Enggan Selamanya

Disclaimer: DMM.

Warning: OOC, typo, dll.

I take some profit from this work.


Commission for Elkan. I get permission to share it.


"Everytime something goes well, I momentarily forget how much I despise you."


Hari ini adalah bunganya yang paling mekar yang bagi Masao Kume, menjadikan ia tidak bisa tidak mengembangkan senyuman. Perpustakaan kini seolah-olah berlangit dan juga biru cerah. Ketika netranya menyentuh langit-langit lorong, maka Kume menemukan pelangi. Lalu warna-warna itu berlarian menghias dinding yang dari sanalah, bunga bertumbuh berbunga-bunga yang mana; Kume tidak merasa hiperbolis.

Lagi pula Kume ini sangat senang, soalnya. Bukankah wajar ia mendadak puitis begitu? Apalagi membicarakan Kume Masao berarti menyangkut Santei yang menggubah puisi-puisi jua.

Walaupun bukan seperti Kume memenangkan lotre senilai jutaan yen, bahagia tetaplah bahagia dan tangannya mendadak gatal ingin menuliskan haiku. Anggaplah itu seumpama sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit. Bahwa Kume yang hanya dibangunkan oleh pagi, dan sampai saat ini di mana sebenarnya di luar sana, langit tengah menggelap menjanjikan air melimpah, Kume memang terus menemukan kegembiraan.

"Tetapi, kok, perpustakaan rasa-rasanya sepi banget, ya?"

Setidaknya berada di lorong yang menghubungkan kamar demi kamar pun, Kume pasti menemukan satu atau dua bungou untuk disapa. Mungkin semuanya tidur mentang-mentang udara mendadak dingin. Rasa-rasanya Kume bisa langsung memercayai konklusi asal-asalan tersebut, padahal ia dan positivisme kerap kali bermusuhan bahkan saling sinis.

Kebahagiaan benar-benar sesuatu yang hebat, ternyata–entah mengapa pula hati Kume mengucapkannya, seolah-olah selama ini diri Masao Kume semata-mata diisi penderitaan, besoknya merana, esoknya lagi sengsara, esok esoknya kesusahan; pokoknya pilu melulu.

Daripada berputar-putar tidak jelas di lorong, akhirnya jua Kume memutuskan pergi ke ruang tengah. Idenya semakin melimpah semakin banyak langkah yang ia ciptakan. Palingan tinggal mencari kertas serta pena. Omong-omong, sayang sekali Matsuoka Yuzuru pun masih di luar. Padahal Kume ingin meminta Matsuoka membuatkan teh mumpung–

"… Akutagawa-kun?" panggil Kume dengan tanda tanya, karena ia sendiri agak bingung. Pemuda berambut panjang itu belum menyahut Kume. Jarinya yang lentik masih khusyuk dalam membalik halaman buku. Judulnya kurang terlihat kalau dari sini.

Tidak dijawab. Lagi pula suara Kume terlalu kecil, dan bukan salahnya karena Kume sendiri kurang berminat. Hanya asal-asalan memanggil Akutagawa Ryuunosuke.

Tempat yang Kume pilih lumayan jauh dari Akutagawa. Kebetulan sekali pena yang entahlah milik siapa, dan berhelai-helai kertas kosong telah disediakan yang cukup banyak. Bukankah ia benar-benar beruntung? Kata-kata yang memang milik Masao Kume, bahkan memeluk Kume sedemikian rekat sekaligus erat. Satu bait sudah menjadi dua, lalu tahu-tahu tiga yang Kume sudahi. Kume membaca sekilas kelahiran karyanya. Ia sampai manggut-manggut yang kepuasannya meluap-luap.

"Apa selama ini aku selalu membuat sesuatu sebagus ini, ya? Mana cepat banget lagi. Bahkan rasa-rasanya aku bisa membuat yang ke–"

Kertasnya diturunkan begitu saja. Tahu-tahu Kume sekadar meremasnya, dengan wajah yang tiba-tiba pucat pasi dan ia ingin meringkuk saja. Semua ini salahnya–Kume terus mengulanginya yang turut menyebabkannya menggigil. Ia sangat lengah. Akan ditariknya deskripsi melambai-lambai mengenai perpustakaan memiliki langit cerah, menemukan pelangi, apalah, bahwa sesungguhnya Kume tak sebahagia itu, kok.

