Perkara Bubur

Bungou to Alchemist belong to DMM Games

[#BaladaLokalAU day 1: bubur / telat upacara]

Happy reading!

~o~

Empat kali dering bel kali itu disambut helaan napas lega bagi segelintir siswa berseragam putih abu-abu yang tengah berjemur mengelilingi tiang Sang Saka Merah Putih. Bagai nyanyian dewi bunyinya dipuja-puja, dalam hati mengucapkan puji syukur sebelum secara serempak bubar tidak teratur—kembali ke kelas masing-masing sebelum guru yang akan mengajar pada jam pelajaran berikutnya datang, sudahlah istirahatnya di kelas saja.

Kelas 11 Sosial 2 jadi destinasi dua orang pemuda yang seragamnya nyaris basah kuyup lantaran peluh (sejujurnya ini agak hiperbolis, menilik yang betul-betul kuyup hanya bagian belakang karena peluh lebih suka berkumpul di sana—memang biasanya begitu, 'kan?). Seorang di antaranya yang berhelai pirang lagi-lagi mengucap syukur, karena guru bahasa Indonesia yang akan mengajar mereka setelah ini nyatanya belum tiba.

"Enak, dihukumnya?" Kunikida Doppo terkekeh-kekeh, melihat kawan sebangkunya yang baru kembali langsung merebahkan diri di atas kursi seraya bersandar.

Tayama Katai selaku yang dikatai hanya melirik. Tenaganya masih ada ternyata, karena setelahnya ia berteriak setengah oktaf, "Panas!", yang kemudian disambut oleh Kunikida yang tertawa lagi.

Katai melirik dua bangku di depannya. Ada Shimazaki Touson—teman sekelas rangkap teman akrabnya yang ikut dihukum tadi pagi—yang langsung menelungkupkan setengah badannya di atas meja, kemudian Tokuda Shuusei selaku teman sebangku dengan wajah kasihan menawarinya botol tupperware isi air mineral miliknya, isinya masih tiga perempat. Melihatnya membuat Katai terduduk tegak.

"Bagi minummu!" Ketika ia berteriak demikian Touson sudah keburu menerima botolnya. Masih dengan rasa haus ia melirik Kunikida. "Doppo, punya minum?"

Yang ditanya menggeleng. "Lupa bawa," katanya. "Kantin, kuy? Mumpung Pak Kouyou belum dateng—Shuusei bilang bakalan telat."

"Aku capeekk ..." Katai mau menangis saja rasanya. "Air ... beri aku air ..."

Kunikida hanya menatap temannya dengan ekspresi kasihan, sementara Shuusei dari bangku depan mereka geleng-geleng kepala. Ketika Touson mengembalikan botol minumnya dan kembali menelungkupkan diri di atas meja, Shuusei lanjut menawarkan botolnya pada Katai—yang mana langsung diterima dengan senang hati.

"Ngomongin Pak Kouyou tadi ... asli itu orang jahat banget!" Katai langsung berseru setelah merasa tenaganya kembali sedikit demi sedikit. "Coba aja bukan dia yang jaga, aku sama Touson udah lolos meski telat upacara! Pegel anjir, berdiri segitu lamanya ..."

Berdiri selama dua jam pelajaran ditambah waktu upacara pagi dan istirahat lima belas menit itu siksa neraka duniawi—meski beberapa kali bisa mencuri waktu untuk berjongkok sejenak, tetap saja menyiksa. Dalam hati Katai mengutuki Pak Kouyou yang bertugas jaga gerbang pagi ini, gara-gara beliau mereka berdua (dan segelintir siswa lainnya) mesti dihukum hormat bendera hingga jam istirahat pertama berakhir.

"Sebenernya aku nggak kaget kalau kamu yang telat—udah keseringan, soalnya." Shuusei melirik Katai dan Touson bergantian. "Pertanyaanku, kenapa Shimazaki juga bisa terlambat?"

Apabila melihat Tayama Katai dihukum karena terlambat mengikuti upacara bendera Senin pagi, Shuusei dan Kunikida sudah maklum. Namun kali ini Shimazaki Touson turut bersamanya, yang mana langsung mengundang heran—bahkan guru sejarah mereka, Pak Tokutomi yang rumornya jarang memperhatikan murid-murid sendiri, terkejut melihat bangku Touson kosong tadi pagi.

"Tanyain aja ke Shimazaki, kali, Shuusei?" Kunikida menyahut.

