Pohon Mangga
Hypnosis Mic belong to King Records
[#BaladaLokalAU day 2: nyuri mangga]
note: school!AU, slight Ramadhan!AU
Happy reading!
~o~
"Eh, eh, kalian inget pohon mangga ini, nggak, sih?"
Sebatang pohon mangga yang berdiri kokoh di perkarangan rumah seseorang mendadak saja menarik perhatian Ramuda—membuat kedua kawannya yang lain turut berhenti ketika tiba-tiba ia berseru.
Dice mengernyit. "Kita lewat sini tiap hari, kan?" Karena rumah mereka berdekatan jadilah tiap pagi dan sore mereka berangkat dan pulang sekolah melalui jalan ini, dan yang pasti melewati pohon mangga ini pula. Omong-omong sepertinya sudah musim mangga berbuah—beberapa buah mangga dari yang masih muda hingga yang sudah ranum kelihatan tergantung di beberapa rantingnya, lumayan menggoda juga.
"Bukan, bukan!" Ramuda menggeleng. Kepalanya menoleh pada Gentarou yang turut memperhatikan pohon di dekat mereka. "Gentarou, ingat nggak?"
Gentarou melirik. "Ingat, dong." Pemuda kelas 2 SMA itu tersenyum. "Waktu masih SD kalian suka ngajakin nyolong mangga di sini tiap udah musimnya, haha."
"Nyolong mangga ...?" Untuk sesaat Dice terdiam, mencoba mengingat-ingat. Tak lama, ia berseru, "Oh, iya! Rumah ini!"
Ramuda, Gentarou, dan Dice. Sejak SD dekat karena rumah mereka masih satu RT. Selain hobi main bersama, mencuri buah mangga dari beberapa pohon milik tetangga kerap jadi kebiasaan—yang agak buruk, namun dulu mana peduli mereka meski Ustaz Jakurai beberapa kali suka ceramah soal perilaku tercela sebelum waktunya sholat Jumat.
Beberapa rumah yang mereka jadikan target semasa kecil, salah satunya rumah kosong ini. Karena penghuninya tak pernah terlihat makanya disebut kosong, dan karenanya pula Ramuda zaman SD dan teman-temannya suka kemari untuk memanjati pohonnya dan memetiki buah-buah mangga yang sudah matang, lantas dibawa ke tempat sepi supaya bisa dinikmati bertiga.
"Ngomongin mangganya, jadi pengen." Dice kembali melirik pohon mangga tadi. "Ini rumah seriusan nggak ada orangnya? Kalau beneran aku mau ambil lagi."
"Aku juga mau!" Ramuda melompat-lompat. "Buat buka puasa nanti lumayan!"
"Aku bukannya mau melarang, sih ..." Ucapan Gentarou mendadak menarik atensi yang lain. "Tapi, kalian nggak pernah denger rumor soal rumah ini?"
Ramuda dan Dice sejenak saling lirik.
"Rumor ...?"
"Iya." Jemari si helai cokelat menunjuk perkarangan rumah tempat batang pohon mangga itu berdiri, yang rerumputannya pendek-pendek. "Kalian nggak pernah kepikiran, kenapa rumah ini perkarangannya selalu rapi, padahal nggak ada yang menghuni?"
"... Hah?"
Gentarou tersenyum tipis. Ketika membuka mulut, suaranya turun beberapa oktaf. "Katanya, ada yang 'jaga', makanya selalu rapi, dan pohon mangganya masih sehat sampai sekarang." Dua pasang jari telunjuk dan jari tengah milik Gentarou memberi gestur tanda kutip ketika ia mengucapkan kata 'jaga'. Kendati ini masih tengah hari, namun entah kenapa bulu kuduk Ramuda dan Dice terasa meremang.
Dice tersenyum kaku. "Ah, ini kan bulan puasa—yang begituan mestinya dikurung, dong!"
"Siapa bilang?" Gentarou terkekeh. "Hanya setan, bukan berarti yang kita maksud juga menghilang? Lalu, karena dulu kita pernah nyolong mangga di sini, yang 'jaga' bakalan ..."
"Udah, udah!" potong Ramuda, gemetaran. "Gak mau denger lagi! Ayo kita pulang!"
"E-eh? Ramuda, tungguin!"
Gentarou tertawa. Sembari mengikuti langkah Ramuda dan Dice yang agak tergesa, ia tersenyum sendiri.
"Padahal aku bohong, hehe."
-end-
