Renjana

.

.

.

Memandang pohon kamfer tua itu selalu menimbulkan perasaan takjub nan membuncah di dalam dada Lucien. Begitu pun saat ini.

Hatinya bergetar. Darahnya berdesir pelan, ketika menatap dedaunan dari dahan-dahan kekar yang menjulang sekian puluh meter mencakar langit. Juga membentang ke segala arah dalam radius yang hampir sama, dihitung dari batang utama pohon. Batang yang menurut perkiraannya tidak akan bisa dipeluk, kecuali jika belasan orang atau lebih, saling bergandeng tangan mengelilinginya.

Pohon yang sudah berusia lebih dari seribu tahun, kata orang. Memang luar biasa. Berdiri di bawahnya saja akan mampu membuat manusia merasa kecil.

Tidak berdaya.

Desah samar terlepas dari pria berambut hitam itu, nyaris tanpa sadar. Terhela panjang, perlahan. Perasaan seperti itu, jarang sekali ada yang sanggup mematrikan ke dalam hatinya. Hanya pohon tua ini, dan juga seorang gadis.

Ya, gadis itu.

Satu-satunya gadis di dunia ini yang mampu menginvasi jiwanya, dirinya. Seluruh keberadaannya. Lucien sama sekali tidak menyadari hal itu, dan tahu-tahu semuanya sudah terlambat.

Dia sudah tidak bisa lepas lagi dari jerat perangkap yang dipasangnya sendiri.

.

.


oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo

Otome game "Mr. Love: Queen's Choice/Dream Date" beserta seluruh karakter di dalamnya adalah milik Elex©

Fanfiction "Renjana" ditulis oleh kurohimeNoir. Penulis tidak mengambil keuntungan material apa pun atas fanfiction ini.

AU. Flangst. Ditulis untuk project collab "Melody: Metanoia" yang digagas oleh Wizardcookie, dan telah dipublikasikan pula di akun Wattpad milik author (atas nama Heidy S.C.)

oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo


.

.

"Lucien!"

Sang empunya nama tersentak. Dari balik batang pohon, wajah manis yang baru saja memenuhi pikirannya, mendadak menyembul keluar. Sepasang mata cokelatnya berbinar, seiring langkah kaki yang menuntun sang pemiliknya untuk beranjak dari sisi lain pohon.

Sosok itu pun akhirnya tertangkap utuh oleh indra penglihatan Lucien. Dengan rambut cokelat sebahunya yang lembut berkilau. Hari ini dia mengenakan gaun two-piece putih bergaris biru favoritnya. Rok pendek putih dengan bordiran bunga-bunga biru mungil itu pun tampak serasi seperti biasa, sedikit berkibar tertiup semilir angin.

"Kamu di sini?" gadis itu berkata lagi dengan senyum yang tak juga pergi. "Untung saja aku datang ke sini. Jadi kita bisa bertemu."

Tawa lembut bergemerincing, bagaikan lonceng peri. Bibir Lucien tertarik membentuk senyum kecil sebelum otaknya sempat memikirkan apa pun. Sepasang matanya yang beriris lavender, tak lepas menatap sang gadis di hadapan.

Gadis penuh warna yang telah mencerahkan dunia monokromnya yang membosankan.

"Hmm? Kamu ingin bertemu denganku? Untuk?"

Lucien melepas senyum sekali lagi ketika mendapati gadis itu balas menatapnya dengan berani. Tidak banyak orang yang bisa melakukan itu, sungguh. Dan saat ini, di matanya, pipi sang gadis yang memerah adalah pemandangan terindah dalam satu harinya.

"Memangnya kalau mau bertemu harus ada alasannya?"

Gadis itu mengerucutkan bibirnya, mengundang Lucien untuk tertawa kecil.

"Apa kamu yakin tidak ada alasan khusus?"

Senyum di mata Lucien membuat wajah sang gadis makin cemberut.

"Alasan khusus apa maksudmu?"

"Misalnya ... rindu?"

"Mungkin kamu yang rindu."

"Memangnya tadi siapa yang bilang ingin bertemu?"

"Ap—" Gadis itu mengentakkan pelan kaki kanannya ke bumi. "Kenapa kamu selalu membolak-balikkan omonganku, sih?"

Kali ini Lucien hanya tertawa. Dalam diam memutuskan untuk berhenti menggoda gadis manis di hadapannya.

"Jadi?" Seperti cuaca tak menentu di awal musim penghujan, suasana hati gadis itu pun berubah cerah dalam sekejap. "Nama apa yang akan kamu berikan padaku hari ini?"

Lucien sendiri tak menyadari betapa lembut tatapan matanya yang jatuh kepada sang lawan bicara.

"Kita masih memainkannya hari ini?" pria muda itu bertanya.

"Hm-mm. Sampai kamu bisa menebak namaku dengan benar."

Sepasang iris cokelat itu menatap berbinar-binar. Penuh harap. Sebenarnya, Lucien bisa saja mengakhiri permainan mereka saat ini juga. Atau kapan pun dia mau.

Pertanyaannya hanya ada satu, kapan dia ingin menghentikan semua ini.

