Rhyme A. Black

PresenT

A NaruHina Fanfic

Afirmasi

Dedicated for NaruHina Fluffy Days 12th #NHFD12

10th April 2021

Naruto belongs to Masashi Khisimoto-sensei

WARNING : AU. OOC. OOC. OOC. Miss-typo. Ceritanya agak amburadul.

~0o0~

I hope you enjoy this story

~0o0~

1... 2... 3... TAKE... ACTION!

~0O0~

Suasana di kelas XI IPA 2 sedang ramai-ramainya. Siswa ditugaskan untuk belajar sendiri, karena Pak Kakashi yang seharusnya membahas materi Larutan Buffer hari ini berhalangan hadir karena harus menunggui istrinya yang akan melahirkan. Namun di jaman sekarang, mana ada siswa yang dengan suka rela membuka buku, mengangkat pulpen dan berpikir "mari belajar"?

Kelas XI IPA 2, meskipun bisa dibilang ada banyak siswa dengan pencapaian akademik gemilang, juara olimpiade dan jenius di dalamnya, ya bagaimana pun juga mereka tetaplah anak SMA yang lebih senang melakukan hal sesuka hati dibandingkan melaksanakan tugas yang belum tentu bakalan diperiksa juga oleh gurunya.

Beberapa siswa laki-laki sudah berkumpul di sudut kiri kelas, pandangan terpaku pada layar handphone yang menampilkan laman depan game online yang sempat difatwa haram oleh MUI, beberapa lainnya lebih memilih menderet tiga bangku dan tiduran di atasnya, beberapa gadis lebih memilih menonton MV K-Pop di laptop, sementara sisanya berkumpul untuk bergosip.

"Gaes, pesanan kita udah datang gaes." siswa berambut merah melambaikan satu kotak berbungkus coklat, dengan stiker putih yang menuliskan alamat rumah gadis ini.

Serentak tiga orang lainnya yang sedang berjoget di depan layar handphone langsung menghentikan aksi per-Tiktok-an mereka, dan menggeser tempat duduk ke depan gadis bernama Karin ini. Seorang yang sedang bersandar pada jendela sembari membaca langsung menegakkan duduknya, memberikan pandangan penasaran pada kotak paket yang ada di tangan teman sebangkunya itu.

"Udah datang? Kenapa nggak bilang dari tadi. Aku udah penasaran mau pakai." Gadis berambut pirang panjang langsung merebut kotak coklat itu dan dengan brutal langsung saja membuka bungkusannya.

"Yeee tuh paket juga baru datang kemarin sore. Mamaku baru kasih tahu tadi pagi." Karin cemberut.

"Itu paket apa?" Hinata menutup bukunya, nampak sedikit tertarik pada paket yang dibawa oleh temannya.

"Make up terbaru yang kita pesan online." Sakura yang sedari tadi diam menyahut, langsung menyikut Ino yang semakin bar-bar berkutat dengan selotip dan bubblewrap. "Biasa aja dong, nanti malah cushion aku rusak di dalam."

"Ini susah jidat, gunting dong."

"Ten." Sakura menoleh ke kiri, gadis bercepol dua di sampingnya langsung meraih tempat pensil yang ada di mejanya dan mengambil gunting yang ada di dalamnya.

"Nah, dari tadi kek."

"Kamu aja mpret yang nggak sabaran." Sakura menggerutu, temannya yang satu ini memang bar-bar.

"Emang beli apa aja?" tanya Hinata lagi, sedikit ketertarikan muncul.

Jujur saja, selama ini dia tidak terlalu mengerti make up. Dia sudah cukup setia dengan sunscreen, bedak bayi dan lipbalm ber-SPF. Namun, melihat teman-temannya begitu terampil memoles wajah, dia jadi penasaran untuk mencoba.

"Aku," Karin menunjuk dirinya sendiri, "beli lipcream baru. Ini warnanya cantik banget loh, Hinata. Warna-warna merah bata gitu, nggak norak. Cantik. Sebagus itu, Hinata, Kalau Sakura beli BB cushion sama Liptint, Ino sama Tenten beli eyebrow pencil dan blush on. Heran juga padahal alisnya udah tebal, ngapain lagi sih beli alis? Hhhh."

"Supaya rapi, anjir. Bagus, defined." Tenten menyahut.

