu ibu pulang dulu, Nak."

"Hm, hati-hati di jalan," sahut Naruto tersenyum.

Ibu Hinata kemudian berjalan ke arah mobilnya diparkir. Sudah ada sopirnya yang menunggu di dekat sana. Pelayannya juga dengan setia memayunginya dari samping. Tiba-tiba ia berhenti sambil menoleh ke belakang. Matanya dapat melihat semua pelayat yang tadi mengelilingi pusara putrinya perlahan-lahan pergi dan menyisakan satu orang yang masih berdiri di sana.

Suami putrinya.

Laki-laki itu berdiri menghadap makam dengan payung di tangan kirinya. Dari sudut pandang ibu Hinata, ia dapat melihat bahu laki-laki itu sedikit bergetar. "Hhh!" Ibu Hinata menarik napasnya sambil menutup mulutnya. "Kasihan sekali. Ia pasti berusaha tegar di hadapan semua orang," ucapnya karena mengira Naruto yang sedang menangis.

"Benar, Nyonya. Saya harap Tuan Naruto dapat tabah," balas pelayannya.

"Semoga saja. Ayo kita pulang."

Semua orang yang menghadiri pemakaman juga memiliki pemikiran yang sama dengan ibu Hinata. Mereka semua merasa iba saat melihat lelaki itu berdiri sendiri di dekat makam almarhumah istrinya.

Sedangkan Naruto sendiri pada kenyatannya sedang menyeringai sambil tertawa kecil. "Seharusnya kau senang, Hinata. Kau tidak sendirian tidur di makam itu. Kau tidur bersama anakmu, kan?"

Tawa Naruto mendadak terhenti saat mengingat kondisi mayat Hinata. "Tapi aku kesal. Orang itu berani-beraninya merusak milikku sampai seperti itu."

Rupa mayat Hinata masih terukir jelas di otaknya. Wanita itu diikat seperti huruf X pada tempat tidur yang seprainya sudah berwarna merah kecoklatan dalam keadaan telanjang. Ditambah lagi ada kepala anaknya yang tersangkut di selangkangannya. Daripada sedih, Naruto lebih merasa terhina saat melihatnya. Miliknya dirusak tanpa seizinnya. Padahal ia hanya meminta agar Hinata dibunuh bukan untuk disiksa apalagi dirusak seperti itu.

Naruto kesal. Miliknya hanya boleh dirusak oleh dirinya sendiri, bukan orang lain. Selama seminggu ini, ia berusaha menahan kekesalannya sembari berakting sedih dengan kematian istrinya. Dan sekarang rasa kesalnya sudah berada di puncak ubun-ubunnya hingga ingin meledak. Ia butuh melampiaskan semua kekesalannya.

Saat membalik badannya, tanpa sengaja ia melihat tubuh seksi sekretarisnya. Sekretarisnya yang dulu juga bekerja sebagai bawahan dari pembunuh bayaran yang ia sewa. Tapi semenjak ia menidurinya, sekretarisnya itu memutuskan untuk menjadi pemuas nafsunya, tentu saja ia meminta imbalan agar hidupnya dibiayai. Naruto tidak peduli asalkan nafsunya terpenuhi.

"Sepertinya dia bisa menjadi pelampiasanku," ucapnya datar. "Sakura, bersiap-siaplah."

.

.

.

Akhirnya upacara pemakaman Hinata Uzumaki telah selesai. Sakura yang masih bekerja sebagai sekretaris dari direktur utama Hyuga Group itu tentu saja dibuat lelah dengan segala persiapannya. Tapi sekarang ia sudah bisa bernapas lega dan bisa mengistirahatkan tubuhnya.

"Hahh..." Wanita berambut merah muda sebahu itu menidurkan tubuhnya di atas tempat tidur yang ada di apartemennya. Ya, apartemen yang sengaja dibeli Naruto untuk dirinya. Semenjak memutuskan untuk menjadi pemuas nafsu atasannya itu, Sakura selalu dibelikan semua hal yang ia inginkan.

"Sudah hampir seminggu ya? Ah ini semua gara-gara upacara pemakaman sialan itu!" umpatnya saat mengingat ia sudah tidak tidur dengan atasannya selama lebih dari seminggu semenjak mereka sibuk untuk menyiapkan upacara pemakaman Hinata. Mereka berdua tidak bisa mencari waktu untuk berduaan.

