Raihan tangan sesiapa bukanlah bendung bagi embus sang angin. Si tanpa warna itu hanya akan menggelincir dari jemari yang menyesapi sejuknya. Karenanya, pada sua yang tak seberapa lama. Kala petualangannya bersua dengan sukma yang menanti sosoknya kembali. Biarlah resa hati ini tersampaikan.

.

.

Boboiboy © Monsta Studio

Fanfiction by Koyuki17

Pawana

.

.

Taufan meregangkan tubuhnya yang pegal. Perjalanan lima jam dengan kereta akhirnya mengantarkannya pulang juga. Setelah rangkaian perjalanan hingga tiba di negara kelahirannya itu tentunya. Ia sudah sangat merindukan Pulau Rintis, begitupun rumah akrab sang kakek. Bisa dibayangkan rumah kayu yang selalu hangat oleh keluarga kecil mereka: sang atok dan ketiga cucunya yang bandel. Tempat dimana sederet ingatan menjadi jejak bagaimana Taufan tumbuh dan menuliskan mimpi-mimpinya.

"Duh, padahal aku sudah bilang nggak akan kangen," gumam Taufan sembari menggosok hidungnya. Ia tak bisa membohongi dirinya lagi.

Pemuda bertopi putih dan biru tua yang dipakai miring pun lebur dalam kerumunan orang yang hendak keluar dari peron. Tas carrier yang sudah penuh dengan debu itu digendongnya dengan mantap. Penampilannya mungkin terlihat berantakan, layaknya orang yang sudah lama jauh dari peradaban. Baju yang ia kenakan nyaris lusuh dengan warna pudar karena terik mentari dan hujan. Sepatunya nyaris jebol dengan sol yang aus karena dipakai berjalan jauh. Tapi segudang cerita tentang petualangannya telah tak sabar untuk tumpah. Perjalanannya selama ini tidak berakhir nihil!

"Taufan!"

Sebuah panggilan membuat pemuda itu melirik ke kanan, tepat dimana seseorang yang berwajah sama sepertinya itu berlari menghampiri. Segera saja sepasang mata safir itu berkilat senang, sebuah senyuman lebar pun disambung dengan teriakan lantangnya.

"Gempaaa!" Taufan pun langsung menggabruk adik kembarnya itu. Keduanya pun saling menepuk punggung dan melepas rindu.

"Taufan sehat kan?" pertanyaan dari Gempa menyambung pelukan kedua saudara itu.

"Tentu dong! Mau ada hujan badai atau apapun, mereka nggak akan bisa membuatku sakit!" Taufan pun membusungkan dada. Memang diantara tiga bersaudara itu, ia terbilang paling jarang sakit.

"Syukurlah, kalau begitu," Gempa pun menghela napas sebelum lanjut berkata. "Tok Aba dan Halilintar sudah menunggumu pulang. Yah, atok sekarang di kedai sih."

Taufan pun cengar cengir, lalu ia pun bersenandung riang. Pemuda itu mengekori Gempa, yang kini menjelaskan bagaimana kabar Tok Aba dan Halilintar. Sungguh melegakan ketika penantian mereka yang pertama ini berakhir juga. Taufan telah pulang tanpa kurang satu apapun.

Sudah dua tahun sejak Taufan memutuskan untuk pergi dari tanah kelahirannya itu. Alih-alih masuk universitas, ia telah memutuskan mengejar karier pada bidang yang menarik perhatiannya sejak lama: fotografi. Ia bahkan mengikuti kursus dan membeli peralatan yang sangat menguras dompetnya, Berkali-kali ia mengikuti kontes fotografi sembari membangun koneksi. Taufan pun semakin mantap dalam mengejar targetnya sebagai fotografer alam.

Taufan mengingat kembali bagaimana reaksi keluarganya sebelum ia pergi. Bagaimana Tok Aba menjelaskan sederet nasehat yang harus diikutinya. Gempa, yang sejak awal tidak menentang pilihan Taufan, ikut membantunya menyiapkan barang-barang yang akan ia butuhkan selama perjalanan. Halilintar saat itu tak berkomentar apapun, membiarkan Taufan mendapat cermah panjang dari atok dan adik kembar mereka itu.

