Present from Kodomo no Hi
Disclaimer: DMM.
Warning: OOC parah, typo, dll.
Author tidak mengambil keuntungan apa pun dari fanfic ini. Semata-mata dibuat demi kesenangan pribadi, dan untuk merayakan kodomo no hi juga yang jatuh pada 5 Mei 2021.
Satu hari sebelum kodomo no hi, cinta telah dijadikan untaian-untaian benang untuk melahirkan koinobori–bendera berbentuk ikan mas–yang nantinya, akan Tokuda Shuusei pasang di luar perpustakaan bersama bungou lainnya.
Koinobori yang mabuk merah, biru tua, atau rumit sebagai corak pada warna hitam, telah diselesaikan lumayan banyak yang akhirnya, Shuusei merasa puas hanya dengan menyeka peluh. Tahu-tahu pula sastrawan mungil itu berdiri sejenak. Awalnya ia ingin menuang teh, tetapi kalender sampai-sampai sengaja Shuusei cek kembali untuk memastikan; besok benar-benar menjadi lima Mei yang menjelma rumah, bagi kebahagiaan anak-anak.
"Tokuda-kun kelihatan bersemangat, ya." Tsubouchi Shouyou jadi tersenyum mendapati Shuusei demikian. Pipi Shuusei memerah yang benar-benar tidak menyadari, ternyata sikapnya lumayan berubah di luar pengawasannya.
"Ah, ya … yang lain, kan, juga bersemangat. Tentu saja kita tidak boleh bermalas-malasan, 'kan?"
"Benar itu benar. Walaupun, ya, aku tidak banyak membantu kalian." Koizumi Yakumo yang sesungguhnya tak pandai menjahit pun turut bahagia, walaupun tepung beras kian memutihkan rambut. Pelakunya adalah Dazai Osamu yang berseru riang, tatkala tepungnya tepat sasaran dalam mengenai Sakaguchi Ango. Bahkan Shuusei turut menjadi korban. Rasa-rasanya ia semakin kesal, mendapati Tayama Katai serta Kunikida ikut-ikutan Buraiha.
"Duh! Kok kalian malah main tepung, sih? Katanya mau belajar membuat kashiwa mochi?"
"Habisnya seru. Bagaimana kalau kita mendekorasi perpustakaan dengan tepung saja? Ideku unik juga, 'kan?" ujar Katai disambung tersenyum lebar. Cemberutnya Shuusei seolah-olah menegaskan, agar Katai membuang jauh-jauh ide tersebut. Lantas Kunikida malah melempar tepung ke wajah Shuusei. Katanya untuk memperbaiki Shuusei yang terlihat jelek.
"Ini siapa, sih, yang anak-anak? Daripada buang-buang tepung, mending bantu aku membuat koinobori."
"Ternyata Tokuda, ya, yang menjadi mamanya? Mau ikutan main tepung? Masih ada banyak di dapur." Kali ini Ango bersuara. Baru mengobrol sebentar saja Shuusei lelah, menyebabkan ia menepuk kening sebelum memarahi mereka, supaya jangan membuang-buang bahan makanan.
Pada akhirnya Shuusei benar-benar mengadakan sekelebat ceramah. Oda Sakunosuke, serta Dan Kazuo yang terlambat menghentikan Ango begitu pun Dazai, ikut mendengarkan Shuusei sambil meminta maaf secara lirih. Di tengah kehebohan yang masuk telinga kanan keluar tersebut, Tsubouchi menyempatkan diri menyapa Ogawa Bimei. Tangan anak-anaknya tampak membawa kotak yang besar. Dihias kertas kado berwarna kuning cerah dengan motif rubah.
"Siang, Bimei-kun. Sepertinya kau juga memiliki kesibukan tersendiri, ya." Di belakang komentar Tsubouchi, pidato Shuusei masih bulak-balik. Anggukan pertama-tama diberi sebagai jawaban. Tsubouchi otomatis terfokus lagi pada corak hadiah yang Bimei pilih.
"Buat Niimi-kun, kah?"
"Begitulah. Hadiah untuk hari anak-anak."
"Benar-benar seorang kakak yang manis, ya. Namun, kenapa Bimei-kun terlihat gusar?"
"Hadiahnya ketahuan oleh Nankichi. Sekarang dia lagi mengejar-ngejarku, karena sangat mau membukanya."
Sosok yang baru dibicarakan itu tahu-tahu kakinya sudah gatal saja. Jadilah Bimei harus berlari lagi, atau Niimi Nankichi yang berlari ke arahnya bakalan mendapatkan ia. Tsubouchi sekadar menyemangati kaburnya Bimei. Setelah agak jauh barulah Shuusei berhenti cerewet yang sayangnya, ia mana didengarkan oleh tepung yang masih melayang-layang.
Sekian lama Bimei berlari-lari hingga jatuhnya, satu kali memutari isi perpustakaan, akhirnya Bimei menemukan lokasi yang tepat untuk menyembunyikan pemberiannya.
