Nah, kalian menemukan fic ini. Silahkan membaca dan menikmati. Saya harap tulisan saya kali ini, dapat merebut hati kalian.

Siapa yang merindukan ini?


Halilintar menatap cemas pada pintu kayu yang tertutup rapat di hadapannya. Netra merah delima berkilat tajam dengan keraguan dan ketidakpastian. Tangannya memutar-mutar sebuah kunci tembaga dengan pandangan menimbang, sebelum akhirnya ia melangkah pergi. Menaiki tangga menuju lantai satu ke tempat dimana saudara-saudaranya menunggu.

Begitu kaki nya menginjak keramik lantai satu setelah meninggalkan basement, kelima kembarannya langsung berdiri tegak, agak kaku, menatap kedatangannya dengan tatapan penuh cemas yang sama.

"Bagaimana?" Gempa meremas-remas tangannya dengan gestur kekhawatiran. Menunggu jawaban kakak pertama.

Halilintar memaksakan sebuah senyum di wajahnya, tangan nya bergerak mengantungi kunci ke dalam saku tasnya.

"Aman." Ia menjawab dengan suara yang di buat pasti. Kepala menunduk untuk menatap basement sekali lagi.

"Aku sudah memastikannya."

Solar mendesah, entah lega atau panik.

"Kami sudah mengunci semua pintu dan jendela. Dan menyembunyikan semua pisau." Lapornya.

Halilintar mengangguk. Ia mengambil selembar roti di atas meja makan lalu melangkah keluar rumah, di ikuti kembarannya yang lain. Tak lupa mengunci pintu depan, dan menahan nya dengan beberapa kunci tambahan. Memastikan pintu itu terkunci begitu rapat

Seolah untuk memastikan monster tidak keluar.

Halilintar mengangguk mantap, dan berbalik untuk melangkah keluar gerbang. Pintu besar itu di kunci juga dengan gembok besar. Halilintar hampir tak bisa menghitung berapa kunci yang ia punya di dalam saku tas.

Dengan satu pandangan terakhir pada rumah tingkat dua yang ia tinggali selama bertahun-tahun itu, Halilintar memantapkan diri untuk berangkat sekolah hari itu. Menyakinkan diri nya sendiri sekali lagi, setiap hari.

Semuanya akan baik-baik saja.


Mengabaikan tatapan tetangga yang mengandung banyak emosi, Halilintar menurunkan posisi topinya, menutupi manik delima yang selalu bersinar terang. Gempa berjalan dengan kalem di sisinya, dengan percaya diri dan sesekali menyahuti sapaan tetangga.

Blaze melompat-lompat di sebelah Ice yang masih sibuk menguap. Menceritakan tentang level terbarunya di game baru yang sedang ia garap seminggu terakhir ini, alasan utama matanya menjadi panda. Ice hanya menganggukkan kepalanya, sesekali menyahut dengan ucapan pendek menyakinkan. Thorn sendiri tampaknya tidak memperhatikan sekitar, hanya berjalan lurus dan sesekali tersenyum jika ketahuan di sapa. Senyum nya yang polos terkadang membuat orang-orang gemas.

Solar berjalan di sampingnya, mata lurus ke depan dan kedua tangan berada di dalam saku. Kacamata orange terang yang norak bertengger manis di hidung peseknya. Halilintar mendengus dalam hati melihat penampilan berkilauan si bungsu.

Perjalanan ke sekolah tidak memakan waktu terlalu lama. Setengah jam berjalan kaki dan mereka sudah sampai di gerbang SMA Pulau Rintis. Mereka ber-enam tiba tepat 10 menit sebelum bel masuk berbunyi. Dengan sigap, kembar Boboiboy ini langsung berpencar ke kelas masing-masing tepat setelah melewati lobby.

Halilintar dengan ajaib, selalu kembali sekelas dengan Gempa. Adiknya yang paling baik hati. Dimana Halilintar sangat bersyukur karena itu. Blaze tahun ini bersama Solar. Anak itu ngambek berhari-hari, sesuatu yang tidak dipedulikan siapapun untuk di anggap serius. Ice termasuk kembar yang bersyukur karena mendapat tempat bersama Thorn. Dimana adik hijaunya itu bukan tipe bar-bar yang akan mengancam ketenangan jiwa nya.

"Halilintar!"

Yang namanya di sebut mendesah dalam hati. Ia baru saja mendudukan bokong di atas kursi keras miliknya di kelas, dan sudah harus di ganggu. Sial.

"Apa?" Ia menjawab dengan malas. Tidak repot-repot menatap lawan bicaranya. Seorang gadis cantik, berjilbab pink yang terkenal seantero sekolah dengan biskuit legendaris.

Di katakan, itu dapat membuatmu merasakan surga.

