Kisah Sumbang, Peramal dan Jodoh Masa Depan
Disclaimer: Naruto and all the characters are Masashi Kishimoto's
Naruhina/Au/Rate T
NHFD12/2021
Lelaki adalah makhluk visual, siapa mau memungkiri itu? Naruto pun sangat mengakui bahwa di dalam dirinya terdapat monster rasis yang menggolongkan perempuan menjadi dua: Cantik dan jelek. Tiada area abu-abu. Cantik adalah kekasihnya, Sakura. Jelek adalah… rambut panjang, kacamata, poni nyaris menutup mata, berjerawat, sedikit gemuk, atau bisa diringkas sebagai Hinata… Hyuga Hinata.
Naruto bergidik, mengamati perempuan yang bangkunya tepat berada di depan meja guru. Sebenarnya sedikit kasihan—bukan pada Hinata—melainkan suaminya kelak. Setiap hari terbangun di samping orang yang bahkan tak mampu mengurus diri sendiri.
"Wih liatin Hinata mulu nih. Awas Sakura diembat aku." Bisik Sasuke.
Naruto melirik kesal, bola matanya nyaris berpindah ke kanan saking muak terhadap Sasuke. Setiap kesempatan selalu berniat menikung.
"Udahlah, kamu sama Hinata aja. Aku sama Sakura. Lebih cocok."
Gebrakan tangan Naruto menarik perhatian sekelas. Ia melengos ketika Hinata turut menatapnya. Pandangan dari kacamata itu mengingatkan ucapan peramal tempo lalu. Hari Sakura menarik tangannya menuju peramal, menimbulkan guncangan kecil di jiwa.
"Kalian masing-masing sudah bertemu jodoh." Naruto dan Sakura tersenyum mendengarnya.
"Pasanganmu ganteng, rambut hitam dan dia sangat menyukaimu." Naruto menyentuh rambut, senyumnya luntur saat si peramal menunjuk Sakura. Wajahnya menjadi pucat mendengar kalimat lanjutan. "Dan kamu, kamu harus hati-hati dengan jodohmu. Dia berkacamata, rambut panjang, jerawatan. Kamu akan sangat cinta padanya. Tapi kemungkinan dia benci padamu."
Sejak detik itu Naruto sebal melihat siapapun yang merujuk pada ciri itu. Sampai suatu ketika ia melihat Hinata, lalu lampu pijar di kepalanya menyala. Tidak tidakkk…
Jemarinya yang lencir menaikkan kacamata ke sudut hidung, ia mundur beberapa langkah, menegakkan badan demi melihat penuh bias tubuhnya di cermin. Cantik. Tidak peduli sejuta orang berkata sebaliknya, ia akan mencintai tubuh itu, yang kelewat tinggi untuk perempuan Jepang dan bikin menonjol. That's called body positivity.
"Pagi TL Hinata."
Seseorang menyapanya dari belakang, staf baru yang berada di bawah asuhannya. Kantor ini punya habit memanggil seseorang berdasar jabatan. Bukan untuk senioritas, tetapi memperlakukan seseorang sesuai posisi struktural di kantor. Hinata sendiri jauh lebih muda dari beberapa orang di divisinya. Habit tersebut sejujurnya sangat membantu.
Hinata tersenyum kecil, berbasa-basi sedikit lalu keluar toilet. Inilah ia, ahli dalam hubungan permukaan. Dan kantor bukanlah tempat mencari kawan, melainkan tempat lawan menyaru dalam selimut pertemanan, di dalam hubungan hangat terdapat bara kompetisi. Hari ini terpaksa lagi Hinata menunjukkan talenta beramah-tamah. Seorang manajer HRD baru yang konon merupakan kerabat owner, memulai hari pertamanya bekerja. Di rapat nanti, sebagai Tim Leader Hinata pasti berurusan dengannya.
Sebetulnya dinamika pergantian orang adalah hal biasa di tempat kerja. Kantor merupakan laut lepas yang tak bosan memberi ombak pada penghuninya. Tiada diam statis, semua harus mencicipi gelombang. Hinata pun biasa, yang berbeda kali ini adalah siapa orang tersebut. Begitu manajer HRD itu memasuki ruangan, sesaat waktu bak berhenti, senyap seperti refrain dari masa lalu.
