Rumah kediaman tujuh bersaudara kembar favorit kita ini mendapat tamu istimewa dari luar kota. Bulan puasa kali ini menjadi semakin ramai dengan kehadiran FrostFire, Glacier dan Supra yang datang memenuhi undangan untuk menginap di rumah kakak-kakak sepupu mereka.
Disclaimer dan Author Note
-Boboiboy dan seluruh karakter yang terkandung di dalamnya adalah milik pemegang hak cipta, saya hanya pinjam karakter-karakternya. Tidak ada keuntungan materi yang saya dapatkan dari fanfic ini.
-BUKAN YAOI, BUKAN SHOUNEN-AI. Elemental sibblings, AU, tanpa super power, OOC (mungkin ?).
-Dalam fanfic ini umur karakter utama adalah sebagai berikut dari yang tertua:
-BoBoiBoy Halilintar: 18 tahun
-BoBoiBoy Taufan: 18 tahun.
-BoBoiBoy Gempa: 18 tahun.
-BoBoiBoy Blaze: 17 tahun.
-BoBoiBoy Thorn: 17 tahun.
-BoBoiBoy Ice: 16 tahun.
-BoBoiBoy Solar: 16 tahun.
-BoBoiBoy FrostFire: 13 tahun.
-BoBoiBoy Glacier: 13 tahun.
-BoBoiBoy Supra: 13 tahun.
Puasa Hari Kesepuluh.
Shalat Tarawih baru saja selesai ditunaikan oleh ketujuh bersaudara kembar favorit kita ini. Malam itu Taufan ditunjuk untuk memimpin jalannya Shalat Tarawih bersama itu walaupun diprotes oleh Gempa.
"Aku merasa habis senam kalau kamu yang jadi imam, Fan," komentar Gempa selagi ia melipat sarung yang dikenakannya selagi shalat.
Sembari cengar-cengir Taufan menjawab, "Yah kalau bisa cepat kenapa harus lama-lama."
Gempa memutuskan untuk tidak mendebat kakaknya yang satu itu. Baginya tidak ada alasan untuk merusak mood Taufan yang terlihat sedang super baik pada malam itu.
Memang sejak awal sahur tadi pagi Taufan terlihat ceria. Tak henti-hentinya senyum Taufan mengembang terpampang di wajahnya. Sebetulnya tidak hanya Taufan saja yang terlihat ceria karena hal yang sama juga terjadi pada kedua adik Taufan, yaitu Solar dan Blaze. Hanya saja cengiran Solar dan Blaze tidak selebar Taufan.
"Hapus senyumanmu itu, Taufan," ketus Halilintar yang baru saja selesai melipat sarung dan sajadahnya. "Geli aku melihatnya!" Ya, cengiran lebar Taufan mampu membuat Halilintar bergidik bahkan membuat rambut halus pada lengan Halilintar berdiri.
Dikarenakan moodnya yang sedang baik, Taufan memilih untuk tidak meladeni gerutuan Halilintar. Tanpa permisi lagi Taufan langsung beranjak pergi menuju ruang keluarga rumahnya dan bergabung dengan adik-adiknya yang juga sudah berada di ruang keluarga.
Solar dan Blaze sudah menempati sebuah sofa dengan tatapan mata keduanya terpaku pada layar televisi yang berseberangan dengan sofa yang mereka tempati. Dalam genggaman tangan keduanya terdapat joystick pengendali konsol game Playstation2 yang tidak henti-hentinya didera oleh pecutan jari.
Tidak hanya Solar dan Blaze yang berada di ruang keluarga malam itu. Pada sebuah sofa yang berlawanan menggeletaklah Ice yang menggunakan pinggul Thorn sebagai bantalnya. Keduanya menatap televisi tanpa berkedip, menyaksikan pertarungan karakter virtual Solar dan Blaze dalam game yang mereka mainkan.
"Main apa kalian berdua?" tanya Taufan sembari melompati sandaran sofa dan mendarat mulus diantara Blaze dan Solar.
"Ah, game jaman dulu, Kak. Tekken," jawab Blaze tanpa melepaskan tatapan matanya dari layar televisi.
"Kak Ufan mau main?" tanya Solar sembari menyodorkan joystick yang tadinya ia kendalikan.
"Boleh-" Taufan baru saja mengambil joystick konsol Playstation 2 itu ketika pintu rumahnya diketuk.
