Normal POV
Universitas Konoha, Tokyo.
Cuaca indah yang diiringi oleh angin, melalui angkasa dan masuk melalui jendela berkaca tipis.
Suasana kelas yang terlihat besar dengan deretan bangku panjang terlihat ramai, bisikan-bisikan keras tampak terdengar sampai ke sudut tempat, memberikan kesan bahwa ada hal yang cukup panas untuk diperbincangkan. Ketika Orochimaru-sensei menutup rapat besar tentang acara kelulusan yang akan dilaksanakan dua minggu ke depan, semua mahasiswa segera membuka ponsel mereka dan membaca berita yang langsung menjadi urutan nomor satu di setiap situs media sosial.
Semua orang terlihat antusias. Semua orang terlihat terkejut kala tersadar. Semua orang segera memberikan pendapat yang bersifat pro maupun kontra. Semua orang segera berteriak akan satu berita panas yang menjadi pusat dari segala keributan.
Hinata Hyuuga terlihat terduduk di bangku sebelah kanan, menatap ponsel dengan layar yang menyala.
.
pakkuchan – #01 trending
" Naruto Uzumaki, center dari anggota boyband J-Dice, dikabarkan berpacaran dengan Sakura Haruno, seorang model dari Guardian Angel "
Selasa (09/04/2019) secara resmi, media ekslusif Jepang, Arirang, mengungkapkan salah satu idol J-Dice, Naruto, berpacaran secara resmi dengan Sakura Haruno, mantan aktris cilik yang saat ini menjadi model celana dalam, Guardian Angel.
Sekitar pukul 08.00, Arirang mempublikasikan foto yang terduga adalah Naruto Uzumaki sedang memasuki mobil yang dimiliki oleh Sakura pada Jumat lalu. Mereka pergi bersama di akhir pekan dan berkencan di salah satu pusat perbelanjaan di Sunagakure, kota kecil sebelah utara dari Pulau Shukaku.
Beberapa kali terlihat Naruto dan Sakura bertemu di tempat yang sama, seperti mengunjungi acara musik Young Nation dan pergi ke Amerika Serikat sebagai tamu ekslusif dari brand fashion ternama, Blueberry.
Arirang juga mengatakan di situs resmi mereka bahwa Naruto dan Sakura sudah berpacaran selama lima bulan. Di saat ulang tahun Sakura yang ke-21, Naruto terlihat memberikan hadiah mahal berupa—
.
Hinata tersentak, mengerjapkan kedua mata. Ia terdiam tanpa suara, memandang layar ponsel yang menjadi gelap, mati karena daya baterai yang sekarat.
Gadis itu memilih untuk tidak berkomentar, beranjak berdiri dan memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Dia terlihat kaku, linglung; menahan tangis saat mendengar suara dari orang-orang di dalam kelas yang masih menjerit karena terkejut. Mereka tampak tidak tahu, tampak tidak ingin tahu, dan tampak tidak tahu malu; berkali-kali berkata bahwa gadis cantik yang berstatus sebagai model celana dalam itu sama sekali tidak pantas bersanding dengan lelaki profesional yang memiliki status sebagai idol yang selalu disanjung-sanjung.
Hinata menelan ludah. Jika mereka tahu bahwa si idol yang disanjung-sanjung ini ternyata berpacaran dengan dirinya yang pemalu, apa yang akan dipikirkan orang-orang itu?
Hinata berusaha untuk tidak memikirkan, memilih untuk melangkah keluar dari kelas dengan menundukkan kepala. Gadis itu mengabaikan gerombolan perempuan yang menenangkan temannya yang menjerit-jerit, menangis seperti manusia patah hati; terlihat tidak rela akan berita saat ini.
Hinata juga ingin menangis. Namun, ia bertahan untuk tidak egois.
.
.
.
ME AFTER YOU
Naruto by Masashi Kishimoto
Me After You by stillewolfie
Naruto U. & Hinata H.
OOC, alternate universe, typos, ringan, etc.
.
.
Dedicated for NHFD 12th (NaruHina Fluffy Day 12th) on 2021
my boyfriend is an idol, crush at school, a date, graduate as the prompts
.
.
.
Way Entertainment, Tokyo.
Ruangan itu besar, dilindungi oleh kaca-kaca tebal yang transparan serta tidak mampu terlihat dari luar. Di sana, di tengah-tengah, terdapat meja panjang berwarna hitam yang menjadi tempat tumpukan kertas yang wajib dibaca. Kursi putar tampak diduduki oleh seorang wanita berambut pirang panjang, disanggul begitu anggun dan dewasa. Iris cokelat mendelik tajam, melotot marah pada seorang remaja yang memilih untuk menundukkan kepala, memasang wajah—sedikit—bersalah.
"Aku memintamu untuk jujur," Tsunade Senju berbisik, menahan amarah. Naruto mengumpat dalam hati, bersabar meski dunia tampak sulit berpihak pada dirinya saat ini. "Berita itu, apa benar?"
"Tidak."
"Jangan berbohong padaku."
"Aku tidak berbohong."
"Kau berbohong." Tsunade berujar, menekan nada bicara. "Kau bilang kalau kau akan menghabiskan akhir pekanmu di apartemen, benar?" Naruto belum sempat menjawab, segera dipotong oleh wanita berambut pirang. Tsunade membanting kertas berisi artikel kurang ajar yang terkait dengan salah satu artisnya. "Tapi apa? Kau malah pergi keluar kota dengan seorang model celana dalam? Apa kau gila!?"
"A-Aku memang pergi dengannya!" Naruto berkilah, mengerutkan dahi. "Aku memang pergi dengan Sakura, tapi hanya sebagai teman, Tsunade-sama! Kami tidak punya alasan untuk pergi sebagai pasangan atau—"
"Kau ini idol, seorang publik figur." Tsunade memotong pelan, Naruto terdiam seketika. "Kau pikir media akan percaya dengan perkataanmu? Mereka lebih percaya dengan apa yang mereka lihat dari pada apa yang mereka dengar!" Naruto mengernyitkan dahi, mengepalkan kedua tangan. "Pergi keluar kota dengan Sakura Haruno di akhir pekan sebagai teman … sangat mustahil mereka akan menerbitkan artikel semacam itu."
Naruto menelan ludah, berdecak. Dia terlihat kesal sekaligus marah, masih terlihat keras kepala. Tsunade memilih untuk menghela napas, menatapnya dengan pasrah dan cemas. Wanita itu memijit kening, menyumpahi perusahaan media bernama Arirang yang selalu menguntit dan mengusik artis-artisnya. Ia mendelik ke depan, menemukan seseorang yang dari tadi berada di sana, melihat perdebatan kecil akibat berita yang terdengar tidak pantas. Sasuke Uchiha, hanya bersandar di samping pintu utama, memainkan ponsel untuk sekedar membunuh penat.
"Aku tidak memanggilmu kemari, Sasuke." Tsunade berkata, membuka berkas baru yang diberikan oleh sekretaris terpecaya di sisi meja sebelah kanan. Iris cokelat mendelik heran, sedikit tidak paham mengapa si visual dari boyband ternama rela datang pagi ini hanya demi bersandar di dinding tanpa melakukan apa-apa. "Kau membutuhkan sesuatu?"