Yaya, nama gadis itu, sudah lebih dari mengerti untuk mengabaikan semua tingkah jengah dan tidak menarik yang terpancar dari Halilintar. Ia berdiri di hadapan meja kembar pertama tanpa gentar.

"Ketua club Karate menghubungiku. Katanya, dia meminta mu kembali ke sana."

Mata Halilintar menyipit. Merasa aneh dengan kalimat itu. Tidak. Kenapa harus ke Yaya?

"Karena akan ada pertandingan Karate tingkat SMA dua bulan lagi. Mungkin dengan meminta bantuan anggota OSIS, dia pikir kau akan luluh." Yaya buru-buru menambahkan. Sebelum Halilintar bertanya mengapa.

Halilintar mendengus, sebelum mengeluarkan handphone nya dan earphone.

"Tidak tertarik, terima kasih."

Jika Halilintar melihat senyum Yaya yang jatuh, ia memilih tidak berkomentar. Tahu bahwa gadis itu tidak akan memaksa, walaupun jika ceritanya adalah Gempa yang di bujuk masuk kembali ke OSIS.

"Baik. Akan ku sampaikan. Tapi aku yakin dia akan memintamu kembali dengan cara apapun."

Halilintar memilih tak menjawab untuk beberapa detik, sibuk memilih lagu dari koleksi pilihan playlist. Ia meletakkan handphone nya atas meja dan menatap Yaya untuk pertama kali hari itu.

"Tidak peduli. Dia akan mencoba sampai kelulusan." Dan earphone langsung Halilintar pasang.

Yaya yang menyadari bahwa itu adalah tanda baginya untuk pergi, mengangguk tanpa kata-kata. Berlalu begitu saja, layaknya angin.

Halilintar melirik Gempa yang baru saja duduk tepat di sampingnya dengan datar. Tapi adiknya malah tersenyum manis dan menepuk punggung Halilintar dengan bersahabat.

"Aku khawatir." Ucapnya tiba-tiba.

Bahu Halilintar tersentak kaku dengan kata-kata yang terlontar tanpa terduga. Halilintar meletakkan satu earphone di atas meja, sebagai bukti ia mendengarkan.

"Tentang?"

Gempa mendesah pelan. Tatapan jatuh ke atas meja, sejenak merasa bahwa bidang datar itu menarik.

"Masa depan." Ucapnya setelah beberapa saat. "Tentang, bagaimana cara kita melewatinya?"

Hati Halilintar terasa sakit ketika Gempa memandangi nya dengan mata berkaca-kaca. Bingung, takut, khawatir, sedih dan kalut semua bercampur di sana. Membebaninya dengan penampilan kusut sebagai bukti fisik.

Halilintar mendesah pelan, meletakkan tangan nya di atas topi hitam Gempa dan mengelus nya dengan lembut.

"Semua akan baik-baik saja. Aku akan memastikannya."

Gempa segera menepis itu dengan tepukan halus di bisep Halilintar, matanya berubah menjadi galak.

"Kau tidak melakukannya sendiri, dengan embel-embel anak pertama!" Tangan Gempa bersedekap di depan dada. "Aku termasuk kembar pertama, jadi aku akan memastikan hal yang sama denganmu. Tugas kita sama. Aku hanya sedikit khawatir."

Senyum kecil muncul di sudut bibir Halilintar.

"Kalau begitu, jangan khawatir." Dengan lembut mengelus pipi Gempa dengan ibu jari. "Kita akan baik-baik saja. Dia akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja."

Wajah Gempa murung sesaat, dengan ragu ia menundukkan kepala dan berbisik lirih

"Apa yang kita lakukan ini benar? Melakukan hal seperti itu padanya?"

"Hey." Halilintar mengangkat dagu Gempa, memaksa sang adik menatap mata delima Halilintar.

"Itu semua demi kebaikannya. Demi dia. Apa kau percaya itu?"

Gempa mengangguk tanpa berpikir. Ia menghela nafas pasrah.

"Maaf kak Hali. Aku hanya...kau tahu. Terlalu memikirkan sesuatu. Takut."

Halilintar tersenyum manis dan menepuk kepala Gempa dengan sayang.

"Tidak apa-apa."

Gempa memberikan senyum yang setidaknya menyakinkan. Bel berdering tepat beberapa saat kemudian, tanda bagi para kembar untuk memulai pembelajaran.


Sungguh sial bagi Solar, kembar termuda para Boboiboy ini menghela nafas melelahkan karena kelakuan kakaknya nomor empat. Begitu bel istirahat berbunyi, Blaze menerjang ke arahnya dengan mata anak anjing yang membuat Solar harus memejamkan mata sebelum terkena serangan yang melelehkan hatinya.

"Solar~" Nada suara mendayu-dayu dari Blaze menyakiti gendang telinga Solar.