"Nah ini ini, ambil punya kalian." Ino menebar semua make yang masih bersegel itu. Total ada tiga lipcream dengan warna yang menurutnya hampir mirip semua, satu kotak cushion, dua liptint berwarna fuschia dan merah gelap, dua pensil alis dengan warna coklat terang dan gelap, dan dua kotak blush on pink dan peach.

Serentak, teman-temannya berbalik badan seolah dikomando tentara untuk mengambil cermin yang ada di tas mereka. Hinata memerhatikan teman-temannya mencoba mainan baru mereka, yang dengan telaten memoles pipi dan bibir mereka.

Sebenarnya, Hinata penasaran dan ingin mencoba. Namun dia tidak cukup berani untuk melakukan hal itu. Pernah sekali dia mencoba bedak pada punya Ino, namun mungkin karena warnanya yang tidak cocok membuatnya terlihat seperti menggunakan topeng, beda warna muka dan leher. Belum lagi dengan lip-lip-an yang dimiliki temannya. Dia tidak berani mencoba-coba karena hampir semua warnanya gonjreng terang benderang laksana lampion merah Imlek. Dia pasti akan terlihat sangat aneh dengan warna seterang itu di wajahnya.

"Hinata mau coba?" Sakura menawarkan, sejak tadi temannya yang polos ini hanya memandangi mereka saja.

"N—nggak kok." Hinata menjawab pendek, dan menggantung. Bagaimana kira-kira wajahnya jika memakai make up? Teman-temannya sangat pintar memoles wajah sendiri hasil dari belajar memakai make-up sejak kelas 1 SMP, dengan ketelatenan yang tinggi make up yang mereka pakai terlihat natural dan menegaskan bagian-bagian menarik di wajah mereka. Berbeda dengan dirinya yang sejarah memoles wajah hanya sampai pada pakai sunscreen, tepuk bedak di pipi kiri dan kanan, yang kalau pulang sekolah sudah luntur dan membikin wajah jadi kusam.

"Ihhh, coba aja. Pasti makin cantik."

"Tapi aku nggak tahu pakai. Takut rusak j—juga make upnya." ujar Hinata. mengingat pernah sekali Hanabi menjatuhkan bedak padat tantenya, membuat bukan hanya Hanabi, tapi juga dirinya dimarahi habis-habisan. Maklum bermerek. Mahal. 1 juta per pack. Yang kalau dipakai beli cilor, bisa sembelit satu bulan.

"Ya makanya belajar. Sini-sini gue ajarin." Ino langsung menjauhkan wajahnya dari cermin dan menggeser kursinya ke arah Hinata. Coba saja semangat belajarnya ini setinggi semangatnya memakai perintilan make up ini.

"N—nggak usah. Nanti jadi aneh." Hinata langsung menutupi pipi dan bibirnya.

"Sssttt." Ino melambaikan tangan di depan wajah, satu tangannya mengambil liptint fuschia Sakura. "Udah, sini. Biar Naruto makin kepatil."

Wajah Hinata sontak memanas mendengar nama Naruto dibawa-bawa. Aliran darah yang tiba-tiba menderas membuat tubuhnya bergetar.

"Yeee dikata ikan lele, kepatil."

"Gaes, dipakein blush on nggak nih?" Tanya Ino bercanda.

"Nggak perlu. Nggak pake juga udah kayak diteplokin make up tante-tante."

"Ihh nggak g—gitu. Jangan deh." Hinata makin berkuat dengan Ino yang berjibaku menjauhkan tangannya sendiri dari wajahnya. "Nanti jadi aneh, jadi norak."

"Enggak. Ishhh. Sini diam duduk." Ino memerintah, membuat Hinata jadi sedikit takut mengingat kawannya ini galak bukan main. "Kamu ngeraguin skill aku? Nggak bakalan aku bikin kamu jadi jelek, Hinata."

"Dipoles dikit doang, Ta." Tenten yang sedari tadi diam mulai angkat bicara. Jujur saja dia sedikit penasaran dengan wajah sepupu gebetannya ini kalau memakai make up.

"Dikit aja?" tanya Hinata, ragu-ragu.

"Iyaaa." tiga temannya kompak menjawab.