"Assalamualaikum ..." Terdengarlah suara memanggil dari balik pintu rumah. Seiring dengan panggilan salam itu terdengar pula pintu rumah diketuk dengan lembut.
"Biar aku!" Buru-buru Blaze melompat berdiri. Joystick konsol Playstation2 yang dipegangnya langsung terlupakan dan dilempar begitu saja ke arah sofa.
"Aku!" Melihat Blaze berdiri, Solar langsung menyusul dan berupaya mendahului kakaknya berlari menuju pintu rumah.
-Bruk!-
Dan keduanya bertabrakan dengan tidak elitnya sebelum jatuh terjeblak di atas lantai.
"Makanya pelan-pelan kalau jalan ..." Taufan menggelengkan kepalanya saja setelah melihat kedua adiknya saling bertubrukan seperti pemain rugby.
Sambil meringis-ringis memegangi kepalanya, Solar memungut dirinya sendiri dan kembali berdiri. Dengan langkah yang agak sempoyongan ia berjalan mendekati pintu rumah.
Tiga orang bocah SMP berdiri di pintu depan rumah. Ketiganya berparas identik dengan warna netra yang menjadi pembeda utama diantara ketiganya. Di punggung mereka masing-masing tercantol sebuah tas ransel. "Assalamualaikum Kak Solar." Salah seorang yang terlihat paling tua diantara ketiganya langsung memberi salam.
"Walaikumsalam, FrostFire. Halo Glacier, Supra." Solar menyapa balik sekaligus menegur ketiga bocah yang adalah sepupu dari Solar dan kakak-kakaknya. "Kalian jalan sendiri kemari?"
FrostFire menggelengkan kepalanya. Ia menunjuk ke arah jalanan dimana terlihat sebuah mobil sedan sport berwarna hitam terparkir. Sebuah logo kuda berjingkrak dan bertuliskan Stuttgart menghiasi kap mesin mobil itu. Di dalam mobil itu terlihat seorang pria paruh baya melambaikan tangan kepada FrostFire, Glacier, dan Supra.
Kontan FrostFire, Glacier dan Supra membalas lambaian tangan pria yang adalah ayah mereka.
Mobil yang dikemudikan ayah ketiga bocah itu pun berlalu, diiringi suara mesin v12nya yang khas.
"Ayo masuk, jangan malu-malu," ucap Solar yang mempersilahkan ketiga adik sepupunya masuk.
"Terima kasih, Kak," ucap FrostFire sembari melangkahkan kaki ke dalam rumah kakak-kakak sepupu mereka.
"Uh ... Kak Blaze kenapa?" tanya Glacier ketika ia menemukan Blaze yang tengah berusaha berdiri.
"Tabrakan dengan aku," gumam Solar menjawab pertanyaan adik sepupunya. "Dia-"
"Waaah! FrostFire, Glacier, Supraaa!" Belum sempat Solar menyelesaikan kata-katanya ketika seruan Taufan yang begitu antusias memotong.
Baik FrostFire maupun kedua adiknya, Glacier dan Supra tidak sempat mengucap salam ketika mereka semua dirangkul oleh Taufan secara bersamaan. "Eheheheh. Halo Abang Taufan." ucapnya sembari terkekeh dan membiarkan si kakak sepupu mengacak-acak rambutnya.
"Apa kabar Abang Taufan?" tanya Glacier diantara senyumnya.
"Kayaknya masih hiperaktif sama seperti dulu," celetuk Supra.
"Ada yang mau membantuku berdiri ...?" Blaze yang masih tergeletak di atas lantai ikutan berceletuk sembari mengulurkan tangannya.
Pada saat itu Thorn dan Ice berdiri untuk menyambut kedatangan ketiga adik sepupunya. Terlebih dahulu Thorn menolong Blaze berdiri sebelum menemui FrostFire, Glacier dan Supra.
Hiruk pikuk di ruang keluarga segera menarik perhatian Gempa dan Halilintar. Bergegaslah Gempa menuruni tangga rumah, sementara Halilintar mengikutinya di belakang dengan langkah santai.
"Lho?" Gempa tercengang melihat kehadiran ketiga adik sepupunya. "Kalian kok bisa ada disini? Kenapa ngga telpon dulu?" tanya Gempa sembari kelopak kedua matanya mengedip cepat.
"Lho? Kak Solar ngga ngasih tahu Kak Gempa?" FrostFire bertanya balik. Keheranan jelas terukir di wajahnya. "Dua bulan lalu kan Kak Solar dan Kak Blaze ngajak kita bertiga menginap disini."