Sasuke tidak menjawab, memasukkan ponsel ke saku celana. Ia mengangguk pelan ke arah Tsunade, bersikap hormat meski terlihat segan. Pemuda itu mendelik pada punggung si sahabat, yang masih terlibat akan rumor tak berdasar. "Intinya, berita itu tidak benar."
"Tentu saja!" Naruto menjerit kencang, menggemparkan ruangan. Sasuke menggelengkan kepala, Tsunade hanya mampu memijit jidat. "Percayalah padaku. Aku pergi dengan Sakura karena ada hal yang harus kulakukan. Aku tidak mungkin pergi sembarangan dengan seorang gadis kalau hal itu tidak penting, Tsunade-sama." Ia melangkah cepat-cepat, mendekati meja dan meletakkan kedua permukaan tangan di sana. Tsunade mendongak, menatap pancaran dari mata biru yang berkilat. "…anda percaya padaku, 'kan?"
Sasuke masih diam, Tsunade mengerjapkan kedua mata.
Ia pun menarik napas, terlihat sabar. "Tentu saja."
"Kalau begitu, berikan berita bantahan." Naruto berujar mutlak, meminta tapi terkesan memerintah. Sasuke hanya mampu memutar bola mata. "Aku akan meminta pengacaraku untuk menuntut mereka atas pencemaran nama baik."
"Arirang itu sebuah perusahaan, kumpulan wartawan juga dilindungi oleh hukum, Naruto." Tsunade menutup berkas, memilih mengambil ganggang telepon untuk menghubungi pihak redaksi yang bertugas untuk berhubungan langsung dengan media. "Menuntut mereka tidak akan semudah—"
"Aku tidak peduli!" Sasuke merengut, menyumpahi jeritan Naruto yang cukup berisik. "Akan kucari orang yang membuntutiku dan menyeretnya ke dalam penjara. Dia sudah mengganggu privasiku dan menyebarkan fitnah!"
"…itu resiko yang harus kau tanggung, dasar bodoh."
— dunia mendadak hening.
Naruto mengerti. Dia sangat paham dengan apa yang dimaksud sebagai resiko pekerjaan, tanggung jawab, dan realita.
Impian adalah impian. Kenyataan tetaplah kenyataan. Meski fakta mengatakan bahwa idol adalah pekerjaan impian bagi sebagian remaja, bukan berarti seorang idol akan tetap dipandang sebagai manusia biasa. Mereka adalah contoh nyata yang menjadi pusat perhatian, di mana segala gerak-gerik akan terus dipantau sampai media puas dengan apa yang ditemukan. Arirang adalah perusahaan media yang berani ikut campur dengan urusan para sosialita, karena hak-hak sebagai seorang jurnalistik telah dilindungi oleh hukum dan masyarakat.
Naruto mengetahui hal itu, tetapi ia pura-pura bersikap untuk tidak mau tahu.
Sasuke menarik napas, mengibaskan rambut ke belakang. Dia menegakkan badan, melangkah mendekati meja. Tsunade hanya mampu melihat mereka berdua, memandang dengan penuh penyesalan. "Aku akan menyuruh Shizune untuk menyelesaikan hal ini. Naruto, aku minta kau untuk tidak keluar ke publik sampai masalah ini selesai. Dan kau, Sasuke—" Sasuke mengerling malas, sudah tahu dengan apa yang wanita itu minta. "—awasi dia."
Naruto ingin protes, tidak terima. Sasuke segera maju satu langkah, menganggukkan kepala. "Aku mengerti."
"Hei!" Naruto bersuara, ia menarik ujung jaket milik pemuda berambut kehitaman. "Aku bisa menjaga diriku sendiri! Kalian tahu aku tidak suka diawasi!"
"Berhentilah mengoceh," Sasuke mendelik tajam, memelototinya. "Kau sudah terlibat masalah besar. Jangan membuat semua jadi makin runyam, Dobe."
Naruto membalas dengan wajah emosi tak terkira. Dia memang salah, tetapi harga diri membuat dirinya masih ingin melawan. "Sialan. Kau kira—"
"Hentikan, Naruto."
Ketika mendengar suara dari satu-satunya wanita yang berada di sana, Naruto pun terdiam sembari mengalihkan pandangan. Pemuda itu memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana, mengutuk satu kebodohan yang cukup berdampak. Sasuke hanya mampu menarik napas, berusaha untuk mengalah. Tsunade melipat tangan di atas meja, menatap dua remaja yang selalu menjadi sumber masalah. "Aku tahu kalian sudah mengerti apa yang harus kalian lakukan. Sekarang, keluar dan istirahatlah."
Sasuke menganggukkan kepala, menunduk penuh hormat. Naruto masih merengutkan alis tanda tak segan, segera berbalik dan pergi ke arah pintu keluar.
.
.
me after you –
.
.
Mereka bertemu saat masih berusia lima belas tahun.
Hinata Hyuuga adalah seorang gadis pemalu yang tidak percaya diri. Dia tidak berbakat dalam banyak hal, kecuali memasak dan belajar. Gadis itu tidak pandai bergaul meski memiliki wajah yang manis, nama keluarga bahkan tidak sanggup menyelamatkannya dari krisis rendah hati. Dia terlalu baik, terlalu menutup diri, terlalu aneh, dan dipenuhi dengan misteri.
Itulah yang dipikirkan oleh Naruto Uzumaki.
Mereka bertemu saat menjadi pasangan di pelajaran Biologi. Hinata hanya mampu gemetar ketakutan, menundukkan kepala saat melihat seorang pemuda tampan telah memandangi dirinya tanpa kedip, tanpa suara, tetapi penuh keseriusan. Naruto berjongkok sembari mendongakkan kepala, mengalihkan pandangan dari lima bunga mawar yang berbeda warna. Hinata pun berdiri, meremas ujung roknya, berkeringat cemas.
"Kau … adik dari Neji Hyuuga?"
"I-Iya…"
"Oh."
Hinata hampir menangis kala mendengar jawaban yang tidak responsif.
Naruto memang tidak peduli, tetapi ada penasaran yang menggelitik dalam hati.
Biologi menuntut mereka untuk saling bekerjasama, meminta masing-masing pasangan untuk membuat penelitian tentang apa yang terjadi kala menemukan satu tumbuhan dengan beraneka warna. Hinata adalah siswi yang pintar, hampir separuh dari tugas tersebut diselesaikan olehnya. Naruto tetap berjongkok, memperhatikan tangan putih yang terus menyentuh-nyentuh tangkai mawar yang terlihat menekuk. Pemuda itu berusaha untuk paham, tetapi semua akan buyar kala menemukan cahaya ungu yang terpantul dari kedua mata milik sang perempuan.
Naruto memiliki hubungan yang cukup umum dengan Neji Hyuuga, tetapi tidak pernah tahu bahwa si angkuh itu memiliki adik yang sangat bertolak belakang.
"Kau tahu siapa aku, 'kan?"
"T-Tentu saja, kita 'kan sekelas…"
"…oh iya, aku lupa."
"…"
— ia merasa begitu bodoh sekarang.
Naruto memutuskan untuk duduk bersila. Ia membiarkan Hinata berlutut di sampingnya, masih memperhatikan reaksi bunga mawar agar bisa diteliti lebih jelas. Gadis itu terlihat fokus, menunjukkan bahwa dirinya memang luar biasa cerdas. Hinata mengambil pena dari saku seragam, mengambil papan yang dijepit dengan kertas polos tanpa noda. Naruto menghela napas bosan, mendongakkan kepala; memperhatikan langit biru tanpa awan.