Akhirnya, setelah sedikit perdebatan, dan instruksi dari Hinata yang berusaha memastikan agar Ino tidak berlebihan, Hinata setuju dipakaikan make up. Yah, meskipun hanya sebatas perona bibir saja. Ketiga temannya yang lain serius memerhatikan bagaimana Ino memoles bibir tipis Hinata. Awalnya, seluruh bibir Hinata dipoles dengan lipcream yang warnanya lebih pucat, kemudian bagian tengah bibir dioles dengan liptint yang berwarna fuschia.

"Nah... dikit lagi —"

"Beuh... beuh... beuhh... ini tuh sekolahan, bukan salon." Suara cempreng menyebalkan yang memekakkan telinga itu spontan mengalihkan kegiatan lima gadis ini. Hinata dengan panik meraih buku di atas meja dan menutupi setengah wajahnya, empat gadis lainnya menatap marah pada anak laki-laki yang mengganggu girl's time mereka.

"Apaan sih? Ganggu deh." Sakura mendelik marah.

"Eh, kalau pas patroli OSIS kalian kedapatan bawa ini, bisa tamat nih riwayatnya." ancam Naruto saat melihat hamparan pemoles wajah anak perempuan di atas meja, maklum dia salah satu pengurus OSIS, meskipun dia tidak berada di divisi yang secara langsung bertugas merazia barang-barang bawaan siswa di sekolahnya.

"Kenapa sih OSIS kepo banget sama barang-barang yang kita bawa? Emang nih make up mengganggu proses belajar gitu?"

"Kamu tanya anggota divisi dua sama Bu Anko gih, bukan aku yang buat aturan." Balas Naruto acuh, kemudian menyenderkan pinggangnya pada salah satu meja di dekat para gadis ini. Pandangan matanya tertanam pada salah satu gadis spesifik di perkumpulan itu.

"Eh terus kamu ngapain ke sini? Nggak ada guru juga?" Tanya Tenten.

"Kebetulan aja gue lewat, habis panggil pak Asuma."

"Kebetulan doang apa kebetulan yang disengaja?" cela Karin.

"Disengaja." dengan cengengesan Naruto menjawab, tangan kanannya mengelus-elus lengan kiri, pertanda si pemuda sedang kikuk.

"Hilih dasar. Awas kamu ya kalau berani lapor-lapor sama Bu Anko. Pacar kamu juga pakai nih."

"Hah? Masa?" Naruto tersentak kaget, pasalnya tidak pernah ia melihat kekasihnya itu memoles wajah. Mata birunya makin penasaran memandangi gadis yang sedari tadi menyembunyikan wajahnya, sekarang malah sudah berlindung di balik punggung Ino. "Hinata?" panggilnya

Sosok yang dipanggil makin jauh menyembunyikan tubuhnya.

"Udah deh, kamu pergi sana. Ganggu aja."

"Iya ih, balik sana ke kelas lo." Sakura mendorong kecil tubuh Naruto, berharap agar cowok petakilan itu segera pergi dari kelas mereka.

"Lha, aku juga penasaran mau liat." kilah Naruto

"Mau bolos?" tanya Karin, tingkah sepupunya ini kadang bikin geleng-geleng kepala.

"Ya nggak apa-apa deh bolos sekali-kali."

"Lha dia yang panggil guru, malah dia yang nggak masuk kelas."

"N—Naruto." panggil Hinata, wajahnya masih sembunyi. "Balik ke kelas gih."

Naruto diam sejenak, menimbang-nimbang. "Hmm, ya udah deh." kemudian balik badan melenggang ke pintu kelas.

"Sudah pergi belum?" tanya Hinata

Keempat temannya masih memaku pandangan pada pintu tempat sosok jakung Naruto menghilang, "udah." jawab mereka pendek, kemudian kembali memusatkan perhatian pada kawan mereka yang pemalu ini.

Hinata mengangkat wajahnya, namun dengan cepat disembunyikan lagi. "Belum pergi dianya."

"What?" kompak mereka menoleh, sosok kepala berambut pirang tersembul dari balik pintu, cengengesan senang karena berhasil mengelabui para gadis itu. Meskipun sedikit kecewa hanya sekilas bisa melihat wajah pacarnya yang keburu sembunyi lagi.

"Pergi nggak lu?" Karin sudah berdiri dari duduknya.

