Setelah sekian lama menyusun jadwal yang sudah disiapkan matang-matang sejak hampir setahun yang lalu, Atobe Keigo akhirnya bisa datang berkunjung ke Jerman untuk menemui kekasihnya.
Hari yang perlu dirayakan—tentu saja.
Memang ini bukan yang pertama kalinya, tapi Atobe sangat antusias mengingat ini mungkin akan menjadi kunjungan paling lamanya di negara Eropa yang cukup terkenal dengan atlit-atlit Tenisnya. Kekasihnya sendiri adalah salah satu dari atlit-atlit tersebut. Karena itu, membuat jadwal untuk mereka berdua sendiri saja sangat susah mengingat Atobe juga semakin sibuk dengan kuliahnya sementara dia dengan jadwal latihan hingga pertandingannya.
Atobe sempat beberapa kali menonton pertandingan kekasihnya itu secara langsung tapi paling lama hanya tinggal semalam lalu pulang—terkadang pulang-pergi dalam satu hari, tidak banyak waktu untuk saling bertukar pikiran. Selama berbulan-bulan, interaksi dan komunikasi mereka tidak intens karena perbedaan waktu tempat tinggal hingga kepadatan jadwal karena profesi masing-masing.
Apa boleh buat. Keduanya memiliki ambisi yang sama untuk mencapai puncak dan mereka cukup sadar untuk mencapai itu tidaklah mudah dan perlu pengorbanan di segala sisi. Tidak terkecuali hubungan mereka.
Tapi, meskipun begitu… istirahat sesekali tidak apa-apa, 'kan?
Dua minggu yang sudah mereka siapkan dengan sebaik-baiknya, Atobe berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengacaukannya.
"Fuh… akhirnya sampai juga." Keluh Atobe setelah dia masuk ke dalam bandara dan meletakkan kopernya sesaat untuk meregangkan tubuhnya. Pria dengan rambut berwarna hitam keunguan itu mengambil hp lalu menuliskan pesan singkat yang langsung terkirim, "Hmm, mungkin dia sudah di luar?" tanya Atobe walau dia tahu tidak akan ada yang membalasnya. Dia meraih pegangan kopernya dan kembali berjalan.
Suasana malam di Jerman hampir tidak jauh beda dengan Jepang. Paling hanya suhu udaranya yang lebih dingin, namun Atobe sudah cukup terbiasa dan hanya merapatkan jaketnya lebih erat. Dua belas jam perjalanan membuat tubuhnya terasa begitu berat meskipun Atobe yakin setengah dari perjalanannya dia habiskan dengan tidur di pesawat. Atobe ingin fokus pada pertemuan dengan kekasihnya setelah ini tapi tubuhnya yang pegal-pegal dan kepalanya yang masih terasa pusing tetap tidak bisa berbohong.
Mungkin berbaring di kasur dulu rasanya tidak buruk—
"Keigo."
Pikiran Atobe yang tidak bisa fokus itu akhirnya bisa kembali menyatu saat dia mendengar suara yang dikenalnya. Atobe berhenti melangkah dan mendongakkan kepalanya. Dia melihat pria yang memiliki tinggi sama dengannya itu terlihat membuka mulutnya, masih belum menutup setelah memanggil namanya. Baru setelah beberapa detik, mulutnya itu membentuk senyuman yang cukup lebar untuk pria yang dikenalnya sejak SMA tersebut.
Atobe sendiri ikut tersenyum dan sedikit memiringkan kepalanya, "Hei, Kunimitsu." Dia mendekat hingga tangannya bisa menyentuh sisi wajah Tezuka Kunimitsu yang langsung memegang tangannya juga, "Kau tidak banyak berubah sejak pertama kali aku melihatmu. Miss me?" tanya Atobe dengan nada canda di akhirnya. Mengira Tezuka akan blushing dan berusaha menghindarinya seperti biasa.
Bagaimanapun juga, menggoda laki-laki yang dia sayangi itu adalah rutinitas yang tidak bisa Atobe hilangkan begitu saja meskipun beberapa tahun sudah berlalu sejak hubungan ini dimulai.
Namun yang membuat Atobe tidak siap adalah ketika Tezuka justru tertawa kecil dan memejamkan kedua matanya dengan semburat merah tipis di kedua pipinya, "I am." Jawabnya singkat, tapi cukup membuat Atobe tersentak hingga kehilangan senyumannya. Tanpa menyadari kekasihnya yang terkejut, Tezuka menggenggam tangan Atobe semakin erat sebelum membuka matanya, "Kau mau tetap di sini atau kita bisa kembali ke mobil?"
Lidah Atobe membeku hingga tidak tahu harus mengatakan apa. Sampai dia tersadar dan menjawab gugup, "Te-Tentu saja, ayo segera kembali." Atobe berpindah ke samping Tezuka dan memperhatikan kekasihnya itu yang masih memasang senyuman kecilnya bahkan terdengar bersenandung riang meski pelan, "Kau terlihat senang sekali." Ucap Atobe dengan sebelah alis terangkat.
Tezuka membuka mulutnya dan menoleh, "…Aku tidak boleh senang melihat kekasihku datang mengunjungiku?" tanyanya balik dengan nada datar.
"Hah? Bukan begitu—" Atobe terlihat memikirkan kata-kata selanjutnya sampai dia memilih tersenyum. Meraih tangan Tezuka dan menggenggamnya erat, Atobe mencium pipi Tezuka sekilas, "—maaf, aku seharusnya tidak bertanya. Aku juga senang melihatmu, Kuni-chan." Bisiknya.
Kali ini Tezuka tidak bisa menyembunyikan kedua pipinya yang memerah hingga telinganya. Dia membuang muka dan sedikit bermisuh pelan, "Jangan panggil Kuni-chan, bodoh." Tezuka menaikkan frame kacamatanya sebelum membalas genggaman tangan Atobe diam-diam.
Atobe tersenyum melihat Tezuka dan kembali menghadap depan seperti yang dilakukan kekasihnya. Keduanya berjalan beriringan dengan genggaman tangan yang tidak pernah lepas hingga mereka sampai di tempat parkir. Tezuka duduk di kursi supir dan Atobe di kursi sebelahnya setelah meletakkan koper di kursi belakang.
Perjalanan mereka dihabiskan dengan suasana yang tenang karena tidak banyak yang dibicarakan. Walau begitu, Tezuka terlihat beberapa kali melirik ke sebelahnya seolah menunggu sesuatu dari Atobe yang lebih banyak menarik napas lalu mengeluarkannya pelan. Entah Atobe menyadarinya atau tidak karena dia justru menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dan terus melihat pemandangan di luar yang sudah tidak terlalu ramai karena malam semakin larut.
Tezuka tersenyum kecil melihat ini, namun dia tidak mengatakan apapun. Memutuskan untuk fokus dengan jalanan di depannya saja. Lagipula sedari awal dia mengajak Atobe bicara, tidak ada balasan yang terdengar cukup antusias. Mungkin Atobe memang lelah atau sedang banyak pikiran di kepalanya. Apapun itu, Tezuka mengambil pilihan untuk tidak mengganggunya lebih dulu.
Begitu mereka sampai di apartemen Tezuka, Atobe membiarkan Tezuka berjalan di depan dan membukakan pintu untuknya. Atobe berjalan melewati Tezuka dan mengagumi interior yang tidak pernah bisa berhenti membuatnya kagum tidak peduli berapa kalipun dia ke sini. Tezuka mengunci pintu apartemennya dan tersenyum melihat Atobe yang telah kembali melihatnya.
"Aku kagum kau masih bisa menjaga kebersihan tempat sebesar ini dengan seluruh jadwalmu," komentar Atobe, walau lebih terdengar menyindir. Dia tertawa dengan kata-katanya sendiri sebelum masuk lebih jauh dan Tezuka berjalan mengikutinya dengan tenang ke kamar mereka, "atau mungkin kau baru saja beres-beres karena ada orang spesial yang akan datang?" tanya Atobe lagi, kali ini sembari melirik Tezuka di belakangnya.
Tertangkap basah dengan teori yang tepat membuat Tezuka tersentak dan melirik ke arah lain dengan jengkel, "…Kalau kau tahu, jangan bertanya." Gerutunya.
Kedua pipi Atobe kembali memerah dan kali ini dia tertawa cukup keras, "Kau benar-benar jujur hari ini membuatku seperti bicara dengan siapapun selain Kunimitsu."
Tezuka mengernyitkan kedua alisnya, "Perasaanmu saja."
"Nah, ini lebih terdengar seperti Kunimitsu yang kukenal," goda Atobe lagi tanpa menghentikan tawanya. Mereka baru berhenti setelah sampai di kamar lalu Atobe meletakkan kopernya di bawah sementara dia duduk di tepi kasur, "tapi aku lega melihatmu bahagia dan lebih semangat sekarang. Berarti kau tidak mengalami kesulitan selama tinggal sendirian, 'kan?" tanya Atobe kali ini dengan lembut dan menatap Tezuka yang masih berdiri di depannya.
Pria berambut cokelat dan berkacamata itu sempat diam menatap Atobe sebelum tersenyum tipis, "Tidak. Di sini aku baik-baik saja…" dia memperhatikan ekspresi Atobe yang tidak berubah selain memejamkan kedua matanya lalu berbaring di atas kasur dan menghela napas, "…sebaliknya… justru kau…"
"Hm? Kau mengatakan sesuatu?"
Pertanyaan Atobe membuat bisikan pelan Tezuka terhenti. Tezuka menutup rapat bibirnya, "Tidak, bukan apa-apa." Tezuka duduk di samping Atobe dan hanya memperhatikan kekasihnya itu yang kini menutup kedua mata dengan lengannya, "Kau terlihat lelah sekali." Gumam Tezuka, mengutarakan isi pikirannya.
Atobe menarik napas sebelum menurunkan tangannya, "Duduk terus di dalam pesawat selama dua belas jam, apa yang kau harapkan?" balasnya dengan suara serak yang dalam, "Tapi, mungkin ini juga karena aku kebanyakan tidur di dalam pesawat… atau sebaliknya karena belakangan aku mengerjakan tugas sampai larut malam? Entahlah." Atobe menyerah pada akhirnya dan kembali mendorong tubuhnya untuk duduk.
Tezuka diam memperhatikan Atobe dan tidak membalas apapun selain tersenyum tipis lagi. Hanya saja senyumannya kali ini terlihat lebih sedih dari sebelumnya, "Tadinya aku ingin membicarakan apa saja yang ingin kau lakukan di Jerman…" jeda sejenak, Tezuka terlihat memikirkan kata-kata yang tepat sebelum mengatakan, "…tapi sepertinya kita bicarakan lain kali saja—"
"Hei hei, jangan berpikir terlalu keras."
Atobe mengusap pipi Tezuka sebelum menangkupnya dengan telapak tangannya. Dia menatap wajah Tezuka dalam sebelum diam pada kedua iris mata berwarna cokelat tua itu. Tezuka membalas tatapannya dan entah sejak kapan dia membiarkan tubuh mereka saling tertarik seolah ada magnet berbeda kutub di antara mereka.
Saling memiringkan kepala mereka ke arah yang berlawanan sampai tidak ada jarak sama sekali yang tersisa. Tezuka menahan napasnya ketika bibir mereka akhirnya kembali bertemu. Atobe memberi tekanan pada ciuman mereka dan membuka mulutnya, isyarat pada Tezuka untuk melakukan hal yang sama. Tentu saja Tezuka menurutinya dan membiarkan Atobe memagut bibirnya. Tangan Tezuka mulai meraih baju Atobe dan menariknya hingga kusut.
Bibir mereka baru berpisah ketika membutuhkan oksigen. Dahi mereka saling bersentuhan selama mengatur napas masing-masing. Atobe tersenyum dan tertawa pelan sebelum menjatuhkan kepalanya di atas bahu Tezuka, menghadap leher Tezuka yang putih bersih sebelum menciumnya dan menghirup wangi khas kekasihnya yang sudah lama dia rindukan.
Kedua pipi Tezuka mengeluarkan semburat merah tipis dan bibirnya terkatup rapat. Sesekali dia meringis pelan ketika Atobe mencium lehernya beberapa kali, hingga akhirnya Atobe membuka mulutnya dan memberi tanda merah yang sudah lama tidak dia berikan. Tangan Tezuka bergetar dan menarik baju Atobe lebih kuat. Menundukkan kepalanya di atas bahu Atobe yang juga semakin dekat.
Tezuka nyaris berpikir mereka akan melakukannya sampai Atobe menarik dirinya, "Aku masih ada tugas yang harus dikumpulkan besok pagi…" bisiknya di dekat telinga Tezuka yang membuka kedua matanya perlahan, "…jadi, jika kau tidak keberatan boleh aku tidur lebih cepat sekarang? Aku janji akan menyelesaikan semuanya besok pagi agar tidak mengganggu sisa libur kita selanjutnya." Ucap Atobe dengan nada penuh penyesalan, menunjukkan dia tidak benar-benar ingin mengatakan ini namun kewajiban menuntutnya.