"Saat sudah lulus, kau ingin jadi apa?"
"…eh?"
"Kau punya impian, 'kan?"
Hinata memutuskan untuk berhenti mencatat, mendongak pada lelaki berambut pirang. Dia seketika terpana, mengerjap kala bertemu dengan sepasang biru yang terlihat begitu dalam. Naruto menyeringai puas, mengambil papan tersebut dan melemparnya entah ke mana.
"Aku ingin tahu impianmu."
"I-Impian?"
"Ya. Saat besar nanti, apa yang ingin kau lakukan?"
Hinata meremas kedua tangan, terlihat gelisah. Dia tahu bahwa kedua pipi miliknya telah merona, merasa gugup sekaligus cemas. Mengobrol dengan lelaki bukanlah keahlian, tetapi menjawab pertanyaan tersebut tentu adalah kewajiban. Gadis itu memutuskan untuk menekuk lutut, menundukkan kepala. Naruto masih diam, memperhatikan begitu seksama.
"A-Aku … ingin jadi guru taman kanak-kanak."
"Kenapa?"
"Aku … um, suka anak kecil…"
Naruto bergumam lucu, hanya mengangguk. Dia terlihat tidak terkejut, karena dengan kepribadian yang lembut seperti kapas, Hinata memang pantas untuk menjadi seorang guru.
"Bagaimana d-dengan Naruto-kun?"
"…aku?"
Hinata terlihat serius, Naruto pun memberikan seringai misterius. Pemuda itu memajukan kepala, menatap mata ungu yang seketika melebar tak percaya.
"Aku ingin jadi publik figur."
"E-Eh?"
"Bisa dibilang, menjadi seorang idol. Aku pasti membentuk grupku sendiri dan kami akan berdiri di puncak ketenaran."
"I-I-Idol?"
Hinata terperangah seiring dengan hembusan udara. Naruto lantas memundurkan wajah, melebarkan seringai kepuasan. Mereka saling bertatapan, tidak sadar bahwa salah satu jantung mulai berdetak kencang, tidak sabaran.
— ingatan masa lalu segera berhenti begitu saja.
Hinata tersentak saat mendengar ponsel menyala, bergetar kecil di atas meja. Gadis itu melebarkan senyum bahagia saat melihat satu nama, terpampang jelas dengan begitu indah. Dia menekan tombol terima, meletakkan benda itu di depan telinga sebelah kanan. "H-Halo…"
"Hinataaaa!"
Hinata terkikik geli, tersenyum penuh rindu. "Naruto-kun…"
"Maaf baru bisa menghubungimu. Ponselku disita dan akhir-akhir ini aku sangat sibuk."
Hinata mengangguk kecil, tidak peduli bahwa Naruto tidak bisa melihatnya kali ini. "T-Tidak apa. Bagaimana di sana? Apa Naruto-kun sudah makan?"
"Tentu saja! Aku makan tiga porsi ramen hari ini!"
"Dengan sayuran?"
"Hm! Dengan sayuran!"
Hinata menghela napas, semua rasa sakit seketika hilang kala mendengar suara Naruto yang penuh semangat. Dia terduduk di samping ranjang, menatap jendela yang terbuka. Gadis itu terlihat memikirkan banyak hal, ingin berbicara sesuatu yang cukup sensitif untuk dibicarakan. Namun, keheningan itu lantas membuat sang penelepon ikut terdiam, menundukkan kepala dengan wajah tak terbaca.
"Kau sudah tahu berita itu?"
Hinata tidak langsung menjawab, memilih untuk meremas rok panjang berwarna putih keemasan. Gadis itu terlihat bimbang, tetapi ditahan menggunakan suara lembut penuh cinta. "A-Apa itu benar?"
"Tidak."
Hinata merasa belum tenang. "N-Naruto-kun yang pergi dengan S-Sakura Haruno ke Suna … apa itu benar?"
— belum ada jawaban.
"A-Aku tidak akan marah … aku janji."
"…aku memang pergi dengannya, tapi tidak seperti apa yang berita itu katakan."
Hinata merasa tubuhnya menegang, tetapi tahu bahwa apa yang ia dengar merupakan sebuah kejujuran. Gadis itu kembali menganggukkan kepala, terlihat pengertian. "A-Aku mengerti…"
"Agensi telah memberikan berita bantahan. Kau sudah lihat?"
"T-Tanpa melihatnya pun, aku pasti percaya padamu."
Hinata tidak tahu secerah apa wajah Naruto sekarang. Pemuda itu terlihat antusias dengan wajah bahagia. "Terima kasih, Hinata. Aku mencintaimu."
Hinata merasa bahwa kedua pipi miliknya memanas. Dia merasa malu luar biasa, meski dirinya sendirian di dalam kamar. "Aku juga m-mencintai Naruto-kun…"
Naruto melebarkan senyum, merasa senang sampai ke langit ketujuh. Pemuda itu tiba-tiba menegakkan tubuh, menatap jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Dia terlihat berpikir tanpa tahu waktu, segera mengeluarkan ide yang lantas membuat gadis di seberang sana seketika membisu. "Malam ini, apa kau sibuk?"
"E-Eh?" Hinata terlihat berpikir sejenak. Gadis itu berusaha untuk mengingat kegiatan yang akan ia lakukan keesokan harinya. Namun, hasil menunjukkan sebuah gelengan. Dia segera menarik satu kesimpulan. "T-Tidak. Aku tidak sibuk—"
"Kalau begitu, ayo berkencan."
Sekarang, Hinata yang terdiam. Dia melebarkan mata. "K-K-Kencan?"
"Tentu saja! Sudah berapa lama kita tidak bertemu, Hinata?"
"Um, kurasa sudah tiga bulan…"
"Oke! Kalau begitu, ayo pergi malam ini." Naruto cengengesan, tidak peduli akan peringatan yang pihak agensi sampaikan sebelumnya. "Jam sepuluh di Bukit Myoboku, bagaimana?"
Hinata dapat merasakan jantung kembali berdebar-debar. Namun, perasaan cinta itu lantas membuatnya seketika bahagia; melupakan kegelisahan yang sempat muncul ke permukaan. "Baiklah…"
Naruto memberikan ciuman jarak jauh, Hinata pun hanya mampu merona malu.
Mereka kemudian saling menutup panggilan, meninggalkan jejak hangat yang membekas. Hinata masih terdiam, terduduk di pinggir ranjang, memeluk ponselnya di depan dada. Gadis itu terlihat gugup luar biasa, tetapi antusias dalam arti kebenaran. Naruto, yang jauh berada di dalam kamar asrama, menahan jeritan, terlihat segar meski skandal yang menimpa sedang panas-panasnya.
.
.
me after you –
.
.
Bukit Myoboku, Tokyo.
Malam hampir berganti.
Naruto segera menutup pintu setelah memastikan bahwa mobil telah terparkir dengan baik. Dia menenteng sebuah tas hitam berisikan gitar, menaiki pijakan gunung yang tidak terlalu curam. Dibalik topi berwarna cokelat, terdapat mata biru yang bercahaya bagaikan bintang. Pemuda itu terlihat tenang sekaligus antusias, berharap bahwa pertemuan ini akan terjadi tanpa adanya gangguan.
