"Itukah alasan Akutagawa-sensei ingin melindungi buku?"

Langit di luar jauh dari jangkauan mereka. Dipisahkan oleh jendela, yang bisa mereka jangkau hanya kaca dan asumsi begitu indah sekaligus palsu pemandangan tersebut.

"Iya, tapi bukan cuma itu saja." Ada sesuatu yang terpantul dari mata Akutagawa, Dazai pikir. "Aku tidak punya ingatan hidupku sebagai penulis Akutagawa Ryuunosuke."

Sebuah kebingungan, sebuah kehampaan. Dazai rasa itulah yang tergambar di sana. Di saat bersamaan, ia tidak menyangka akan mendengar jawaban seperti itu.

"Tidak punya?"

"Aku dengar judul buku yang kutulis, tapi aku tidak tahu kenapa aku menulisnya atau dengan perasaan apa saat melakukannya." Akutagawa sedikit menunduk, enggan ekspresinya terus diperhatikan Dazai. "Aku tidak bisa mengingatnya."

"Bagaimana bisa ..."

"Aku juga tidak tahu." Rupanya hal itu tak berlangsung lama. Dengan kembali menengadah, Akutagawa kembali bangkit. "Itulah kenapa aku mau terus maju. Kalau aku mensucikan buku dan menyelamatkan penulis yang kenal baik Akutagawa Ryuunosuke, mungkin itu akan membantuku mengingat siapa diriku."

Tak ada ragu di wajahnya. Akutagawa tampak siap kapan saja melakukan tugasnya sebagai sastrawan yang dibangkitkan di sini. Tanpa sadar hal itu juga menular pada Dazai meski belum sepenuhnya. Dibandingkan alasan kosong seperti 'karena mereka penulis, mereka perlu melindungi buku', Dazai lebih mendukung tujuan Akutagawa.

Di tengah tawa soal kucing dan anjing, Dazai berharap Akutagawa bisa mendapatkan ingatannya kembali. Ia percaya penulis-penulis di sekitar Akutagawa bersedia menolongnya.

.

.

.

Rusted-colored Gear

Rated T

Character: Akutagawa R

Genre: Mystery, Hurt/Comfort

Summary: Untuk memaknai kehidupan barunya, Akutagawa perlu mengetahui sosoknya di masa lalu dengan menyelamatkan lebih banyak sastrawan yang mengenal baik dirinya. Namun, yang jadi pertanyaannya, perlukah ia mengetahui segalanya? [Canon Divergence]

Warning(s): reject canon embrace fix it, genre may change, basically a fix it fic in which aktgw is trying to find his missing memory slowly but surely, canon divergence, so many rl references

.

.

.

Baru minggu lalu keluhan tentang sesaknya perpustakaan berakhir jadi duel masak yang dimenangkan oleh peserta yang tak disangka-sangka. Sekarang, tiba-tiba saja, perpustakaan terasa terlalu lebar bagi semua penghuninya. Beberapa kali Akutagawa mendapati dirinya sendirian.

Terkadang Sai dan Saku datang dan mengajaknya mengobrol, kadang pula Buraiha meramaikan suasana dengan membuat Dazai menjadi target marah-nya Nakahara. Saat melihat kerusuhan tersebut dari kejauhan, Touson akan datang mengganggunya. Shuusei selalu berusaha menyuruhnya berhenti, tapi lucunya, ia tak pernah berhasil sampai sekarang.

Situasi itu persis layaknya beberapa waktu sebelumnya jika saja Akutagawa tidak menemukan Musha menarik diri dari kebisingan di sana. Banyak buku yang bertumpuk di mejanya, tapi sejak sejam lalu, ia sangat berkonsentrasi membaca salah satu buku. An'ya Koro tertulis di sampulnya.

Bohong jika Akutagawa tidak merasa bersalah atas insiden di Jigokuhen. Meski tidak ada yang menyalahkannya, roda gigi yang selalu digenggam Musha menjadi pengingat bahwa Shiga benar-benar menghilang setelah menahan Shinshokusha demi memberi akhir yang sesuai untuk karya Akutagawa.