"Bagaimana kalau," Lucien menjeda kalimatnya sejenak, "Violet?"

"Violet?" Sang gadis memiringkan kepalanya. "Seperti nama bunga?"

Dijawab dengan satu gelengan pelan, diikuti satu kata penjelasan singkat, "Warna."

Kening gadis itu berkerut. "Kenapa warna violet?"

"Sama seperti warna bunga-bunga yang akan mekar di sekitar sini sebentar lagi."

Sepasang mata gadis itu membulat.

"Hortensia!" serunya, agak terlalu antusias. "Betul juga. Seharusnya mereka akan tumbuh subur setiap musim hujan tiba."

Lucien menikmati antusiasme ala kanak-kanak yang terpancar di hadapannya. Sepasang mata yang berbinar cerah itu menatap berkeliling. Menyapu setiap kuncup-kuncup bunga segar yang mengintip di antara dedaunan hijau.

"Pasti akan menyenangkan," gadis itu melanjutkan ucapannya dengan riang, "kalau bisa menikmati pemandangan indah saat mereka mekar sempurna nanti."

Sepasang mata sang gadis yang baru saja menerima nama 'Violet', kembali kepada Lucien. Begitu cepat seperti serangan mendadak, teriring sebentuk senyum paling berkilauan. Begitu indahnya, hingga Lucien tak sanggup mengalihkan pandang.

"Bersamamu!"

Satu kata terakhir Violet memperdengarkan nada bahagia yang begitu murni. Bergema melalui indra pendengaran, lantas terus bergerak merambat pelan tetapi pasti, hingga menggetarkan isi sukma kalbu. Lucien menahan napas tanpa sadar.

Kedua matanya yang senantiasa menyorot tenang itu pun, diam-diam goyah.

.

oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo

.

Lucien berbaring sendirian di ranjangnya. Sebelah lengannya menekuk, dijadikan bantalan di belakang kepala, walaupun sebenarnya sudah ada bantal yang menjadi alas baginya. Sementara, matanya menatap kosong ke langit-langit kamar. Menyiratkan sang empunya yang membiarkan pikirannya mengembara.

Si dia yang kini berlarian di alam pikirnya, tak lain dan tak bukan adalah gadis itu. Violet. Entah kali ini, dia akan bertahan berapa lama dengan nama barunya, hingga merasa bosan dan meminta Lucien menebak namanya lagi.

Tentang nama gadis itu yang sebenarnya, Lucien sudah tahu sejak awal. Namun, dia mengikuti saja permainan 'Violet', yang pada pertemuan pertama mereka langsung menciptakan percakapan aneh bin ajaib dengannya.

"Aku Lucien. Siapa namamu?"

"Aku tidak punya."

"Apa?"

"Nama. Bagaimana kalau kamu berikan sebuah nama untukku?"

"Boleh saja. Tapi ... aku tidak percaya kamu tidak punya nama."

"Ada, sih ... Tapi, untuk saat ini, nama itu tidak terasa seperti milikku."

"Lalu kamu meminta yang baru dariku?"

"Oh! Begini saja. Anggaplah kita sedang memainkan sebuah permainan."

"Permainan?"

"Aku akan memintamu menebak namaku, sampai kamu bisa menebaknya dengan benar."

"Apa? Kenapa?"

"Dengan begitu, saat kamu bisa menebaknya dengan benar, nama itu benar-benar akan menjadi milikku."

Lucien menghela napas samar. Tatapannya sudah kembali hidup, sebagaimana pikirannya yang telah kembali membumi. Dia sama sekali tidak mengerti jalan pikiran gadis itu. Baik waktu itu, maupun sekarang. Terlalu unik. Dan di saat yang sama, memesona.

Masih jelas di dalam ingatan Lucien, pertemuan pertamanya dengan Violet sekitar setengah tahun yang lalu. Gadis itu terjatuh ke sungai ketika sedang bercengkrama bersama beberapa kawannya. Tak ada satu pun di antara teman-teman wanitanya itu yang berani menentang arus deras sungai untuk menyelamatkan Violet.

Andai saja Lucien tidak terjun ke dalam aliran dingin di penghujung musim penghujan itu, lantas menarik Violet kembali ke daratan, mungkin sekarang gadis itu hanya tinggal nama.

Sejak saat itulah, takdir mereka telah terjalin. Hari-hari Violet tampaknya jadi lebih banyak dihabiskan bersama Lucien, dibandingkan dengan teman-temannya. Mereka sering berjanji untuk bertemu di padang rumput tempat pohon kamfer tua itu berada.

Padang Kamfer—demikian area penuh kehijauan itu biasa disebut—memisahkan kedua tempat tinggal mereka. Desa di mana Violet berdomisili, ada di sebelah utara. Sedangkan kediaman Lucien, ada di sebelah selatan, di sebuah desa lain yang jauh lebih sepi. Hampir sama luasnya, tetapi jauh lebih jarang penduduknya.