Naruto menaiki pijakan bukit, melangkah hati-hati. Dia tidak peduli dengan kesan gelap yang mengiringi, gosip yang saat ini masih terus diwanti-wanti, Sasuke yang saat ini sedang panik karena ponselnya yang tidak bisa dihubungi, Tsunade yang sedang pusing akibat tingkahnya yang tak tahu diri, atau Kakashi yang saat ini membaca novel porno dengan senyuman penuh arti. Naruto ingin adanya sebuah privasi; berkencan di atas bukit tentu pilihan yang cukup baik.
— ia mendongak, menemukan hamparan daun yang menggelepar hebat.
Naruto telah sampai di atas puncak, menemukan langit malam yang dihiasi oleh bintang serta kilatan bulan. Cahaya lampu dari gedung-gedung kota dapat terlihat, menciptakan kerlipan indah dalam sekali pandang. Di sana, ada seseorang yang berdiri, menggunakan jaket hangat serta rok panjang berwarna merah hati. Di antara cahaya rembulan, ada cahaya lain yang terpatri; berwarna ungu terang, terlihat gemerlap, terlihat indah.
Hinata Hyuuga telah berdiri membelakangi, menghadap kota dengan angin berhembus dingin.
Naruto Uzumaki tersenyum tipis, menikmati pemandangan yang kembali membuat dirinya jatuh hati.
Hinata tersentak saat ada dua tangan yang menariknya, memeluknya dalam sebuah dekapan hangat. Udara berhembus pelan, membuat ujung rambut bergerak-gerak tanpa arah. Gadis itu tersenyum lepas, melepaskan rindu yang meruak dalam dada. Naruto masih berdiri di belakang, memeluk tubuh kecil yang ia cinta agar tidak kedinginan. "Maaf, aku terlambat."
Hinata menggeleng. "Tidak apa. Aku tahu, Naruto-kun pasti sangat sibuk…"
Naruto mendengus pelan, mengusak kepala menuju leher jenjang milik sang perempuan. "Rasanya lelah sekali…"
Hinata meremas tangan Naruto, seolah ingin memberinya kekuatan. "Naruto-kun tidak perlu memaksakan diri. Apa Tsunade-sama memberikan libur yang cukup?"
Naruto segera mengerling malas, membayangkan wajah Tsunade yang saat ini—mungkin—sedang panik karena ia pergi tanpa berpamitan. "Kalau tidak bisa bertemu denganmu, liburan selama apapun takkan cukup untukku."
Hinata menarik napas, menepuk-nepuk lengan Naruto yang melingkar di pinggangnya. Naruto menikmati wangi rambut panjang kekasihnya yang menjadi ciri khas, menciuminya dengan penuh damba. Hinata pun tidak memiliki minat bicara, memilih untuk menikmati detik demi detik sebuah kebersamaan. Mereka terdiam di hamparan bukit, mengabaikan rerumputan yang bergoyang karena desauan angin. Bintang terlihat semakin cerah di atas langit, berkerlap-kerlip sebagai tanda bahwa musim semi akan segera berakhir.
"Aku merindukanmu." Naruto berbisik. Dia merasa semua beban yang membuatnya gila perlahan terangkat, seiring dengan pelukan mereka yang mengerat. "Aku … sangat, sangat, sangat merindukanmu, Hinata."
Hinata menundukkan kepala begitu dalam, tidak tahan akan sensasi panas yang menghantam. Dia semakin menempelkan tubuhnya ke arah Naruto, menikmati ciuman-ciuman yang diberikan oleh pemuda itu. "Aku juga … sangat merindukan Naruto-kun."
Naruto berhenti mencium, memilih untuk tersenyum. "Apa kau menyesal bersamaku?"
Bagaikan hantaman yang terkena ujung kepala, Hinata tersentak. Dia berbalik, menemukan mata biru yang memancarkan kehangatan pasti. "T-T-Tidak! Tentu saja tidak! Kenapa Naruto-kun berkata seperti itu?"
"Aku hanya bertanya." Naruto terkekeh gemas, memperbaiki rambut Hinata yang berantakan karena angin malam. Dia memandang wajah bulat yang merona-rona, terlihat indah di antara kegelapan. "Kita jarang bertemu. Kau pun harus menyembunyikan statusmu sebagai kekasihku. Aku tidak bisa bertemu denganmu setiap hari. Aku saja … jarang menghubungimu. Hinata pasti ingin memamerkanku pada teman-temannya, 'kan?"
Hinata terpana, terdiam beberapa saat.
Memamerkan?
"…"
Tentu saja.
Hinata Hyuuga adalah kekasih dari Naruto Uzumaki, seorang idol dari boyband J-Dice yang selalu mencapai nomor satu di chart musik. Lagu-lagu mereka kebanyakan berisi tentang cinta masa remaja, tetapi visual serta tarian tentu sebuah pengecualian. Sasuke Uchiha memang anggota paling terkenal, Gaara Sabaku pun demikian. Namun, Naruto Uzumaki memiliki warna yang berbeda. Pemuda itu ibarat cahaya terang di atas panggung, seperti matahari di antara hitam dan putih, mempunyai daya tarik yang berbeda; rambut pirang, wajah tampan, bersemangat, penuh hasrat.
Itulah Naruto. Kekasihnya. Kesayangannya. Cintanya. Miliknya.
Naruto Uzumaki yang terkenal ceria dan liar dalam sekali pandang, hanya bisa bermanja-manja di depan Hinata Hyuuga, seorang mahasiswa biasa yang ingin menjadi guru taman kanak-kanak.
— demi apapun, lelaki ini hanya miliknya seorang.
Hinata berkali-kali berusaha untuk tidak cemburu saat mendengar semua gadis di kampus membicarakan Naruto. Dia pun juga harus bersabar saat perempuan-perempuan itu sempat berhalusinasi bahwa Naruto adalah milik mereka, bermimpi bahwa salah satu penggemar tersebut akan menjadi istrinya kelak. Hinata ingin sekali menjerit di tengah lapangan dan mengumumkan bahwa si idol yang dimaksud sudah memiliki pacar selama lebih dari tujuh tahun dan itu adalah dirinya.
Hinata yang menemani Naruto saat berusaha meraih mimpi untuk menjadi seorang publik figur. Hinata yang menjadi tempat bersandar bagi Naruto kala pemuda itu lelah dan butuh tidur. Hinata selalu mengingatkan dirinya untuk mengasup vitamin agar tetap sehat saat ia lupa makan dan istirahat. Hinata adalah sosok penopang hidup kala Naruto hampir menyerah, selalu merengek akan betapa sulitnya menari sampai kehabisan napas. Hinata yang setiap hari diam-diam datang berkunjung; memberikan bekal sarapan, makan siang, dan makan malam saat Naruto dipaksa berlatih di dalam perusahaan tanpa istirahat sedikit pun. Hinata adalah satu-satunya orang yang menemani Naruto audisi. Dia adalah sosok pertama yang mendengar bahwa pemuda itu berhasil hingga siap menjadi trainee.
Kushina Uzumaki, ibunya, sempat menentang. Meski begitu, Hinata tetap ada di sana; mendukung sepenuhnya.