Jadilah Solar dan Gempa beradu pandang. "Ah iya ... aku lupa," ucap Solar sembari mengedikkan bahunya.
Blaze yang sudah kembali berdiri berkat bantuan Taufan ikutan menambahkan. "Bukannya aku dan Solar sudah bilang waktu pulang dari menjaga mereka ini di Kuala Lumpur?"
"Iya ya? Aku yang lupa?" tanya Gempa sembari menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya. "Tapi ya sudahlah, selamat datang, FrostFire, Glacier, Supra juga," ucap Gempa yang ditambah dengan senyuman lembut.
FrostFire, Glacier dan Supra langsung menghampiri Gempa dan Halilintar. Secara bergantian ketiganya mengamit tangan Gempa dan Halilintar. Sebagai tanda hormat kepada yang lebih tua, FrostFire, Glacier dan Supra menyentuhkan dahi mereka pada punggung tangan kanan Gempa dan Halilintar.
Halilintar yang tidak pernah menduga bahwa rumah mereka akan kedatangan tiga orang tamu berbuat apa yang biasa seorang Halilintar kerjakan jika ia sedang bingung, gugup, kesal atau marah. Wajah cemberut dengan tatapan mata yang sedikit tajam pun terpatri di wajah Halilintar.
Gempa yang memperhatikan gerak-gerik Halilintar langsung berbuat apa yang biasa dikerjakannya jika seorang Gempa sedang bingung, gugup, kesal, atau marah. Senyuman lebar pun dipasang, lengkap dengan kelopak mata yang memicing tipis.
Senyum ...
Cemberut ...
Senyum ...
Senyum ...
Cemberut ...
Senyum ...
Cemberut ...
Cemberut ...
Bahkan aura di ruangan itu menjadi terasa sangat kental karena pertandingan maut antara Halilintar dan Gempa. Begitu kentalnya aura dalam ruangan itu sampai semua yang berada di dalam ruang keluarga itu yakin bahwa aura itu bisa dipotong dengan pisau.
"Ehm." Suara deheman lembut Thorn memecah duel senyuman dengan tatapan antara Halilintar dan Gempa. "Kalian bertiga sudah makan malam?" tanya Thorn kepada ketiga adik sepupunya.
FrostFire menggelengkan kepalanya. "Belum Kak," jawab si adik sepupu sembari melepaskan tas ransel yang menggantung dari pundaknya. "Omong-omong, kita tidur dimana nih?"
"Ah." Gempa memutus duel senyumannya dengan tatapan Halilintar. "Kalian tidur di kamar tamu saja," ucap Gempa sembari menunjuk ke arah sebuah pintu yang terletak dekat dengan tangga rumah.
"Okee Bang." FrostFire dan kedua adiknya langsung beranjak menuju kamar yang ditunjuk oleh Gempa.
"Berarti aku harus memasak ekstra untuk mereka," gumam Gempa setelah ketiga adik sepupunya masuk ke dalam kamar tamu.
"Yah ... untungnya mereka omnivora, ngga milih-milih kalau makan," ucap Solar menimpali kakaknya. "Pengalamanku waktu menjaga mereka sih begitu ... Mereka juga jarang makan jajanan fast food."
Gempa melirik ke arah Solar. "Apa kamu masakkan jelly belut juga buat mereka?" tanya Gempa dengan penuh kecurigaan.
Solar menggeram rendah sembari memutar bola matanya ke atas. "Ya ngga lah, Kak!" jawab Solar dengan nada ketus. "Aku belikan pizza."
Gantian Ice melirik ke arah Solar sembari mengedutkan bibirnya sampai membentuk sebuah lengkungan. "Giliran sepupu ditraktir, tapi kakak sendiri ngga pernah... dasar pelit ..."
"Ya, kamu kalau makan pizza bisa satu loyang sendiri. Bangkrut aku kalau traktir kamu," ucap Solar yang langsung berganti menatap ke arah Thorn yang hendak membuka mulutnya. "Kamu sama saja kalau makan pizza, Thorn. Ngga ada remnya."
Mendadak menyembul kepala Supra dari balik pintu kamar tamu. "Apa? Kak Solar mau traktir pizza lagi ?!" seru Supra dengan penuh semangat.