Sesungguhnya Tezuka tidak menyangka Atobe menanyakan itu padanya. Namun dia tidak bisa menghindar ketika Atobe menatapnya dalam, "Ya… tidak masalah, aku mengerti." Mencoba tersenyum walau sulit, Tezuka menyipitkan kedua matanya pelan, "Lagipula kau sudah menepati janjimu untuk datang sekarang di tengah kesibukanmu. Aku paham jika tidak semua tugasmu bisa dikumpulkan tepat waktu."
Tezuka menangkup wajah Atobe dengan kedua tangannya sebelum maju dan mencium bibir Atobe sekilas. Atobe membalas ciuman itu sebelum meraih rambut Tezuka dan meremasnya kuat. Setelah Tezuka mundur, Atobe langsung mengeluarkan suaranya sembari menarik tangannya.
"Aku mencintaimu, Kunimitsu."
Bisikan jujur Atobe setelah bibir mereka berpisah lagi membuat Tezuka membuka matanya lebih lebar. Dia melirik ke arah lain dengan kedua pipi yang berubah warna sebelum kembali menatap Atobe dan tersenyum lembut. Tezuka memeluk Atobe lalu mereka berdua terjatuh di atas kasur.
Tidak butuh waktu lama hingga mereka merapikan posisi tidur dan keduanya kini sudah berada di balik selimut. Masih membiarkan barang-barang mereka berantakan untuk dibereskan esok hari. Kepala mereka di atas bantal meskipun Atobe lebih condong menyandarkan kepalanya di atas lengan Tezuka yang memeluknya.
Tezuka terus menyisir rambut Atobe dengan jari-jarinya sampai dia mendengar dengkuran napas Atobe yang lebih teratur. Pria yang telah melepas kacamatanya itu menatap wajah tenang kekasihnya sekali lagi sebelum dia memejamkan kedua matanya. Tangannya berhenti bergerak dan dia ikut tenggelam di dunia mimpi dengan hidungnya yang bertemu pucuk kepala Atobe.
"…Aku juga."
Entah kapan dia bisa membalas kalimat itu secara langsung.
Rasanya… susah sekali.
.
.
.
.
.
Prince of Tennis © Takeshi Konomi
Prompt © Aqua Days
Story © Kira Desuke
Main Pair : AtoZuka (Atobe Keigo x Tezuka Kunimitsu)
Genres : Romance/Hurt/Comfort
Warnings : sex scene, Alternate Headcanon
Rate : M
.
Fanfic Commission for Aqua Days
.
.
.
DISTANCE
.
.
.
Selama ini… Atobe selalu memikirkannya.
Tezuka hampir tidak pernah melakukan atau mengatakan apapun tentang sikapnya yang selalu berusaha menghilangkan jarak di antara mereka. Atobe sadar dia sebisa mungkin memeluk hingga mencium kekasihnya itu di setiap kesempatan yang ada. Bahkan meskipun Tezuka menyuarakan protesnya, Atobe tidak melihat itu sebagai perintah yang harus benar-benar dia turuti dan tetap melakukannya sampai Tezuka sendiri yang mendorong wajahnya sekuat mungkin dengan kedua pipi memerah.
Apa boleh buat.
Atobe tidak bisa menyangkal dia memang memiliki perasaan sekuat itu pada kekasihnya yang telah dia incar sejak SMP. Terlalu kuat hingga dia tidak bisa menyembunyikan apapun lagi di depan teman-teman mereka.
Hanya saja waktu terus berlalu dan tibalah waktu dimana mereka harus berpisah sementara demi mengejar mimpi masing-masing. Meskipun dikatakan mimpi, sebenarnya Atobe lebih memilih kewajibannya untuk fokus mempersiapkan diri mengurus perusahaan keluarga yang akan diturunkan padanya. Berbeda dengan Tezuka yang sempat cedera dan mengira akan pensiun di dunia tenis… ternyata malah mendapat kesempatan lagi saat penawaran untuk bergabung di tim Jerman datang kepadanya.
Mimpi Tezuka sebagai atlit tenis berbakat yang mereka semua pikir telah hilang itu kembali di depan matanya. Sesuatu yang tidak mungkin bisa Tezuka sia-siakan begitu saja. Tentu saja sebagai kekasih yang baik dan hanya mengharapkan kebahagiaan Tezuka semata, Atobe mengizinkan kepergian pria yang dicintainya itu ke negeri seberang.
Tidak. Atobe yakin tidak pernah ada keraguan sedikitpun di hatinya.
Atobe percaya dia dan Tezuka saling mencintai… apapun yang terjadi.
Sudah hampir dua tahun berlalu sejak itu dan hubungan mereka tetap berjalan normal meski terpisah oleh jarak yang nyata. Seiring berjalannya waktu dimana mereka tumbuh semakin dewasa bersama kesibukan yang tidak dapat dihindari, komunikasi di antara mereka ikut berubah menjadi cukup seadanya walau masih dalam batas wajar demi menghargai privasi masing-masing. Tidak ada yang berubah dan semuanya tetap baik-baik saja, Tezuka masih menyisihkan waktu untuk kembali ke Jepang, begitu pula Atobe seperti yang dia lakukan sekarang.
Setidaknya… itu yang ingin mereka percayai, 'kan?
Tidak ada yang menyangka justru jarak itu sendiri yang membuat mata mereka terbuka dengan segala kemungkinan yang ada.
Atobe mungkin sudah tidak terlalu sering menemui kekasihnya di Jerman, tapi bukan hal yang sulit untuknya menyadari tetap ada yang berubah. Setiap Tezuka kembali ke Jepang, dia masih Tezuka yang Atobe kenal. Tersenyum tipis dan seadanya—bahkan mungkin hanya di depannya dan keluarga terdekatnya, tidak banyak berbicara, lebih suka mendengarkan, bersikap pasif hingga tidak ada yang benar-benar tahu apa yang dipikirkannya.
Tapi, begitu Atobe pergi ke Jerman, dia bisa melihat ekspresi Tezuka yang lebih cerah dan bersemangat, bahkan rasanya lebih sering tersenyum dibanding dia melihatnya di Jepang. Tezuka terlihat sangat menikmati waktunya di Jerman dan Atobe ikut bersyukur untuknya. Atobe tidak tahu apakah memang sekedar karena Tezuka bisa meraih mimpinya di Jerman atau ada hal lain yang lebih spesifik, yang jelas Atobe tidak bisa menyuarakannya dan hanya tersenyum pada perubahan yang positif ini.
Hanya saja sedikit banyak, Atobe sadar dia sedikit terpengaruh dengan perubahan itu meski berusaha keras untuk menyambutnya dengan tangan terbuka. Apalagi sejak pertemuan terakhir mereka di Jepang saat Atobe mengantarnya ke bandara, Tezuka mendorongnya terlalu keras hingga suasana mereka berubah kaku pada detik-detik menuju keberangkatan pesawat.
Biasanya Atobe tidak terlalu memikirkannya karena tahu Tezuka bisa seperti itu jika terlalu malu, tapi entah kenapa waktu itu mereka seakan baru saja melakukan kesalahan fatal. Atobe memendam perasaannya sendiri selama dia menahan tangannya untuk tidak membuat Tezuka lebih tidak nyaman. Atobe masih ingat bagaimana dia begitu membenci senyuman paksanya ketika mereka berpisah dengan lambaian tangan yang canggung. Atobe benci ketika dia membuat Tezuka semakin merasa bersalah hingga meneleponnya dari Jerman untuk minta maaf.
Tidak. Tezuka tidak seharusnya meminta maaf. Dia memiliki hak penuh atas tubuhnya sendiri. Justru Atobe yang harus sadar diri dalam menjaga batas yang tidak boleh dia lewati.
Dan momen terakhir itu pula yang membuat Atobe mulai memikirkan kemungkinan alasan bahwa Tezuka jauh lebih bahagia di Jerman adalah—
"…Keigo?"
Panggilan dengan nada bingung itu membuat Atobe mengerjapkan kedua matanya kaget. Dia melihat Tezuka telah berdiri di depannya, menatap kedua matanya dengan alis mengernyit. Ekspresi khawatir itu membuat Atobe mengedipkan kedua matanya sekali lagi sebelum dia melihat sekeliling lalu kedua tangannya yang terangkat. Dia mengepal tangannya sebelum menurunkannya kembali ke sisi-sisi tubuhnya.
"Ya? Kenapa, Kuni-chan?"
Tezuka menghela napasnya, berusaha mengabaikan panggilan yang biasa Atobe gunakan untuk menggodanya, "Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Kenapa kau berdiri di belakangku selama aku memasak?" tanyanya langsung.
"…Oh," Atobe memperhatikan panci berisi ramen panas yang Tezuka bawa dengan kedua tangannya yang mengenakan sarung. Dia memberi jeda sejenak sebelum tertawa kecil sembari mengusap bagian belakang lehernya, "hanya ingin melihat apa yang sedang kekasihku masak untuk sarapan hari ini hehe."
Tezuka masih menatap Atobe yang tertawa di depannya dengan bingung. Dia memiringkan kepalanya dengan ekspresi bertanya walau pada akhirnya dia menyerah juga, "Terserahlah," gumam Tezuka lalu berjalan melewati Atobe yang berhenti tertawa, "ayo makan sebelum ramen-nya dingin." Tambahnya sembari menarik kursi untuk duduk.
Atobe diam memperhatikan punggung Tezuka sebelum tersenyum tipis, "Kau benar." Bisiknya. Dia menarik kursi di samping Tezuka dan duduk di sana, memperhatikan Tezuka yang masih belum melihatnya karena fokus mempersiapkan mangkuk dan sumpit untuk mereka. Senyuman Atobe sempat hilang, namun dia memasangnya lagi dengan cepat saat Tezuka menoleh ke arahnya.
"Itadakimasu." Ucap keduanya bersamaan sembari menyatukan tangan mereka. Tezuka langsung melanjutkan ke sarapan mereka dengan mengambil ramen dari panci ke mangkuknya sendiri. Begitu pula Atobe, hanya saja dia masih diam memperhatikan Tezuka dengan segala pikiran di dalam kepalanya.
Walau jawaban Atobe sebelumnya tidak jauh dari niat yang sebenarnya, tetap saja itu bukan jawaban yang tepat. Atobe masih ingat dia berniat memeluk Tezuka dari belakang seperti yang biasa dia lakukan setiap Tezuka tidak memperhatikannya. Namun, ingatan momen terakhir mereka di bandara Jepang membuat gerakan Atobe berhenti seketika
Atobe enggan mengakuinya tapi dia harus menerima penolakan Tezuka saat itu benar-benar mempengaruhinya.
Bagaimana jika Tezuka akan menolaknya lagi?
Bagaimana jika Tezuka tidak mau disentuh olehnya lagi?
Bagaimana jika Tezuka menatapnya jijik?
Bagaimana…
…jika Tezuka tidak menyukainya lagi?
KRAK
Suara retakan itu membuat Tezuka yang akan memasukkan sebagian ramen ke dalam mulutnya itu berhenti lalu menoleh ke sampingnya. Atobe sendiri terlihat sadar akan sesuatu lalu menundukkan kepalanya. Mereka berdua melihat sumpit bambu tidak berdosa di tangan Atobe telah terbelah menjadi dua bagian. Tezuka mengedipkan kedua matanya bingung lalu melihat ke arah Atobe dan kembali ke sumpit di tangan kekasihnya. Terus seperti itu sampai Tezuka meletakkan mangkuknya di atas meja.
"…Apa bahannya kurang bagus sampai mudah lapuk seperti itu?" tanyanya yang lebih ditujukan pada dirinya sendiri daripada Atobe yang hanya bisa tertawa kaku sembari mengucapkan 'maaf' dan meletakkan sumpit patah itu ke atas meja. Tezuka menghela napas dan berdiri dari kursinya, "Di sini susah mencari sumpit yang sesuai, mungkin kau bisa ingatkan aku untuk membeli di Jepang saja nanti." Gumam Tezuka sembari mengambil sumpit lain yang masih terbungkus rapi dan memberikannya pada Atobe.
"Haha, yeah… terima kasih," jawab Atobe canggung sebelum membuka bungkus sumpitnya. Tezuka telah melanjutkan kegiatan makannya sementara Atobe mengutuk dirinya sendiri karena kecanggungannya. Berusaha tenang dan berdehem pelan, Atobe melanjutkan, "atau kau bisa mengingatkanku untuk membawakanmu nanti." Tezuka sempat berhenti dan tersenyum pada kekasihnya itu. Suasana makan di antara mereka terasa begitu damai, hanya suara air dan peralatan makan yang saling bersentuhan dengan satu sama lain.
Di tengah kegiatan ini pikiran Atobe kembali melayang pada keputusannya sejak menginjakkan kaki di Jerman, dia ingin lebih menunjukkan perasaannya yang menghargai Tezuka. Karena itu, dia memutuskan untuk menjaga jarak. Memberi jarak privasi yang lebih leluasa pada Tezuka, berharap rasa nyaman yang dia berikan bisa tersampaikan dan Tezuka bisa lebih terbuka padanya.
Ya. Seharusnya seperti itu. Atobe pasti bisa. Rencananya pasti berhasil jika dia bisa melakukannya dengan sempurna.