Naruto melengos, sebenarnya sangat penasaran. Tapi teman-teman pacarnya ini kadang kala sudah seperti ibu singa. "Ya udah deh, Hinata dandan yang cantik ya. Sebentar kita pulang bareng ya."

Teriakan memekakan telinga itu menarik seluruh perhatian penghuni kelas XI MIA 2. Sahut-sahutan ledekan langsung heboh terdengar, membuat si pelaku tertawa-tawa jahil, sementara Hinata makin dalam menyembunyikan wajahnya yang memerah parah.

"Hinata, aku seriously heran deh, kenapa sih kamu mau sama dia? cowok bawel begitu" tanya Sakura, ketika memastikan sosok sahabat sejak kecilnya itu benar-benar tidak akan muncul lagi.

Hinata diam saja, setengah wajahnya masih ditutupi buku meskipun dia sudah duduk tegak di kursinya. Wajahnya masih panas atas kedatangan Naruto tiba-tiba ke kelasnya, terlebih lagi ketika mengingat ucapan terakhir kekasihnya itu.

Ino kembali menghadap ke Hinata, "turunin bukunya—" tangan Ino meraih tameng Hinata, "Ya Tuhan! Ini mana bibir mana pipi? Merah semua!"

~0o0~

Ada kala teman-temannya tidak bisa dipercaya. Pengkhianat kelas kakap. Awalnya cuma liptint, jadi bertambah ke bedak cushion, ke pensil alis, ke maskara, rasanya seperti sudah mau buka salon rias pengantin. Kalau Hinata tidak mati-matian mengelak, blush on akan semakin menambah rona pipinya yang sudah merah berlebihan itu.

"Dibedakin dikit, biar kepiting rebusnya nggak kentara-kentara banget, Ta." ujar Ino tadi sembari menampar pelan pipi Hinata yang merona merah muda.

Hinata mengamati lagi wajahnya secara sembunyi-sembunyi lewat cermin kecil di genggamannya, memastikan bahwa teman-temannya tidak berlebihan mengingat pipinya ditepuk ratusan kali.

"This is what we call blend it until it looks natural, Hinata." masih diingatnya ucapan Ino tadi yang begitu serius merias wajahnya.

Aman kan ya? nggak lebay kan ya? Sekali lagi dia mengecek lehernya, memastikan warnanya sama dengan wajahnya.

Tapi bibirnya...

"Yah kalau gampang dihapus, ngapain beli liptint yang awet 24 jam, adik kecil?" suara Sakura terngiang-ngiang di telinganya. Wajah cantik kawannya itu tersenyum di depan layar handphone sembari mengabadikannya dalam instastory, memamerkan liptint barunya dengan klaim longlasting meskipun dipakai makan bala-bala sekantong dan disambi menyeruput kuah mie bakso. Maklumlah selebgram belum jadi, masih belajar bikin endorse.

Hinata kembali mencoba menggosok bibirnya, yang ada malah jadi tambah merah.

Putus asa, Hinata kembali menutupi setengah wajahnya dengan buku cetak Fisikanya. Berharap agar cowok yang sedang menunggunya di lapangan basket tidak kumat jahilnya hari ini.

Sebenarnya, riasan yang dipakai Hinata sama sekali tidak tebal, bahkan cenderung membuat wajah Hinata terlihat semakin manis dan flawless. Kemampuan make up Ino tidak perlu diragukan lagi. Matanya yang terang terlihat lebih bulat dengan bulu mata yang makin kentara, begitupun dengan cushion yang dioles tipis di pipinya menyamarkan rona merah yang kalau tanpa polesan bisa sewarna kotak Hydrant. Tapi yang namanya tidak terbiasa dengan adanya lapisan tambahan di wajahnya, membuat rasa gelisahnya menjadi-jadi.

"Hinataaaa!" Satu teriakan cempreng mengalihkan perhatiannya, dia menoleh ke arah lapangan basket dekat tempat parkir dan menemukan sosok berambut pirang sedang melambai kencang ke arahnya. "Tunggu ya!" katanya sembari mengoper bola basket secara asal dan berlari mengambil tas ranselnya yang ada di bawah ring basket.

Naruto melambaikan salam perpisahan ke teman-temannya, yang langsung berhadiah gerutuan tajam karena kabur di tengah-tengah pertandingan. Samar-samar Hinata mendengar pembelaan cowok pirang itu. "Nggak bisa, pacar aku udah nunggu."