Saat ia akan memejamkan matanya sejenak, tiba-tiba indra pendengarannya mendengar suara lubang kunci yang dibuka dari luar. Bibir Sakura tersenyum mendengarnya. Hanya satu orang selain dirinya yang memiliki kunci apartemen ini.

Naruto Uzumaki.

Demi menyambut atasannya itu, Sakura segera bangun dan berdiri di depan pintu. Matanya dapat melihat Naruto yang sedang berjalan cepat ke arahnya. Ia sudah siap ingin mencium dan memeluk lelaki itu. Sayangnya pria itu tidak menciumnya melainkan membalikkan tubuh Sakura kemudian menghimpitnya ke tembok.

"Naruto? Ada apa?" tanya Sakura saat hanya tersisa jarak sekitar lima sentimeter antara dirinya dan tembok kamarnya.

Naruto tidak menjawab, lelaki itu malah dengan tergesa-gesa mengangkat rok hitam Sakura ke atas kemudian merobek celana dalamnya. Saat telinga Sakura mendengar suara sabuk Naruto yang terlepas, perempuan itu tersenyum miring. "Dasar tidak sabaran."

"Diamlah, kau tinggal menerimanya saja."

JLEB!

"Ahk... Hshh... akhirnya!" desah Naruto saat ia berhasil memasukkan penisnya ke vagina Sakura. "Menungging yang benar, Sakura," perintahnya.

"Uhh..." Sakura hanya bisa meringis pelan saat vaginanya yang masih kering dimasuki paksa dengan kejantanan Naruto yang besar.

Sekretaris Naruto itu sedikit menurunkan tubuhnya agar Naruto bisa lebih mudah menggerakkan tubuhnya.

"Bagus, Sakura."

"Akh! Pe-pelan-pelan... Akh! Akh! Akh!" tubuh Sakura terhentak-hentak keras begitu Naruto mulai bergerak. Kedua tangannya menumpu pada tembok, berusaha agar wajahnya tidak membentur tembok.

Tangan Naruto tak tinggal diam. Selagi penisnya mengocok vagina Sakura dengan sangat brutal, kedua tangan kokoh Naruto mulai melucuti satu per satu pakaian Sakura hingga wanita itu bertelanjang dada.

"Engg! Ahh! Ah! Akh!" lenguh Sakura kencang saat Naruto semakin mempercepat gerakannya. Sepertinya sebentar lagi ia akan mencapai klimaksnya.

"Ishh!" Naruto mendesis saat merasakan otot-otot vagina Sakura mulai menjepit penisnya. Kedua tangan Naruto kini maju ke depan dan meremas kencang payudara Sakura.

"Akkhh! Ja-jangan kencang-kencang engg... uhhh..."

Lidah Naruto juga mulai menjilat cuping telinga Sakura hingga membuatnya semakin kenikmatan. Sesuatu di bawah sana ingin segera keluar. Matanya terpejam merasakan semua sentuhan atasannya. "Naruto... a-aku... eng... ahhhhnnn..."

Cairan vagina Sakura merembes membasahi penis Naruto hingga membuat laki-laki itu menyeringai. Naruto makin menempelkan tubuhnya pada tubuh Sakura agar wanita itu tidak bisa melarikan diri. Biasanya di saat seperti ini, wanita itu akan melepaskan penyatuan tubuhnya agar cairan klimaks Naruto tidak tumpah di dalam rahimnya. Tapi kali ini Naruto tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

Laki-laki itu makin menghimpit tubuh Sakura ke tembok sambil mempercepat tempo gerakannya. "Enghh sebentar lagi," racau Naruto.

Saat klimaksnya hampir mendekat, Sakura segera sadar dan berusaha menyikut tubuh Naruto, tapi-

"Ahhnn..." desah Naruto lantang saat spermanya menyembur dengan kencang ke rahim Sakura. Naruto terus menghimpit tubuh Sakura ke tembok sampai penisnya berhenti menembakkan sperma.

Sedangkan Sakura hanya bisa melebarkan matanya, walaupun ia juga merasa nikmat saat cairan hangat Naruto memenuhi perutnya.

Setelah Naruto mencabut penisnya, Sakura segera berbalik badan dan mendelik ke arah lelaki itu. "Apa yang kau laku-hmm!"