Tapi… siapa sangka sesusah ini!?
Atobe memejamkan kedua matanya dan menggeram frustasi. Bagaimana bisa dia yang berasal dari salah satu keluarga terpandang di Jepang itu memiliki sifat posesif yang bahkan tidak bisa melewati hari tanpa kehangatan tubuh kekasihnya sedikitpun? Memangnya dia anak kecil!?
Tidak, itu salah. Atobe sudah membuktikan dia bisa bersikap dewasa. Buktinya dia masih hidup setelah menjalani hubungan jarak jauh antara Jerman dan Jepang, 'kan? Tapi tetap saja, kalau di setiap pertemuan saja dia masih belum bisa menjaga tangannya, bagaimana nanti jika mereka benar-benar akan tinggal serumah?
"Mungkin Tezuka-kun memang butuh personal space-nya sendiri?"
Kata-kata sang ibu beberapa waktu lalu saat Atobe menceritakan tentang hubungan mereka kembali terngiang di kepalanya.
"Kau coba saja contoh hubungan ayah dan ibumu ini. Kami jarang terlihat dekat dan bermesraan tapi hubungan kami tetap awet saja sampai sekarang, 'kan?"
Atobe telah mendengus kesal dan menopang dagunya di atas meja.
"Ingat, pondasi utama sebuah hubungan adalah kepercayaan, Keigo."
…Well, saran yang diberikan itu tidak sepenuhnya salah sih.
Atobe menarik napas dan kembali melanjutkan makannya dengan malas. Baiklah, apapun yang terjadi dia akan mencoba berjuang menguasai dirinya sendiri. Tentu saja dia mencintai Tezuka. Dia sangat menyukai pria itu sampai ingin sekali menindihnya di atas kasur setiap saat. Atobe tidak butuh didikte orang lain bagaimana cara dia menunjukkan cintanya. Dia pernah menjadi Raja di lapangan tenis… dan bukan berarti dia akan dia tetap akan menjadi Raja di luar dapat mengatur hidupnya sendiri.
Tapi, jika berlaku seperti itu terus bukan tidak mungkin Tezuka tidak hanya mendorongnya lagi, tapi akan berencana lari darinya, 'kan? Kalau sudah terlambat begitu, apa yang bisa dia lakukan? Bagaimanapun juga hubungan cinta adalah persetujuan di antara dua belah pihak, bukan hanya salah satu dari mereka.
Atobe bisa mengatur hidupnya sendiri tapi dia tidak memiliki hak untuk mengatur seluruh hidup Tezuka meskipun sudah pasti laki-laki itu akan menjadi miliknya.
…Benarkah?
Hell, sejak kapan dia jadi suka berpikir jauh dan negatif seperti ini?
"Aakh," Atobe mengerang frustasi pada dirinya sendiri sembari menggaruk belakang kepalanya hingga lebih berantakan dari rambut tidurnya, "masa bodoh. Aku pasti bisa menikmati liburan berharga ini dengan tenang." Sinisnya tanpa ada yang menyinggung hal sensitif ini selain dirinya sendiri.
Tanpa disadari Atobe, Tezuka yang sudah selesai duluan dan membuat alasan untuk membersihkan mangkuknya itu telah memperhatikan Atobe dari belakang. Ekspresinya masih terlihat datar dan bibirnya terkatup rapat. Dia telah membelakangi tempat cuci piringnya sejak tadi, namun dia masih belum memiliki kekuatan untuk kembali menghampiri kekasihnya yang terlihat banyak pikiran itu. Tezuka berulang kali membuka lalu menutup mulutnya seakan ingin mengatakan sesuatu sebelum akhirnya dia menyerah dan membiarkan bibir bawahnya tergigit.
Apa ada yang… salah?
Apakah ini hanya perasaannya saja atau memang Atobe sedang menjauh darinya? Hubungan mereka baik-baik saja, 'kan?
…Itu pertanyaan bodoh. Jika memang ada masalah, lalu kenapa Atobe masih mengunjunginya seperti ini? Hanya saja kalaupun memang ada masalah, kenapa Atobe tidak mengatakan apapun padanya? Bukankah mereka sepasang kekasih?
Tezuka melipat kedua tangannya di depan dada dan tangannya mencengkeram lengannya semakin kuat. Tezuka harus mengakui dia tidak ahli dalam berkata-kata dan ini mulai membuatnya frustasi. Selain itu, untuk beberapa alasan Tezuka merasa takut mendengar jawaban Atobe jika dia bertanya langsung. Terlepas dari kenyataan bahwa mereka telah menjalani hubungan ini lebih dari hitungan tahun.
Apakah dia pengecut?
Mungkin.
Menarik napas dan mengeluarkannya perlahan, Tezuka menaikkan frame kacamatanya lalu berjalan mendekati Atobe. Memegang sandaran kursi yang diduduki kekasihnya itu tepat saat Atobe berdiri dan membalikkan tubuhnya. Dari tangannya yang memegang mangkuk kosong, sepertinya dia berniat mencuci mangkuknya sendiri.
"Hm? Kenapa Kuni—"
Tezuka memiringkan kepalanya dan mengunci bibir Atobe sebelum sempat mengatakan apapun. Atobe cukup terkejut hingga kedua matanya terbuka lebar. Tidak butuh waktu lama sampai Atobe menurunkan sedikit kelopak matanya lalu ikut memejamkan mata dan memperdalam ciuman mereka. Cukup lama ciuman itu hanya saling memagut bibir sampai Tezuka yang lebih dulu memisahkan mereka.
Keduanya mengatur napas untuk beberapa saat dan Atobe memperhatikan ekspresi Tezuka yang masih enggan melihat ke arahnya. Mungkin karena malu—terlihat dari kedua pipinya yang mengeluarkan semburat merah tipis dan kedua matanya melirik ke arah lain. Detak jantung mereka terdengar cukup keras hingga bisa didengar oleh keduanya. Tangan Tezuka masih diam di atas dada Atobe sampai akhirnya turun lalu Tezuka menariknya kembali.
"…Aku hanya ingin mengambil bagianku."
Atobe mengerjapkan kedua matanya, masih bingung apa yang dimaksud kekasihnya itu, "Bagian?" Tezuka tidak menjawab dan justru terburu-buru melewati Atobe, berjalan menuju ruang tengah dimana TV mereka berada. Atobe masih berpikir sampai dia menyadari sesuatu, "Oh, maksudmu morning kiss?"
Pertanyaan Atobe yang to the point membuat langkah Tezuka berhenti. Kedua bahunya terlihat berjengit sebelum dia menoleh sedikit dengan kedua alis yang mengernyit jengkel. Namun sebelum Atobe sempat mengatakan apapun, Tezuka sudah kembali berjalan cepat dan duduk di atas sofa yang menghadap TV.
Atobe masih membiarkan beberapa detik terlewat selama dia memproses apa yang baru saja terjadi. Tapi, melihat ujung telinga Tezuka yang memerah sepertinya dia menebak dengan benar. Atobe tidak bisa menahan tawa kecilnya. Seketika beban berat yang sedari tadi dipikulnya menghilang entah kemana. Atobe mencuci mangkuk kotornya dengan cepat sebelum dia berlari ke arah Tezuka dan langsung melompat duduk di sampingnya.
Tezuka tersentak kaget dengan guncangan yang tiba-tiba datang dan langsung menoleh, "Hei—" tidak bisa melanjutkan kata-katanya lagi begitu kali ini Atobe yang langsung menyerangnya hingga tangan Tezuka yang memegang remote TV terlepas dan jatuh ke atas lantai. Benturan itu membuat tombol untuk mengeraskan volume suara TV tertekan dan suara berita pagi menggema di dalam apartemen mereka.
Hanya saja tidak ada yang bisa mempedulikan berita itu karena ciuman dalam yang Atobe berikan membuat seluruh fokus mereka teralihkan. Tezuka memejamkan kedua matanya erat dan dia bisa merasakan lidah Atobe masuk ke dalam mulutnya. Tubuh Tezuka langsung mengizinkannya tanpa sempat berpikir, dia membiarkan kekasihnya itu menyelipkan tangannya di bawah tubuhnya dan merengkuhnya lebih erat. Rasa kuah ramen instan yang baru saja mereka makan kembali menyatu di dalam mulut mereka.
"Kei…go, dengarkan aku…" Tezuka akhirnya berhasil mengeluarkan suaranya di tengah engahan lemahnya saat Atobe mulai menyerang lehernya, "…nanti… aku ingin mengajakmu makan malam keluar—uh, bertemu dengan teman-temanku…" mencari posisi yang nyaman untuknya, Tezuka menahan kepala Atobe sebelum dia mundur hingga duduk dengan sandaran tangan sofa di belakangnya.
"Kau mau… ikut, 'kan?"
Bibir atas dan bawah Atobe sempat terpisah sebelum dia merapatkannya lagi. Atobe tersenyum tipis dan kembali mencium bibir Tezuka sekilas, "Siapa aku yang bisa menolak keinginan tuan rumah di sini?" tanyanya, ujung hidung mereka bertemu dan Tezuka bisa merasakan napas Atobe menyapu wajahnya.
Tezuka terlihat tertegun sebelum dia memperlihatkan senyumannya. Daripada senyuman senang, mungkin lebih tepat dikatakan senyuman lega. Atobe menyadari ini dan dia hampir menanyakannya seandainya tangan Tezuka tidak menyentuh dan mengusap wajahnya, "Kau… kekasihku."
Oh.
Atobe tidak menyangka pertanyaan jahilnya benar-benar dijawab.
Dan jujur saja, dia sangat tidak menyangkanya hingga kedua pipinya kini memerah karena kaget dan malu.
Menelan ludahnya, akhirnya Atobe semakin menghilangkan jarak di antara wajah mereka, "…Bolehkah?"
Senyuman Tezuka hilang saat dia mengerti maksud pertanyaan itu. Tangannya berhenti mengusap wajah Atobe sebelum dia menundukkan kepalanya dan kembali melirik ke arah lain, "Selama… kau janji tidak akan membatalkan janji nanti malam." Balasnya hati-hati.
"Tidak akan." Jawab Atobe cepat dan kembali memeluk tubuh Tezuka dengan kuat. Dia mendongak lagi untuk mencium bibir Tezuka dan kali ini mendorongnya hingga berbaring di atas sofa.
Lidah keduanya saling menari di dalam mulut Tezuka sementara tangan kanan Atobe mulai menyelip ke balik kaos putih yang Tezuka kenakan. Suara basah menyatu dan penyatuan bibir mereka semakin dalam saat Tezuka memeluk leher pria di atasnya. Tangan kiri Atobe kembali bergerak meraih remote di dekat kaki sofa dan mengarahkannya pada TV di seberang.
Sebagaimana suara berita pagi yang langsung menghilang setelah Atobe mematikan TV namun masih terngiang di telinga mereka…
…kedua anak manusia itu mengabaikan keraguan di hati yang masih belum bisa mereka bersihkan sepenuhnya.
#
.
.
.
.
.
#
"Salah satu temanku di tim Jerman memperkenalkan restoran ini padaku beberapa bulan lalu," Atobe masih memperhatikan senyuman yang terus dipasang oleh Tezuka selama perjalanan mereka, "mereka menyediakan makanan Jepang dan rasanya yang paling mendekati rumah sejauh ini. Mungkin karena kokinya juga orang Jepang, aku sempat bicara dengannya dan dia berasal dari daerah Kyoto." Jelas Tezuka panjang lebar sembari melihat lurus jalan di depannya.
Atobe masih diam dengan senyuman tipis yang lama-lama terbentuk di wajahnya. Kedua tangannya masih diam di dalam saku jaketnya selama dia membiarkan Tezuka menceritakan banyak hal. Begitu Tezuka terlihat mengakhiri ceritanya, Atobe tertawa kecil dan ikut melihat lurus ke depan.
"Sepertinya teman-temanmu dan restoran itu menyenangkan sekali," sengaja menempelkan bahu mereka, Atobe melirik Tezuka yang sadar dan menoleh padanya. Langkah mereka masih belum berhenti ketika Atobe mengatakan, "sampai membuatmu yang jarang bicara ini jadi cerewet, kau membuatku semakin tidak sabar bertemu mereka, Kuni-chan."
Panggilan itu membuat Tezuka mengernyitkan kedua alisnya jengkel, "Jangan memanggilku seperti itu di depan mereka."
"Ehh? Kupikir kau akan memperkenalkanku sebagai kekasihmu?" tanya Atobe dengan nada kecewa yang dibuat main-main.
"Itu terdengar kekanakan."
"Well, tapi bukan hal yang buruk, 'kan?"
"Jangan membuatku malu."
"Ah ah, alasanmu tidak cukup untuk meyakinkanku, Kuni-chan." Balas Atobe cepat sembari memegang tulang hidung Tezuka yang reflek mengeluarkan geraman jengkel. Atobe mempertemukan dahi mereka sebelum menarik tangannya dan tertawa, "Kau terlihat lebih menarik saat jengkel seperti ini hahaha!"
"Ugh, berhenti menggodaku, Keigo—"
"Oh?"