Gerutuan dan cela-celaan bucin terus berlanjut, sampai Naruto tepat berada di hadapannya. Sebenarnya dia tidak ada masalah sih kalau harus menunggu Naruto selesai dengan pertandingan basket kecil-kecilannya itu. Dia bisa berteduh di pinggir lapangan sembari diam-diam bikin Instastory pas Naruto lagi serius main basket, yang tentu saja bakal diposting di second accountnya. Bisa-bisa Naruto nggak bakalan berhenti menggodanya kalau tahu dia buat video candid di akun sosial medianya.

"Kenapa nggak dilanjut aja?" tanya Hinata.

"Nggak apa-apa, biar bisa cepat-cepat sama kamu aja." jawab Naruto sambil cengengesan, mengkode agar mereka bergerak ke arah motor matic Naruto yang di parkir dekat gerbang sekolah. "Itu kenapa kok mukanya ditutupin?"

"Nggak kenapa-napa kok." elak Hinata.

"Kalau nggak apa-apa kenapa disembunyiin mukanya." Tangan Naruto terangkat, hendak meraih buku tebal yang menghalau wajah Hinata. Namun tak dia sangka bahwa Hinata akan mengelak dan mengerutkan bahunya, melindungi diri.

"Nggak boleh!"

"Why?"

"Mukaku lagi aneh."

"Tadi katanya nggak apa-apa." balas Naruto sambil memakai helm fullface-nya, kemudian sedikit mendorong motornya agar keluar dari baris parkir dan menyalakan motornya. Sembari melakukan semua hal itu, mata safirnya tidak sedetik pun meninggalkan pandangan Hinata. Hanya matanya yang terlihat, dia perhatikan bulu mata gadis itu terlihat semakin lentik. Sisanya? tersembunyi. Dan dia penasaran.

Hinata diam saja, tidak ingin menyangkal lagi. Ditatap begitu saja jantungnya sudah jungkir balik, kalau dia balas berargumen, bisa-bisa tidak ada satu kata pun yang dengan lancar keluar dari mulutnya. Tangannya saja sudah gelisah ingin mengipasi wajahnya yang panas. Tapi dia tidak bisa menurunkan pertahanan. Tidak bisa. Meskipun dirasanya keringat mengalir deras di pelipisnya—yang berani bertaruh sudah melunturkan apa pun yang ditempelkan Ino di wajahnya. Pernah sekali waktu dia menonton reality show, ada satu adegan yang memperlihatkan seorang aktris menangis dengan riasan wajah yang luntur ke mana-mana, yang membuatnya terlihat seperti panda raksasa. Seekor panda tentu lucu, namun tidak dengan manusia dewasa dengan lingkaran hitam di sekitar mata yang dipertontonkan ke orang banyak.

Ino bilang ini riasan yang tahan 24 jam. Tentu tidak mudah luntur bukan?

Tapi ini kena keringat, kena air, bukan dibiarkan 24 jam dan tidak dihapus-hapus.

"Hinata?"

Gadis berambut panjang itu mengedipkan mata. Tidak tidak tidak. Ia seharusnya tidak berkedip. Bagaimana kalau seandainya maskaranya basah dan menempel dan meninggalkan jejak hitam di pipinya? Bagaimana kalau—

"Hinata!"

"Eh?"

"Ih malah melamun," ujar Naruto gemas, tangannya sudah gemas sebenarnya untuk menjawil pipi Hinata tapi apa daya, gadis itu menjaga jarak dengannya.

"Maaf."

"Emang wajahmu diapain sama teman-temanmu?"

"Dipakaikan macam-macam." Hinata bergerak gelisah, matanya memandang ke mana saja kecuali Naruto.

"Apaan?" Tanya Naruto lagi, berusaha sabar.

"Banyak. Bedak, liptint, blush on—" tiba-tiba Naruto menyodorkan helm kepada Hinata, fokusnya terbagi dan tanpa sadar langsung diambil dan dipasang ke kepalanya, diikuti dengan gerakan mengunci pengaman helm,"—pensil alis, maskara..."