Ucapan Sakura terputus karena mulutnya dibungkan oleh bibir Naruto. "Hmm!"

Naruto mengemut bibir Sakura dengan penuh nafsu. Tak ada bagian yang tidak dimanjakannya. Mulai dari mengemut bibir bawah Sakura, kemudian bibir atas Sakura, dan dilanjutkan dengan menyelipkan lidahnya ke dalam mulut Sakura.

"Uhmm..." desahan Sakura tertahan. Sejenak Naruto melepaskan ciuman mereka hingga kedua mata itu dapat saling menatap. Tapi belum satu detik terlewat, Naruto kembali mengunci bibir Sakura dengan ciumannya.

Salah satu tangannya memelintir puting payudara Sakura hingga membuat wanita itu merinding.

Saat Naruto berhenti menciumnya, Sakura segera melancarkan aksi protes. "Bagaimana kalau aku hamil, hah?!"

"Tenang saja, Sayang," sahut Naruto sambil mengecup pipi Sakura kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Sakura. "Aku sudah membawa obat pencegah kehamilan. Kau hanya perlu meminumnya nanti. Mengerti, hm?"

Amarah Sakura mulai menghilang. "Baiklah kalau begitu," balas Sakura tanpa melihat Naruto yang sedang menyeringai di sebelahnya.

"Kalau begitu bisa kita mulai ronde kedua? Aku sangat merindukanmu, Sayang."

Sakura tersenyum miring, kemudian menaikkan salah satu kakinya ke pinggang Naruto hingga penis Naruto tepat berada di depan lubang peranakan Sakura. "Masukkan, Tuan."

JLEB!

Tanpa menunggu lagi Naruto segera memasukkan penisnya dengan sekali hentakan.

"Aaahhnnnn~" desah Sakura lantang sambil menengadah ke atas. "Penismu nikmat sekali, Naruto."

Pada akhirnya mereka terus menerus melakukan hubungan intim hingga fajar menyingsing demi mengganti satu minggu di saat mereka tidak bisa bersama. Naruto bahkan tidak ingat sudah berapa kali ia mengisi rahim Sakura dengan benihnya.

Satu hal yang ia inginkan sekarang adalah merusak Sakura karena mantan partner wanita itu sudah berani merusak Hinata yang merupakan miliknya.

'Dasar bodoh! Kau bahkan tidak tahu kalau obat yang kuberikan adalah obat penyubur,' ucap Naruto dalam hati saat ia melihat Sakura meminum obat yang ia bawa setelah mereka selesai dengan kegiatan intim mereka.

"Kau harus rajin meminum obat itu, Sakura. Karena aku bisa saja menidurimu setiap hari."

Sakura mengedipkan salah satu matanya setelah meletakkan sekotak obat itu di atas meja. Perempuan berambut sebahu yang masih dalam keadaan telanjang itu perlahan merangkak ke atas tempat tidur dan mencium bibir Naruto sekilas.

"Apapun akan aku lakukan asalkan kau memenuhi segala kebutuhanku."

Naruto menoleh kemudian menggulingkan tubuhnya hingga Sakura berada di bawahnya. "Satu ronde lagi bagaimana, Sayang?"

Mata Sakura melihat penis atasannya yang sudah tegak berdiri itu. "Tentu sa-AHHH!"

Dan lagi-lagi Naruto menyetubuhi Sakura sebelum akhirnya keduanya mandi dan berangkat ke kantor dengan mobil berbeda.

.

.

.

Pria berumur hampir enam puluh tahun itu membaca dokumen yang ada di tangannya dengan teliti. Matanya meneliti satu per satu kalimat yang tertera di sana. Selama hampir empat puluh tahun menjabat sebagai direktur utama, ini pertama kalinya ia membaca sebuah proposal hingga membuatnya berdecak kagum.

"Ayah kenapa?" tanya anak perempuan dari pria tersebut yang duduk di hadapannya.

Mata pria bernama Inoichi Yamanaka itu menghangat sambil menatap putri semata wayangnya. "Kau tahu ayahmu ini sudah tua."

"Aku tahu, Ayah," sahut sang putri. "Karena itu sekarang aku berusaha keras agar bisa segera menggantikan posisi ayah untuk memimpin perusahaan ini."