— hingga ia mampu berkarir selama ini, hampir delapan tahun.
Dibalik kesuksesan Naruto yang selalu luar biasa di atas panggung, ada Hinata Hyuuga yang siap menjadi pendukung penuh.
"T-Tidak."
Naruto yang mendengarnya, sedikit terkejut. "Serius?"
Hinata mengangguk. "Kalau aku bersikap egois, Naruto-kun pasti akan kesulitan." Dia berkata, menatap secara langsung pada mata biru yang berhasil membuat dirinya jatuh cinta. "Kau sudah berjuang keras. A-Aku tidak mau menghancurkan kerja kerasmu hanya k-karena—" Naruto dapat melihat Hinata menundukkan kepala, menyembunyikan pipinya yang memerah pekat. "—memamerkan? N-Naruto-kun tahu aku tidak mungkin melakukan hal semacam itu, 'kan?"
Naruto lantas tertawa, merasa gemas luar biasa. Dia mengacak-acak puncak kepala milik sang tercinta, mengajak Hinata untuk duduk di antara rerumputan. "Benar juga. Hinata, kekasihku yang cantik ini, ingin bersikap pamer? Terdengar sangat tidak mungkin."
Hinata menggelengkan kepala. "Naruto-kun saja yang berpikir macam-macam…"
— meski tebakan itu tidak sepenuhnya salah.
Entah mengapa, jauh—sangat jauh—dari hati terdalam, ia ingin dunia tahu bahwa pemuda itu miliknya, bukan milik penggemarnya saja.
Setelah memastikan bahwa tanah di bukit tersebut tidak kotor, Naruto menuntun Hinata untuk duduk di sana, bersamanya. Mereka duduk di antara rumput ilalang, menikmati gerakan udara yang semakin memabukkan. Gadis itu tersenyum saat melihat sang kekasih memberi cengiran lucu. Naruto mengambil gitar, memangku benda tersebut dan memastikan setiap petikan akan pas dalam satu tarikan.
Hinata menutup kedua mata saat Naruto membuka suara, menyanyikan satu lagu yang memiliki arti yang pas untuk situasi sekarang.
Lagu berjudul Harukaze [*] terdengar cukup menarik.
Naruto bernyanyi sambil menatap ke depan, menggunakan nada alto yang begitu indah dan menenangkan. Tangan kiri memegang ujung gitar, kelima jari dengan lincah membentuk kunci sebagai pencipta nada. Tangan kanan dengan sigap bergerak-gerak, memetik kelima senar supaya terdengar selaras. Hinata pun melebarkan senyuman, memandang penuh takjub akibat suara Naruto yang terlatih dan terdengar profesional. Gadis itu menutup kedua mata, menikmati alunan gitar serta getaran suara yang membuat dirinya kembali jatuh cinta.
Dia mengakui bakat sang terkasih yang memang telah terikat dalam musik.
Naruto terus bernyanyi, Hinata bergumam-gumam mengikuti lagu secara pasti. Beberapa kali, mereka bernyanyi bersama, di dalam lirik yang serupa.
— kebersamaan yang sangat sebentar, tetapi terkesan luar biasa.
.
.
me after you –
.
.
Hinata Hyuuga membeku di dalam ruang utama.
Hiashi Hyuuga masih terduduk di kursi kerja, melempar beberapa lembar foto di atas meja.
"Kau berpacaran dengan seorang idol."
— itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan.
Ruangan itu bernuansa klasik, berwarna hitam dan putih. Dinding sebelah kanan tersusun bingkai-bingkai foto yang berisikan tentang pewaris keluarga secara turun-temurun. Di ujung ruangan, terdapat sofa mahal berwarna merah, tersusun rapi dengan vas bunga sebagai hiasan. Di tengah-tengah, terdapat meja berwarna cokelat berisikan tumpukan kertas berupa laporan tentang kualiatas perusahaan mereka. Hiashi Hyuuga terduduk di sana, mengerjap tidak menyangka, menarik napas dalam rangka bersikap sabar. Dia melirik empat buah foto yang tersimpan di dalam amplop cokelat, yang dikirim oleh identitas tak dikenal. Hinata pun tak sanggup melawan, mengingat bahwa foto tersebut memang berisikan dirinya dan seseorang berambut pirang.
Hinata Hyuuga, putri pertama sekaligus pewaris selanjutnya, dan Naruto Uzumaki, seorang idol dengan latar belakang yang tidak jelas; sedang berkencan secara privat di salah satu bukit daerah selatan.
Hiashi ingin tertawa kala tahu bahwa fakta tersebut memang benar.
"A-Ayah," Hinata memanggil, menelan ludah. Dia ingin menangis, tetapi masih bertahan. "A-Aku memang pergi dengannya, tapi—"
"Sejak kapan?"
Hinata menutup kedua mata, saling menggenggam kedua tangan; berusaha untuk tidak menjerit kecewa.
"Kau berpacaran dengan orang ini," Hiashi menunjuk foto yang berisikan Naruto Uzumaki, sedang terduduk sembari bermain gitar dan bernyanyi penuh kasih, "—sejak kapan?"
"S-S-Saat masih sekolah—"
"Oh? Bocah ini ada di sekolah yang sama?"
"Ayah—"
"Putus saja, kalau begitu."
Hinata membeku di tempat, membulatkan mata. Tangan refleks melemas, terkejut sampai jantung berhenti berdetak. Dia menangis secara telak, menahan amarah.
"Keputusan Ayah adalah mutlak. Katakan pada pria ini bahwa hubungan kalian telah berakhir."
"AYAH!" Hinata menjerit, cepat-cepat berlutut. Dia membungkuk begitu dalam, dahi sampai menyentuh lantai ruangan. Gadis itu terisak, menggigit bibir bawah sampai meneteskan darah. "Aku m-m-mohon dengan sangat … izinkan aku untuk memutuskan keinginanku sendiri. A-Aku sudah menuruti perkataan Ayah selama ini, t-t-termasuk menjadi pewaris. Aku mohon … kali ini—k-kali ini, biarkan aku untuk memilih—"
"Ingat posisimu, Hinata."
Hinata membeku, melebarkan mata. Dia masih gemetar di dalam kekuasaan yang menjerat. Hiashi menghela napas, menggelengkan kepala.
"Bagaimana bisa aku mengizinkan putriku, pewaris keluargaku, anak yang kelak akan melahirkan cucuku, memiliki hubungan dengan seorang penyanyi yang menari-nari liar di atas panggung? Apa kau tidak memikirkan perasaan Ayah saat mengetahui hal ini?"
"T-Tapi—"
"Terkenal atau tidak, dia—" Hiashi meremas salah satu foto, mengacaknya sampai hancur. "—adalah seorang penyanyi, profesi yang tidak baik dan tidak cocok dengan kita, para pebisnis."