Ketika akhirnya mata mereka bersirobok, keduanya melebar kaget. Uzumaki Naruto, masih mempesona sebagaimana dulu, mempesona dalam versi lebih tua diperbesar. Tubuhnya yang menjulang kurus, kini tegap dibentuk workout rutin. Sesaat mereka tak tahu mau apa. Terjebak kebetulan yang keduanya dari realita. Hinata bisa melihat Naruto bingung, tidak fokus pada pertanyaan kolega lain.
Jam demi jam berjalan lambat, Hinata ingin melompat ke jam pulang lalu melesat ke rumah. Tapi dasar sial, di menit krusial menunggu bus, mobil Naruto malah parkir di depan halte. Menghampiri Hinata.
"Hinata, sudah sepi. Ayo ikut aku saja."
Hinata menatap Naruto dalam, hatinya tercekit sedikit. Ada sakit tak kasat mata yang menusuknya. Dia hanya pura-pura baik. Jangan tertipu seperti dulu.
"Tidak, terima kasih." Tolak Hinata halus. Ia menengok kanan-kiri, takut ada yang melihat mereka. Lantas bergeser demi jarak yang pantas.
Naruto mengikuti gestur wanita di sampingnya, kemudian menyadari sesuatu. "Astaga Hinata, kamu takut seseorang memergoki kita?"
Hinata diam. Apa yang perlu dikatakan pada seseorang yang bersikap seolah mereka baik-baik saja? Tapi keberadaaan Naruto adalah garam bagi lukanya yang tak pernah kering, atau, dialah luka itu sendiri.
Angin kencang berembus di antara mereka. Angin bulan Agustus yang dingin menusuk tulang. Tak berapa lama Naruto bergumam 'Ah', lalu melepas jas kerjanya untuk disampirkan pada Hinata.
Selalu begini, Naruto memperlakukan orang lain demikian istimewa kala berdua, tapi menjatuhkan berkeping-keping di depan semua orang. Hinata tak mau lagi. Dulu ia pernah tertipu Naruto, seorang idola sekolah, ganteng dan popular, diam-diam begitu perhatian. Sering mengantar pulang, meminjamkan bahu saat Hinata menangis di belakang kelas, memperlakukannya seperti sosok yang berharga. Namun, itu semua cuma kamuflase, topeng untuk motif yang entah apa.
Maka dengan tegas dicopotnya jas itu, dikembalikan pada Naruto.
"Terima kasih. Tapi…" Jeda, Hinata begitu gatal mengatakan ini. Sesuatu yang pernah menghunjamnya begitu dalam. "Saya nggak butuh dikasihani orang yang menganggap saya gembel."
***
Kacamata itu masih di sana. Naruto beruntung jadi salah satu yang pernah melihat cantiknya mata Hinata di balik lensa. Begitu bersitatap, jantungnya berekskalasi, membangkitkan segala ketidakwajaran di dalam diri. Hinata pernah istimewa, dan yang sekarang di hadapannya adalah anugrah Tuhan, didatangkan dua kali agar Naruto sungguh mencintai. Mungkin benar kata peramal pria berkacamata: Jodoh pasti bertemu.
Sepanjang rapat ia memandangi Hinata, bertanya-tanya cara apa yang bisa mendekatkan mereka. Terlihat gadis itu bukan lagi yang dulu, sama tapi jauh berbeda. Hinata kini luwes dalam bergaul, tapi dalam sekali tatap Naruto sadar ada yang hilang. Ketulusan. Senyumnya dingin, tidak sampai ke mata yang pernah begitu hangat.
Tidak apa, Hinata. Teruskan saja. Aku yang akan jadi bola panas untuk menghangatkan kita berdua.
Namun seketika Naruto sadar, perjalanannya akan berat. Hinata menembaknya begitu telak, tepat di hati. Ia tahu, ada lubang besar dalam diri Hinata yang diciptakannya pada masa lalu.
"Saya nggak butuh dikasihani orang yang menganggap saya gembel."
Jadi Hinata mengambil kata-kata yang sejatinya adalah pertahanan diri Naruto ke dalam hati? Tentu saja. Semua yang paham kaidah bahasa pasti tahu artinya gembel, meski dulu Naruto ucapkan dengan penuh kepalsuan. Hinata tak tahu, betapa bimbang melihat calon jodoh dibully, ingin menolong tapi takut dikira cinta. Naruto di posisi sulit kala itu. Hanya mampu mengayomi saat sepi berdua. Well, sangat sulit karena perasaannya masih milik Sakura tapi terpatri di benak bahwa Hinatalah jodohnya. Benci namun kasihan.