"Wah betulan? Kak Solar mau beli pizza?!" Meyusullah FrostFire berseru.
"Ngga!" ketus Solar sebelum semua saudara-saudara sepupunya itu salah paham dan mendapat gagasan aneh.
Namun tidak ada yang sempat melihat cengiran kecil dan tipis di wajah salah seorang kakak Solar ketika ia merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel miliknya. Si kakak langsung menghubungi sebuah nomer pada ponselnya tanpa terlihat atau terdengar oleh adik-adiknya. "Halo ... ya, saya mau delivery pizza ..."
.
Tiga puluh menit kemudian ...
.
Solar tercengang ketika dia membuka pintu depan rumah dan mendapati dirinya berhadapan dengan petugas pengantaran pizza.
"Pesanan atas nama Tuan Cahaya BoBoiBoy Solar, lima loyang pizza super supreme ukuran besar, dua garlic bread dan tiga botol coca cola ukuran dua liter." Pengantar pizza itu langsung menyerahkan tumpukan pizza dan pesanan yang lainnya kepada Solar.
Kedua netra perak Solar membelalak lebar ketika ia menerima berloyang-loyang pizza dari petugas pengantarannya "Eh? Ta-tapi saya ngga memesan-"
"Total semuanya jadi 92 Ringgit." Tak peduli dengan apa yang dikatakan Solar, petugas itu langsung menagih.
Terpaksalah Solar merogoh dompet untuk membayar. Dua lembar uang lima puluh Ringgit dikeluarkan oleh Solar untuk membayar.
"Ngga ada uang pas? Kembaliannya kurang ...," gerutu petugas pengantar pizza itu.
"Adanya-"
"Ambil saja kembaliannya. Terima kasih, pak!" Berserulah Halilintar dari dalam rumah sebelum Solar sempat menjawab.
Senyum lebar langsung mengulas di wajah pengantar pizza itu dan ia langsung mempermisikan dirinya. "Oke, terima kasih."
"Waaah! Solar ulang tahun!" pekik Thorn yang langsung menyerbu pizza hangat yang masih mengepulkan uap. "Terima kasih, Sol!"
Solar meneguk ludahnya. "Ta-tapi-"
"Kamu memang adik yang baik, Sol." Bahkan Gempa ikutan menepuk-nepuk pundak Solar sembari meraih sepotong pizza.
"Ulam ditimpa, pucuk pun tiba," ucap Taufan yang tanpa tendeng aling-aling ikutan menyerbu pizza yang terhidang.
"Pucuk ditimpa, ulam pun tiba, Bang Taufan ..." Supra membetulkan peribahasa kakak sepupunya yang ngawur sebelum ikutan menyantap pizza yang sangat menggoda. "Terima kasih Kak," ucap Supra sembari mengangkat sepotong pizza ke arah Solar.
Hanya Solar seorang diri saja yang terpaku menatap kakak-kakaknya menyantap pizza. Ia membaca bon yang diterimanya bersamaan dengan berloyang-loyang pizza. "Aneh ... ini bukan nomer ponselku," gumam Solar ketika ia menemukan nomer ponsel dibawah nama pemesan.
Solar mengambil ponsel miliknya dari dalam saku celana. Ia menghubungi nomer yang tertera pada bon tagihan pizza itu.
"Kita masih disini. Angin bawaku pergi ..." Terdengarlah suara nada dering sebuah ponsel menyalak di dalam saku celana yang dikenakan salah satu keenam kakak Solar.
Si kakak yang celananya mengeluarkan suara nada dering itu terlihat akan mengabsenkan diri dengan cara menaiki tangga rumah
"Astaga!" Kedua netra perak Solar membelalak ketika ia menyadari siapa yang telah berulah.
"Kejar dia Solaaaar!" celetuk Taufan setelah ia melihat mimik muka Solar yang berubah-ubah.
"BLAAZEE!" pekik Solar sekuat tenaga selagi ia melangkahkan kaki secepat mungkin mengejar si kakak yang tertawa terpingkal-pingkal melarikan diri. "Ganti balik uangkuuu!"
.
.
.
Tamat.
Terima kasih juga sudah meluangkan waktumu untuk membaca, semoga berkenan. Mohon maaf apabila ada yang menyinggung atau kurang berkenan bagi pembaca.
Saran, kritik, review dan komentarmu selama tidak berbau SARA akan sangat saya hargai dan sebisa mungkin akan saya balas dengan kebaikan pula.