"N-Naruto-kun adalah lelaki yang baik!" Hinata masih berusaha, mendongakkan kepala. Dia memandang Hiashi yang berdiri, membuang foto yang telah diremas. Gadis itu terlihat hancur dalam sekejap; bibir yang terluka, mata yang membengkak, wajah yang semakin pucat. Hiashi masih berdiri tegap, tidak tersentuh meski melihat putrinya sudah berlutut seperti seonggok sampah. "Naruto-kun adalah orang yang berharga! Dia menolongku dalam banyak hal, Ayah! Naruto-kun mengajarkanku apa arti hidup dan bertahan. Dia membantuku saat aku kesulitan dalam tekanan! D-Dia mengajarkanku arti mimpi dan kebebasan … A-Ayah, aku mohon … izinkan aku b-bersamanya—"
"Tidak." Hiashi melangkah melewati Hinata yang masih berlutut. Pria itu memperbaiki dasi dengan kaki yang melangkah menuju pintu. "Berhenti bersikap cengeng hanya karena seorang pria, Hinata. Kau lebih pantas dengan seseorang yang akan Ayah pilihkan untukmu." Dia berkata, mengabaikan suara tangisan putrinya yang terdengar semakin parah. "…jangan membuatku murka hanya karena perasaanmu yang tidak jelas itu."
Hiashi membuka pintu. Ia menemukan Neji Hyuuga berada di sana, menatapnya dengan pandangan tak terbaca. Iris pucat tampak mengerling datar, melewati sang keponakan tanpa rasa bersalah.
"Anda keterlaluan, Hiashi-sama."
— refleks, langkah kaki segera berhenti.
"Hinata-sama pantas bahagia, bersama orang yang dicintainya." Neji berbalik, menatap punggung Hiashi yang enggan kembali. "Berpikirlah sekali lagi. Ini untuk kebahagiaan putri anda. Saya yakin, kelak anda pasti bahagia jika melihat Hinata-sama bahagia—"
"Aku tahu apa yang dibutuhkan oleh putriku, Neji." Hiashi menjawab, bergema di ruangan luas yang merupakan lorong menuju lantai bawah. "Aku tahu apa yang dibutuhkan oleh keluargaku." Hiashi bersiap pergi, menuruni tangga dengan pandangan sulit dimengerti. "Oh, dan ini peringatan khusus untukmu—" Neji mendelik keras, menyipitkan kedua mata. "—jangan melewati batas, atau aku terpaksa melakukan sesuatu."
Hiashi pun pergi dari sana, meninggalkan Neji yang terdiam serta Hinata yang masih menangis dengan kesan terluka.
Neji menarik napas, memasuki ruang kerja milik Hiashi Hyuuga dan meraih Hinata. Gadis itu masih menangis terisak-isak, terlalu menyakitkan untuk didengar. Pemuda itu memandang lirih, memeluk si adik sepupu yang telah hancur dalam sanubari.
Namun, mata segera tertuju pada tiga foto yang ada di atas meja; terlupakan begitu saja.
Neji mengenal Naruto Uzumaki saat masih duduk di bangku kelas tiga. Mereka memang tidak dekat, tetapi saling kenal akibat bergabung di klub yang sama. Naruto adalah sosok yang positif, jago bela diri, pandai bermain gitar, dan penuh semangat. Semua orang menyukainya sebagai teman yang menyenangkan. Neji pun berpikir demikian. Dia tidak terkejut kala menemukan bocah itu tampil di layar kaca, bernyanyi dalam sebuah grup dan dikelilingi oleh ratusan penggemar.
Hinata adalah salah satu sepupu miliknya yang terkenal lembut dan penyayang, kontras dengan Naruto yang berapi-api, selalu bertingkah tanpa berpikir akan resiko ke depan. Neji memang tak menyangka, tetapi tidak bermaksud untuk menentang. Dia percaya bahwa apa yang dipilih oleh sang adik adalah yang paling benar. Naruto memang bukan pria yang sempurna, tapi bagi semua orang, dia adalah sosok pria yang baik dan bertanggung jawab.
Neji ingin melihat Hinata bahagia. Sesederhana itu.
…
…
Naruto Uzumaki terdiam di sebuah ruangan besar.
Sasuke Uchiha terlihat bersandar di samping pintu utama, menatap punggung pemuda itu dengan pandangan kesal. Gaara Sabaku terlihat duduk di sebuah sofa besar, memainkan ponsel dengan wajah penuh bosan. Sai Shimura hanya tersenyum tipis, mengambil kertas dan menggambar sesuatu di sana. Shikamaru Nara pun berdiri di belakang pemuda pirang, mengasak belakang rambut dengan wajah malas. Tsunade Senju tetap duduk di sebuah kursi kehormatan, menahan amarah yang begitu besar.
"Shizune memberitahuku," Tsunade berbicara, menghela napas begitu dalam. "Bahwa masalahmu dengan Sakura Haruno sudah selesai, mulai mereda, dan banyak penggemar berusaha untuk melindungimu dari kecaman-kecaman jahat yang ada di situs online—"
Naruto masih menundukkan kepala, kepala berpikir keras.
"—kemudian, pagi ini, ada kiriman yang ditujukan padaku."
Naruto masih diam, tidak peduli dengan pukulan di atas meja; membuat foto-foto yang berisi dirinya dan Putri Hyuuga sedang berkencan di bukit daerah selatan tampak terbang dan terjatuh kembali di sebelah tumpukan kertas.
"Kau memang tidak berkencan dengan Sakura Haruno … melainkan berkencan dengan Hinata Hyuuga, putri sulung dari Keluarga Hyuuga?"
Sai tersenyum. "Naruto-san memang hebat dalam mencari pacar—"
"Aku tidak minta pendapatmu, Shimura!" Tsunade menjerit keras, memelototi lead vocal yang malah melebarkan senyuman, terkesan palsu dan mengerikan. Wanita itu kembali mendelik pada si pemuda pirang, memantulkan emosi meluap-luap. "Hiashi Hyuuga menghubungi kantor pagi ini, dan kau tahu apa yang ia katakan?"
Naruto masih enggan untuk menjawab.
"Dia memberimu dua pilihan," Tsunade berbisik, sedikit sinis. Shizune menahan napas, berusaha untuk tidak menangis. "Kau harus memilih; tetap menjalani hidupmu sebagai publik figur dan meninggalkan putrinya, atau kehilangan karir sekaligus tidak lagi bertemu dengan Hinata Hyuuga."
— semua pilihan itu sama sekali tidak menguntungkan.
Naruto mendengus, menahan tawa. Siapa yang tidak kenal pria diktator, pemaksa, sok berkuasa, dan sombong bernama Hiashi Hyuuga? Tidak ada!
"Orang yang mengirim foto ini meminta imbalan," Tsunade melanjutkan, menyandarkan punggung yang terlihat lelah. "Dia akan menyebarkan foto ini ke situs penggemar kalau perusahaan tidak memberi jumlah uang yang diminta."
Gaara terlihat tidak terima, melipat kedua tangan. "Tidak ada jaminan bahwa orang itu akan menepati janjinya."
Shikamaru menggangguk, tersenyum pasrah. "…kita terjebak."
Sasuke mendelik tajam, menatap punggung pelaku yang masih diam saja. "Ini semua salahmu, Dobe. Apa kau tidak bisa menahan hasratmu untuk tidak bertemu dengan si Hyuuga itu?" Ia berkata, sarkas. "Kau dan semua keegoisanmu. Kau selalu membuat karir tim terancam hanya karena tingkah bodoh—"
"Kalau begitu, aku keluar saja."
— dunia mendadak hening.