Pasangan yang hampir saja masuk ke dunia mereka sendiri itu menoleh bersamaan begitu mendengar langkah beberapa orang berhenti tepat di depan pintu masuk restoran di depan mereka. Atobe kehilangan senyumannya dan berdiri tegap, berbanding terbalik dengan Tezuka yang terlihat lega dan melangkah cepat mendekati kumpulan pria Jerman yang memperhatikan mereka.
"Volk!"
Dari panggilan nama yang Atobe ketahui sempat beberapa kali Tezuka sebut di ceritanya itu membuat Atobe sadar mereka adalah orang-orang yang akan makan malam bersama mereka. Pria tinggi dengan kepala botak bernama lengkap Jurgen Borisovich Volk itu membalas senyuman Tezuka lalu mereka berbicara beberapa saat. Anggota tim yang lain di belakang Jurgen sesekali menimpali pembicaraan mereka dan tertawa bersama. Entah apa yang mereka bicarakan, Atobe tidak bisa mendengarnya dari sini.
Tapi… senyuman Tezuka yang terlihat lebih lepas pada Kapten tim Jerman itu entah kenapa membuat bibirnya terkatup rapat.
Tezuka berhenti tertawa dan dia menoleh pada Atobe ketika mendengar suara langkah pria itu mendekatinya dari belakang. Menggunakan bahasa Jerman yang fasih, Tezuka membuka tangannya di depan Atobe, "Oh, ini Atobe Keigo, dia temanku dari Jepang yang ingin kuperkenalkan pada kalian. Keigo, ini Volk, lalu dia Bismarck, Siegfried, Puppe—"
"Teman?" Michael Bismarck yang memiringkan kepalanya itu terlihat tertawa mengejek pada Tezuka yang terdiam, "Kupikir dia 'ini'mu?" tanya pria dengan rambut dua warna yang didominasi warna pirang tersebut sembari menunjukkan kelingkingnya yang terangkat.
Tezuka terlihat tidak mengerti dan hanya mengedipkan kedua matanya pelan. Namun teman-temannya yang lain langsung menepuk bahu Michael yang tertawa jahil, terutama Elmer Siegfried—partner Doubles Tennis-nya, "Hei, jangan langsung menanyakan hal yang terlalu privasi—"
"Tidak masalah, dia memang benar."
Atobe—yang sempat kesal karena Tezuka hanya memperkenalkannya sebagai teman—itu tersenyum puas dan mengangkat tangannya. Merangkul bahu Tezuka yang lengah dan menariknya hingga tubuh mereka kehilangan jarak, tubuh Tezuka yang kehilangan keseimbangannya itu nyaris terjatuh seandainya Atobe tidak menahannya dengan tubuhnya.
"Aku adalah kekasihnya." Belum sempat Tezuka memproses apa yang terjadi sekarang, Atobe menyipitkan kedua matanya dan menunjukkan senyuman yang cukup berbahaya, "Tapi, aku akan lebih menghargaimu jika kau tidak menggunakan bahasa isyarat yang memusingkan dan langsung to the point saja, Bismarck." Ucap Atobe sembari memiringkan kepalanya, mengeluarkan nada ramah yang entah kenapa malah memicu arti yang sebaliknya.
Kali ini Tezuka bisa menyadarinya dan langsung melepaskan diri dari Atobe yang juga telah menarik tangannya, "Keigo, kau—"
"Ehem!"
Suara deheman keras dari Volk memutuskan tatapan tegang antara Atobe dan Bismarck. Volk menepuk tangannya dan memasang ekspresi serius di antara dua pria yang baru saja bertemu namun sudah hampir memasang bendera pertikaian, "Daripada bicara terus di luar seperti ini, bagaimana jika kita masuk ke dalam sekarang?" dia melihat Tezuka yang menatapnya kaget dan menganggukkan kepalanya, "Tentu saja kita lebih mudah emosi dengan perut yang lapar. Kau setuju denganku, 'kan? Tezuka."
Tezuka menutup mulutnya dan membalas anggukan Volk dengan senyuman lega, "…Kau benar." Tidak menyadari Atobe yang sudah meliriknya, Tezuka kembali menoleh pada kekasihnya itu sebelum melihat ke arah yang lain, "Ayo masuk semuanya." Ucap Tezuka dan lebih dulu membuka pintunya.
Atobe masih diam dan mengikuti Tezuka, begitu pula anggota tim tenisnya yang lain. Sebagai kumpulan pria berbadan atletis, terlebih dengan kemungkinan banyak orang yang mengenal wajah mereka, bukan tidak mungkin mereka akan menjadi pusat perhatian. Untungnya Tezuka memilih lokasi yang cukup sulit digapai publik. Tidak butuh waktu lama sampai mereka yang telah duduk di tempat masing-masing itu kembali memasuki topik pembicaraan lain yang dapat menjadi menu sampingan hari ini.
Meski dari luar meja suasana mereka terlihat menyenangkan karena terus bertukar canda dan tawa, Atobe terlihat tidak masuk ke dalam obrolan yang ada. Dia menghabiskan makanan dan minumannya dengan tenang. Sesekali menunjukkan senyumannya ketika Tezuka menoleh padanya, lalu begitu Tezuka tidak melihatnya kembali, senyuman Atobe juga ikut menghilang bersamanya. Pria yang memiliki tahi lalat di bawah mata kanannya itu tidak banyak bersuara dan menghabiskan setengah fokusnya pada kekasihnya yang terlihat sangat menikmati waktunya.
Sepertinya dia lebih menikmati waktu bersama teman-temannya di Jerman daripada waktu bersamanya?
…Tidak. Hentikan pikiran negatifmu, Atobe Keigo.
Memang benar, Tezuka tampak lebih santai dan bebas dibanding sikapnya di Jepang. Atobe ingin tahu mengapa, namun egonya yang tersakiti melihat pria-pria asing itu berhasil membuat Tezuka tertawa membuatnya enggan mengeluarkan suara.
Bukannya Atobe membenci perubahan ini. Dia masih Atobe yang sama, Atobe yang akan menyerahkan segala hidupnya demi kebahagiaan kekasih sekaligus mantan rivalnya di lapangan tenis tersebut. Setiap dia melihat Tezuka tertawa hingga kedua matanya menyipit senang dan pipinya memerah, ada rasa hangat yang mengalir ke seluruh bagian di dalam tubuhnya. Memberikan kekuatan pada Atobe untuk membentuk senyuman sendiri di wajahnya meskipun Tezuka tidak akan pernah menyadari perasaannya.
Namun melihat teman-teman Tezuka yang lebih tua itu senang mengusap kepalanya, kurang lebih Atobe bisa menebak alasannya. Di sini, Tezuka berumur paling muda dan dia tidak memiliki beban sebagai Kapten atau Pemimpin. Atobe yakin kekasihnya yang selalu serius menjalankan tugasnya itu merasa dia harus berwibawa setiap saat demi memegang perannya. Hal yang tanpa sadar membuatnya mengunci diri di balik tembok demi menyembunyikan sisi lemahnya yang tidak ingin dia perlihatkan agar tidak membuat anggota timnya khawatir.
Aah. Setelah melihat semua ini… Atobe justru kembali ragu.
Apakah dia benar-benar sudah menghancurkan tembok Tezuka Kunimitsu?
Apapun kemungkinan yang ada, Atobe tetap kesal mengingat dia tidak bisa selalu di sini untuk menyaksikan proses perkembangan Tezuka menjadi pribadi yang lebih bebas dan ekspresif seperti yang dia saksikan sekarang. Ya, pada akhirnya Atobe tetap kesal karena bukan dia yang berhasil membuat Tezuka menunjukkan sisinya yang lain—lebih buruk dari itu, sisi yang paling ingin dia lihat dari kekasihnya yang kaku.
Kedua alis Atobe perlahan tapi pasti mengernyit semakin dalam, menghilangkan jarak di antara kedua matanya. Atobe terus menuangkan air dingin dari dalam poci hingga tidak terasa dia telah sampai pada tetesan terakhirnya. Menahan diri untuk tidak menghela napas, Atobe menggelengkan kepalanya. Dia berdiri dari kursi, menimbulkan suara keras yang menghentikan seluruh pembicaraan di sana.
"Aku mau ambil refill dulu." Ucap Atobe tanpa melihat ke siapapun—suaranya lebih dingin dari yang dia harapkan. Atobe membawa poci yang telah kosong itu dan berjalan cepat meninggalkan tempat duduknya.
Tezuka tidak sempat memanggil nama ataupun mengejar Atobe saat Volk berdiri lebih dulu, "Ah, ada yang ingin aku beli di counter. Kalian lanjutkan saja." Ucapnya dengan gestur tangan di depan Tezuka yang meminta rekan termudanya itu tetap duduk di tempat. Tidak menunggu bantahan apapun, Volk langsung berjalan meninggalkan meja ke arah yang sama dimana Atobe menghilang.
Di sisi Atobe, dia masih diam dan enggan menoleh kemanapun meski dia mendengar suara seseorang menghampirinya dari belakang. Tanpa menoleh pun, Atobe tahu langkah yang berat itu bukan milik kekasihnya. Atobe tetap menunggu pria itu sampai berdiri di sampingnya yang masih menunggu air di dalam poci terisi penuh.
"Kau tahu kau tinggal memanggil waiter untuk datang ke meja kita dan mengisi poci itu, 'kan?"
"Yeah, aku hanya mencari alasan untuk keluar sebentar dari tempat menyebalkan itu."
"Wow, kau sama sekali tidak menahan diri ya."
"Kau tidak menahanku pergi, bahkan mengejarku sampai sini. Jadi, untuk apa lagi aku menyembunyikannya?" poci telah terisi penuh dan Atobe menghela napasnya. Dia meletakkan poci di atas meja kosong sebelum menghadap Volk yang masih menunggunya, "Kau tahu aku sedang kesal dan berusaha membuat Kunimitsu tidak merasa bersalah karena aku telah membuat suasana meja kalian tidak nyaman. Kau adalah Kapten yang baik, Volk. Aku memuji itu."
Volk tertegun mendengar kata-kata Atobe yang jujur dan tegas. Kedua mata Atobe menatap tajam matanya tanpa rasa takut sedikitpun mengesampingkan perbedaan ukuran tubuh mereka yang sangat kentara. Atobe melipat kedua tangannya di depan dada dan sedikit menyandarkan bagian bawah tubuhnya pada meja di belakangnya. Cukup lama mereka seperti itu sampai Volk mendengus pelan dan tertawa.
"Hahahaha! Benar-benar menarik!" ucapnya di sela-sela tawa. Atobe merengut semakin jengkel, merasa terhina dari tawa itu—entah kenapa, "Aku selalu penasaran seperti apa orang yang berhasil merebut hati Tezuka sejak pertama kali mendengar ceritanya dan akhirnya sekarang aku mengerti. Wajar saja Tezuka tidak bisa menolak pria sepertimu." Tambahnya, nyaris berteriak sembari menepuk-nepuk bahu Atobe dengan keras.
Atobe semakin jengkel dan kali ini dia benar-benar tidak menahannya lagi. Dia mengendikkan bahunya dari Volk yang langsung berhenti memegangnya namun tidak berhenti tertawa, "Jangan mengejekku. Kau mau bilang aku berhasil mendapatkan Tezuka hanya karena keberuntungan, hah?"
"Tidak, tidak! Menurutku justru sebaliknya!" Volk tersenyum dan menatap Atobe yang sedikit bingung dengan kata-katanya, "Aku masih belum sepenuhnya mengenalmu dan memang benar katamu, aku sempat berpikir kau hanya kebetulan berhasil mendapatkan hati Tezuka yang seperti itu…"
Meski hanya sekilas, Atobe bisa melihat senyuman Volk sedikit melembut.
"…tapi, kurasa bukan kau yang beruntung mendapatkan Tezuka."
Bingung mendengar ini, Atobe menaikkan sebelah alisnya. Kedua tangannya kini mengepal di sisi-sisi tubuhnya, "Apa maksudmu?" tanyanya tanpa menyembunyikan geraman amarahnya.
Volk masih terlihat tenang, bahkan dia mulai memiringkan kepalanya dan menyipitkan kedua matanya senang, "Nanti juga kau akan menyadarinya sendiri." Ucap Volk ambigu. Dia mengambil salah satu kaleng bir pada pendingin di sampingnya lalu berjalan melewati Atobe, "Lekas kembali, kita tidak mau mereka semua curiga jika kita pergi terlalu lama, 'kan? Terutama kekasihmu yang diam-diam mudah khawatir itu." Volk mengatakannya sembari menolehkan kepala sedikit untuk melihat Atobe yang masih belum bergerak dari posisinya.
Atobe berniat mengelak namun mulutnya hanya terbuka tanpa mengeluarkan suara. Dia mulai sadar kebenaran dari kata-kata Volk dan akhirnya menutup mulutnya walau rasa kesal masih memenuhi dadanya. Dia berbalik dan baru memegang gagang poci saat suara Volk kembali terdengar, "Tezuka selalu membicarakanmu."
"…Hah?"