Musha percaya selama buku-buku Shiga masih ada di sini, ia tidak pergi. Keyakinannya sungguh kuat, Akutagawa bisa membayangkan betapa eratnya persahabatan mereka. Sebuah pertanyaan terpikirkan Akutagawa; apakah ia punya sahabat seperti Shiga bagi Musha? Apa ia bisa tabah saat orang (secara fisik, bukan jiwa) yang melenyapkan temannya mengajaknya bicara layaknya tak ada yang terjadi?

Akutagawa tidak punya jawabannya. Jadi ia menyimpannya sendiri dan pamit, mempersilakan Musha kembali tenggelam dalam keindahan An'ya Koro.

Untuk mendapatkan jawaban tadi, Akutagawa perlu menemukan 'ingatan'-nya. Seketika ia tersadar, rupanya ia belum juga selangkah lebih dekat menuju tujuannya. Dazai tidak berinteraksi dengannya di masa lalu, begitupun kawan-kawannya. Shuusei dan Musha sekadar mengenalnya, sedangkan Sai dan Saku hanya ingat beberapa kenangan bersamanya di tahun-tahun terakhirnya.

Singkatnya, tidak ada yang mengenal dekat sosok Akutagawa Ryuunosuke. Hanya sedikit kata yang bisa dideskripsikan tentang sosoknya dan sejujurnya itu tidak bisa menciptakan bayangan yang pasti.

Ini membuat Akutagawa sedikit cemas. Kapan ia bertemu dengan penulis yang bisa memberinya jawaban? Kapan rasa cemas yang tak jelas asalnya ini sirna? Jika begini terus, ia bisa—

"Apa?" Akutagawa berhenti melangkah. Tidak sedikitpun dari kepalanya sekadar menoleh ke belakang. "Jangan mengikutiku."

"Aku nggak mau ribut, kok."

Ia menyadari adanya orang yang mengikutinya sejak pergi meninggalkan Musha. Ketika berbelok, sudut matanya menangkap sosok berwarna cokelat menyelaraskan langkahnya dengan langkah Akutagawa seakan-akan menunggunya memulai percakapan duluan.

"Terus?"

Touson melangkah sampai berada di depan Akutagawa. Ia memandanginya.

"Mukamu muram."

"Apa maumu?"

"Kejadian yang menimpa Shiga-kun, apa kamu menyesalinya?"

Dasar tidak peka. Keberadaannya benar-benar membuat Akutagawa naik darah. Tidak adakah topik lain yang bisa dibahas dibandingkan ini? Shimazaki Touson memang orang nomor satu yang harus Akutagawa hindari.

Tapi, dibalik itu, Akutagawa sedikit terkejut dengan pemilihan katanya.

"Aku bukan orang yang nggak punya hati sepertimu."

"Lho, aku punya." Touson menyentuh dadanya dengan lembut. Matanya terpejam. "Dia punya banyak fungsi. Dari hancurin racun sampai bantu proses pencernaan, hati berguna buat kesehatan tubuh."

"Kamu tahu bukan itu maksudku."

Akutagawa pikir Touson akan membalas sindirannya, tapi orang itu justru lebih dewasa dari yang ia kira. Jika ditelaah, bukankah malah Akutagawa yang masih kekanak-kanakan lantaran membawa-bawa masa lalu seseorang?

Perasaan rendah diri itu mengembalikan kemuramannya.

"Shiga-kun sempat ngomong sesuatu sama kamu?"

"Memangnya kenapa?"

"Kanchoudairi bilang sebelum delving, ada hal yang ingin Shiga-kun sampaikan ke kamu." Touson kembali memfokuskan pandangannya pada Akutagawa. "Jadi, apa dia bilang sesuatu?"

Dibanding menolak menjawab, Akutagawa memilih untuk berpikir. Ia enggan mengingat saat-saat ia terjebak di bukunya sendiri, tetapi entah kenapa ia menuruti topik yang dibawa Touson; ia berusaha mencari tahu.