"Tapi ayah khawatir padamu, Ino," balas sang ayah. "Kalau bisa ayah ingin agar suamimu saja yang mengurus perusahaan ini, jadi kamu bisa hidup lebih santai. Ayah tidak mau kau terbebani."

Ino memutar bola matanya bosan. "Jangan membicarakan hal ini lagi, Yah. Aku bosan mendengarnya."

Sejak lima tahun yang lalu, ayahnya ini selalu mendesaknya untuk menikah dengan segala cara. Bahkan ia beberapa kali pernah hampir dijodohkan dengan anak dari teman ayahnya. Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang berhasil membuat Ino menyukainya. Ino bukanlah tipe gadis yang hanya suka dengan wajah tampan saja. Tapi ia juga menyukai laki-laki yang pandai dan berwawasan luas.

"Baiklah, baiklah," ayahnya menyerah kemudian menyerahkan proposal yang ada di tangannya kepada Ino. "Baca proposal itu. Buatlah janji dengan direktur utama Hyuga Group untuk membahas proposal itu."

Mata Ino membaca sekilas judul proposal itu sebelum kembali menatap sang ayah. "Hyuga Group? Kalau tidak salah perusahaan itu dipegang oleh menantu almarhum Tuan Hyuga, kan?"

"Ya," sahut Inoichi kemudian menyandarkan punggungnya. "Ada rumor yang bilang kalau anak itu sangat pandai mengatur perusahaan. Terbukti semenjak ia menjabat sebagai direktur utama, saham Hyuga Group terus meroket tajam. Dan sepertinya itu benar, proposal yang kau pegang itu buktinya, Ino."

Ino membuka halaman pertama proposal tersebut, tapi kembali menatap ayahnya setelah mengingat sesuatu. "Bukannya tiga bulan yang lalu istrinya baru saja meninggal?"

Inoichi menghela napas, ikut merasa kasihan. "Nasibnya benar-benar malang. Harus ditinggalkan istrinya dengan cara seperti itu."

"Tapi sepertinya ia sudah bangkit, melihat proposal yang ia tawarkan kepada perusahaan kita ini," balas Ino.

"Hati orang siapa yang tahu." Inoichi mengedikkan kedua bahunya.

Sejenak Ino merasa tertarik dengan direktur utama Hyuga Group tersebut. "Baiklah, aku akan segera membuat janji dengannya." Ucap Ino pada akhirnya kemudian keluar dari ruang kerja ayahnya.

.

.

.

Seminggu kemudian Ino sudah berada di hadapan direktur utama Hyuga Group. Pria yang bernama lengkap Naruto Uzumaki itu terlihat sangat ramah dan wajahnya juga rupawan. Setelah perkenalan singkat, kedua orang itu mulai membahas proposal yang ditawarkan Hyuga Group kepada perusahaan Yamanaka Corporation.

Pembahasan antara dua orang itu berjalan cukup alot. Pertanyaan-pertanyaan yang sudah disiapkan Ino mampu dijawab dengan sangat lihai oleh Naruto, seakan-akan sudah memprediksinya. Ino sejenak dibuat kagum dengan laki-laki yang umurnya lebih muda tiga tahun dari dirinya itu.

"Jadi, kapan kira-kira aku bisa bertemu dengan ayahmu?" tanya Naruto setelah satu jam lebih membahas proposalnya.

Ino meminum tehnya sejenak sebelum menatap mata jernih Naruto. "Aku akan mengaturnya secepat mungkin. Sebenarnya ayahku juga menyukai proposalmu."

"Syukurlah kalau begitu. Ngomong-ngomong aku boleh memanggilmu Ino? Agar lebih akrab. Sebentar lagi kita akan menjadi partner kerja, kan?"

"Wah, percaya diri sekali," balas Ino bercanda tapi selanjutnya mengiyakan permintaan Naruto. "Tentu saja, Naruto."

Naruto tersenyum lebar. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita cukupkan sampai di sini? Aku tidak mau mengganggumu lebih lama."

Melihat Naruto berdiri dari posisinya, Ino juga ikut berdiri. Matanya tak bisa lepas dari Naruto. Ini pertama kalinya ia merasa tertarik dengan seseorang di pertemuan pertama. Bukan hanya wajahnya yang tampan, tapi otaknya juga sangat pintar.

"Sampai bertemu lagi, Ino," ucap Naruto sambil mengulurkan tangannya.