"Apa?" Solar menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang ia sedang coba pelajari. Tertulis dengan tebal di bagian sisi nya, Ensiklopedia Kelautan dan Perikanan.

Blaze kehabisan pikiran kenapa adiknya repot-repot membaca hal seperti itu, dia bertanya-tanya mungkinkah Solar ingin menjadi pelaut? Atau bekerja di tambang minyak di tengah laut? Oh, atau menjadi Menteri Kelautan mungkin.

"Besok ada ujian matematika, dan sungguh aku bisa mati di tangan kak Hali kalau ujian ku dapat 30 lagi!" Blaze merengek, menggoyang-goyangkan lengan Solar.

"Kakak ingin aku melakukan apa? Berdiri di hadapan mu menghalangi kak Hali mengambil nyawamu?" Solar menjawab dengan sarkastik. Ia merogoh kacamata orangenya dari balik saku jaket dan memakainya.

Blaze langsung segera kepikiran kembali, kali ini mempertanyakan kenapa Solar bisa begitu nyaman dengan warna oranye yang mendominasi pandangannya. Blaze bergidik membayangkan membaca dengan kacamata itu, sakit kepala imaginer langsung menghantam.

"Ajari aku." Blaze menjawab dengan nada suara dibuat selemah mungkin, penuh ketidakberdayaan.

Mata Solar menyipit menjadi apa yang Blaze asumsikan sebagai keadaan mempertimbangkan.

"Oh ayolah! Apa kamu rela kehilangan satu kakakmu?"

Blaze kembali mencoba, mengais rasa kasihan dan cinta kasih serta ketidakrelaan dari lubuk hati Solar walaupun ia tahu kemungkinannya hanya 0.1%

Sudut mulut Solar berkedut karena geli, ia menggelengkan kepala dan menangkap wajah horror Blaze karena reaksi itu.

"Solar! Ayolah please! Aku belikan es krim untuk mu." Blaze memakai cara kedua, menyuap.

Dahi Solar mengernyit. Ia mengibaskan tangan dengan gestur menolak.

"Aku masih bisa membeli es krim sendiri." Jawabnya acuh tak acuh.

Blaze melotot, lalu kembali memutar pikiran. Sebuah ide melewati otaknya, membuat wajahnya langsung cemberut seolah mengharapkan Solar menolak.

"Aku akan membelanjakan mu seminggu penuh." Blaze berucap. Kali ini seringai terkembang lebar di wajah Solar.

"Hanya makanan!" Blaze menambahkan terburu-buru. Seringai Solar jatuh sedikit, tapi Blaze hanya mampu berdoa agar Solar tetap bersedia.

Solar menghela nafas berat, menopang sisi wajahnya dengan punggung tangan dan menatap Blaze tanpa minat.

"Baik." Jawabnya setelah sekian detik. "Kurasa itu cukup adil."

Senyum di wajah Blaze mengembang hingga Solar memprediksi itu bisa membelah wajah kakaknya. Blaze berteriak dengan keanggunan yang menyedihkan, dan berterimakasih dengan pelukan beruang pada Solar yang menggeliat tidak nyaman.

"Kau yang terbaik Solar! Terimakasih!" Dan si kembar ke-empat melompat keluar dari kelas. Bersiul dan berjalan menuju kantin.

Biarlah ia membiarkan uang sakunya terkuras selama seminggu. Blaze sepertinya agak lupa, kalau Solar adalah tipe yang hobi jajan.


Pemuda berambut hitam itu menyipitkan mata pada cahaya lampu yang tergantung tinggi di atas kepalanya. Bahkan ia meragukan dapat menggapai nya walaupun ia mampu berdiri.

Netra biru elektriknya menatap kayu yang membelenggu kakinya dengan pandangan laser, seolah dapat menghancurkan batang tebal itu dalam sekejap. Bunyi rantai berdentang di dalam ruangan kecil. Kedua nya menahan kedua tangan yang ia miliki, rantai tidak cukup panjang untuk tangannya mencapai kepala jika ia tidak menunduk cukup dalam, tapi cukup untuk membuat kedua tangannya bertemu di tengah perut.

Pemuda itu mendengus. Meratapi tempat yang menjadi kamarnya tiga bulan terakhir. Kuku jarinya mencungkil kayu yang menahan kaki, mencari sesuatu untuk dikerjakan selagi menunggu saudara-saudaranya kembali dari menimba ilmu. Ah, ia merindukan skateboard kesayangannya. Dia bertanya-tanya kapan bisa menghirup aroma rumput dan angin segar lagi?

Ia tersenyum kecil, mengingat dirinya sendirilah yang membuat tubuh sialan ini berakhir di basement. Saat mencoba membunuh kakak pertamanya dengan pisau dapur tiga bulan lalu dan mencekik adiknya tidak kurang seminggu setelahnya. Padahal dia baru saja keluar dari rumah sakit sehabis dirawat selama dua minggu, hampir tiga.