"Dia tidak pernah mengatakan kau adalah kekasihnya, tapi gelagatnya terlalu mudah ditebak. Dia juga selalu menghindar setiap kami bertanya siapa sebenarnya Atobe Keigo yang selalu membuatnya terdiam kaku dengan kedua pipi memerah hanya karena kami menyebut namanya." Jawab Volk langsung tanpa menunggu Atobe menyelesaikan pertanyaannya, "Aku lega saat kau tadi langsung menjawab pertanyaan kami selama ini. Setidaknya kami jadi tahu kau bukan tipe laki-laki yang akan menipu adik kesayangan kami hahaha."
Kerutan di antara kedua alis Atobe perlahan tapi pasti menghilang. Terutama saat Volk membalikkan seluruh tubuhnya dan tersenyum melihat Atobe yang mungkin masih perlu waktu untuk mempercayai seluruh kata-katanya.
"Terima kasih. Tolong jaga dia ya, Atobe."
Setelah mengatakannya, Volk hanya tersenyum sebelum berbalik lagi dan berjalan menjauh lebih dulu. Atobe masih terpaku di tempatnya dan menatap kepergian Volk hingga menghilang dari pandangannya. Tangannya memegang gagang poci lebih erat saat dia mengambil langkah pertama setelah lama terdiam dengan perasaan bergejolak yang tidak bisa dia deskripsikan dengan kata-kata.
"…Memangnya kau siapa? Calon kakak iparku?"
Punggung tangan kanan Atobe menutup sebagian wajahnya yang memerah saat dia melirik ke arah lain dengan jengkel.
"Kau tidak perlu mengatakan itu padaku."
#
.
.
.
#
Ketika waktu pulang tiba, Atobe masih terlihat tenang dan tidak banyak bicara seperti di awal. Walau begitu, dia selalu menjawab pertanyaan yang diberikan dan terkadang masih menyombongkan dirinya—tidak merasa harus merubah sikap aslinya di saat-saat seperti ini. Lagipula jika mereka memang ingin mengenalnya lebih dekat sebagai salah satu bagian dari hidup Tezuka, maka Atobe tidak memiliki alasan untuk berpura-pura.
Di sisi lain, meski Atobe sengaja membuat dirinya terlihat lebih menyebalkan—sekalian memberi peringatan pada rekan-rekan tenis Tezuka itu untuk berhati-hati dan memberi jarak aman dengan kekasihnya—tetap masih ada kecocokan di antara sifat mereka. Terbukti saat waktunya berpisah, mereka yang lebih dulu mengajak bertukar kontak secara langsung. Pada akhirnya Atobe mau memberi kontaknya setelah menerima alasan bahwa mereka bisa bermain kapan-kapan di waktu senggang.
Tentu saja Atobe masih kesal dan iri pada orang-orang itu yang bisa membuat kekasihnya lebih terbuka dengan perasaannya. Tapi, dia harus mengakui mendapatkan temanbermain pada bidang olahraga favoritnya masih menjadi hal yang disukainya. Apalagi mereka semua adalah pemain profesional yang tidak mungkin memberi perlawanan mudah dalam pertandingan.
Lagipula ide menghajar orang-orang itu di lapangan tenis rasanya tidak buruk juga.
Pikiran itu nyaris membuat Atobe menyeringai jahat. Seandainya suara Tezuka tidak mengalihkan perhatiannya, "…Maaf."
Satu kata ini membuat Atobe kehilangan senyumannya dan menoleh ke arah Tezuka tanpa menghentikan langkah mereka. Atobe melihat Tezuka yang masih menatap jalan di depan mereka dengan ekspresi yang sedikit lebih murung dari biasanya. Dia menunggu Tezuka bicara lagi, namun karena tidak kunjung ada suara akhirnya dia menghela napasnya.
"Untuk apa?" tanya Atobe langsung dan kembali berdiri tegap menatap lurus ke depan. Kedua tangannya telah masuk ke dalam saku jaketnya.
Tezuka terlihat membuka mulutnya ragu, berulang kali dia menutupnya lagi sampai akhirnya mengeluarkan suara, "Karena telah membuatmu tidak nyaman." Jawabnya jujur.
Atobe mendengus dan menoleh cepat, "Kenapa kau bisa berpikir begitu?" dia menggaruk belakang kepalanya dengan kesal, "Ini adalah acara yang kau buat dengan susah payah untuk memperkenalkanku pada teman-temanmu. Paling tidak, seharusnya kau yang marah jika aku membuat suasana tidak nyaman." Ucap Atobe, tidak bermaksud membuat nada bicaranya lebih ketus namun emosi membuatnya sedikit kesulitan mengatur dirinya.
Benar. Tezuka tidak salah sama sekali. Dia yang bodoh di sini. Cemburu buta seperti anak kecil hanya karena kekasihnya lebih senang menghabiskan waktu bersama teman-temannya.
Ugh, sekarang Atobe jauh lebih marah pada dirinya sendiri.
Namun tentu saja Tezuka tidak menyadari itu dan hanya bisa menatap rahang bawah Atobe yang terlihat mengeras. Mengira Atobe benar-benar marah karena dirinya membuat Tezuka tidak bisa menyembunyikan ekspresi sedih yang biasanya selalu bisa dia sembunyikan. Atobe benar, seharusnya dia tidak perlu merasa bersalah sama sekali. Dia seharusnya bisa memarahi Atobe yang bersikap kekanakan di depan teman-temannya, tapi ada perasaan lain yang tidak bisa dia ungkapkan.
Rasa takut… akan kehilangan sesuatu?
Kehilangan apa atau… siapa?
Tezuka telah menghentikan langkahnya sementara Atobe masih terus maju. Tangan Tezuka terlihat sangat ragu terangkat dan bermaksud meraih tangan Atobe namun tidak sampai. Akhirnya secara reflek Tezuka menggertakkan giginya dan maju dengan cepat hingga dia berhasil menarik bagian belakang jaket yang Atobe kenakan.
Tarikan itu membuat Atobe berhenti dan menoleh ke belakang dengan ekspresi bingung. Melihat Tezuka yang menatapnya khawatir dan belum melepaskan jari yang menarik jaketnya semakin kuat. Atobe menatap Tezuka bingung dan baru saja akan membuka mulutnya ketika suara lain menghampiri mereka.
"Oh, Tezuka-kun!"
Pria berambut panjang dan ikal berwarna oranye muda itu terlihat familiar dari kejauhan. Atobe dan Tezuka langsung membalik tubuh menghadap pria yang sepertinya adalah orang Jepang seperti mereka. Dia mengenakan kacamata, topi, hingga syal sehingga wajahnya tidak begitu terlihat. Atobe secara inisiatif memegang lengan Tezuka dan menariknya untuk berdiri di belakangnya. Memasang posisi protektif yang entah bagaimana selalu muncul di instingnya setiap ada yang tidak beres mendekati kekasihnya.
Tezuka masih terkejut dengan perilaku Atobe, tapi dia lebih penasaran dengan siapa yang memanggilnya di pertengahan malam kota Berlin seperti ini selain teman-teman satu timnya. Semua baru terjawab begitu pria itu melepaskan topi dan melonggarkan syal di lehernya.
"Dan… ah, kau Atobe-kun dari SMA Hyotei, 'kan? Sedang apa kau di sini?"
Pria yang ternyata mereka kenali sebagai Yamato Yuudai itu tersenyum lebar seolah tidak menyadari kedua pria yang masih lebih muda darinya tersebut menunjukkan kewaspadaan mereka. Bahu keduanya perlahan tapi pasti lebih rileks dan kembali berdiri tegak ketika Yamato telah sampai di jalan setapak yang mereka pijak.
"Yamato-senpai…" Tezuka bergerak hati-hati melewati Atobe, melirik sisi wajah kekasihnya yang masih belum melihat ke arahnya, "…Keigo sedang datang mengunjungiku. Apa yang kau lakukan di sini sendirian?" tanyanya balik.
Senyuman Yamato sempat hilang ketika mendengar nama depan Atobe yang disebut mantan kouhai-nya. Tersenyum penuh arti, dia melipat kedua tangannya di depan dada, "Hanya ingin menikmati malam di kota ini seperti biasa," jawabnya santai. Dia melirik Atobe saat melanjutkan, "enak sekali ya, aku jadi iri karena tidak pernah ada yang datang mengunjungiku di sini sejak hari pertama exchange-ku dimulai."
Menyadari kata-kata yang meyindirnya itu membuat kedua alis Atobe mengernyit semakin dalam. Tentu saja Atobe mengenal pria di depannya sebagai Kapten Seigaku saat Tezuka masih kelas satu SMA dulu. Sejak awal pertemuan mereka, Atobe tidak terlalu menyukai sosok Yamato yang terlihat main-main dan enggan serius seakan meremehkan lawannya. Walau pada akhirnya dia menyadari sifat asli Yamato tidak seburuk perkiraannya, tapi tetap saja itu tidak bisa menghentikan pengawasan Atobe pada pria yang lebih tua dua tahun darinya tersebut.
Bagaimanapun juga… kenyataan bahwa salah satu orang yang dikagumi Tezuka berada di sini rasanya tidak dapat membuat suasana hatinya lebih baik. Well, apa perlu dia singgung juga bagaimana pertandingan mereka yang dulu hampir memperparah kondisi tangan Tezuka? Mimpi Tezuka hampir hancur karena pria di depannya ini!
Atobe langsung menggelengkan kepalanya cepat. Tidak, tidak, itu masa lalu. Lupakan. Sudah tidak ada hubungannya lagi dengan mereka. Jangan membuat keadaan semakin rumit, Atobe Keigo!
Atobe menggertakkan giginya keras dan memejamkan kedua matanya erat sebelum menarik dan mengeluarkan napasnya perlahan. Tezuka melirik gelagat kekasihnya itu sebelum menatap Yamato di depannya, "Anu… senang bertemu denganmu, senpai. Tapi, kami sudah lelah seharian di luar jadi kami ingin pulang sekarang." Ucap Tezuka, ekspresinya terlihat datar dan menatap lurus kedua mata Yamato yang langsung kehilangan senyumannya.
"Begitukah? Sayang sekali. Baru saja aku ingin membahas pertandingan terakhirmu beberapa waktu lalu. Itu sangat fantastis, Tezuka-kun!" ucapnya sembari menjulurkan tangan yang menepuk bahu Tezuka. Perilaku yang membuat Atobe reflek melirik sinis pada tangan asing di atas bahu kekasihnya itu, "Sepertinya kau sudah berkembang sejak terakhir bertemu denganku, bagaimana jika kapan-kapan kita bertemu lagi sebelum pertandingan resmi?" tanyanya tanpa menarik tangannya.
Tezuka tersenyum tipis, "Ya, itu… ide yang bagus." Jawabnya canggung begitu menyadari tatapan tajam Atobe padanya dan Yamato. Berharap Yamato masih belum menyadarinya meski sudah terlalu jelas untuk diabaikan oleh siapapun yang ada di sana, "Baiklah, kami pulang duluan, senpai. Aku akan menghubungimu nanti." Tutup Tezuka sembari mundur untuk melepaskan tangan Yamato dari bahunya.
Tapi… hal yang terjadi selanjutnya masih di luar perkiraan siapapun yang ada di sana.
"Ya, ya, jangan khawatir."
Kedua mata Atobe nyaris melotot sementara Tezuka hanya bisa mematung… ketika Yamato tiba-tiba mendekatkan wajahnya pada wajah Tezuka dan tangannya mengusap kepala Tezuka lembut.
"Selamat menikmati malam ini, Tezuka-kun."
Tezuka mengedipkan kedua matanya pelan sampai Yamato mundur dan kembali mengenakan topinya. Dia membungkuk pada pasangan di depannya lalu pergi sembari melambaikan tangan tanpa menghilangkan senyumannya, "Sampai jumpa lagi." Ucapnya santai, tidak merasa perlu menunggu balasan dari kedua laki-laki yang baru dia temui itu.
Butuh beberapa detik untuk Tezuka menyadari apa yang baru saja terjadi sampai dia melihat punggung senior-nya itu menjauh, "…Senpai?" bisiknya pelan. Dia masih terdiam memikirkan apa maksud Yamato hingga tangan seseorang mencengkeram lengan atasnya dan menariknya paksa agar menoleh.
Tezuka cukup kaget dengan tarikan yang terlalu kuat ini dan berniat protes sampai dia melihat ekspresi keras Atobe di depannya. Ekspresi yang sama sekali tidak menyembunyikan kemarahannya… bahkan tidak ada sedikitpun senyuman di sana.
Oh, gawat.
"Kita pulang, Kunimitsu."
Atobe benar-benar marah padanya… 'kan?
Perjalanan yang harusnya bisa mereka nikmati dengan lebih santai kini terasa begitu berat. Atobe sudah melepaskan tangannya dari lengan Kunimitsu di tengah jalan, namun rasa panasnya yang membakar masih tertinggal di sana. Tidak ada kata-kata yang tertukar, keduanya terus berjalan dengan menatap jalanan yang sudah tidak terlalu ramai di depan mereka.