-P-

Halilintar memandang dua orang saudaranya itu selama lima detik, sebelum lanjut menuruni undak tangga. Ia baru saja bersiap-siap untuk pergi dan sedikit terkejut dengan kepulangan Gempa. Tok Aba baru akan pulang sore hari nanti, jadi ia menebak dengan siapa Gempa bercakap-cakap di ruang tamu.

"Kukira ada siapa." Suara Halilintar membuat kedua orang itu menoleh padanya.

"Masa lupa kalau hari ini Kak Taufan pulang," tutur Gempa, setengah tidak percaya.

Ada jeda dimana akhirnya manik rubi itu akhirnya melirik Taufan kembali. Tambahan lima detik lagi sebelum Halilintar memalingkan muka dan lanjut mengambil sepatu dari rak.

"kau masih hidup rupanya…" Halilintar bergumam sambil melewati Taufan. Pemuda itu berjalan dengan santainya menuju pintu.

Mendengar komentar itu, Taufan langsung meraih tali slingbag Hali. Membuat sang pemilik tas tertarik mundur ke arah Taufan. "Jahat ih Kak Hali! Aku pulang gaada sambutan lain gitu?"

"Aku hampir jatuh lah!" Halilintar pun berusaha untuk tidak jatuh terjungkal. "Gempa, aku berangkat dulu."

"Jangan terlalu malam atau Atok marah lagi loh." Gempa memperingatkan. Halilintar pun bergumam mengiyakan, sebelum sosoknya menghilang seiring pintu menutup.

"Kak Hali makin dingin aja." Celetuk Taufan, ia pun menghibur diri dengan merebahkan diri di sofa yang empuk. "Dia kenapa sih?"

"Hali khawatir soal Taufan juga kok." Gempa pun tertawa kecil.

"Gak kelihatan tuh, Gem."

"Hahaha, masa iya? Kelihatan jelas gitu."

Taufan pun langsung mengingat reaksi Halilintar barusan. Namun tetap saja ia tak menemukan apa yang dimaksud oleh adiknya itu.

"Oiya, mau kubuatkan sesuatu untuk makan siang?" Sambil berjalan menuju dapur, Gempa pun mengalihkan topik.

"Mau! Apa saja boleh!" Seru Taufan dengan antusias. Seketika ia lupa akan rasa gusarnya barusan.

-P-

Tepat pukul satu siang, Gempa pun pamit untuk ke kampus. Maka tinggallah Taufan seorang diri di rumah. Cukup menyebalkan memang ketika ia pulang, ia justru ditinggal seorang diri di rumah. Baru saja Taufan hendak mencari jaketnya dan bernuat jalan-jalan ke luar, suara nada dering ponsel mendapatkan atensinya.

Ponsel Taufan masih aman di saku jaketnya, bergeming sebagai tanda tak ada pesan yang masuk. Menyadari bunyi itu berasal dari kamar atas, Taufan pun penasaran ponsel siapa yang tertinggal. Dan ia semakin bersemangat ketika mendapati nada dering itu berasal dari kamar Halilintar.

"Yaampun, Hali pelupa banget deh." Gumam Taufan, tak menyadari bahwa ia sendiri pun memiliki kebiasaan yang sama.

Pemuda itu penasaran siapa yang mengirimi Hali pesan, lalu ia mendapati kunci pola yang harus ia pecahkan. Seketika Taufan menghela napas kecewa, lalu ia pun mengingat pola yang selalu dipakai Halilintar dulu di ponselnya.

"Kalau nggak salah begini…" jari Taufan pun gemetar dan berharap ingatannya tidak meleset. Dan ketika kunci ponsel pun terbuka, Taufan membelalak kaget "Masa kuncinya nggak berubah?!"

Tapi ini jadi keuntungan buatnya bukan?