Karena merasa namanya disebut Touson kembali duduk tegak. Dua ahogenya yang sedikit panjang itu bergoyang-goyang ketika ia turut mengubah posisi duduknya, menghadap meja Kunikida dan Katai di belakang.

"Ng ...?"

"Itu, tadi Shuusei nanya, kok bisa kamu telat hari ini?" Kunikida langsung menyampaikan pertanyaan Shuusei sebelumnya.

"Oh?" Touson mangut-mangut. "Itu, aku nginap di rumah Katai sejak kemarin. Tadi pagi ibunya beliin bubur ayam buat sarapan, terus kami debat buburnya harusnya diaduk atau nggak diaduk."

"Orang macam apa yang nggak ngaduk buburnya?! Bubur itu enaknya diaduk!" Tahu-tahu Katai berseru.

"Gak diaduk, Katai. Bubur itu enaknya nggak diaduk." Dengan tenang Touson membalas. "Kalau kamu aduk, rasanya jadi kecampur—pernah nggak sih kamu nggak sengaja gigit daun ketumbar?"

"Justru itu yang enak! Kalau nggak diaduk malah rasanya aneh—omong-omong karena diaduk jadinya daun-apalah-itu-namanya nggak terlalu kerasa!"

"Kalau diaduk justru-"

"Sebentar, sebentar!" Shuusei buru-buru menengahi. "Kalian berdua—aku lebih kaget sama Shimazaki, tapi ya sudahlah—debat sampai telat ikut upacara cuman gara-gara bubur?!"

"Bubur ayam." Touson menambahkan.

"Apapun." Shuusei menghela napas. "Tapi, serius? Cuman gara-gara bubur?"

Katai dan Touson mengangguk berbarengan. Shuusei mengerjap.

Kunikida terkekeh. "Toleransi memang ada untuk menghormati perbedaan, Shuusei. Tapi, maaf, untuk perkara bubur, tidak ada yang namanya toleransi," sahutnya. "Omong-omong, aku tim bubur nggak diaduk, sih—maaf, Katai."

"Doppo tega!"

Shuusei menghela napas, lelah sekaligus tidak tahu harus bicara apa lagi.

"Doppo sudah bersama Touson. Shuusei, katakan bagaimana kau makan buburmu—kalau diaduk sepertiku, aku bakal bahagia, sungguh." Katai langsung menatap Shuusei penuh harap. Karenanya Touson dan Kunikida turut memerhatikan, mewanti-wanti jawaban apa yang akan kawan mereka ini berikan.

Shuusei terdiam.

"... Sebenernya aku nggak masalah, sih, makan bubur diaduk ataupun nggak." Pemuda itu garuk-garuk kepala.

"Hah?!"

"Ya ... asal nggak pakai kecap."

"... Haaah?!!"

"... Kenapa kalian malah kaget?" Melihat ekspresi terkejut yang Katai dan Kunikida perlihatkan membuat Shuusei menaikkan sebelah alis. Apa yang salah dari kata-katanya hingga kedua kawannya dari bangku belakang itu terkejut sedemikian rupa?

"Tunggu, tunggu!" Katai maju. "Makan bubur ayam nggak pakai kecap?! Shuusei, itu penistaan!"

Shuusei mengernyitkan dahi. "Aturan dari mana lagi itu?!"

"Makan bubur memang baiknya pakai kecap, sih ..." Kunikida mangut-mangut.

"Aku setuju," sahut Touson. "Makan bubur tanpa kecap rasanya hambar. Aku tahu Shuusei orangnya ngebosenin, tapi nggak bisa gini."

"Kan?!"

"Yah, terserah kalian." Shuusei mengangkat bahu. "Bagiku lebih enak nggak pakai kecap, sih."

"Gak bisa gitu!" seru Katai. "Shuusei, kau harus cobain makan bubur pakai kecap!"

"Hah? Nggak mau!"

Kunikida mengangguk-angguk. "Warung bubur depan SDku dan Katai dulu buka sampai sore. Pulang sekolah kita ke sana, Shuusei harus tahu gimana rasanya makan bubur pakai kecap."

"Kubantu seret." Touson tersenyum kecil.

"Kalian kenapa, sih?!"

-end-

Sebenernya buat hari ini ak pilih prompt bubur. Tapi karena ada prompt upacara (entah mikir apa pas masukin prompt ini but ternyata bisa dipake ges) yaudah masukin dikid2 :')

Sefruit event dari Our Home (yang pp grupnya masih kucing muka datar buatan Nana). Kalo bisa gaskeun la sampe hari ke-7 ( • ̀ω•́ )9

(fyi saya tim bubur diaduk ga pake kecap)