Lucien sendiri bermukim di area desa yang paling luas, sekaligus paling sunyi. Hanya ada sebuah rumah megah di sana, di belakang perkebunan anggur terbesar dalam radius beberapa kilometer dari desa ini. Keduanya adalah milik Lucien. Sebagaimana lahan kosong di belakangnya, berbatasan langsung dengan anak sungai yang menghubungkan tempat ini dengan desa seberang.

Desa tempat gadis itu berada.

Sepasang alis yang menaungi mata beriris lavender itu berkerut. Decak kesal pun terdengar samar, ketika lagi-lagi wajah ayu nan lembut itu menyerbu seluruh ruang di dalam pikirannya tanpa permisi.

"Violet."

Lucien mendengkus ketika menyadari bibirnya tahu-tahu sudah menyebut nama itu. Nama yang bahkan bukan nama sang gadis yang sesungguhnya. Dia tahu. Dia selalu tahu, kepalsuan apa yang tersembunyi di balik senyuman. Kegelapan macam apa yang menyamar di tengah-tengah cahaya.

Kejahatan apa yang bernaung di balik kata-kata lembut dan kebaikan.

Violet, gadis yang tak pernah mau menyebutkan nama kepadanya, sejatinya bukanlah gadis biasa. Dia istimewa sejak hari kelahirannya. Sama istimewa seperti matanya, dan hatinya, yang selalu mampu melihat kebaikan di dalam diri setiap insan. Dirinya pun istimewa, dengan anugerah 'kekuatan' yang membuat mata batinnya mampu melihat kejadian-kejadian di masa depan.

Namun, anugerah itu menjadi malapetaka. Ketika kebaikan hatinya memperingatkan setiap orang yang di dalam penglihatannya akan tertimpa musibah, disalahpahami oleh orang-orang menjadi 'pembawa sial'. Ketika hatinya yang lembut sehingga tetap tak bisa diam saja ketika tahu ada seseorang yang terancam bahaya, malah disalahartikan seolah dialah sang penyebab segala bencana.

Namun, gadis itu tak pernah goyah. Kebaikan dan kelembutan hatinya tak pernah sedikit pun pudar, apalagi menghilang.

Maka, hari itu, Violet terjatuh ke dalam sungai beraliran deras. Bukan karena kecelakaan, walaupun para gadis desa yang ada bersamanya mengatakan seperti itu. Violet yang memang sudah terkenal ceroboh, terpeleset ketika menginjak sebuah batu yang licin. Violet sendiri mengiyakan. Namun, Lucien yang waktu itu menolongnya, dengan mudah melihat kebohongan terpancar di wajah semua orang.

Termasuk di wajah gadis itu.

Hanya ada kebohongan. Semua orang selalu berbohong demi sebuah tujuan, atau sekadar pembenaran. Memang seperti itulah adanya dunia ini. Lucien sudah lama menyadari dan menerimanya, sebagai bagian dari kehidupannya.

Seekor nyamuk terbang cepat di depan mata Lucien, memamerkan suara denging yang menyebalkan. Tatapan mata pria muda itu menajam, bersamaan dengan tangan kanannya yang bergerak secepat kilat menangkap serangga pengganggu itu ke dalam genggaman.

Ketika Lucien membuka genggamannya, nyamuk itu kembali terbang dengan susah payah. Namun, dalam detik-detik singkat, makhluk kecil itu mendadak berubah menjadi debu hitam halus. Begitu cepatnya lenyap ke dalam ketiadaan.

Lucien mendengkus sinis, tipis. Sama seperti gadis itu, dirinya pun dianugerahi kekuatan ini di kedua tangannya. Atau seharusnya disebut sebagai 'kutukan'. Juga sama seperti gadis itu, kekuatan ini membuat dirinya disebut sebagai 'monster'.

Sudah lama ... Sudah lama sekali, Lucien mencari cara untuk melepaskan diri dari 'kutukannya'. Dan pada akhirnya, dia berpikir telah menemukannya. Mungkin gadis itulah yang akan menjadi kunci kebebasannya.

Pertemuan mereka bukanlah kebetulan. Lucien tahu para gadis desa itu memang memiliki niat jahat. Lantas ia pun sengaja datang sebagai sosok 'penolong'. Begitu pula kedekatan mereka yang terjalin pelan tetapi pasti, semuanya sudah diperhitungkan. Semuanya penuh kepura-puraan. Semuanya penuh kebohongan.

Mungkin para gadis desa itu memang berbohong. Mungkin gadis yang kini menggunakan nama 'Violet' itu pun berbohong. Namun, Lucien sendiri tak ada bedanya dengan mereka.

Justru dialah sang pembohong terbesar.

Dengkus samar terlepas, sementara Lucien memejamkan mata. Sebentuk wajah manis dengan senyum cerah bagai mentari, dengan mudah membayang dari kenangannya. Hanya gadis itu saja, dari semua orang yang pernah dia temui, yang berbohong demi melindungi orang lain. Demi melindungi sesuatu yang lebih penting baginya.

"Kenapa di dunia ini ada orang sebodoh dirimu?"