"Dari tadi aku terus bahagia. Aku curiga nanti bakalan sial terus-terusan. Ujungnya juga kayak enggak kelihatan."

Pasti begitu, 'kan? Pasti begitu karena pada dasarnya–biarpun ini menurut Kume seorang–jika Tuhan adalah sesuatu yang ada, kejam-Nya adalah kehebatan-Nya. Bahwa Dia memberikan kebahagiaan, sesungguhnya itu termasuk bentuk kekejian, sebab dengan cepat sekali

Bisa jadi Kume hanyalah mainan di dalam serangkaian kebahagiaan ini. Sebenarnya ia harus membayar untuk itu, tetapi tiada yang bilang dari awal, dan caranya telah ditentukan tanpa sepengetahuan; persetujuan Kume, yakni dengan Kume dibuat terjun ke jurang penderitaan. Menyelami kegelapan yang lama-kelamaan Kume tidak menyadari, ia tertinggal di dalam lautan hitam. Terus terjatuh yang diam-diam tujuannya sekadar kemalangan tanpa batas.

Ternyata memang aneh sekali, tiba-tiba kebahagiaannya begitu banyak, berturut-turut, dan Kume tidak perlu terluka untuk melayang-layang.

Lihat saja. Sekarang ini Kume lesu sekali, di mana ia bisa menyaksikan satu per satu kebahagiaannya berguguran; dasar pengkhianat. Spontan Kume menghela napas. Berat sekali membuatnya tak menyadari, Akutagawa sudah duduk di sampingnya dan menepuk bahu Kume.

"Ada Kume ternyata. Sekilas aku sadar, sih, kayaknya kamu ke sini, tetapi bacaannya terlalu seru." Anehnya Kume tidak terkejut, ketika ia melirik ke arah Akutagawa seperti ini. Iris aquamarine Akutagawa menatap kertas berisi pilinan sajak. Sempat dibacanya sekilas, sebelum Kume merebut karyanya secara paksa.

"Lagi senang, ya? Puisi itu kelihatannya Kume selesaikan dengan cepat. Kata-katanya juga langsung bagus, dan Kume enggak menghapus bagian apa pun."

"Senang, ya? Memang, sih, aku senang, tetapi itu tadi. Sekarang sudah enggak." Wajah yang masam Kume perlihatkan. Akutagawa dapat merasakan kekelaman Kume yang pekat, di mana itu langsung memengaruhi senyuman Akutagawa–jadi sendu bercampur tak enak hati.

"Gara-gara aku datang?"

"… Bukan begitu juga, sih. Aku baru menyadari sesuatu, dan .. ya … begitulah."

Selain muram kini Kume pusing. Terlalu bahagia mengakibatkannya terlambat sadar, kenapa harus Akutagawa yang berada di sini? Cerita-cerita di dalam diri Kume kurang menyukai Akutagawa sebagai tempat berlabuh, habisnya. Apa pula artinya melemparkan kesengsaraan yang dialami, pada sumber kesengsaaraan itu sendiri? Palingan nantinya dikembalikan lagi ke Kume–membuat ia merasai luka yang sama–tetapi bedanya rasa sakitnya lebih berkali-kali lipat.

Seharusnya.

"Menyadari kalau kebahagiaan itu cepat berlalu, dan tiba-tiba sudah sedih lagi?"

"Iya. Kayak be– Eh, bentar, Akutagawa-kun tahu dari mana aku memikirkan itu?" Netra Kume mengerjap-ngerjap.

"Hal seperti itu sering kupikirkan juga, soalnya. Bagaimana kalau bercerita? Yang lainnya pun lagi sibuk entah melakukan apa, 'kan? Kali saja Kume kembali merasa baik."

