Rubah Hitam

Haikyuu FurudateHaruichi, aku menulis cerita ini hanya karena aku mencintai Libero Mungil yang bernama Nishinoya Yuu.

Warning : OOC AF, POV 1, ini cerita manis-manis doang, Kerajaan karena aku lagi seobses itu sama cerita kerjaan, jadi kemungkinan banyak yang salah, karena aku nggak pernah bikin cerita nobleman. Cerita ini bisa membuat orang sakit mata, jadi mohon siapin lem G, eh bukan obat mata di sebelah anda.

Pairing : Suna x Nishinoya (Thanks requestnya dari Aul. Aku nyediain request nggak, ya, enaknya.)

Summary

Suatu saat kau akan salah memilih target, dan mati karenanya. Saat itu tiba ketika Suna Rintarou berdiri di depanku. Akan tetapi, alih-alih membunuhku, Suna malah membawaku ke kastilnya, hanya karena dia bosan. Sebenarnya apa yang dia mau denganku? Fox!SunaxAssasin!Nishinoya

Happy Reading

Dulu, seseorang yang kubunuh pernah mengatakan, 'Suatu saat kau akan salah memilih target, dan mati karenanya'. Entah ini adalah kutukan dari orang sekarat atau memang dia tidak memiliki hal lain untuk dikatakan. Selama tiga tahun sejak orang tua dengan janggut panjang dan mata memicing seperti kucing itu mati tergeletak di balik jalanan, sementara orang-orang terlalu fokus pada perayaan hingga mereka akan heboh seesokan harinya, aku tidak pernah bertemu dengan kemalangan, dan melupakan kutukan atau sumpah serapah, atau omongan melantur orang tua yang mau mati begitu saja.

Selama tiga tahun, dan akhirnya aku memijak batu yang salah.

Belati kebanggaanku terasa berat di tanganku. Tubuhku membeku seolah ada tangan-tangan dingin tak kasat mata yang menahanku. Mataku menatap tajam, takut melewatkan satu gerakan pun dari orang, makhluk, entahlah, siluman keparat di depanku.

Sinar bulan memberiku pengelihatan. Makhluk itu memiliki ekor-ekor menawan yang bergerak pelan mengikuti irama angin. Kakinya bercakar, menginjak mayat-mayat buruanku, sekaligus semua pengawalnya. Dia membuat tubuh itu tercabik-cabik tak ubahnya pakaian lama yang tak berguna. Darah-darah itu mengotori kimono putih dengan corak bunga teratai itu. Obinya melilit kuat, namun bagian atas kimononya sedikit terbuka hingga menampilkan kulitnya perutnya, otot-ototnya, dan dadanya yang bidang. Tangan bercakarnya tampak tajam dan mengerikan dengan tetes-tetes darah dan menembus tubuh layu yang mati. Telinganya tampak begitu aneh karena berada di atas kepalanya, muncul dari helai-helai rambut hitam dengan warna yang sama. Sial. Aku tahu siapa dia.

Rubah hitam. Suna Rintarou. Makhluk yang dikatakan haus darah dan membunuh siapa pun yang ditemuinya. Rumor itu tampaknya benar. Sialan. Siapa keparat bajingan yang berkelakar Suna hanyalah mitos untuk menakuti orang-orang saat melewati hutan? Kalau saja aku tidak percaya pada kelakar petualang sok jago itu, aku tidak akan sudi mengambil pekerjaan ini sebagus apa pun bayarannya.

Aku meneguk ludah. Berhati-hati saat bernapas, dan mencoba mengumpulkan kesadaranku, dan mengganti insting 'Aku akan mati' dengan 'Aku harus lari'. Akan tetapi matanya yang keemasan telah menemukanku. Senyumnya yang malas merekah perlahan. Dia menjatuhkan mayat di tangannya begitu saja, dan suara benturan mayat itu membuatku terlonjak. Aku melompat mundur, tetapi makhluk itu begitu cepat, dan seketika punggungku menabrak pohon dengan tangan bercakarnya di leher.

Ludahku terasa seperti bongkahan batu. Mataku menatap awas, dan ketika aku mencoba menyabetnya dengan belati, dan menangkisnya sambil lalu hingga membuat belatiku terlempar, dan mengerakan cengkramannya.

"Nah, ternyata ada yang selamat dari mereka," katanya. Dia memiringkan kepala. "Tapi kau tidak tercium sama seperti mereka. Baumu seperti kematian berjalan. Unik sekali. Katakan padaku, Nak! Siapa namamu dan apa dirimu?"

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Cengkramannya tidak cukup untuk membunuhku, tetapi cukup kuat untuk membuatku diam. Apalagi tatapannya yang seolah menembus jantungku dan memaku tubuhku pada pohon.

"Bicaralah, Nak! Atau aku akan membuatmu tidak bisa bicara selamanya."

"Nishinoya," balasku cepat. "Yu."

"Dan kau adalah?"

"Aku tidak tahu apa maksudmu, tetapi aku manusia."

"Manusia," cibir makhluk itu, tetapi kemudian dia menyipit. Dia melihatku dari atas, dan kemudian sedikit mundur tetapi tidak cukup jauh hingga harus melepaskan cengkramannya dari leherku, kemudian mengendus. "Tubuhmu memang manusia. Tetapi betapa banyak orang yang mengutukmu dan kau bahkan tidak merasakan efeknya. Menarik."