Kata-kata itu terucap dalam bisikan. Bukan dengan nada sinis, apalagi menghina. Sebaliknya, Lucien sendiri pun terkejut ketika menyadari betapa lembut nada suaranya barusan. Dan di benaknya, wajah tersenyum Violet makin jelas terbayang. Seluruh isi dadanya terasa menghangat, lantas menjalar ke seluruh tubuh dengan cepatnya.

Deg. Deg. Deg.

Lucien bisa merasakan jantungnya berdegup makin kencang. Ia tak sanggup mencegah dirinya tenggelam di dalam keindahan senyuman sang gadis via imaji, hingga tak menyadari debarannya telah menjadi makin liar. Makin tak terkendali.

Sebuah sentakan tajam akhirnya menyeret Lucien dengan paksa, kembali ke alam nyata. Dalam jeda sepersekian detik, dia tergeragap bangun, terduduk di ranjangnya dengan kedua mata terbuka lebar. Hanya sekejap, lantas menutup kembali rapat-rapat. Sementara tangan kanan Lucien refleks bergerak menekan dada kirinya.

Sakit.

Sesak.

Bahkan di titik ini, Lucien benar-benar merasa kesulitan bernapas. Dia berusaha menenangkan diri, menentramkan pernapasannya yang tersengal-sengal. Setelah beberapa kali menarik dan menghela napas dalam-dalam, barulah ia merasa sedikit lega.

Namun, kedua matanya masih terpejam rapat. Dadanya masih terasa sakit. Napasnya masih terasa sesak. Dan di benaknya, wajah gadis itu masih tak bisa diusirnya, walau sekeras apa pun dia berusaha.

Lucien sangat tahu, dia tidak boleh seperti ini. Akan tetapi, keberadaan gadis itu tanpa sadar telah mengakar kuat di dalam hatinya. Dari waktu ke waktu, setiap kali mereka bertemu. Terus, dan terus bertambah kuat. Bagaikan candu, layaknya racun yang fatal menyebar ke seluruh tubuh dengan cepatnya.

"Berhenti." Suara Lucien tertahan, terdengar sangat berat dan menekan. "Berhenti memikirkan dia."

Alih-alih dapat melaksanakan kata-katanya, justru ucapan gadis itu yang kini kembali terngiang. Janji yang terjalin alami seperti bernapas, pada pertemuan terakhir mereka di Padang Kamfer.

"Lucien. Nanti kita lihat sama-sama ya, waktu bunga-bunga hortensia ini mekar sempurna!"

.

oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo

.

Gadis itu melihat dirinya berjalan di dunia serba putih nan damai. Dia berjalan, terus berjalan, hingga menemukan sosok familier di kejauhan. Seorang pria muda yang mengenakan mantel hitam panjang di atas kemeja putih. Sedang berdiri memunggunginya.

Sang gadis memanggil sembari berlari mendekat. Pria itu berbalik, memperlihatkan sepasang iris berwarna lavender yang menyorot lembut. Selembut senyumnya yang segera tercipta. Namun, ketika sang gadis telah selangkah di hadapan, senyum itu memudar. Dari bibirnya, dan juga matanya.

Sang gadis mengulurkan tangan, begitu juga pria di hadapannya. Namun, uluran tangan itu terhenti. Sang pemilik netra lavender itu menggeleng, lantas kembali memunggungi sang gadis dan beranjak pergi. Sementara di arah yang ditujunya, kegelapan merayap mendekat.

Sang gadis merasa dirinya akan kehilangan sosok yang begitu dekat di hatinya, yang sebentar lagi akan tertelan kegelapan. Maka ia berlari. Mengejar. Lantas meraih tangan pria muda itu—Lucien—dan menggenggamnya erat-erat. Tak ingin melepasnya lagi.

Ekspresi Lucien yang dilihatnya kemudian sarat dengan kesedihan. Namun, gadis itu tersenyum. Melalui kedua tangan mereka yang saling menggenggam, sang gadis dapat merasakan aliran kekuatan yang begitu besar.

Dingin, sekaligus hangat.

Menakutkan, sekaligus menenangkan.

Sesuatu yang membuatnya merasa mampu bertahan, sekaligus seperti hendak menelannya ke dalam dunia antah-berantah.

Setelah itu, mungkin dirinya akan menghilang. Menuju ketiadaan yang anehnya terasa begitu damai. Hanya kepedihan di mata Lucien yang masih memberatkan hatinya. Karena itulah, dia membisikkan satu-dua kalimat pelipur lara.

"Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja."

.

oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo

.

Violet bersenandung riang, sembari menyiram bunga-bunga di sepetak taman kecil di halaman rumahnya. Pagi masih hangat, dan dirinya sudah hampir menyelesaikan semua tugas rumahnya. Setelah selesai menyiram bunga-bunga putih kecil yang dia sendiri tak tahu namanya, Violet membereskan semua peralatan, lantas membersihkan dirinya.

Ketika mematut diri di depan cermin untuk yang terakhir kali, di benak Violet kembali terlintas mimpinya semalam. Mimpi yang bukan hanya sekali itu datang. Mimpi yang Violet tahu persis, bukanlah mimpi biasa. Mimpi itu adalah pertanda, penglihatannya akan masa depan.