Tezuka menyentuh lengannya yang masih tertutup oleh jaket itu dalam diam. Napasnya mengeluarkan uap menandakan cuaca semakin dingin di antara mereka. Tezuka mengusap lengannya pelan dan menarik napas sebelum dia melirik Atobe di sampingnya. Rahang bawah Atobe masih terlalu keras, seperti menahan sesuatu untuk tidak keluar dari mulutnya dan memperburuk segalanya. Perasaan bersalah entah kenapa menyebar di dalam tubuh Tezuka, namun bibirnya terasa kaku karena tidak tahu bagaimana membuka pembicaraan di antara mereka sekarang.
Atobe sendiri tidak jauh beda. Dia masih marah kepada dirinya sendiri dan kali ini jauh lebih parah. Hampir saja dia melukai lengan Tezuka jika dia mencengkeram genggamannya terlalu keras hanya karena cemburu sesaat yang dia ketahui bukan salah kekasihnya itu sama sekali. Rasanya ingin meninju tembok dan menghancurkan tangannya untuk melepaskan dirinya dari rasa bersalah ini. Tapi mengetahui bagaimana sifat Tezuka, dia justru akan lebih menyalahkan dirinya sendiri daripada Atobe.
Terjebak pada dua kotak yang berbeda, keduanya harus segera mencari cara untuk keluar dan menyelesaikan masalah ini.
Jarak memisahkan mereka. Namun setelah jarak menghilang, mereka justru membuat tembok masing-masing untuk menutupi sisi insecurity mereka.
Bodoh sekali.
Tidak terasa kedua kaki mereka terus melangkah hingga sampai di depan apartemen Tezuka. Sempat tidak ada gerakan beberapa saat hingga Tezuka sadar dan mengeluarkan kartu kuncinya. Suara 'Tap' menggema dan pintu terbuka, keduanya masuk ke dalam dan Tezuka yang menutup pintunya di belakang. Dia memperhatikan Atobe yang melepaskan sepatunya dan berjalan masuk ke dalam sampai dia sendiri menyusulnya.
"Ma—" suara Tezuka yang tidak sengaja gagap itu akhirnya memecahkan keheningan. Atobe sendiri terlihat sangat mengharapkannya hingga dia reflek menoleh dengan cepat. Kedua pria itu saling menatap kaku sampai Tezuka melanjutkan kata-katanya dengan senyuman yang dipaksakan, "Mau makan pudding?"
Atobe terlihat membuka mulutnya sedikit sampai dia tersenyum tipis, "…Tentu saja." Jawabnya dengan suara pecah. Seakan mereka berdua sudah lama tidak berbicara. Suara dan suasana awkward ini membuat keduanya kembali bertatapan hingga Atobe yang lebih dulu mendengus dan tertawa. Tezuka masih terkejut melihat ini dan akhirnya tersenyum lembut sebelum ikut tertawa kecil.
Hanya dengan satu tawa, suasana mereka kembali rileks setelah sekian lama. Tezuka langsung berjalan menuju lemari dan mempersiapkan pudding seperti yang dia tawarkan. Atobe menunggu dengan sabar dan duduk di sofa sembari melihat hpnya untuk mengecek berita terbaru yang ada sampai dia melihat Tezuka sudah berjalan ke arahnya dari sudut matanya. Atobe menutup hpnya lalu melihat Tezuka menyerahkan piring berwarna hitam di pinggirnya dengan warna emas di tengah. Tezuka ikut duduk di sebelahnya dan menyalakan TV dengan mode stereo untuk memutar playlist yang entah sejak kapan ada di sana.
Hal pertama yang disadari Atobe saat mendengar lagu klasik ini, "Wagner?" tebaknya yang langsung membuat Tezuka berjengit karena tidak menyangka Atobe akan menyadarinya secepat ini, "Kupikir kau lebih suka Beethoven?" tanyanya dan kali ini dia telah menoleh sepenuhnya pada Tezuka yang masih enggan melihat ke arahnya.
Tezuka masih tidak menjawab namun telinganya mulai memerah. Atobe menaikkan sebelah alisnya lalu melihat ke arah piring dan makanan di tangannya, "Yorkshire pudding… lalu piring berwarnna hitam dan emas. Semuanya adalah kesukaanku…" Atobe sempat diam sebelum tersenyum penuh arti, "…apakah ada maksud tersembunyi di sini, Kuni-chan?"
Kali ini Tezuka tersentak dan menoleh kesal, "Bisakah kau makan dengan tenang tanpa mempedulikan hal-hal kecil?" semburnya tanpa bisa dia hentikan.
"Oh? Hal-hal kecil yang terus datang secara kebetulan ini justru membuatku semakin penasaran." Atobe memotong kecil pudding-nya lalu mengambil satu gigitan, "Sebenarnya aku tidak mau terlalu memikirkannya, tapi sepertinya belakangan aku melihat perabotanmu lebih didominasi warna emas dibanding warna hijau yang kau suka. Bukankah itu aneh?" tanyanya dengan seringai yang ingin sekali Tezuka tutup dengan bantalnya.
"…Aku juga suka warna emas."
"Setelah berpacaran denganku?"
"Tidak. Jangan terlalu percaya diri."
"Lalu bagaimana dengan Wagner?"
"Aku hanya sedang ingin mendengarnya, tidak boleh?"
Atobe masih tersenyum sementara Tezuka berusaha keras mengabaikannya dan memakan pudding-nya terlalu cepat. Dia tidak bisa menyembunyikan tawa kecilnya dan akhirnya memutuskan untuk ikut makan dengannya. Suasana mereka kembali tenang ditemani lagu-lagu instrumen klasik oleh Wagner yang biasanya Atobe nikmati saat membaca bukunya sendirian di rumah. Atobe memejamkan kedua matanya, dikelilingi oleh hal-hal yang disukainya ini memang sangat ampuh meredakan kemarahan dan kekecewaan yang sedari tadi dia rasakan pada dirinya sendiri.
Ya, kali ini dia tidak sendirian.
Ada pria yang paling disayanginya di dunia ini sedang duduk bersamanya.
"Maafkan aku."
Dua kata itu membuat Tezuka yang baru saja menelan gigitan terakhirnya segera menoleh. Atobe sendiri masih menyisakan beberapa potongan lagi di atas piringnya. Dia menoleh dan menatap Tezuka yang masih menunggunya berbicara.
"Kekanakan sekali ya? Hubungan kita sudah terjalin cukup lama, tapi aku masih merasa cemburu melihat ada orang lain yang bisa membuatmu tertawa lebih lepas."
Kedua mata Tezuka terbuka lebih lebar dan Atobe masih menunjukkan senyuman lembutnya.
"Rasanya aku semakin bodoh. Kupikir jarak ini akan membuatku semakin dewasa, tapi yang terjadi justru sebaliknya," Atobe tertawa lagi dan tangannya kali ini telah diam di atas kedua kakinya bersama dengan piring yang diam menatapnya, "karena itu, aku akan introspeksi diri dan lebih berhati-hati lagi—"
"Bodoh."
Suara Tezuka yang memotongnya diikuti dengan suara piring yang dibanting keras di atas meja membuat Atobe tersentak dan menoleh hati-hati. Kedua alis Tezuka sudah mengernyit dalam dan bibirnya terkatup rapat, ekspresi serius yang biasa Tezuka pasang saat pertandingan dan ini membuat kewaspadaan Atobe meningkat secara insting. Baiklah, dia sudah mengekspektasi ini. Tezuka pasti marah padanya. Atobe memejamkan sebelah matanya erat, menunggu teriakan atau mungkin pukulan berikutnya.
"Jika memang ada yang mengganggu pikiranmu seperti itu, seharusnya kau bisa terus terang…" kata-kata Tezuka membuat Atobe meliriknya pelan, "…kau membuatku hampir berpikir kau ingin mengakhiri hubungan ini." Bisiknya dengan suara yang terlalu keras.
Tentu saja Atobe langsung tersentak dan menoleh lagi dengan cepat, "Itu tidak mung—"
Sebelum Atobe bisa menyelesaikan kata-katanya, Tezuka sudah lebih dulu menggeser tubuhnya lalu memeluk Atobe kuat. Menyelip di antara kedua tangan Atobe yang masih memegang piring dan garpunya. Tidak hanya memeluk, Tezuka bahkan memindahkan sekujur tubuhnya duduk di atas pangkuan Atobe yang langsung terbujur kaku memikirkan apa yang baru saja terjadi. Atobe bisa merasakan rambut cokelat Tezuka yang lembut mengenai sisi wajahnya dan pelukan yang semakin kuat membuat Atobe melirik kekasihnya itu.
"…Kunimitsu?"
Panggilan itu membuat tubuh Tezuka sedikit bergerak namun tidak melepaskan pelukannya, "Apa kau pikir aku akan melakukan ini dengan siapapun selain dirimu?" Atobe menunggu dengan sabar sampai dia bisa mendengar Tezuka berbisik pelan dengan pelukan yang semakin kuat, "Cepat sadar. Kau seharusnya tanggung jawab, menyebalkan." Geramnya sebelum suara Tezuka semakin hilang karena terhalang oleh baju yang Atobe kenakan.
Atobe mengedipkan kedua matanya dan tubuhnya kembali rileks di pelukan kekasihnya itu. Dia masih menatap makanan di tangannya saat membalas kata-kata Tezuka, "Maaf. Aku jadi bodoh karena terlalu mencintai pria keras kepala sepertimu." Ucapan Atobe cukup bekerja melihat Tezuka kembali merespon dengan sedikit gerakan, "Bagaimana denganmu, Kunimitsu?"
"…Apanya?"
"Apa kau mencintaiku?"
"…Aku tidak mau menjawab itu."
"Dingin sekali," Atobe memotong pudding-nya dengan tenang dan memasukkan satu potongan ke dalam mulut untuk dikunyahnya, "meskipun sekarang kau sedang memelukku seperti anak koala lucu, ternyata masih tidak mudah ya." Gumamnya.
"Justru karena aku tidak mau mengatakannya…"
Tezuka sedikit memiringkan kepalanya sehingga Atobe bisa melihat telinga kekasihnya yang sudah sangat memerah.
"…aku melakukan ini."
Kata-kata Tezuka yang sepertinya tidak sengaja menggunakan nada manja tersembunyi itu membuat kedua pipi Atobe memerah karena kaget dan malu. Dia menelan pudding-nya dengan susah payah lalu memakan potongan-potongan pudding selanjutnya dengan cepat. Begitu semuanya sudah tertelan, Atobe meletakkan piring kosong itu pada meja di dekatnya sebelum membalas pelukan Tezuka dan mengusap punggungnya.
Rasanya sentuhan Atobe seperti sengatan listrik yang menenangkan tubuhnya, namun tidak dengan jantungnya yang justru berdetak semakin kencang. Tezuka memeluk Atobe semakin kuat terutama saat tangan pria berambut biru tua keunguan itu mulai naik-turun mengusap tulang punggungnya, "Kalau begitu, biarkan aku membantumu. Mau taruhan berapa kali aku bisa mengucapkannya?"
Tezuka membuka kedua matanya dan melirik bingung, "…Apa?"
"Aku mencintaimu, Kunimitsu."
Tidak memperkirakan itu sama sekali, Tezuka tersentak dan langsung memundurkan tubuhnya. Memegang kedua bahu Atobe dan menatapnya protes, "Apa yang—"
"Aku mencintaimu."
"I-Iya, aku sudah tahu. Tapi—"
"Aku mencintaimu."
Tezuka reflek memejamkan kedua matanya erat begitu Atobe menjulurkan tangannya dan mengambil kacamatanya. Atobe meletakkan kacamata itu di atas meja sebelum dia menarik wajah Tezuka untuk mendekati wajahnya, "Aku mencintaimu, Kuni-chan."
"Hmph!"
Atobe mencium bibir Tezuka dengan dua tangannya memegang sisi-sisi wajah kekasihnya itu dan menahannya. Kedua tangan Tezuka menarik baju Atobe hingga kusut sementara dia mencoba membalas setiap tarian lidah yang Atobe tawarkan padanya. Sebelah tangan Atobe turun dan mengusap sisi tubuh Tezuka di atasnya, kepala Tezuka secara penuh menyandar pada tangan Atobe yang lain menyangganya.
"Jarak tempat tinggal kita sekarang membuatmu tidak akan pernah merasa cukup mendengar ini, 'kan?" Tezuka tidak membalas dan hanya mengatur napasnya, terlihat dari dadanya yang naik-turun dengan intens, "Aku mencintaimu, Kunimitsu. Sangat sangat mencintaimu. Aku tidak akan pernah bosan mengatakannya sampai kau mengerti." Bisiknya dengan suara berat merasakan suasana di antara mereka semakin panas. Keduanya telah sadar apa yang akan terjadi setelah ini jika mereka tetap meneruskannya.
Tezuka menggertakkan giginya dan mencengkeram baju Atobe di bawahnya, "Aku sudah mengerti jadi kau bisa berhenti…" menundukkan kepalanya dan melihat ke arah lain, Tezuka menambahkan dengan suara yang sangat pelan, "…mendengarnya terus itu… memalukan. Aku mengerti jadi…" suaranya perlahan tapi pasti menghilang dan Tezuka akhirnya menundukkan kepalanya semakin dalam.