Kume diam cukup lama. Sewaktu hujan mulai memperdengarkan rintik-rintik yang lembut, dan kian deras saja semakin Kume memperpanjang bisu, Kume tahu-tahu bercerita lalu memang selesai.


Pertama-tama, Natsume Souseki-sensei memuji karya Kume yang bukan sekadar cukup baik, melainkan benar-benar berbeda dibandingkan tulisan-tulisan Kume yang sebelumnya. Walaupun bukan angin segar, itu adalah sepoi-sepoi yang sejuk; memiliki warna yang baik dan membuatnya berpikir, "Ternyata bisa begini", di mana tentu saja Kume ingin melompat. Malahan ia benar-benar melakukannya di luar ruangan.

Setelah Natsume-sensei, hari ini pun Yamamoto tidak cerewet–penyebabnya ialah sakit gigi–padahal Kume ceroboh yang tidak sengaja, menjatuhkan gelas kesayangan Yamamoto. Kemudian Kikuchi Kan memberikan kupon makan siang gratis tergolong mewah, gara-gara mendadak punya urusan. Ditambah lagi, Shimazaki Touson ternyata memiliki keinginan mewawancarai Kume (walaupun Kume didatangi, karena kebetulan Nakajima Atsushi sedang keluar perpustakaan).

"Terus, di luar aku bertemu Dazai-kun, dan dia membantuku membawakan belanjaanku." Karena Kume bilang, ia bisa menceritakan apa pun soal Akutagawa asalkan Dazai mau mengulurkan tangannya. Namun, ujung-ujungnya hanya nihil yang memihak Dazai, ketika di ujung perjalanan Kume bertemu Matsuoka. Semudah itu melupakan perjanjian mereka.

"Habis itu ketemu Matsuoka. Kami makan bareng, jalan-jalan, bahkan dia membayariku wagashi."

Dompetnya hilang entah ke mana yang sesungguhnya, terselip di balik pakaian. Lantas Kume memperlihatkannya dengan riang ke arah Matsuoka. Untungnya juga sosok ini adalah Matsuoka, sehingga berakhir damai–mustahil Matsuoka menuduh Kume sengaja biar tak mengeluarkan uang banyak, menilik harga wagashi lumayan selangit.

"Isinya sudah habis, sih. Jadilah Matsuoka membayariku lagi."

"Wah ... Kume benar-benar beruntung, tuh. Mereka sangat perhatian."

"Saat aku sadar kalau semua hal itu, siapa tahu sebenarnya untuk menggiringku ke penderitaan yang lebih panjang dan bahkan abadi, mendadak aku sedih."

Kepalanya kembali pada naik dan turun bahwa Akutagawa paham, kebahagiaan selalu lebih seperti bermimpi. Sebelum merespons ketakutan Kume yang lumrah, Akutagawa justru menyempatkan diri memandangi Kume. Dagunya pun ia topang, seolah-olah ingin sekali mempelajari betah. Seakan-akan cara ternikmat dan terbaik untuk menemukan keindahan, hanyalah dengan membaca mata, telinga, napas, bibir, hal apa pun yang memiliki Kume.

"Katanya kamu sedih. Namun, menurutku wajahmu masih teduh, tuh. Kebahagiaan-kebahagiaan yang Kume rasakan belum meninggalkanmu."

"Masa, sih? Dihibur kayak begitu enggak mempan buatku."

"Serius. Barusan aku memang tidak menyadarinya, tetapi sekarang aku yakin. Kume mau tahu cara memastikannya?"

"Bagaimana caranya?"

"Tatap mataku dari dekat. Nanti Kume bakalan tahu."

Kebodohan yang hinggap sejak awal manusia diciptakan, lantas mendorong Kume memenuhi permintaan Akutagawa. Aquamarine kini benar-benar dekat dengan sepasang violet. Kume merefleksikan dirinya sendiri yang mengenakan kacamata bulat, ber-fedora, garis bibir yang datar, tetapi Kume tahu ada yang melebihi itu.

Wajahnya tidak dilukiskan sendu, tetapi oleh warna aquamarine yang pengertiannya baik, Kume begitu cemerlang sebab ia ria dengan ingin bahagia, bagaimanapun nantinya Kume itu bahagia karena Kume, demi Kume, kepada Kume.