Masa depannya dan Lucien.

Wajah manis di dalam cermin itu tampak sendu sedetik. Namun, kemudian, kembali terulas senyum tipis. Dari mimpi, bayangan di benaknya pun berganti. Ialah Lucien yang kini merajai segala kenangannya.

Lucien yang pada suatu hari tiba-tiba datang, menariknya dari kepasrahan akan kematian di dasar sungai yang airnya mengalir deras.

Lucien yang selalu terasa jauh, tetapi ada kalanya memberikan senyuman dan tatapan lembut hanya kepadanya.

Lucien yang berwawasan luas, selalu memiliki bahan pembicaraan menarik untuk dibagi dengannya.

Lucien yang selalu bersedia menjadi pendengar yang baik untuk setiap curahan hatinya, entah itu menyenangkan maupun menyedihkan, entah dia bisa menawarkan bantuan atau tidak.

Lucien yang tak pernah satu kali pun memberinya tatapan yang sama seperti orang-orang di desanya, meskipun pria itu sudah tahu tentang kemampuannya yang dapat melihat kemalangan maupun bencana di masa depan.

Lucien yang diperhatikannya selalu mengenakan sarung tangan, seolah menyembunyikan sesuatu di baliknya, sebagaimana misteri dan kabut hitam yang seakan-akan menyelimuti dirinya.

Lucien yang memiliki tujuannya sendiri, sebagaimana adanya Violet.

Lucien, yang entah seperti apa pun sejatinya dia, Violet tetap tertarik kepadanya.

Lucien.

Hanya Lucien yang mampu membuat jantungnya berdebar kencang, sebagaimana semburat rona merah di pipi.

Maka, Violet memberikan senyum cerahnya kepada Violet di dalam cermin. Menguatkan keputusannya, bahwa hari ini akan menjadi hari di mana akhirnya dia akan terbebas, sekaligus memberikan kebebasan kepada seseorang yang begitu berarti di dalam hidupnya.

Beberapa menit kemudian, gadis itu sudah duduk bersama paman dan bibinya di meja makan. Sang bibi adalah adik perempuan satu-satunya dari ayah Violet yang sudah lama meninggal. Karena sudah tak punya keluarga lain lagi, Violet tinggal bersama mereka di desa ini.

Sarapan sederhana itu selesai dengan cepat tanpa percakapan berarti, kecuali sekadar basa-basi. Violet dan bibinya pun membereskan meja makan tanpa banyak cakap. Sementara pamannya bersantai membaca surat kabar pagi di ruang tengah. Setelahnya, Violet memilih untuk mencuci piring di dapur, sedangkan bibinya berkata ingin membereskan ruang tamu.

Violet kembali bersenandung sendiri. Dan tanpa terasa, pekerjaannya selesai dengan cepat. Hari ini suasana hatinya secerah langit di luar sana. Karena menurut perhitungan yang dipercaya di desanya, hari ini seharusnya bunga-bunga hortensia di Padang Kamfer akan mekar sempurna. Sekaligus resmi menandai datangnya musim hujan, yang berarti awal musim tanam.

"Kapan orang itu akan melakukannya?"

Violet terhenti di ambang pintu dapur. Samar-samar terdengar suara pamannya dari arah ruang tengah. Mungkin sedang bercakap-cakap dengan bibinya.

"Ssst! Jangan keras-keras, nanti anak itu mendengarnya."

Mata Violet membulat sejenak, menyadari dirinya disebut-sebut oleh sang bibi. Nyaris tanpa sadar, gadis itu berjalan berjingkat ke ruang tengah. Sedikit-banyak penasaran akan isi percakapan kedua orang yang selama ini menjadi pengganti orang tuanya.

Gadis itu berhenti tepat di dekat dinding pembatas ruang tengah, menyembunyikan diri di baliknya. Paman dan bibinya masih berbincang, kali ini dengan suara lebih pelan.

"Dia sudah bilang, 'kan, kalau ini perlu waktu."

"Berapa lama lagi? Ini sudah setengah tahun sejak kita membuat perjanjian dengannya!"

Violet mendengar suara bibinya, yang disanggah oleh sang paman dengan gusar.

"Suamiku, pelankan suaramu. Orang itu sudah mengatakannya, bukan? Ini tidak mudah. Keponakanku itu bukan orang biasa. Ini adalah 'harga' yang diminta orang itu untuk mengabulkan permohonan kita."

"Daripada itu, kau yakin dia bisa dipercaya? Orang itu sama saja dengan keponakanmu. Monster!"

"Tolonglah, suamiku—"

"Huh! Aku harap dia berhenti bermain-main dan segera melenyapkan keponakanmu yang terkutuk itu! Demi ketenangan hidup kita—"

"Ssst!"

Sepasang mata Violet berkaca-kaca di persembunyiannya. Sesuatu yang tak kasatmata seolah mencengkeram jantungnya. Gadis itu menarik napas dalam-dalam, lantas mengukir sebuah senyuman.

"Bibi, Paman, aku pamit ke Padang Kamfer."