Ia ingat seseorang (Dazai) datang ke rumahnya meminta dijadikan murid, ia ingat betapa hancur hatinya saat anak semata wayangnya dibawa pergi, lalu ia juga ingat ada orang lain (Shiga) yang datang lagi ke rumahnya hingga keadaan menjadi dua pendatang rumahnya melawan sosok yang menyamar menjadi anaknya.

"Aku yang menginginkan hidup yang damai ... siklus kehidupan penulis ..." Ingatannya memudar kala bayangan Shiga terbakar dan air matanya terus mengalir sembari menggambar di angan-angan. "Itu saja."

"Penulis, ya." Touson menekankan satu kata yang Akutagawa katakan. "Berdasarkan pemahamanku soal Akutagawa Ryuunosuke, aku merasa aneh dengan kekontrasan karya awal karier dan akhirmu. Seakan-akan yang terakhir menolak yang awal. Aku sempat kepikiran kalau karya akhirmu dibuat oleh Akutagawa yang berbeda."

"Bodoh sekali," balas Akutagawa. "Memangnya kamu pikir aku ada dua, apa?"

"Kamu pernah membuatnya, 'kan? Doppleganger." Touson melempar balik ucapan Akutagawa. Orang di hadapannya merengut kesal. "Kurasa nggak aneh kalau ada kemungkinan Shinshokusha tercipta dari perasaan sesimpel itu."

Akutagawa tak membalasnya.

"Shiga-kun mungkin menganggapnya sebaliknya. Dia percaya kamu cuma ada satu dan itu benar-benar perubahan yang terjadi seperjalanan hidupmu. Pada akhirnya aku nggak ngerti kenapa seorang Akutagawa Ryuunosuke bisa berubah 180 derajat begitu, tapi ...

"Tapi, kalau kamu menyesali apa yang terjadi sama Shiga-kun, berarti kamu masih manusia, berarti kamu masih Akutagawa Ryuunosuke dan kurasa teoriku terbantahkan. Setidaknya itu yang kulihat dari raut wajahmu sekarang. Shinshokusha yang terbentuk dari pikiran negatif pasti sulit untuk mendeskripsikan perasaan bersalah seperti itu."

"Jangan menerka-nerka diriku tanpa bukti." Akutagawa menoleh ke samping. "Aku nggak perlu dihibur sama kamu."

"Aku nggak ngehibur kamu, kok."

"Kamu ... menyebalkan sekali."

"Kalau kamu segitu sebalnya sama aku, mending kamu pergi berkumpul dengan yang lain." Touson bergeser, mempersilakan Akutagawa melanjutkan perjalannya.

"Iya, aku mau lakuin itu sekarang juga. Jangan ikuti aku."

"Tenang saja, aku tahu kapan harus mundur, kok."

Benar saja, Touson tak lagi mengikutinya lagi. Ketika baru setengah jalan, ia melihat Dazai berjalan ke ruang makan. Berbicara tentang pemuda serba merah itu, Akutagawa menyadari mereka belum bicara baik-baik setelah insiden di Jigokuhen. Obroan terakhir mereka hanya sekadar Dazai yang berkata bahwa Shiga lah yang menyelamatkan Akutagawa. Pernyataan tersebut ada benarnya, tapi Dazai juga ada andil pada misi tersebut.

Dan Akutagawa sangat mengapresiasinya meski Dazai enggan mengakuinya.

Mungkin inilah waktu yang tepat untuk bicara dengannya. Akutagawa mulai berjalan menuju ruang makan yang dimasuki Dazai. Saat ia membuka pintu, ia disambut oleh semua penghuni perpustakaan (minus Touson). Ruangan itu disulap seperti aula pesta ulang tahun. Mata Akutagawa tertuju pada benda mencolok di dinding bagian atas; sebuah spanduk yang ditulis dengan spidol bertuliskan 'Operasi Menghibur Akutagawa-sensei: Pesta Oshiruko!'.

"Eh, ini ..."

"Belakangan kamu kurang semangat, Akutagawa." Saisei menyentuh pundak Akutagawa dengan tangannya. "Hal itu jadi perbincangan orang-orang."