Well, itu bukan salahnya. Bukan salahnya sama sekali, jika tubuhnya melonjak penuh adrenalin kebencian ketika ingatannya di ungkit. Ia tak bermaksud untuk melukai, tapi tangannya bergerak sendiri, meraih senjata terdekat yang bisa ia temukan dan meraih seseorang yang juga kebetulan terdekat. Hitam memenuhi pandangannya saat itu terjadi.

Saat ia sadar, ia sudah ada di sini. Awalnya tanpa pasung dan rantai. Jadi dia masih bebas menggedor pintu dan berteriak meminta dibebaskan. Buku-buku tangannya membiru karena usahanya merobohkan pintu tebal yang menghalanginya dari dunia luas. Saudaranya datang setelah dua jam dia menjerit. Dan membuatnya pingsan, lagi.

Kali kedua dia terbangun, dia di tempat yang sama. Kedua tangannya di ikat di belakang tubuh, dan kedua kakinya juga. Ia menggelepar seperti ikan kehabisan udara. Mulutnya di sumpal dengan kain tebal yang di ikat di belakang kepala, mencegahnya menggigit lidahnya sendiri. Sejak saat itu, dia mengembangkan kemampuan melotot yang mumpuni, mengerahkan semua kutukan yang ia tahu dalam pandangan setelah mulutnya tak lagi dapat berkata-kata.

Dia mulai diam setelah kelelahan. Menatap langit-langit dengan tatapan mengembara. Hingga ia tertidur. Tak dapat menghitung waktu, kapan ia keluar? Ia tak bertanya mengapa ini terjadi, karena jawabannya sudah sangat jelas, sejelas air laut itu cair.

Dia berbahaya.

Dia hampir membunuh keluarganya sendiri. Siapa yang mau berdekatan dengannya?

Terkadang terlintas pertanyaan, kenapa dia tak di kirim kerumah sakit jiwa saja? Dia rasa itu lebih baik, maksudnya tidak ada tali atau sumpalan di mulut yang membuat rahangmu menegang.

Suatu hari kakaknya datang, dan kembali membuatnya pingsan. Dan saat terbangun, keadaanya sudah menjadi seperti ini. Di rantai, di pasung. Mulutnya masih di sumpal dengan kain, tapi kali ini di lakukan dengan cara yang lebih lembut dan setidaknya tidak terlalu membuat rahangnya tegang.

Ia mendengus memperhatikan penampilan kebinatangan yang ia miliki. Seperti hewan ternak yang siap di sembelih, pikirnya. Semua saudaranya selalu datang, kadang sendirian, kadang berdua atau bertiga. Yang selalu teratur mendatanginya adalah adik kembar nya yang pertama. Ia punya jadwal sendiri. Datang pagi hari, membersihkan tubuhnya, memberinya makan yang cukup untuk tidak kelaparan di siang hari. Dan kembali di sore hari, membersihkan tubuhnya dan memberikan camilan ringan. Dan datang kembali malam hari, memberikan makan malam.

Jika membutuhkan toilet, yah, itu agak sedikit konyol karena ia menggunakan popok orang dewasa. Hatinya tertawa karena penghinaan ini. Tapi tak mampu melawan. Ia cukup konsisten dengan tidak buang besar di popoknya, dan selalu memberitahu Gempa setiap dia datang, dan ia akhirnya mendapat toilet. Tentu saja dengan rantai di kakinya.

Sejak dia di lemparkan ke ruangan ini, mulutnya tak lagi ingin bekerja untuk menanggapi ocehan keluarganya. Walaupun sumpalnya di lepas. Dia hanya akan diam. Menunduk, mendongak atau menatap apapun yang bukan wajah saudara-saudaranya. Apapun. Walaupun ia akhirnya di anggap tidak waras hingga tahap tidak akan merespon apapun.

Bukan karena benci. Tapi dia sadar, ia tak mampu menahan air mata kesedihan saat melihat hancurnya mereka. Dia tahu mereka hanya ingin dia sembuh, kembali seperti dulu. Kembali ke mereka, bersama-sama menjadi lebih baik dan bahagia.

Tapi apa itu bahagia? Kata itu terhapus di kamus hidupnya sejak kejadian itu. Dia tidak bisa. Tidak. Tangannya mengepal saat teringat. Jika saja sumpal sialan ini tidak ada, dia akan senang hati menjerit untuk melampiaskan. Tapi yang dia lakukan selalu, dan selalu, adalah menangis.


Saya berpikir untuk menambahkan banyak detail disana sini serta membuat banyak hint persaudaraan. Sudut pandang Taufan lebih banyak, dan bagaimana menggambarkan kekalutan kembar lainnya.Silahkan tinggalkan jejak untuk ini