Melihat pemandangan ini membuat Atobe sempat kehilangan senyumannya dan memiringkan kepalanya. Walau tidak lama kemudian dia tertawa keras lalu menarik Tezuka dalam pelukan yang semakin kuat.
Aah.
"Aku sangat sangat sangat saaaaaangat mencintaimu, Kunimitsu!"
"Su-Sudah kubilang berhenti, bodoh!"
Kekasih Atobe Keigo memang benar-benar menggemaskan!
Atobe berhenti tertawa dan kembali memundurkan tubuh Tezuka untuk kembali menangkap bibirnya. Tezuka membuka kedua matanya lebih lebar namun dia ikut memejamkan kedua matanya begitu ciuman ini dirasa lebih dalam dan penuh tekanan dibanding sebelumnya. Tangan Atobe kembali bergerak aktif membuka jaket hingga kaos Tezuka yang akhirnya dibantu juga dengan Tezuka yang membuka sendiri bajunya. Atobe telah berpindah mencium leher putih Tezuka yang memeluk lehernya, turun pada tulang belikat hingga sampai di depan kedua nipple dada Tezuka yang telah menegang karena bersentuhan dengan udara dingin.
Tanpa pikir panjang, Atobe langsung membuka mulutnya dan menghisap salah satu nipple itu membuat Tezuka reflek memekik dan menjambak rambut Atobe di pelukannya. Kedua tangan Atobe diam di pinggang Tezuka, menahan agar tubuh itu tidak berontak pada setiap perlakuannya. Sampai akhirnya salah satu tangan itu turun dan menangkup gundukan di antara kedua kaki Tezuka untuk dipijat olehnya. Tezuka menggigit bibir bawahnya namun lenguhannya tidak bisa berbohong. Tezuka menenggelamkan wajahnya pada rambut Atobe selama dia membiarkan kekasihnya itu melakukan eksploitasi pada tubuhnya.
Atobe sendiri mulai merasa kepanasan terlepas dari suasana dingin di sekitar mereka. Ketika Tezuka memberinya jarak sesaat, Atobe langsung membuka bajunya dan melemparnya asal. Bagian atas tubuh mereka sudah tidak tertutup apapun membuat tangan-tangan mereka langsung bertemu dengan otot atletis masing-masing yang bagaikan pahatan Romawi. Tezuka kembali maju untuk memeluk Atobe seakan enggan melepaskannya, membiarkan Atobe melakukan segala pekerjaan dengan mempersiapkan tubuhnya.
"Gggh!" Tezuka memeluk leher Atobe semakin kuat saat tangan kekasihnya itu berhasil menyelip masuk ke balik celananya. Meremas bongkahan pantatnya dengan jari yang mengusap pelan mulut bawah yang masih kering itu, "Kei…go!" erang protes Tezuka menggema meski berlawanan dengan pinggangnya yang menyambut kedatangan tangan pria itu pada bagian sensitifnya.
Atobe tersenyum penuh arti sebelum menggigit leher Tezuka dan menghisapnya. Meninggalkan tanda merah yang sangat jelas pada kulit putih yang seharusnya bersih itu. Tangannya berpindah ke depan dan memijat milik Tezuka yang sudah hampir masuk ke fase tegangnya itu, "Mengambil lube terlalu memakan banyak waktu, kau setuju denganku, 'kan?" bisiknya sebelum memegang lebih kuat lalu mengocoknya hingga kedua mata Tezuka terbuka sempurna.
Tentu saja Atobe tahu Tezuka tidak akan membalas. Tidak ketika Tezuka berteriak merasakan sentuhannya dan pinggangnya mengikuti irama yang Atobe buat untuk mereka. Atobe masih belum menghilangkan senyumannya dan fokus memperkuat gerakan tangannya. Pelukan Tezuka mulai melonggar dan Atobe bisa melihat upaya Tezuka yang juga berusaha membuka celananya. Tangannya bergetar memegang milik Atobe yang berada di situasi sama dengan miliknya.
Atobe ingin mengatakan pada Tezuka untuk jangan memaksakan diri namun di sisi lain dia ingin melihat sejauh mana Tezuka berusaha menunjukkan perasaannya dari perilaku yang dia tunjukkan. Atobe ikut memejamkan kedua matanya erat dan mempertemukan dahinya pada bahu Tezuka. Mengisi ruangan ini dengan vokal suara mereka yang beradu mengesampingkan background musik klasik yang belum mati menemani kegiatan mereka.
Mereka mencapai klimaks bersama, cairan itu mengenai wajah dan tubuh mereka. Tezuka dan Atobe saling menatap saat mengatur napas sebelum bibir mereka tertarik pada satu sama lain. Di tengah ciuman yang ke sekian kalinya, Tezuka membuka celananya lalu membiarkan tangan Atobe yang basah mencari lubangnya di bawah sana. Kedua alis Tezuka saling bertaut begitu Atobe menemukan yang dia cari dan memasukkan satu jari ke dalam sana.
Tezuka mendesah di tengah ciuman ini dan Atobe merasakan dirinya semakin tidak sabar. Ada sesuatu yang membuatnya ingin segera merasakan kehangatan yang hanya bisa Tezuka berikan padanya. Napas Tezuka terputus-putus begitu Atobe tidak menciumnya dan hanya mengagumi ekspresinya setiap jari-jarinya menyentuh titik yang tepat. Kedua mata Tezuka telah berair karena rasa nikmat yang tidak tertahankan, membalas tatapan lapar Atobe yang hanya ditujukan olehnya seorang.
Tezuka tahu dia tidak akan bisa lagi hidup tanpa Atobe. Baik tubuh maupun hatinya.
"Kunimitsu… aku—"
Karena itu… Tezuka menutup mulut Atobe dengan tangannya ketika dia sendiri sudah siap.
Kedua mata Atobe terlihat syok saat ekspresi Tezuka tidak bisa lepas dari pandangannya. Dia tidak menghindar ataupun menyingkirkan tangan Tezuka di atas mulutnya. Tezuka tersenyum tipis setelah dia mempersiapkan dirinya tepat di atas milik Atobe yang telah berdiri tegak untuk menyambutnya.
"Aku mencintaimu… Keigo."
Belum sempat Atobe bisa memproses apa yang Tezuka katakan itu ke otaknya, Tezuka sudah lebih dulu turun dan menelan masuk milik Atobe itu dalam sekali gerakan. Mereka berdua menggeram lemah dan menyembunyikan suara masing-masing. Tubuh Tezuka bergetar sempurna di atasnya, menunduk di atas bahu Atobe, mencengkeram bahu laki-laki itu hingga mengeluarkan sedikit darah.
Rasa penuh di tubuhnya yang hanya bisa diberikan oleh kekasih pertama dan terakhirnya itu membuat Tezuka tidak sadar dia baru saja mengalami orgasme kering yang membuat milik Atobe dijepit oleh tubuhnya semakin kuat.
Atobe menggertakkan giginya sampai dia membuka mulut untuk mengatur napasnya. Dia menyadari apa yang sedang terjadi pada kekasihnya namun kali ini dia menahan diri untuk tidak berkomentar. Atobe tersenyum tipis sebelum mengangkat tubuh Tezuka untuk dibaringkannya di atas sofa.
Tezuka terlalu lemas untuk protes dengan perubahan posisi ini. Dia hanya bisa melirik Atobe yang telah mengurungnya dengan bayangannya sembari mengatur napas. Atobe menyisir rambutnya ke belakang dan menunjukkan deretan gigi putihnya. Tangannya turun meraba perut Tezuka lalu merambat ke dadanya, dia kembali mencium bibir Tezuka yang dia paksa mendongak sementara tubuhnya mulai bergerak mendorong masuk dengan pelan.
"Kau ingin aku tanggung jawab, 'kan? Jangan khawatir, Kuni-chan."
Menutup mulutnya dengan punggung tangannya sendiri, Tezuka bisa merasakan wajahnya semakin menghangat seiring dengan ritme cepat yang Atobe berikan pada tubuhnya yang telah hilang kendali.
"Aku adalah Raja yang akan selalu memegang tanggung jawabku."
Tidak bisa membalas apapun ketika Atobe menusuk titiknya dengan tepat dan cepat membuat Tezuka berteriak tanpa suara. Atobe turun dan menahan tubuhnya dengan berpegangan pada sofa selama bagian bawah tubuhnya terus bergerak menekan tombol yang dapat membuat Tezuka berteriak dalam kenikmatan berulang kali. Kedua tangan Tezuka telah memeluknya, sesekali mencakar punggung di atasnya karena dorongan yang terlalu kuat dan kasar.
Atobe terus mencium dada dan tengkuk Tezuka, namun tidak ada yang bisa mengalahkan sensasi ketika bibirnya kembali bertemu dengan bibir pria yang dicintainya. Atobe memasukkan lidahnya ke dalam mulut Tezuka dan terus memperdalam ciuman mereka. Seluruh rasa bercampur menjadi satu, baik dari rasa Yorkshire pudding hingga rasa lain yang tidak dapat dideskripsikan tapi tetap terasa nikmat. Jakun Tezuka terlihat bergerak setiap Atobe berhasil memberinya rasa yang tidak akan pernah membuatnya bosan, begitu pula sebaliknya.
Hubungan ini… aneh sekali.
"Keigo… Keigo!"
Dan mungkin Tezuka tidak akan pernah bisa mengerti.
"Kunimitsu!"
Kenapa dia bisa jatuh cinta terlalu dalam pada pria yang seharusnya hanya menjadi rivalnya?
Tezuka menggertakkan giginya keras dan reflek mendongak saat Atobe memberi dorongan terakhir sebelum memasukkan seluruhnya ke dalam. Kesepuluh jari mereka saling mengait dengan kuat hingga memperlihatkan urat-urat di punggung tangan mereka. Atobe mengatur napasnya kemudian turun untuk mengusap wajah Tezuka yang telah basah oleh keringat. Merapikan rambut Tezuka yang menempel lalu mencium dahi kekasihnya yang telah memejamkan kedua matanya itu.
Mereka terdiam dengan posisi ini beberapa saat sampai Atobe kembali memasang ekspresi seriusnya, "Maaf Kuni-chan—ow!"
Tidak memperkirakan sentilan di dahinya itu membuat Atobe meringis pelan. Tezuka masih mengatur napasnya walau ekspresinya masih datar seperti biasa. Setidaknya sampai dia mengernyitkan kedua alisnya, "Jangan menyimpan… semua sendirian lagi." Bisiknya di sela-sela napasnya.
Atobe yang masih mengusap dahinya itu membuka kedua matanya dan melihat Tezuka di bawahnya. Bahkan dengan posisi ini, mantan rivalnya itu masih bisa memasang ekspresi seolah tidak ada masalah apapun di antara mereka seperti biasa. Atobe terdiam sebelum dia mendengus pelan dan tersenyum lemah.
"…Baiklah." Membuka kedua matanya, Atobe tiba-tiba menunjukkan seringai jahil dan mempertemukan dahi mereka, "Kalau begitu, aku juga tidak akan menahan diri lagi."
"Eh?" kedua pipi Tezuka mengeluarkan semburat merah tipis begitu dia merasakan Atobe kembali bergerak di dalam tubuhnya, "Kau—"
"Sudah terlambat untuk menyesal, Kuni-chan!"
Tawa Atobe menggema semakin keras karena playlist musik klasik yang sudah berhenti. Menambah kesan menyebalkan dari tawa itu menjadi dua kali lipat bagi Tezuka yang menatapnya jengkel. Pada akhirnya sekarang ruang tengah apartemen yang luas ini dipenuhi oleh suara kedua pria yang saling beradu kata sebelum nantinya berakhir lagi di atas kasur untuk kegiatan selanjutnya.
Tentu saja, Atobe paling tahu Tezuka tidak akan pernah bisa menang debat darinya. Terutama soal pengakuan perasaan di antara mereka. Dia sangat menikmati reaksi Tezuka setiap mengatakan isi hatinya terang-terangan baik di depan banyak orang ataupun di tempat privasi seperti ini.
Tapi—
Atobe berhenti tertawa ketika Tezuka bangkit dengan cepat lalu mencium bibir kekasihnya itu. Tezuka menjilat bibir Atobe sekilas sebelum mundur dan menatap langsung kedua iris onyx Atobe yang membulat sempurna.
"Jadi, kau akan melakukannya atau itu hanya sekedar omongan belaka?"
Meski ini bukan perilaku berani Tezuka yang pertama kalinya, tetap saja Atobe berhasil dibuat kaku saat dia mengangguk dalam diam. Senyumannya bergetar menahan kebahagiaan yang meledak di balik dadanya setiap melihat Tezuka di pelukannya sekarang.
—ada satu hal yang harus dia akui.
Seorang Raja yang jatuh cinta pada rakyat biasa… adalah bentuk kekalahan yang nyata di dunia ini.
#
.
.
.
.
.
#
Beberapa hari setelahnya, liburan yang mereka rasakan semakin mendekati akhir. Keduanya tahu mereka harus menikmatinya semaksimal mungkin. Selang-seling hari mereka lakukan, jika hari ini mereka seharian di apartemen, maka hari berikutnya mereka akan melakukan perjalanan ke luar mengunjungi tempat-tempat yang Tezuka sarankan atau spot liburan yang direkomendasikan warga setempat.