Bahwa mata itu ingin mengukirkan, Kume bahagia bukan semata-mata disebabkan oleh kehangatan orang lain.

Bahwasanya sepanjang Kume memiliki diri sendiri, ia masih bisa bahagia karena dirinya sendiri-lah yang merasakan kebahagiaan. Bahkan tanpa perlu membawa-bawa, semuanya sia-sia apabila ditinggalkan dan seorang diri, benarkah Kume atau siapa pun memang sendirian? Tidakkah kenang-kenangan adalah bukti bahwa seseorang tiada pernah sendirian? Tak menyedihkan jua walaupun tak dapat terulang; setidaknya pernah terjadi daripada tak di mana-mana sama sekali.

Kume benar-benar terlihat indah. Tiada sesuatu yang badai atau hujan darinya. Akan tetapi Kume sungguhan riuh pun, di mata Akutagawa tetaplah Kume dapat melahirkan bintang-bintang. Selalu baik adanya seburuk apa pun yang terjadi.

Sekian lama dipermainkan Akutagawa–begitulah yang Kume tangkap, karena ujung-ujungnya Kume malu sendiri–akhirnya dia menarik mundur kepalanya. Terdiam sejenak yang entahlah, apakah Kume lebih merasa baik atau bagaimana.

"Aneh." Kata pertama meluncur membuat daun telinga Akutagawa bergerak seperti tersentak. Dahi penulis Rashomon itu mengernyit tidak paham. "Harusnya aku membenci dirimu yang begitu. Menghardik dengan berkata, 'Akutagawa-kun mana mungkin mengerti perasaanku'. Lalu matamu ..."

"Matamu yang membuat diriku terlihat baik-baik saja itu, adalah yang paling aneh. Namun, aku enggak bisa berseru, 'Apaan, sih?!'. Ini merupakan kali pertamanya aku begini, seharusnya. Namun, rasa-rasanya sudah terjadi setiap kali. Bahwa setiap kali semuanya baik-baik saja, sejenak aku melupakan betapa aku membencimu."

Hati tanpa tutur yang membenci itu sudah pasti damai, dan tidak merasai sesak sehingga tak menyebabkan sakit gara-gara sempit.

Begitulah yang kira-kira Kume kecap. Merupakan sebuah hal yang sangat baru yang sampai-sampai membuatnya menceletuk, "Ternyata begini rasanya ketika tidak membenci Akutagawa-kun."

Apakah Kume menyukainya? Ia tidak terlalu tahu, sayangnya.

Tidakkah Kume ingin semuanya tetap seperti ini? Tak merasa kerdil karena sekadar membenci yang dapat Kume perbuat?

Namun, Kume justru merasakan sebaliknya, di mana ia agak takut apabila kehilangan kebenciannya berlangsung panjang, atau mungkin selama-lamanya. Maksud Kume adalah, sejauh ini detik-detiiknya hidup dengan tidak menyukai bakat-bakat Akutagawa, ia yang menjadi sosok yang lebih dan akan selalu dipilih Natsume-sensei. Sementara Kume palingan sekali ini saja–bisa jadi hoki semata.

Jika kebenciannya tidak lagi ada, apakah Kume masih merasa hidup? Atau lebih sederhananya, akankah kehidupan Kume memang baik-baik saja, walau suatu hari nanti ia melepaskannya? Bagaimana jika biasa saja terhadap Akutagawa–artinya juga Kume menerima Akutagawa–malah menambah bolong di hati Kume?

"Bagus, dong. Semoga itu bertahan selamanya kalau begitu." Akutagawa sendiri tentunya ingin berbaikan dengan Kume, kendatipun Akutagawa terlihat diam-diam saja. Toh, ia hanya tidak mengetahui caranya. Jadi, mujur sekali Kume pergi ke ruang tengah, daripada tidur gara-gara hujan lebat atau menulis haiku-nya mendekam di kamar.

"Enggak. Kurasa aku tidak mau seperti itu."