Violet berpura-pura tidak melihat ekspresi bibi dan pamannya yang terkejut dan sedikit salah tingkah sewaktu dirinya tiba-tiba melangkahkan kaki ke ruang tengah. Lagi-lagi hanya basa-basi yang tercipta ketika keduanya menanggapi singkat kata-kata pamitannya.

"Bibi, Paman. Semoga kalian selalu sehat dan bahagia."

Sang bibi tertegun, sedangkan sang paman tersentak samar. Violet tidak menunggu reaksi mereka selanjutnya, dan segera beranjak pergi.

Sepanjang jalan setapak dari desanya menuju Padang Kamfer, tatapan dingin menusuknya dari para penduduk desa. Sama seperti biasa. Violet balas tersenyum ramah ketika beberapa orang memberikan senyum kepadanya, walaupun dia tahu semuanya hanya di bibir saja. Beberapa orang yang lain lagi, terang-terangan membuang muka ketika melihatnya.

Gadis itu sudah terbiasa.

Tidak mengapa. Sebentar lagi, semuanya akan selesai, bukan? Karena dirinya sudah melihat satu mimpi, satu masa depan yang pasti baginya. Di Padang Kamfer yang kini mantap ditujunya.

Hanya makan waktu lima belas menit berjalan kaki, Violet sudah bisa melihat pohon kamfer seribu tahun itu di dalam jangkauan pandangannya. Hujan turun rintik-rintik sejak dirinya mulai memasuki area padang rumput, tetapi itu tidak menyurutkan antusiasme sang gadis sedikit pun.

"Oh!"

Kedua mata Violet membulat tiba-tiba, demi menemukan sosok bermantel hitam nan familier di depan sana. Berdiri tegak di depan pohon kamfer tua, dengan membawa sebuah payung bening transparan yang melindunginya dari hujan.

Senyum Violet merekah tanpa permisi. Detak jantungnya pun menguat setingkat tanpa izin. Dia mengamati, pemuda itu tampaknya sangat senang memandangi pohon kamfer kesayangan mereka. Hanya berdiri tanpa suara. Namun, setiap kali melihat sosoknya yang seperti itu, entah mengapa Violet merasakan satu perasaan hangat mengalir lembut di dalam dirinya.

"Lu—"

Seruan Violet terputus. Pria muda yang hendak dipanggilnya mendadak menoleh. Dia tersentak ketika tatapan mata mereka bertemu, hanya terpisah jarak sekian langkah. Violet tidak mengerti, mengapa setelah itu wajah di dalam penglihatannya berubah mengeras. Lantas sang pemuda berbalik, dan mulai melangkah pergi tanpa bicara sepatah kata pun.

"Tunggu!"

Violet berlari mengejar. Jantungnya berdegup kencang, sementara tangannya terulur ke depan. Beruntung jarak yang terbentang tidak terlalu lebar. Tidak seperti reaksi pemuda itu barusan yang tiba-tiba terasa begitu jauh.

"Lucien!"

Violet menyerukan nama itu dengan segenap hatinya. Untunglah terkejar, demikian ia menentramkan dadanya yang masih bergemuruh. Langkah Lucien telah terhenti, karena Violet yang kini memeluknya erat-erat dari belakang.

"Kamu mau ke mana?" Violet bertanya. "Kita sudah janji 'kan, hari ini akan melihat hortensia sama-sama di sini."

Hanya suara samar gerimis yang jatuh pada permukaan payung, yang terdengar setelah itu.

"Jangan pergi."

Dua kata sederhana, mengekspresikan satu permohonan penuh makna. Bagi gadis itu, janji hari ini adalah permohonannya seumur hidup. Dan bagi Lucien, keberadaan gadis itu saja, selalu lebih dari cukup untuk menggoyahkan keputusannya. Tekadnya, yang seharusnya sudah tidak akan berubah lagi.

Namun, gadis itu masih memeluknya. Masih keras kepala tak mau melepaskannya, sungguh pun itu—barangkali—yang terbaik bagi mereka berdua.

Lucien menghela napas. Menyerah. Dia berbalik menghadapi gadis yang telah terlalu dalam menginvasi hidupnya itu. Melihat lagi warna-warni familier yang tak pernah gagal mencerahkan harinya. Dari rambut cokelat dengan wangi yang khas. Dari sepasang mata cokelat yang selalu berbinar cerah. Dari seluruh penampilannya yang kali ini didominasi warna merah muda yang lembut.

Dengan mata berkaca-kaca, Lucien membiarkan gadis itu memeluknya, menenggelamkan wajah ke dadanya. Pelukan itu pun berbalas, sementara payung di tangan Lucien terlepas, lantas terbawa angin hingga jatuh di atas rumpun hortensia yang bermekaran. Dalam detik-detik yang terasa seperti keabadian, Lucien mengizinkan gadis itu mendengarkan detak jantungnya. Sebagaimana degup jantung gadis itu yang kini pun terdengar jelas olehnya.

Selaras, seirama.

Dan sedikit lebih kencang daripada yang seharusnya.