Semuanya berjalan begitu lancar dan tidak ada lagi masalah sejenis yang mereka alami di dua hari pertama liburan ini. Atobe bahkan sudah bertemu dengan teman-teman Tezuka lagi untuk memperbaiki suasana buruk yang sempat dia tinggalkan beberapa waktu lalu. Untungnya setelah beberapa sparring yang mereka lakukan, Atobe memiliki tempat tersendiri di tengah tim Jerman itu.
Tinggal satu orang lagi.
"Aku tidak menyangka sekarang kau sendiri yang mengundangku bertemu, Atobe-kun."
Yamato Yuudai menyesap tehnya sebelum meletakkan cangkir itu kembali ke atas piring.
"Sejujurnya aku hampir memilih tidak datang karena khawatir kau akan melakukan sesuatu di luar nalar mengingat sikapmu di pertemuan terakhir kita hahaha."
Atobe merengut kesal mendengar ini setidaknya sampai Tezuka menyikutnya di bawah meja. Meski Yamato mengucapkannya seperti bercanda, tetap saja tersembunyi kejujuran di balik itu semua dan kekhawatirannya tidak sepenuhnya salah. Atobe mencoba mengendalikan diri dengan menarik dan mengeluarkan napasnya perlahan.
"Ya, aku mengundangmu untuk membicarakan hal itu, Yamato-san," Atobe menundukkan kepalanya nyaris sembilan puluh derajat membuat Yamato kehilangan senyumannya, "maafkan sikap kekanakanku malam itu. Aku benar-benar menyesal." Pintanya tulus dan tegas.
Yamato terlihat terkejut dan membuka mulutnya. Dia masih diam melihat kepala Atobe di depannya sampai dia bersuara, "Aku kaget. Setiap melihatmu muncul di TV Jepang rasanya kau tidak memberi kesan yang akan semudah itu menunduk pada orang biasa yang lebih rendah darimu, anak tunggal keluarga konglomerat, Atobe-kun."
Mendengar kata-kata ini membuat Atobe menegakkan tubuhnya lagi. Dia menatap lurus Yamato yang tersenyum ramah dan memiringkan kepalanya, "Aku penasaran. Apakah kau akan melakukan ini terlepas apapun kesalahanmu atau kau hanya melakukannya karena ini menyangkut Tezuka-kun?" tanyanya lalu membuka sedikit kedua matanya yang sempat menyipit.
Tezuka merasa ada yang tidak beres dari kata-kata itu dan membuka mulutnya, "Senpai—"
"Kunimitsu," panggilan Atobe membuat Tezuka berhenti dan menoleh pada kekasihnya yang tersenyum penuh arti, "aku haus, boleh aku minta tolong belikan lemon tea lagi?"
Tezuka membuka mulutnya lalu menutupnya rapat. Dia kembali menatap Yamato sembari berdiri, "Apa ada yang ingin kau pesan lagi juga, Yamato-senpai?"
"Tidak, terima kasih," tolak Yamato cepat. Tezuka mengangguk lalu berjalan meninggalkan meja. Yamato masih diam memperhatikan punggung Tezuka sebelum menatap Atobe, "sengaja mengusir kekasihmu supaya bisa bicara berdua denganku? Kau bisa keras juga ya, Atobe-kun."
Atobe menghela napas pelan, "Jadi, kau sudah tahu," gumamnya, tidak terkejut sama sekali melihat Yamato seakan sudah bisa membaca hubungan mereka, "meski begitu, Kunimitsu selalu mengkhawatirkan hal yang tidak perlu dan aku tidak mau mendengar ceramahnya lagi saat pulang nanti." Lanjut Atobe.
Yamato tertawa kecil mendengar ini, "Ceramah? Aku tidak bisa membayangkan Tezuka-kun melakukan itu," ucapnya. Yamato memberi jeda dan mempertahankan senyuman tenangnya, "lalu? Mengenai pertanyaanku tadi?"
"Tentu saja. Kau sudah tahu jawabannya, 'kan?"
Atobe menatap Yamato serius dan pria yang lebih tua darinya itu membalasnya dengan tatapan yang sama.
"Kau beruntung karena Kunimitsu masih menghormatimu, senpai."
Yamato mengangkat cangkir di tangannya hingga menutupi setengah wajahnya sebelum berkata, "Howah, kowai kowai," bisiknya dengan bahasa Jepang yang pelan lalu membuka kedua matanya perlahan. Yamato meminum tehnya sampai habis dan kembali meletakkan cangkirnya, "baiklah, aku akan berhati-hati… lagipula aku tidak ingin kouhai-ku yang lucu kelelahan di setiap malam karena memiliki kekasih posesif sepertimu." Lanjutnya dengan tenang lalu berdiri dari kursinya.
Atobe sempat diam sampai dia sadar ada yang aneh dari kata-kata Yamato, "Kena—"
Hanya saja kali ini Atobe kehilangan kalimatnya begitu Yamato maju dan memegang kepalanya, "Aku tahu kau pasti bosan mendengar kata-kata ini dari semua orang," Atobe menatap kaget kedua mata di depannya itu, terutama ketika Yamato tersenyum penuh arti, "tapi tolong jaga Tezuka-kun, oke?"
Atobe terdiam dan hanya bisa membuka mulutnya kaku. Senyuman Yamato terlalu cerah untuk pria yang baru saja menatapnya sinis tanpa mengetahui apapun. Perlahan tapi pasti ekspresi Atobe melembut dari sebelumnya dan dia menarik lalu mengeluarkan napasnya pelan. Melihat Atobe yang terlihat lebih rileks membuat Yamato tersenyum tipis. Cukup lama Yamato memegang kepala Atobe hingga akhirnya dia berniat menarik tangannya kembali, namun seseorang menahannya dengan memegang pergelangan tangannya.
Baik Atobe dan Yamato kehilangan senyuman mereka dan menoleh bersamaan pada pria di tengah mereka. Tezuka telah kembali dengan gelas berisi lemon tea di tangannya dan tangan yang lain memegang pergelangan tangan Yamato.
"Apa yang kau lakukan, Yamato-senpai?"
Pertanyaan dalam ini membuat Atobe dan Yamato mengerjapkan kedua mata mereka bersamaan. Tidak menyangka akan datang hari dimana mereka melihat ekspresi Tezuka yang terlihat sangat serius di luar lapangan tenis itu—terutama untuk Yamato. Begitu Tezuka melonggarkan pegangannya, Yamato langsung menariknya kembali dan berdiri tegap.
"Tidak ada hahaha. Hanya memberi sedikit saran dan hiburan pada salah satu junior-ku." Jawab Yamato cepat sembari mengangkat dua tangannya di depan dada sebagai bentuk pertahanan dan bermaksud menenangkan Tezuka. Seolah dia sedang menghadapi seorang guru yang melihatnya mencontek di tengah ujian dan bersiap membuat ribuan alasan untuk kabur dari situasinya sekarang.
…Atau seperti pencuri yang terlihat berniat merebut kekasih orang lain.
Membayangkan itu saja sudah membuat Yamato ingin tertawa.
Atobe langsung berdiri dan memegang bahu Tezuka, "Tenang, Yamato-san hanya memberiku saran tempat-tempat wisata bagus yang bisa kita kunjungi besok," mengambil lemon tea di tangan kekasihnya, Atobe meminumnya dan tersenyum tenang, "lagipula Yamato-san sepertinya ada urusan lain dan sudah berniat untuk pergi lagi, benar 'kan?"
Entah ini bisa dihitung sebagai menyelamatkan atau mengusir, Yamato hanya bisa tertawa hambar dan menggelengkan kepalanya. Walau begitu, dia menyetujui kata-kata Atobe dan berjalan melewati pasangan itu, "Yah, kuucapkan terima kasih telah mengundangku hanya untuk sekedar minta maaf, tapi kuhargai itu," kali ini Yamato mengedipkan sebelah matanya pada Tezuka yang membuka kedua matanya lebih lebar, "masih ada beberapa rekan Tenis kita dari Jepang yang exchange di sini, mungkin kita bisa makan bersama lain kali."
Atobe dan Tezuka menatap kepergian Yamato yang kembali berbalik sebelum benar-benar keluar dari pintu restoran yang telah terbuka.
"Sampai jumpa lagi, Tezuka-kun, Atobe-kun!"
Kali ini Atobe tersenyum dan melambaikan tangannya. Dia sama sekali tidak memperhatikan bagaimana ekspresi Tezuka sekarang sampai tangan kekasihnya itu menyentuh kelingkingnya. Atobe menoleh dan melihat Tezuka yang menundukkan kepalanya dengan ekspresi sedikit terganggu, sepertinya bingung dengan apa yang harus dia lakukan atau katakan sekarang.
Atobe membuka mulutnya kemudian mendengus pelan. Dia meraih tangan Tezuka dan menggenggamnya erat. Tangannya yang lain menarik kepala Tezuka hingga wajahnya dapat bersembunyi di atas bahu Atobe. Belum sempat menebak apa yang Atobe lakukan padanya, Tezuka bisa merasakan tangan Atobe mengusap rambutnya dan sedikit menekannya.
"Jika hanya mengusap kepala, aku akan melakukannya berulang kali padamu sampai kau puas." Tertawa kecil, Atobe memejamkan kedua matanya, "Atau kau ingin melakukannya padaku? Tidak masalah." Bisiknya yang membuat kedua pipi Tezuka memerah walau sayang Atobe tidak bisa melihatnya.
Meski sempat ragu karena posisi mereka yang masih berada di tempat publik, pada akhirnya Tezuka bisa mengesampingkannya mengingat posisi mereka yang masih berada di pojok restoran. Dan lagi… ada sedikit perasaan dimana dia ingin dihibur setelah melihat pemandangan yang entah kenapa begitu mengganggu pikirannya.
Padahal Atobe tidak akan pergi kemanapun hanya karena bicara berdua dengan Yamato, apalagi mengingat kebiasaan Yamato yang memang cenderung suka memanjakan siapapun yang lebih muda darinya. Insting alami seorang kakak yang selalu Tezuka rasakan setiap bertemu dengan Yamato meski kata-kata itu tidak pernah terucap.
Aah.
Sejak kapan dia jatuh terlalu dalam?
Tezuka akhirnya mendekatkan tubuhnya pada Atobe dan tangannya meraih jaket Atobe untuk ditariknya dengan kuat. Atobe yang menyadari kekasihnya sedang merajuk meski enggan mengakuinya itu hanya tersenyum dan mengusap kepalanya lebih lembut. Membiarkan Tezuka mengambil waktu sebanyak-banyaknya yang dia butuhkan.
Ya, memang benar. Seorang Raja yang jatuh cinta pada rakyat biasa adalah bentuk kekalahan yang nyata di dunia ini.
Tapi, ingatlah bahwa rakyat biasa itu sendiri juga sudah menutup tirai dan akan melakukan segalanya demi bisa bersama sang Raja.
Sangat klasik dan sederhana. Atobe tahu seharusnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi dari mereka. Permasalahan mereka sekarang tinggal hubungan jarak jauh yang menyusahkan ini. Mungkin Atobe bisa mempertimbangkan pilihan mengambil mata kuliah dari rumah atau secara online? Dengan begitu dia bisa tetap di sisi Tezuka sementara melanjutkan kuliahnya.
Tunggu. Bukankah dia bisa membeli universitasnya dan—
"Apapun hal bodoh yang kau pikirkan sekarang, tolong hentikan."
Kata-kata Tezuka yang masih belum merubah posisinya menghentikan pikiran Atobe yang nyaris serius mempertimbangkan keuangan keluarganya. Seakan tertangkap basah, Atobe tidak bisa berhenti mendengus dan tertawa lepas sebelum memeluk Tezuka lebih kuat. Pelukan yang direspon erangan Tezuka antara rajukan dan protes.
"Aku mengerti, Kuni-chan."
.
.
.
.
.
I know when we started
Just two hearts in one home
It gets harder when we argue
We're both stubborn
I know, but oh
.
Sweet creature, sweet creature
Wherever I go, you bring me home
Sweet creature, sweet creature
When I run out of road, you bring me home
.
You'll bring me home
- Harry styles (Sweet Creature)
.
.
.
FIN
.
.
.
SELESAI YEY AAAAAAA! TERIMA KASIH SUDAH MAU MENUNGGUU! :"D Thank you so much sudah mau komis aaaaaa! Semoga kamu suka fic ini jugaa, aku nulisnya sambil ngakak gemes sendiri bayangin mereka ngefluff tapi anu gini ya ampun hshshshshs #oi Tipe kayak Tezuka kalau digoda gitu enak banget nulisnya akakakaka, good job Atobe!
Anyway untuk kamu dan juga para readers lainnya, terima kasih sudah membaca! Segala bentuk kekurangan saya minta maaf. Semoga feelsnya kerasa dan minim typo hehe~ All faves, reviews, and alerts are highly appreciated!
Mind to review, please? Thanks before :D