Tembakan Hinata tak membunuhnya di tempat. Naruto malah kian rajin menyambangi perempuan itu di setiap kesempatan.
"Hinata…" Yang dipanggil tetap sibuk dengan makanan di meja. "Ini ada koin. Ayo kita taruhan."
Alis Hinata yang lebat naik.
"Kamu pilih mana, kaisar atau nominal?" Naruto mendekatakan tubuh, bersemangat dengan triknya.
"Atau. Soalnya aku nggak peduli." Jawab Hinata sambil terus menyuapkan sendok ke mulut.
"Ck jangan gitu dong. Kasihan aku." Keluh Naruto. "Oke kamu kaisar. Kalau yang keluar kaisar kamu jadi milikku. Kalau nominal aku yang milikmu."
Tiba-tiba air muncrat ke wajah Naruto. Hinata tersedak, lalu batuk-batuk macam maniak. Buru-buru Naruto mengangsurkan sapu tangan yang langsung diterima. Kain tipis tersebut menyusuri wajah Hinata, menyapu bibir lalu leher. Warna sapu tangan yang putih kini bersemu merah oleh noda lipstick.
Bagus, Naruto akan mengawetkan dalam bingkai.
Hinata meletakkan sapu tangan di meja lalu berujar. "Sorry tapi jangan omong kosong." Kemudian bangkit meninggalkan Naruto yang memandangi figurenya dari belakang. Puberty hits her hard. Dulu Hinata bagai gumpalan lemak berjalan yang tiada indahnya. Sekarang laksana dewi yang menampar-nampar tatapan mata pria dengan nafsu. Tapi Naruto mencintai bukan sebagai persona, melainkan kedirian Hinata, seutuhnya.
***
"Stop. Apa yang sebenarnya kamu inginkan?"
Naruto menabrak punggung Hinata yang berhenti mendadak. Tubuh mereka menempel tapi Naruto tak berniat mundur. Ia sedikit menunduk, berbisik di telinga Hinata. "Kamu."
Hinata menoleh dengan kemarahan berkilat-kilat di mata, seperti ada api yang hendak memberangus pria di hadapannya. Kemarahan itu sudah dibawanya bertahun-tahun, dilupakan tapi sebenarnya masih membara. Eruspi tak terhindarkan lagi.
"Kamu tidak menginginkanku." Hinata menggeleng sembari menatap tanah. Membalas tatapan Naruto hanya membuat api di dadanya kian berkobar. Lelaki itu demikian tenang, sabar, seolah menghadapi gadis kecil pemarah yang tantrum. "Sejak dulu, kamu bersikap baik karena kasihan. Kamu hanya begitu saat berdua. Aku nggak cocok untuk egomu."
Naruto diam karena yang dituduhkan benar, sebagian. Sejak bertemu peramal gila, ada perasaan aneh menyusup tiap sosok Hinata terlintas di kepala. Siapa yang bakal jatuh hati pada gadis jelek, kuper dan terlalu pintar seangkatan? Tapi nyatanya hati Naruto berjengit sakit melihat gadis itu dikurung di gudang, tasnya di lempar ke empang, dipanggil dengan julukan aneh. Dalam perasaan asing bahwa Hinata istri masa depan, Naruto meradang, ingin menyelamatkan dari prahara bangku SMA.
"Kamu menjadikan aku distraksi lantaran diselingkuhi Sakura."
Justru Sakuralah distraksi. Benar Naruto sempat jengkel ketika diselingkuhi dengan sahabat sendiri, Uchiha Sasuke. Tapi rasa getir itu tak bertahan lama. Tau-tau segala pikiran telah menetap pada Hinata, hanya Hyuga Hinata.
"Tolong pergi saja." Pinta Hinata, keteguhan di suaranya membuat Naruto menghela nafas berat.