"Aku ... punya tujuan yang tidak baik terhadapmu."

Satu kalimat itu akhirnya lolos dari bibir Lucien. Dengan kedua mata masih terpejam, ingatannya memutar kembali kejadian setengah tahun berselang. Sepasang suami-istri paruh baya mendatangi kediamannya. Entah dari mana, mereka mendapatkan informasi yang tak diketahui sembarang orang. Tentang kedua tangannya yang dikaruniai kekuatan, untuk melenyapkan makhluk hidup apa pun hanya dengan sentuhan.

Entah ini karunia atau kutukan. Yang jelas, Lucien sudah tidak menghitung lagi, berapa banyak nyawa yang telah berakhir di tangannya.

"Ambillah nyawa keponakan kami."

Permohonan dari sepasang suami istri itu disetujuinya dengan 'bayaran' mahal. Sesuatu yang sudah lama dicarinya, tetapi senantiasa berakhir dengan kekecewaan. Kali ini pun, dia tidak berharap terlalu banyak. Hanya saja, Lucien pun tak pernah menyangka, bahwa dirinya akan menemukan sesuatu yang lain.

Perasaan paling hangat, yang tak pernah dirasakannya sebelum bertemu gadis yang kini ada di dalam pelukannya. Perasaan yang seharusnya tak boleh ada, tetapi tak mampu ditolaknya. Melebihi segala cita, yang akan dengan rela dilepaskannya saat ini juga.

"Aku sengaja mendekatimu, hanya untuk mencapai tujuanku," Lucien berbisik di telinga gadis itu.

Namun, kata-kata itu terkhianati oleh kedua lengannya yang masih memeluk erat. Pun Violet, tetap tak melepaskan pelukannya, dan dia tersenyum.

"Aku tahu," ucapnya. "Apa kamu lupa? Aku bisa melihat masa depan."

Lucien tidak menyahut. Di luar kuasanya, kedua tangannya mulai gemetar.

"Di dalam mimpi, aku melihat diriku ... akhirnya akan terbebas. Berkat sentuhanmu. Dan setelah itu ... kamu juga akan bebas—"

"Hentikan," Lucien tidak tahan lagi untuk terus diam. "Jangan bicara lagi."

Senyum masih terukir di bibir Violet. Detik demi detik kembali bergulir lambat, hingga gadis itu melepaskan pelukannya. Ditatapnya kedua mata Lucien, dengan binar yang sama seperti biasanya. Binar yang tak pernah padam.

"Apakah kebersamaan kita hanya kebohongan bagimu?" tanyanya kemudian.

Lucien terdiam sedetik sebelum menjawab singkat, "Ya."

"Apakah selama ini, kamu hanya ingin mencapai tujuanmu?" Violet bertanya lagi. "Tidak ada hal lain lagi?"

"Ya, benar."

"Kamu ... tidak punya perasaan apa pun padaku?"

Jeda yang tercipta kali ini melebihi dua detik. "... Tidak."

"Baiklah." Senyum masih belum meninggalkan bibir Violet, tetapi matanya berkaca-kaca. "Kalau begitu, lakukan sekarang. Aku tidak akan lari."

Rahang Lucien mengeras. Ditatapnya gadis itu dengan mata yang dipenuhi bermacam-macam emosi.

"Kamu tidak akan memintaku untuk melepaskanmu?" Seperti yang diduga Lucien, gadis itu menggeleng. "Kamu bisa pergi jauh dari sini, dan tidak akan ada yang tahu apakah kamu masih hidup atau tidak—"

"Akan sama saja," sang gadis menyela. "Di mana pun, tidak ada tempat untukku."

"... Kenapa begitu?"

"Kekuatanku akan selalu ditakuti. Walaupun aku pergi ke tempat sejauh apa pun, akan tetap sama. Takdirku ... sudah ditetapkan." Gadis itu memiringkan kepalanya sedikit. "Walaupun takdir tidak bisa diubah, tapi nasib bisa. Dan nasibku sudah berubah, karena bertemu denganmu."

"Apa? Apa maksudmu?"

"Aku melihatnya di dalam mimpi. Tewas tenggelam di sungai, atau tewas dibakar warga desa yang sudah kehilangan kesabaran dan akal sehatnya." Sepasang mata teduh itu menatap Lucien lembut. "Keduanya sangat menyakitkan. Dibandingkan itu, apa yang bisa kamu lakukan, jauh, jauh, jauh lebih baik."

Violet meraih kedua tangan Lucien yang selalu berbalut sarung tangan hitam. Pemuda itu masih diam.

"Setidaknya, aku tidak akan merasakan sakit. Dan aku masih bisa menghabiskan saat-saat terakhir bersamamu. Itu tidak buruk juga, 'kan?" Gadis itu menjeda sejenak. "Tapi, sebelum itu, tolong jelaskan padaku. Bagaimana kepergianku bisa menyelamatkanmu?"

Lucien menghela napas panjang, tetapi tak juga merasa lega. "Kekuatan terkutuk di kedua tanganku ini akan menghilang ... bila ada seseorang yang bersedia menyerahkan nyawanya secara sukarela."