Ino menjabat tangan Naruto. Ada sengatan aneh menjalar saat tangannya bertemu dengan Naruto. "Y-ya, Naruto."

Naruto kemudian mengantar Ino sampai keluar ruangannya. Lelaki itu menoleh ke bilik sekretarisnya. "Sakura, tolong antar Ino ke bawah."

Mendengar namanya dipanggil, Sakura segera berdiri dari tempat duduknya. "Baik, Tuan," sahut Sakura kemudian berjalan di samping Ino. "Mari saya antar, Nona."

Mata Ino kemudian menatap wajah sekretaris Naruto. Kedua alisnya sedikit mengkerut melihat wajahnya yang agak pucat. "Tidak perlu, Naruto," tolak Ino. Ia menoleh cepat ke arah Naruto. "Kau terlalu sibuk dengan pekerjaanmu ya? Sampai tidak sadar dengan wajah pucat sekretarismu? Seharusnya kau menyuruhnya beristirahat."

Sakura sedikit berjengit saat tiba-tiba Ino menggenggam tangannya. "Pasti melelahkan ya punya atasan yang gila kerja? Beristirahatlah hari ini."

Mata Sakura mengerjap beberapa kali sebelum menganggguk. "Terima kasih, Nona."

Setelah itu, Ino segera berlalu dan turun ke lantai dasar, menyisakan Naruto dan Sakura di sana. "Masuk ke dalam, Sakura."

Sakura tidak menyahut dan segera mengekori Naruto kemudian mengunci pintu ruangan direktur utama tersebut. "Benar yang dikatakan Ino, kau pucat, Sayang," ucap Naruto sembari mengelus wajah Sakura lembut.

"Hmm..." Sakura memejamkan matanya saat tangan hangat Naruto menyentuhnya.

"Apa semalam aku bermain terlalu kasar?" tanya Naruto.

Sakura menggeleng. "Tidak. Aku hanya sedikit mual, mungkin masuk angin?" ucap Sakura tidak yakin. "Atau karena obat pencegah kehamilannya?"

"Ah, benar, efek samping obat itu membuat menstruasi menjadi tidak teratur, bahkan bisa menghentikan menstruasi juga," ucap Naruto menambahkan. Yang tentu saja semua perkataan Naruto itu kebohongan yang dulu ia katakan kepada Sakura.

Mendadak kepala Sakura terasa pusing kembali. Ia segera memeluk Naruto dan menenggelamkan wajahnya pada dada bidangnya. "Perutku jadi agak begah karena belum menstruasi, Naruto."

Sudut bibir Naruto berkedut mendengarnya. Salah satu tangannya yang tidak memeluk Sakura beralih ke atas perut wanita itu. Memang perutnya terasa agak sedikit membesar. 'Dasar bodoh, kau itu hamil, Sakura,' ucap Naruto dalam hati.

"Kalau begitu sekarang kau pulang saja."

Sakura melepaskan pelukannya agar bisa memandang mata Naruto. "Bolehkah?"

"Ya, boleh. Nanti malam aku akan menemuimu, Sayang," balas Naruto kemudian mengecup bibir Sakura yang berakhir pada lumatan hingga remasan di kedua payudara Sakura.

"Ahhnn..." desah Sakura tertahan saat kecupan Naruto turun ke lehernya. Disedotnya salah satu titik di sana hingga membuat Sakura menggelinjang geli.

Napas Naruto semakin menderu saat mendengar desahan erotis Sakura. Naruto mempertemukan dahinya dengan dahi Sakura dan kembali mengemut bibir wanitanya itu. "Nanti malam, kau harus menyambutku dengan vaginamu. Mengerti Sayang?" titah Naruto sembari meremas kencang salah satu payudara Sakura.

"Engghh... iyahh..."

"Sekarang kau pulang lebih dulu."

Sakura tersenyum manis kemudian berjalan keluar setelah sebelumnya mengecup bibir Naruto sebentar.

Setelah Sakura pergi, Naruto tertawa kecil. "Lihat saja, Sakura, aku akan membuatmu berakhir sama seperti Hinata. Aku sudah tidak sabar melihatnya."

.

.

.

~To Be Continued~

A/N: Akhirnya aku mutusin buat publish sequel secret plan di sini juga, jangan lupa reviewnya yaa~~