Saat itu bagi Naruto, rasanya seperti ada yang menghentikan waktu. Naruto terpaku menatap Hinata, pandangannya tidak bisa-bukan-dia tidak ingin mengalihkan pandangannya dari Hinata. Matanya membulat terkejut dengan mulut yang menganga, yang membuatnya tampak—maaf—sedikit bodoh. Dirinya terpana dengan pemandangan mencengangkan yang ada di hadapannya saat ini, wajah yang makin cantik dari pada biasanya, gadis yang terus saja beceloteh tanpa sadar telah membuka pertahanannya sendiri. Garis bulu matanya tampak lebih gelap, rona merah yang sangat kentara di wajah putih pucat itu tidak mengurangi kecantikannya, namun menambah sisi manisnya. Terlebih lagi bibir yang dipoles merah itu. Tanpa pakai make-up pun menurutnya Hinata sudah cantik (cantik banget no debat), tapi sekarang dia jadi beda, jadi cantik pangkat tiga. Cantiknya cantik yang super cantik. Cowok ini heran mengapa hal yang secantik ini mati-matian disembunyikan oleh siempunya wajah. Naruto berusaha mati-matian menahan senyum—yang tentu saja gagal dan memilih menyerah, membiarkan cengiran lebar akhirnya terpasang di wajahnya—membuat Hinata berhenti berbicara dan seketika sadar dengan apa yang sedang terjadi.

"Aduh!" Hinata segera menutup wajahnya, mengambil posisi berjongkok di depan matic Naruto ketika menyadari apa yang sedang terjadi.

Wajah yang indah itu menghilang, lengkingan mengaduh itu membuyarkan keterpanaannya. "Ke—kenapa—" Naruto berdeham, tenggorokannya tiba-tiba terasa kering kerontang, "Hinata?"

Beberapa menit terlewat tanpa ada respon yang berarti dari Hinata. Cowok berambut pirang ini baru saja hendak turun dari motornya, ketika akhirnya Hinata menunjukkan tanda pergerakan dan bangkit dari posisinya.

"A-aneh banget ya mukaku?" tanya Hinata, sebagian wajahnya ia tutupi, matanya memberikan pandangan cemas pada Naruto, merasa malu dengan keadaan wajahnya saat ini. Pasti sudah luntur ke mana-mana, musnah sudah harapannya untuk terlihat berbeda. "Aneh banget kan? Harusnya tadi langsung dihapus saja."

Wajah Hinata makin panas karena Naruto tidak mengatakan apa pun dan hanya menatapnya tajam, menjadikan Hinata makin sadar akan keadaannya dan rasa malu yang semakin menjadi-jadi. "Duh pasti je—jelek banget. Aku... aku... aku ke toilet d—dulu deh aku—aku cuci aja deh mukaku."

Belum sempat Hinata berbalik, Naruto segera menangkap tangannya membuat tubuhnya sedikit tersentak mendekat ke arah Naruto. Jantung Hinata makin keras menggedor-gedor tulang rusuknya, seolah seluruh darahnya terpompa deras dari pergelangannya yang digenggam Naruto dan naik ke wajahnya.

"Ng—ngak aneh sih," jawab Naruto gugup setelah berhasil menemukan kembali suaranya. "cuma emang lebih bagus ditutup aja sih—"

"T—tuh kan, pasti aneh"

"—soalnya bisa bikin otakku macet, Ta. Kamu cantik banget."

Kalimat terakhir Naruto membuat Hinata makin ingin menenggelamkan dirinya ke dalam laut.

~0o0~

Di sepanjang perjalanan pulang, dua anak manusia yang sedang berboncengan itu tidak saling berbicara. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Naruto berulang-ulang kali membenarkan posisi kaca spionnya setiap berhenti di lampu merah. Sesekali Hinata mendapati Naruto meliriknya diam-diam lewat spion sebelah kiri, membikin Hinata berdebar-debar. Biasanya Naruto akan cerewet bercerita tentang kelasnya atau pun latihan basketnya hari ini, namun kali ini dia tidak banyak bicara.