"Dan selama ini, kamu belum menemukannya?"

"Ada beberapa orang yang tadinya berkata seperti itu. Tapi ketika nyawanya benar-benar di ujung tanduk, hati mereka goyah. Karena semua manusia takut mati, bukan?"

"Lantas, apa yang terjadi?"

"Saat aku menyentuh mereka, yang kulihat di mata mereka hanya kengerian." Lucien mendengkus sinis. "Tubuh mereka berubah menjadi debu, sama seperti yang lain. Lalu lenyap begitu saja. Dan aku ... tetap seperti ini."

Lucien menggerakkan kedua tangannya sedikit. Sementara Violet, entah memikirkan apa, tiba-tiba memberinya satu senyuman hangat. Kemudian, tanpa mengatakan sepatah kata pun lagi, gadis itu melepaskan sarung tangan Lucien.

"Apa yang kau—"

Sebelum Lucien menyadarinya, sarung tangannya sudah dijatuhkan ke rerumputan. Di tengah kekagetan, dia berusaha menarik tangannya, tetapi terlambat. Gadis itu sudah menempatkan tangan kanan Lucien di pipi kirinya sendiri.

"Aku selalu ingin merasakan sentuhanmu," kata gadis itu. "Seperti ini."

Desir tajam menyakiti dada Lucien. Berbagai hal berkecamuk di benaknya. Seluruh tubuhnya seolah membeku, ketika Violet membimbing tangannya yang satu lagi, meletakkannya dengan lembut di pipi kanan.

"Kamu ..." Lucien bisa merasakan kedua tangannya yang gemetar, kini hanya bisa mengelus wajah Violet dengan lembut. "Kenapa?"

Gadis itu kembali tersenyum. Lebih cerah daripada senyum mana pun yang pernah diperlihatkannya.

"Lucien. Aku mencintaimu."

Sepasang mata beriris lavender itu melebar sejenak. Di dalam sentuhannya, tubuh gadis itu tidak berubah menjadi debu seperti yang dia pikir akan terjadi. Namun, tubuh itu bercahaya redup. Lantas memudar dengan cepat. Berubah menjadi bola-bola cahaya keemasan, seperti ratusan kunang-kunang yang beterbangan.

Lucien tersentak. Terlambat menyadari kehampaan yang mendadak mengisi relung jiwanya. Terlambat membalas kata-kata gadis itu dengan kata-kata yang sama.

Dan di dalam dirinya, dia benar-benar bisa merasakan, kekuatan terkutuk itu menghilang dari kedua tangannya. Perlahan tapi pasti. Tujuannya seumur hidup telah tercapai. Namun, hal itu tak mampu membuatnya segembira yang seharusnya.

Sementara, bola-bola cahaya itu pun mulai memudar satu per satu. Lucien berusaha memeluk beberapa cahaya yang tersisa ke pelukannya. Sungguh pun ia tahu, itu sia-sia. Hingga kedua kakinya kehilangan segala daya, dan Lucien membiarkan dirinya jatuh terduduk di rerumputan.

"Hiduplah dengan bahagia ... Lucien ..."

Lucien tidak tahu, apakah suara lembut yang bergema di telinganya itu ilusi atau nyata. Yang ia tahu hanyalah, kekosongan yang menyakitkan kini merajai hatinya. Bersamaan dengan hujan yang tiba-tiba menderas seiring hawa dingin menusuk kulit. Dan sebelum ia menyadarinya, rasa sakit itu telah menjelma menjadi air mata.

Air mata yang tak bisa berhenti mengalir bersama hujan, sementara bibirnya gemetar mengucapkan nama asli gadis itu.

Tanpa suara.

.

.

.

TAMAT

.

.

.


* Author's Note *

.

Hai, haiii~! \(^o^)

Kali ini, ku kembali dengan sebuah proyek kolaborasi bertajuk 'Metanoia'. Rasanya senang bisa ikut bergabung dengan para author lain yang luar biasa, untuk proyek ini.

Terima kasih banyak untuk kalian semua. Special thanks buat Wizardcookie selaku penyelenggara proyek ini, juga buat Peony autumn yang sudah membantuku membuat cover untuk kisahku ini.

Dan aku, tentu saja, memilih untuk menulis buat Lucien. Sayangku, cintaku~ *dihajar massa*

Oh ya! Buat adegan terakhir, aku sempat ragu, apakah membuat Lucien seperti ini OOC apa enggak. Dan tepat setelah itu, seorang teman yang baik hati, telah membagikan gambar (dari Mr. Love: Queen's Choice) karma SSR Lucien: Singularity, di mana tampak Lucien yang sedang menangis sambil memeluk MC! TTATT *ambyar seketika*

Buat yang nggak kebayang seorang Lucien akan menangis, boleh coba browsing art karma yang dimaksud. Semoga dengan ini bisa lebih menghayati~ (T▽T) *apa*

Akhir kata, semoga kisah ini berkenan di hati para pembaca. Salam garam~ ( ´ ▽ ` )ノ *ditabok*

.

Regards,

kurohimeNoir

20.04.2021