Aku mengerut bingung. "Mengutuk?"

"Ratusan orang mengutukmu dengan kematian, tetapi lihatlah kau, masih berdiri di depanku tanpa terganggu dengan jampi-jampi dan mantra dan kutukan-kutukan itu. Kau sudah seperti siluman itu sendiri."

Berdiri di depannya tanpa terganggu? Yang benar saja, aku sedang berada di ambang kematian karenanya, dan dia berpikir aku sedang baik-baik saja? Aku menggeram rendah, sembari mencoba melepas cengkramannya dari leherku sementara dia berpikir.

"Baiklah," katanya. "Kau ikut denganku, Nak!"

"Tidak akan!"

"Aku mengatakannya bukan untuk menawarimu," katanya. "Kau akan ikut, dan aku sudah memutuskannya. Nah, sebaiknya kau pilih, berjalan sendiri, atau aku harus menyeretmu?"

Aku merosot begitu tangannya melepaskan tanganku, dan terbatuk-batuk. Rasa nyeri berdenyut-denyut menyakitkan. Akan tetapi aku menatapnya tajam. Belatiku—satu-satunya senjataku—terlempar di antara semak-semak, dan dia memiliki sepuluh cakar tajam yang bisa menembus tubuh dan sepasang taring yang siap mengoyak kapan saja. Dan jangan lupakan kekuatan ototnya.

Tidak ada celah untuk kabur. Setidaknya tidak sekarang.

"Aku akan mengikutimu."

Akan tetapi, lelaki itu tersenyum. Dia mengambil kerah belakang pakaianku dan mengangkatku ke pundaknya seperti karung beras yang tak berarti. Aku menggeliat, memukul, mencakar, melakukan apa pun untuk membuatnya menurunkanku, tetapi dia bergeming.

"Aku tidak hidup selamanya untuk kau tipu, Nak!" katanya santai. "Diam atau aku akan membuatmu tidak bisa bergerak lagi."

Itu bukan ancaman kosong, sehingga tubuhku segera membeku.

Lelaki itu berjalan di antara pohon-pohon. Jauh ke dalam hutan dan meninggalkan tumpukan manusia dan lautan darah. Apa yang dia inginkan dariku? Kenapa dia tidak membunuhku saat itu juga? Apa yang menantiku di dalam sana? Aku menggigit bibirku gugup.

"Apa kau kau inginkan?" tanyaku dengan suara gemetar yang amat ketara. "Kenapa tidak membunuhku saat ini juga?"

Makhluk itu tertawa dalam kegelapan sehingga membawa getar ketakutan. Aku menatap sekeliling dan baru menyadari tidak ada suara-suara kehidupan, tidak ada tanda dari keberadaan alam di sepanjang perjalanannya, seolah mereka menahan napas agar tidak diketahui olehnya.

"Katakan padaku, apa yang kau lakukan selama ini hingga banyak sekali kutukan yang menempel padamu, Nak!"

"Jawab pertanyaanku!"

Makhluk itu terkekeh. "Kau menarik. Hanya itu," jawabnya. "Sekarang katakan padaku, apa yang kau lakukan dan kenapa kau ada di hutan ini."

Tidak ada alasan untuk berbohong, dan rasanya berbohong hanya akan membuat segala hal menjadi lebih rumit.

"Aku pembunuh. Aku datang untuk membunuh mereka."

"Dengan apa? Mencubit mereka?"

"Dengan menusuk mereka!" bentakku. Seketika aku menyadari ada hal yang salah. Hutan-hutan itu sekarang berbeda. Mereka baru saja melewati tirai sihir, dan sekarang yang ada di hadapanku adalah pagar besi yang tinggi dan taman. "Aku tidak tahu ada tempat seperti ini di tengah hutan."

Lelaki itu menurunkanku perlahan. "Karena mata manusia tertutup dari kastilku. Nah, sekarang kau bisa kemana pun, Akagi akan menujukkan kamar untukmu kalau kau ingin beristirahat. Aku tahu anak-anak akan penasaran ketika berada di tempat baru, tetapi jangan melewati tirainya!"

Aku membeku dan menatapnya dengan tatapan penuh tanya. "Apa maksudmu? Bukankah kau membawaku kemari untuk entahlah, kau makan?"

Anehnya lelaki itu menatap jijik. "Aku tidak memakan daging anak kecil."

"Aku bukan anak kecil," bentakku. "Katakan padaku! Kenapa kau tidak membunuhku!"

"Kau. Kau," gerutunya. "Namaku Suna Rintarou, Bocah. Panggil aku dengan benar."

"Tuan Suna?"

"Suna," koreksinya. "Rintarou. Terserah padamu."

"Rintarou," kataku perlahan. "Kenapa kau membawaku ke sini?"

Rintarou tersenyum misterius.

"Karena aku bosan."

Aku tidak tahu, betapa kata bosan akan mempengaruhi hidupku.

To Be Continued

Asik

Utang lagi.

Hahahahahahahahaha

Dah lah, pasti beres kok, entah kapan.

Jadi, sampai jumpa.