Tsunade melebarkan mata, tidak percaya. Shizune sampai menjatuhkan pena yang digenggam begitu saja. Sasuke segera mengatupkan bibir, melotot dengan urat yang terlihat di sisi kepala sebelah kanan. Gaara berhenti mengetik sesuatu di dalam ponsel hitam, memberikan ekspresi terkejut yang cukup kentara. Sai menghentikan aksi menggambar, senyum telah hilang di wajahnya yang pucat.
Shikamaru adalah sosok yang paling cepat tanggap. Dia segera memegang bahu Naruto dan memintanya untuk menjelaskan. "Jangan bercanda—"
"Tsunade-sama, aku minta maaf karena telah melanggar kontrak." Naruto tidak ingin mendengar. Dia merasa enggan untuk menatap anggota lain yang masih membeku seperti orang tak bernapas. "Aku akan melakukan aksi ganti rugi sebagai resiko karena pemutusan kontrak yang tiba-tiba ini. Jika ada sesuatu yang membuat dirimu terluka—" Dia menunduk penuh hormat. "Aku benar-benar minta maaf."
"Hei, Naruto—"
"Juga, aku akan mengembalikan semua aset perusahaan yang telah diberikan padaku, termasuk apartemen dan mobil yang selama ini kugunakan." Iris biru terlihat tak terbaca, tampak biasa tanpa rasa bersalah yang cukup kentara. "Kalau aku adalah alasan kenapa tim selalu terkena masalah, dengan senang hati aku akan pergi dan keluar—"
BUAGH!
"JANGAN BERCANDA, DASAR BODOH!"
Tsunade terperangah. Gaara segera berdiri dan mengambil rencana. Shikamaru tidak siap saat tubuhnya didorong ke belakang. Sai tidak mampu melakukan apa-apa karena ia memiliki reaksi yang cukup lambat. Shizune sampai menutup mulut dengan telapak tangan, tidak menyangka. Sasuke Uchiha memutuskan untuk bergerak maju, mencengkram jaket hitam milik Naruto Uzumaki, menghantamkan satu pukulan sampai membuat pemuda itu terjatuh dan terkena dinding terdekat.
"Sialan kau, Naruto Uzumaki!" Naruto dapat merasakan kerah baju yang ia pakai tiba-tiba ditarik. Sasuke duduk di perutnya, kembali memberikan satu pukulan ke pipi sebelah kanan. "Sial! Sial! Sial! Apa yang barusan kau katakan!? Kau mengorbankan karir yang kau perjuangkan hanya karena seorang wanita!? KAU GILA!?"
BUAGH!
Sasuke tidak siap saat Naruto melawan. Pemuda itu memukul dengan sangat keras, tubuh Sasuke langsung tersungkur dan keadaan berbalik begitu saja. Iris biru melotot tajam, hampir memerah seperti rubah.
BUAGH!
Naruto kembali memukul.
"Dia bukan hanya 'seorang' wanita, Sasuke!" Naruto menjerit keras, terdengar sampai ke luar ruangan. "Dia Hinata Hyuuga! Temanku! Sahabatku! KEKASIHKU!"
BUAGH!
— lagi, dan lagi.
"Dia berjuang untukku! Dia yang membantu mewujudkan mimpiku agar bisa bersama kalian! Dia yang mendukungku sampai aku jadi seperti sekarang, Bangsat! Bagaimana bisa aku meninggalkannya kalau alasanku bertahan sampai saat ini adalah Hinata!?" Naruto terengah-engah, memelototi Sasuke yang ikut terpancing amarah. "KALAU KAU TIDAK TAHU APA-APA, LEBIH BAIK DIAM SAJA!
"NARUTO!"
Shikamaru segera menarik tubuh Naruto yang terlihat begitu marah, tampak memberontak dan ingin menghajar Sasuke sampai pemuda itu tidak bisa bicara tentang Hinata Hyuuga. Gaara pun menyeret Sasuke agar segera menjauh dari jangkauan Naruto yang masih meronta-ronta. Tsunade telah menghubungi petugas keamanan, hingga beberapa detik kemudian, Yamato Tenzo beserta dua penjaga lain sudah mendobrak pintu dan menemukan kekacauan yang terjadi di antara mereka semua.
Ketika melihat dua anggota J-Dice tampak diseret oleh petugas keamanan, Sai hanya duduk di atas sofa sembari menoleh ke arah jendela kaca. Dia tidak peduli dengan Tsunade yang terduduk lemas ditemani oleh Shizune yang menawarkan obat penenang.
Cinta itu … sangat mengerikan.
.
.
me after you –
.
.
Lapangan Umum. Universitas Konoha, Tokyo.
Dua minggu kemudian, hari kelulusan telah tiba.
Hinata mendongakkan kepala, menatap langit musim semi yang terlihat begitu indah.
Gadis itu terdiam di antara keramaian, mengabaikan suara tangis bahagia yang terjadi di sekitarnya. Dia menatap ke depan, memandangi sang ayah yang sedang berbicara dengan seorang kolega yang merupakan paman dari salah satu teman di angkatan mereka. Hinata tidak mengerti mengapa Hiashi Hyuuga begitu banyak dikenal oleh orang banyak, mengingat pria itu memiliki sikap ketus dan tidak pandai melakukan aksi sosial. Namun, ia memutuskan untuk mengabaikan. Ia menundukkan kepala.
Setelah pertemuan mereka di Bukit Myoboku, Hinata tidak menerima kabar apapun dari Naruto.
Pemuda itu seperti menghilang, tidak memberikan kabar akan situasi yang ada. J-Dice sempat melakukan fansign di Chiba, tetapi Naruto Uzumaki, center mereka, tidak hadir karena alasan kesehatan. Hinata sempat heran, tetapi tidak mampu melakukan apa-apa. Meski sibuk, Naruto pasti akan mengirimkan pesan. Namun, kali ini, tidak ada. Dia seolah pergi tanpa alasan.
Hinata merasa cemas. Apakah ada masalah?
"Onee-chan!" Hanabi Hyuuga tiba-tiba datang dari balik punggungnya. Gadis kecil berambut cokelat terlihat penasaran, tidak paham mengapa hari ini sang kakak terlihat murung dan tidak bahagia. "Kau kenapa, sih? Ini hari kelulusanmu, tahu! Seharusnya kau senang!"
Hinata hanya tersenyum, menepuk-nepuk puncak kepala sang adik tanpa maksud. "M-Maafkan aku, Hanabi-chan … tapi hari ini, aku merasa sangat lelah."
Hanabi segera melebarkan mata. "Nee-chan … sakit?"
"Eh? T-Tidak, maksudku—"
"HINATAAAAAA!"
Gadis yang dimaksud segera terdiam, menolehkan kepala.
Semua orang di sana tampak terkejut karena satu teriakan hebat. Hanabi pun tak bersuara, memilih untuk mengerutkan alis karena bimbang. Hiashi menoleh, terdiam saat tahu ada manusia di dunia ini yang berani meneriaki nama putrinya dengan tidak sopan. Neji Hyuuga hanya mampu menggelengkan kepala, tersenyum tipis saat tahu dari mana suara tersebut berasal.
Hinata membeku di tempat, napas seketika tertahan. Dia terperangah, menatap seseorang yang berlari begitu kencang. Gadis itu tidak tahu harus melakukan apa saat dirinya menangkap warna pirang keemasan.