Saku yang berada di sebelah Saisei juga ikut bicara. "Dazai-kun bilang dia pengen bikin klub pendukung kamu. Dia juga mau buat sesuatu yang bisa bikin kamu senang."

"Terus dia nanya ke aku soal pengalamanku yang pernah dibuatin klub sama Shimazaki," timpal Shuusei. "Aku jadi teringat masa lalu lagi."

"Semua tahu kamu suka rokok." Musha berkacak pinggang. Matanya melirik kucing yang menjadi pemimpin di perpustakaan ini. "Tapi, Kanchoudairi nggak bolehin kita nanem tembakau."

"Tentu saja!" Neko meninggikan suaranya. "Mana mungkin kubiarkan kalian nanem tanaman berbahaya begitu!"

"Karena tanamannya terpaksa dimusnahkan, Dazai-kun minta tolong aku dan Chuuya-kun ngumpulin bahan-bahan untuk bikin makanan kesukaan Sensei." Wajah Oda tampak puas dengan pekerjaan yang sudah ia lakukan. "Untung bahan-bahannya tersedia semua, ya, Chuuya-kun."

"Asal dibayar pake sake beras, aku nggak masalah," balas Chuuya sembari memegang botol sake-nya erat-erat, takut jika ada yang merebutnya.

"Pas bahannya selesai dikumpulkan mereka, aku kebagian tugas masaknya." Ango menunjuk benda mencolok di atas meja. "Hasilnya jadi sepanci gede."

"Aku nggak tahu apa ini bakal cukup menghibur Sensei atau nggak." Ada sedikit ragu di ucapannya, tapi Dazai mengepalkan tangannya kuat-kuat untuk menguatkan dirinya. "Tapi, aku harap Sensei bisa bangkit lagi. Demi Shiga, demi tujuan yang sedang Sensei cari."

Ah, rupanya Dazai masih ingat obrolan mereka tentang itu. Padahal menurut Akutagawa sendiri, tujuan itu sungguh seenaknya saja, tapi orang ini (dan yang lain) berusaha menyemangatinya agar Akutagawa, orang yang sudah membunuh satu penulis di sini, dapat kembali berdiri dan bertarung bersama mereka melawan Shinshokusha.

"Terima kasih, semuanya." Akutagawa memasang senyum penuh haru pada mereka. "Maaf sudah mengkhawatirkan kalian."

Akutagawa menyesal, tetapi ia tidak boleh terus-terusan merajuk. Rasa sedih karena kehilangan Shiga adalah tanda ia manusia, dan untuk semakin memanusiakan dirinya, ia harus fokus mencari penulis yang bisa menyelamatkannya dari kehampaan karena ketidakmengertian akan diri Akutagawa Ryuunosuke di masa lalu.

Ia bisa. Ia pasti bisa. Akutagawa meyakinkan dirinya sendiri. Seperti kata Dazai, ia harus terus maju demi Shiga yang menyelamatkannya dan demi dirinya sendiri.

To Be Continued


Author's Note: Gak bisa banyak ngomong soal ch ini. Bisa dibilang ini baru semacam prolog dari alur yang bercabang dari versi canon anime. Untuk patokannya, fic ini ngikutin canon sampe arc Jigokuhen. Lebih dari itu, udah mulai masuk ke cerita versi saya dengan asumsi Akutagawa memorinya bener2 ilang dan pengen balikin dengan cara ketemu bungou2 yg deket sama dia.

Sebisa mungkin bakal eksplor karakter yang kurang dieksplor versi anime. Cuma, ya, sekuat diri saya aja, apalagi berhubung sumbernya kebanyakan masih bahasa jp yang artinya saya harus nyari banyak referensi dan nyari bala bantuan buat maknain semua-semuanya. Sejauh ini udah bikin sampe ch 2 dan planningnya (inget, planning) pengen upload seminggu dua minggu sekali.

Makasih udah baca fic ini. Sampai ketemu di ch 2. Saya harap ini bisa kelar, sama seperti fic2 lain yang lagi berenti dulu.