"Kenapa?" Di dalamnya terselip kekecewaan yang tidak pandai bersembunyi. Kume menggigit bibir saat ia merasa, lirih suara Akutagawa meluluhkannya. Mementalkan kebencian yang hampir sampai, bahwa bertemu Akutagawa adalah kesialan pertama usai sedemikian bahagia.

"Berarti aku menerima kalau kau ini yang terbaik bagi Natsume-sensei. Aku masih belum menyerah soal itu, Akutagawa-kun. Tadi Natsume-sensei sudah memuji karyaku, dan itu bukan sekadar cukup bagus. Mana bisa, kan, aku berhenti sampai di situ saja?"

"Kalau Kume sudah diakui Natsume-sensei sebagai yang terbaik, artinya kita bisa tetap baikan, Kume!" Senyuman Akutagawa bergetar sewaktu menyerukannya. Bukankah positivisme yang meskipun sedikit ini, memang adalah hak Akutagawa? Makanya ia takkan melepaskannya.

"Tetap saja aku membencimu."

"Kenapa lagi ...?"

"Soalnya aku tidak akan pernah mendapatkannya juga, karena sejak awal Akutagawa-kun sudah berada di situ. Mustahil aku sangat kuat untuk merebut posisi tersebut."

Apa-apaan ini? Kedua tangan Akutagawa jadi mengepal ketika tak habis pikir, kalimat semanis, "Bahwa setiap kali semuanya baik-baik saja, sejenak aku melupakan betapa aku membencimu", justru memiliki ujung paling petaka. Mungkin memang seharusnya Akutagawa bilang, ia akan memberikan posisinya sebagai anak emas Natsume-sensei ke Kume jika begitu. Akutagawa tidak membutuhkannya lagian ...

Akan tetapi tidak bisa. Kata-kata tersebut terus saja mengkhianati Akutagawa dengan melarikan diri, membuatnya mati kutu total.

Entah kenapa Akutagawa pun selalu membayangkan, Kume pasti memiliki seribu satu cara untuk menolak kata-kata Akutagawa. Ujung-ujungnya Akutagawa-lah yang salah dan tercela.

"Tuh, kan, obrolan kita jadi enggak enak begini. Aku terlalu bahagia dan lengah. Lagi-lagi aku mengulangi dosa, di mana aku memikirkan banyak hal saat suasana hati sedang baik-baiknya. Padahal sudah tahu rata-rata pikiranku itu jelek doang."

"Maaf ..."

"Lagi pula kalau enggak membenci Akutagawa-kun, rasanya aneh banget. Awal-awal kupikir, itu karena jika tak melakukan itu, aku berhenti merasa hidup. Namun, apa Akutagawa-kun tidak berpikir, bukannya aneh padahal–"

Tiba-tiba Akutagawa mendekat. Mata mereka kembali, seperti ketika Akutagawa meminta Kume melihatnya dari tanpa jarak. Mulut Kume berakhir terkatup begitu saja. Akutagawa-lah yang malah pamit duluan dalam bisu.

"Jangan dikatakan. Aku belum siap mengakhiri kebahagiaanku, karena akhirnya kita mengobrol lagi. Terima kasih sudah mau bercerita, Kume."

Bukannya aneh, padahal selama ini aku membencimu, tetapi tiba-tiba menerimamu dengan baik dan seolah-olah enggak terjadi apa-apa? Aku sendiri enggak bisa menerimanya, karena itu ... itu kurang pantas.

Adalah apa yang hendak Kume ucapkan, dan sekiranya Akutagawa mengetahui itu. Namun, walaupun ia mempunyai balasan dan bisa memenangkannya, apa maknanya apabila Akutagawa tak sanggup mengeluarkan kata-kata? Dia memang lemah. Sekarang saja Akutagawa sudah terisak-isak, sambil memegangi buku Gakusei Jidal–tololnya membayangkan inu merupakan tangan Kume.

"Sekali lagi ... maaf."

Akutagawa tidak berbalik lagi ke perpustakaan. Semoga lain waktu mereka dipertemukan lagi, setidaknya.


Tamat.