Naruto Uzumaki telah tiba di hari kelulusannya, secara mendadak.
Ketika Naruto berlari mendekat, Hinata segera mundur satu langkah. Ketika Naruto memberikan senyum paling cerah, Hinata hanya mampu mengamati dalam diam. Ketika Naruto bermaksud melemparkan tubuh sampai topi miliknya terlepas, Hinata terpana dengan pipi memerah. Ketika Naruto menarik pinggangnya, Hinata tak sadar bahwa toga juga terlepas dari kepala. Ketika Naruto mengambil satu ciuman, Hinata refleks menutup kedua mata.
Hiashi tampak melotot begitu lebar, masih tidak paham dengan apa yang terjadi sekarang. Hanabi terlihat terkejut dengan pipi merona, tidak lupa mengabadikan momen itu sebagai foto yang ditangkap menggunakan ponsel berwarna hitam. Neji harus menahan emosi karena melihat adiknya telah dicium di depan semua orang. Sasuke Uchiha terlihat bersembunyi di dalam mobil yang terparkir di sebelah lapangan, tampak mendesis akibat kebodohan si sahabat. Sakura Haruno terduduk di kursi penumpang, terkikik geli dengan wajah penuh gairah.
"Sasuke-kun, apa kau berani menciumku seperti itu?"
"Jangan membuatku semakin kesal, Sakura."
"Iya, Sayang. Aku juga mencintaimu."
Sasuke memutar bola mata, Sakura pun kembali bermanja-manja.
Di sisi lain, Naruto terlihat masih ada di sana, mencumbui Hinata sampai pipi gadis itu merona pekat.
Hinata mendesah, membiarkan lidah sang kekasih tampak masuk dan menari-nari di dalamnya. Ia terlihat bahagia kala tahu bahwa sosok ini telah tiba, di sini, bersamanya, merayakan hari kelulusannya sebagai seorang mahasiswa. Naruto tampak bersemangat, menciumi bibir Hinata adalah kegiatan yang paling ia suka. Bibir milik gadis itu adalah candu; begitu lembab, begitu manis, begitu indah, tak tergantikan.
Mereka terlihat tidak peduli dengan segala keadaan. Hinata tampak tidak peduli dengan kenyataan bahwa ada Hiashi Hyuuga di sana, memelototinya dengan wajah keras tak tergantikan. Naruto pun demikian, terlihat acuh saat tahu bahwa ada beberapa penggemar yang tidak menyangka, berbisik-bisik, mengambil gambar, merekam video, atau menangis-nangis tanda sulit menerima fakta. Meski semua orang tampak tidak percaya, Naruto akan membuatnya percaya. Meski Hiashi Hyuuga bersikap bahwa kelakuan putrinya sangatlah memalukan, Naruto akan memaksa pria itu menerima hubungan mereka.
Dia bersumpah.
Hinata terengah saat bibirnya dilepas. Ia mendongakkan kepala, terkejut dengan wajah memerah. "N-Naruto-kun … k-k-kenapa—"
"Selamat atas kelulusanmu." Naruto memotong, memberikan cengiran. Hinata pun menelan semua gundah, memutuskan untuk tersenyum sebagai balasan. "Aku tidak bisa menghubungimu karena ada hal yang harus kuselesaikan. Maafkan aku."
"Um … t-tidak apa," Hinata berbisik. Dia memeluk Naruto kembali, mengucapkan rasa syukur berkali-kali. "K-Kukira aku tidak bisa melihatmu lagi…"
Naruto tertawa, menggelengkan kepala. "Kau membiarkanku mati perlahan, kalau begitu."
Hinata mengerjapkan kedua mata, menahan tangisan. Gadis itu seolah terjerat dalam satu dunia, di mana dunia tersebut hanya berisikan Naruto dan dirinya. Dia menghembuskan napas, merasa bahwa beban transparan telah menghilang entah ke mana. Naruto terlihat mengangkat tangan, menghapus jejak air mata milik sang tercinta dengan pelan. Udara pun mendadak berhembus begitu cepat, mengabaikan jeritan mahasiswa lain serta para orang tua yang tersenyum-senyum tidak jelas.
Di sisi lain, Hanabi berusaha sekuat tenaga untuk menghalangi Hiashi agar tidak menghancurkan momen indah ini.
"Kau ingat skandalku waktu itu?" Naruto mengeluarkan sesuatu dari kantung celana, Hinata kembali terpana. Gadis itu tidak siap saat jemari berkulit cokelat mengambil permukaan tangan miliknya, meletakkan sesuatu yang gemilang. "Aku meminta Sakura menemaniku untuk membeli ini. Aku payah dalam memilih barang perempuan, jadi kurasa, meminta masukan dari yang berpengalaman terdengar tidak buruk, 'kan?"
Hinata mengerjap tidak percaya, memandang cincin perak dengan batu permata yang berkilauan. Semua orang di sana pun semakin menjerit kencang, tidak menyangka.
"Sunagakure adalah tempat emas berada," Naruto menjelaskan pelan-pelan, mengabaikan suara mobil milik para wartawan yang telah sampai di kampus Hinata. "Aku pergi ke sana supaya bisa mencari cincin terbaik di antara yang terbaik. Hanya untukmu."
Hinata tidak sanggup berkata-kata, menatap Naruto yang tersenyum lepas. "Naru—"
"Bisakah kau berjanji satu hal padaku?" Naruto menggenggam tangan putih dengan cincin berwarna ungu keperakan. Pria itu mengecup punggung tangannya, begitu lembut dan hangat.
Hinata tersenyum lebar, membiarkan tangisan kembali menghiasi wajahnya yang cerah.
Naruto pun tersenyum lega, menyatukan dahi mereka.
"Setelah semua ini selesai—" Ia berbisik. "Ayo menikah."
.
.
.
ended
.
.
.
epilogue
.
.
Neji bersandar di salah satu pohon terdekat, berusaha untuk menjauhi hiruk-pikuk yang terjadi di depan sana. Dia bersumpah untuk tidak melihat berita di layar kaca selama beberapa minggu ke depan, yakin bahwa topik panas yang akan diperbincangkan adalah pasangan fenomenal tentang seorang idol lokal bernama Naruto Uzumaki, telah berhubungan secara resmi dengan Hinata Hyuuga, calon pewaris perusahaan bisnis terkenal.
Neji tiba-tiba tersentak, menatap satu pesan yang muncul di dalam layar ponsel yang menyala.
22/04/2019 – 13.02
From: Sasori Akasuna
Kami sudah menemukannya. Wartawan itu bernama Yugao Uzuki, seorang jurnalistik kelas satu dari Perusahaan Arirang. Kau benar, mereka memang selalu membuat masalah. Aku sudah mengambil buktinya, akan kukirim nanti malam.
Neji tersenyum puas. Dia menutup ponsel tanpa berniat membalas.
Semoga anda bahagia, Hinata-sama.
.
.
me after you, fin.
.
.
A/N: selama proses pengetikan, saya terus berdoa, berharap kalau cerita ini masuk ke kategori fluff. mohon maaf apabila ada kesalahan, saya menulis ini dengan terburu-buru karena deadline yang sangat mepet.
[*] Harukaze – SCANDAL (Bleach Opening 15)
terima kasih karena sudah membaca, sampai jumpa di karya selanjutnya.
mind to review?