Taufan pun mengecek pesan yang masuk pada ponsel Halilintar. Ternyata itu dari teman halilintar yang sama-sama menjadi pelatik ekskul bela diri seperti Halilintar, menanyakan ada di mana pemuda itu berada. Ia tak membalas pesan itu, karena tahu bahwa Halilintar pasti sudah sampai di sekolah sekarang.

"Hmm.. aku jadi penasaran apa pesanku dihapus sama Hali."

Tiba-tiba saja pemikiran itu terlintas di benak Taufan. Dia selalu penasaran tentang nasib pesan-pesan yang dikiriminya pada Halilintar. Tapi pesan itu masih ada dan tidak pernah dihapus oleh Halilintar. Apa Halilintar tidak merasakan apa-apa saat ia pergi jauh dari rumah?

Taufan memang tak pernah absen untuk mengirimkan pesan atau menelpon begitu sinyal sampai pada ponselnya. Gempa begitu cerewet soal hal ini, hingga sebagai kakak yang (berusaha menjadi) baik, ia mencoba untuk terus melakukannya. Ia sudah bisa membayangkan jika ia lupa berkabar, maka ia akan pulang dan mendapati keluarganya sudah Yasinan di rumah.

Yang pertama Taufan hubungi selalu Gempa, yang kedua barulah Tok Aba. Mereka selalu membalas maupun mengangkat panggilannya dengan cepat. Taufan akan menceritakan ada di mana dia sekarang, begitupun keadaannya yang selalu sehat walafiat.

Barulah Taufan menghubungi Halilintar. Namun kakak kembarnya itu hanya akan menggumam tak jelas sebagai jawaban, atau membalas singkat pesan yang dikirimkannya. Berulangkali Taufan mengirimkan pesan suara, berangan bahwa kakaknya itu akan kangen dengan adik jahilnya itu. Namun kembali ia tak mendapat balasan. Jujur saja, Taufan tak habis pikir dengan saudaranya yang satu ini.

Dengan ponsel Halilintar di tangannya, kini Taufan tahu bahwa Halilinntar tak sampai menghapus pesan yang ia kirim. Tapi masih ada ganjalan dan pertanyaannya tadi belum terjawab. Pemuda itu pun membuka aplikasi dan berkas-berkas lain yang ada di sana, berharap menemukan sesuatu yang lain. "Apaan ini?! Aih?"

Manik safir itu menemukan hal yang menarik di sana, dalam sebuah folder yang dinamai dengan namanya. Taufan pun mengecek salah satu berkas itu, sebuah suara yang ia hapal betul terdengar. Seketika ia tersenyum lebar. Ia akhirnya mengerti maksud dari ucapan Gempa barusan.

-P-

Intuisi Halilintar tiba-tiba merasakan pertanda tidak enak sebelum masuk ke dalam rumah. Di beranda, lampu sudah menyala terang menggantikan kirana mentari yang sebentar lagi terhisap di ufuk barat. Ada orang yang telah pulang, dan ia menebak Gempa sudah pulang. Namun ternyata, Taufan dan seringai lebarnya yang malah menyambut kepulangannya.

"K-a-k H-a-l-i-i-i~" sapaan riang Taufan membuktikan firasat aneh barusan.

"Ada apa?" Halilintar mencoba untuk tidak terpancing godaan Taufan. "Gempa belum pulang ya?"

Manik rubi itu melirik Taufan, yang kini menggenggam ponsel miliknya. Layar ponselnya menunjukkan sebuah folder yang membuat tubuh Halilintar seketika membeku.

"Kak Hali kangen ya sama Taufan~"

"Nggak sama sekali! Kembalikan ponselku!"

"Aih masa?" Taufan pun tertawa puas lalu berkelit menghindari sergapan Halilintar. "Padahal kalau kangen bilang aja. Nggak usah sampai menyimpan pesan-pesan suaraku kak! Hihihi."

"Taufan!"