Pikiran Hinata jadi melayang ke mana-mana, sebagian dari dirinya mensugesti dengan percaya diri bahwa Naruto sebegitu terpesona padanya, namun suara-suara yang lebih besar datang menimpali bahwa cowok yang ada di depannya ini hanya bersikap sopan saja, hanya berkata manis karena tidak ingin menyakiti perasaannya. Hinata tahu bahwa itu hanyalah sisi gelap yang mencoba mengusik pikirannya. Dirinya selalu saja seperti ini, ketika ada seseorang yang memujinya atau berkata baik tentangnya, ia sangat sulit menerima pujian itu. Hinata selalu merasa ada yang kurang dari dirinya, tidak secerdas Neji dan Hanabi, tidak sepercaya diri teman-temannya. Sahabat-sahabatnnya dan juga Naruto selalu berusaha mengenyahkan pikiran negatif yang kadang tanpa ampun menurunkan rasa percaya dirinya.

Saat sudah dekat dengan kompleks perumahan Hinata, Naruto sedikit melambatkan laju motornya, dari pantulan spion dilihatnya Hinata yang tertunduk melamunkan sesuatu, yang tentu saja sudah dihapalnya apa yang berkecamuk di dalam kepala gadis itu.

"Hinata," panggilnya, tangan kiri Naruto menggenggam tangan Hinata yang sedang memeluknya. Melihat Hinata tidak merespon, ia semakin mengeratkan jemari mereka yang saling bertaut. "Himeeeee."

"A—apa?" padangan mereka saling bertemu di kaca spion.

"Lagi mikirin apa?"

"Nggak lagi mikirin apa-apa kok."

"Yeee ngibul nih. Karin nih pasti yang ngajarin bohong." Naruto mencoba melemparkan candaan.

"Ih enggak kok."

"Beneran?"

"Iya beneran." Hinata berusaha tersenyum, kadang kala (tidak selalu) Naruto begitu peka terhadap suasana Hatinya.

"Hinata." Panggil Naruto lagi.

"Iya?" belum selesai nih?

"Kamu cantik deh."

"Ih bohong. Biasa aja ini. Kalau nggak dipakaikan make up biasa aja." Kilah Hinata. Jujur saja, kalau Naruto sudah terang-terangan begini, paling bisa membuat dirinya salah tingkah.

"Serius tahu. Sekarang aja cantik. Pas lagi bengong cantik."

Hinata hanya tersenyum lemah. Ia tahu, Naruto hanya sedang berusaha menaikkan kembali rasa percaya dirinya, yang kadang kala tanpa ada angin atau hujan tiba-tiba saja mencelos jatuh.

Merasa tidak ada respon, Naruto langsung saja menghentikan motornya. Tubuhnya memutar menghadap Hinata, mata sewarna langit itu tajam menatap gadis di depannya. "Hinata," panggilnya lembut, "aku serius dengan apa yang aku bilang, dan aku ingin kamu juga melihat hal yang sama ke diri kamu sendiri. Oke?"

Hinata mengangguk pelan, mengulas senyum tipis sebagai bentuk terima kasih atas afirmasi yang diberikan Naruto.

"Senyum dong, yang lebar."

"Udah senyum ini." Hinata tertawa kecil, tanggannya memukul pelan punggung Naruto yang dibalas kekehan oleh cowok yang bersangkutan.

"Nah gitu dong, pacar aku." ujar Naruto, mengacak rambut Hinata yang dibalas suara tawa yang lembut.

~Tamat gaes~

Author's Note

Hehehe, I'm here. Well after like 5 years not engaging in this website (actually not writing fanfiction at the moment). This fic supposed to be published in NHFD last year, but I'm so bad with deadline and can't publish it because I know there's a lot of 'holes' in this writing especially after not writing for a long time. I'm seeking to perfecting this fic, but it never be perfect. Tapi, lebih baik selesai dan dipublish daripada ditungguin jadi sempurna ya, NHL?

Mungkin di cerita ini karakter-karakternya pada OOC,terlebih lagi Naruto yang keknya super gombal banget, so please bear with it. :D

Dan kemudian, I see info #NHFD12 di timeline twitter, dan tidak disangka ya sudah 12 tahun ternyata event ini. Wow. Kalau manusia nih dia udah masuk SMP kali yak, wkwkkwkw.

Mungkin ini ceritanya not exactly fit in with the theme, but I just want to participate. Turut meramaikan gitu. Terima kasih sekali buat panitia yang bikin event ini jalan selama 12 tahun. You rock gaess!

NaruHina, Our Fluffy Pairing! (EVER AFTER)