"Pertama, Hinata, sama seperti kamu yang begitu terluka, aku pun. Benar bahwa aku mengatakan 'Mana mungkin suka gembel' di depan orang-orang karena bersamamu menjatuhkan gengsiku. Tapi kepergianmu menyadarkanku, hatiku sudah berlubang dan terus-terusan merasa sakit tiap mengingatmu." Naruto menempelkan tangan Hinata ke dadanya. "Ini hanya bisa sembuh oleh maafmu, Hinata."
"No. Dengar dulu." Naruto menahan Hinata yang berusaha menarik diri.
"Yang kamu tuduhkan tadi sebagian benar." Sesaat dada Hinata mengetat sakit. "Tapi sebelum dekat. Aku selalu memperhatikanmu. Kalau ingat, kita selalu papasan mata bukan? Lalu terjadi hari itu ketika aku menghancurkan semua. Kita lebih dari teman tapi bukan pacar. Kita adalah sepasang yang melengkapi. Aku bersalah, tapi kamu juga nggak bisa bohong, ada sesuatu antara kita."
"Ta-tapi kamu kejam banget sama aku."
Naruto menutup mata. "Aku tahu. Karena itu tolong kasih aku satu kesempatan aja. Aku bisa jadi apapun yang kamu mau. Memberi semuanya sama kamu. Please."
"Apapun?"
Dari anggukan Naruto, Hinata tahu ia menang.
***
"Hinata, kira-kira berapa tahun lagi?"
Naruto mengajukan tanya pada gadis yang sibuk memilih baju. Luar biasa, ternyata 'apapun' yang dimaksud Hinata adalah Naruto menjadi pacar merangkap babu. Delapan jam menemani make over hanya untuk bertemu orang tuanya. Padahal Hinata cantik di mata Naruto, dalam wujud paling absurd sekalipun.
"Jangan cemberut gitu dong. Kan ini demi terlihat pantas di mata bapak-ibu Uzumaki." Hinata berkomentar melihat wajah Naruto yang lesu.
Sekarang Naruto di luar salon, memperhatikan dari balik jendela kaca perempuannya yang tengah mendapat treatment. Untung sayang, sebuah frasa yang memiliki kekuatan besar di kala lelah. Dan segala capek ini bukan tandingan dari luka batin yang ia timbulkan. Memanglah cocok, lubang di hati hanya bisa ditambal oleh pelaku. Karma telak, langsung bayar di muka.
Naruto duduk sambil membaca majalah, sesekali melihat jalan. Tak sengaja matanya menangkap seorang pria yang familiar. Berkacamata dengan biola menyanyikan lagu di pinggir jalan. Rasa penasaran membawanya mendekat.
Astaga. Dia lelaki yang meramalnya bersama Sakura!
Naruto menunggu momen sepi demi bisa bicara berdua. Diperhatikannya gerak-gerik pria itu dengan seksama. Sudah bertahun-tahun, tapi hal yang memberi efek besar di hidup mana mungkin terlupa. Dia sudah menghancurkan apa yang Naruto miliki bersama Sakura, lalu jadi titik hitam bagi hubungannya dengan Hinata.
Awalnya si peramal itu tak menyadari, tapi Naruto bersikeras.
"Anda peramal atau pengamen?" todong Naruto, si peramal berjengit mendapati nada yang mirip ajakan baku-hantam.
"Kapan saya pernah meramal?"
"Dulu kamu ramal saya sama crush di sekolah."
Keduanya bertatapan, yang satu ingin menghajar, lainnya innocent menuju bodoh. Setelah bagai seabad, pria peramal akhirnya menghela nafas berat.
"Anak muda, saya berganti pekerjaan banyak sekali dalam hidup. Kalau saat itu kau menemukanku sebagai peramal, berarti memang peran saya meramal. Tak usah diambil pusing. Percaya yang mau kau percaya, kalau tidak ya silakan." Pria peramal mengangkat tas biolanya lalu beranjak pergi. "Permisi, saya harus cari uang di tempat lain."
Usuratonkatchi! Nyaris sepuluh tahun. Sepuluh tahun ia terkungkung dengan rasa bersalah pada Hinata, jodohnya. Naruto menelan ludah—jodoh? Diliriknya Hinata yang tengah menatapnya dari balik jendela kaca. Tiada bingkai kacamata yang menutupi lensa ungu kelabunya. Cantik, pintar dan mencintainya.
Tak masalah kan kalau kisah masa SMA-nya berakhir dan dapat jodoh dari peramal gadungan?