"Nanti aku kirim pesan suara yang banyaaak deh! Nggak usah khawatir." Taufan pun nyengir kuda. "Kakak dengerin ini setiap hari ya? Jadi terharu~"

Lalu sebuah adegan familiar pun membuat suasana rumah mendadak gaduh. Taufan berusaha kabur dari kakak kembarnya itu sembari menanyakan hal yang sama. Namun Halilintar pun ber dan menyuruh Taufan mengembalikan ponselnya. Tak berselang lama, Tok Aba dan Gempa pun pulang bersamaan dan mendapati kegaduhan itu masih berlangsung.

"Haiiih, baru saja ketemu dan kalian sudah bertengkar lagi." Tok Aba menepuk jidatnya. penat setelah bekerja di kokotaim seharian, ia langsung dibuat pusing oleh tingkah kedua cucunya.

"Taufan kali ini ngapain?" dengan nada jenuh, Gempa pun bertanya.

"Gempa! Dengar deh. Halilintar menyimpan-," ucapan Taufan terputus karena ponsel yang berada di tangannya hampir saja direbut Halilintar dan ia terlambat mengelak. Pandangan Taufan sempat menangkap raut wajah Halilintar yang merah karena malu dan kesal.

"Berisik! Kembalikan!" Tangan Halilintar akhirnya merebut ponsel miliknya itu. Dengan cepat ia pun berlari ke dapur dan menghapus folder yang dimaksud Taufan.

"Yah, pasti dihapus~" ujar Taufan dengan nada kecewa.

"Kalian ini, sekali-kali akur lah." Walaupun Tok Aba sempat geram, namun ia menghampiri Taufan sembari memeluk cucunya itu. "Bagaimana, kau sehat?"

"Sehat dan bahagia tok! Hehehe," balas Taufan, tangannya balas memeluk sang atok yang selalu ia rindukan selama dua tahun ini.

"Baguslah kalau begitu. Kira-kira sampai kapan kau ada di sini?"

"Dua minggu! Setelah itu kita akan lanjut lagi tok!"

"Lebih lama sedikit pun tidak apa-apa padahal. Oh ya, bagaimana pekerjaanmu itu? Ada cerita yang menarik tidak?" Tanya sang atok.

"Banyak dong atok! Gempa dan Kak Hali juga harus dengar!" seru Taufan.

"Simpan itu sampai makan malam, Taufan." Celetuk Gempa.

"Okelah, ada yang bisa kubantu nggak?" Tawar Taufan.

"Beres-beres saja itu meja sama karpet yang berantakan." Gempa menunjuk pada rumah yang kacau balau karena perbuatan kedua saudaranya itu. "Hali juga."

Lima menit berikutnya, rumah sudah dipenuhi oleh aroma masakan yang hampir matang. Kontan Taufan semakin kelaparan dan perutnya berkeriut minta diisi. Ia pun melirik Hali, yang mencoba mengembalikan kursi ruang tamu ke posisi semula. Taufan melihat kuping Halilintar masih merah, pastilah ia masih mengingat perkara barusan. Seketika pemuda itu menahan tawanya supaya tidak keluar.

Taufan berjanji pada dirinya, ketika ia berangkat lagi maka ia akan mengirim banyak sekali pesan suara pada pemuda itu. Agar Halilintar tidak sekalipun kehilangan suaranya yang berisik itu setiap harinya.

.

.

A/N: Berjumpa lagi dengan Koyuki di sini ^^

FF Anasir ini berisi kumpulan oneshot yang berasal dari ide-ide sepanjang menulis ff sebelumnya (jujur, lumayan banyak ide selewat). Dan sesuai namanya, oneshot ini tentang elemental Boboiboy (Nampaknya kebanyakan AU).

Untuk yang pertama, oneshot yang agak2 fluff tentang Halilintar dan Taufan yang malah keluar. Entah kenapa, haha.

Masih ada beberapa ide untuk oneshot ke depan. Dan jika ada yang memiliki request, boleh PM atau lewat review.

Terima kasih sudah mampir dan sampai jumpa lagi di chapter selanjutnya~