Lemari setinggi dua kaki itu terus Niimi Nankichi rutuki, orang dewasa manakah yang begitu tega sampai menciptakan barang seperti ini? Benda tersebut terus memustahilkan lompatan Niimi, dengan memandangnya rendah dari tempat yang tinggi. Ingin mengambil tangga pun, mana mungkin tangan anak-anak Niimi sanggup. Ditambah lagi rata-rata bungou dewasa sibuk menyiapkan perayaan kodomo ni hi di hari esok.
Salah Bimei kenapa ribet sekali. Bimei bahkan lebih rela kejar-kejaran dengan Niimi, daripada memberikan hadiahnya secara langsung. Tetap bersikukuh agar Niimi hanya membukanya di tanggal lima Mei saja, sehingga mereka lumayan bertengkar–Niimi sedih sekali, ketika Bimei pun mau-maunya memilih ribut dibandingkan Niimi dan damai.
"Mimei bodoh ... awas saja nanti, karena kadonya pasti kudapatkan."
Lantas Niimi berlari kecil usai mengatakan itu. Sekali lagi mencari tolong dari bungou dewasa, dan kebetulan Niimi bertemu Shiga Naoya. Ia tampak membawa kardus yang ditutup rapat. Agak tumben, karena Shiga tak terlihat ditemani Muusha–biasanya mereka sepaket yang pergi berduanya pun kompak sekali.
"Shiga-san." Niimi berlari mendekati Shiga. Pemuda jangkung itu jadi berhenti sejenak, untuk menyapa Niimi dengan senyuman tipis.
"Siang, Niimi. Apa kamu mencariku?"
"Tadi, kan, Shiga-san yang menaruh kado dari Mimei di atas lemari. Tolong ambilkan lagi, dong. Kalau Shiga-san yang meletakkannya berarti Shiga-san bisa mengambil balik, 'kan?" Logika kelewat polos itu tidaklah salah, atau malah benar karena terlihat imut sekali. Pertama-tama Shiga mengusap-usap tengkuk. Senyumannya lebih canggung, mendapati Niimi memasang tatapan memohon.
"Bisa, sih, tetapi Bimei, kan, sudah bilang, supaya Niimi tidak membukanya sebelum lima Mei. Berarti aku tak boleh memberikannya padamu."
"Ehhh ...?! Kok begitu, sih? Mimei ternyata sudah menambah pasukan sebanyak ini. Berarti aku harus lebih cepat lagi."
Bersama Gon petualangan Niimi masihlah panjang. Ruang tengah yang arusnya ramai, sehingga pasti menyediakan banyak bantuan, tentu menjadi opsi pertama untuk dicek. Namun, Niimi membatalkannya menilik di sana, Bimei tengah membantu membawakan barang-barang. Tidak mungkin terlihat, atau dilihat oleh Bimei pun, Niimi mencibir ke arah Bimei. Pilihan tersisa hanyalah lorong yang Niimi harap, ia bertemu Dazai misalnya.
"Shimazaki-san!"
Mata yang selalu sayu itu menangkap sosok Niimi tengah menghampiri arahnya berdiri. Sebelah alis Shimazaki Touson naik bertanya-tanya, kenapa Niimi tampak terengah-engah begitu?
"Kenapa, Niimi-kun?
"Maukah Shimzaki-san membantuku mengambil barang?" tanya Niimi yang tidak langsung ke poinnya. Kesederhanaan anak itu merencanakan, bahwa nanti tangannya tinggal menyeret Touson ke lokasi yang dimaksud. Touson pasti mau membukanya, terlepas dari ia mengetahui permasalahan Niimi-Bimei atau tidak. Rasa penasarannya saja terlihat sering hilir-mudik mewawancarai para bungou. Pasti berlaku juga, kan, untuk mengorek kotak rahasia?
"Barang apa?"
"Ikut saja. Nanti Shimazaki-san juga tahu."
Sesuai rencana, pergelangan tangan Touson langsung digenggam. Mereka berlari-lari menyusuri koridor, sebelum akhirnya tiba di rak ruang baca. Antusiasme Niimi menujuk kotak yang ia inginkan melalui telunjuk. Touson manggut-manggut memahami tujuan Niimi, tetapi aksinya tidak kunjung diluncurkan agar menciptakan percik-percik reaksi.
"Kotak punya siapa itu?" Sekilas kegemasan Niimi melompat. Namun, mumpung pertanyaan Touson masih tergolong mudah, Niimi seharusnya tinggal menjawab singkat-singkat. Selebihnya banyak-banyak berdoa Touson berhenti wawancara mendadak.
"Punyaku."
"Kenapa Niimi-kun menaruhnya di situ kalau itu punyamu?" Sejenak Niimi pun galau. Haruskah ia berbohong supaya Touson menurut saja? Namun, Bimei bilang siapa pun yang suka berbohong, entar hidungnya panjang kayak Pinokio, atau contoh yang lebih dekat adalah Naigu di karya Hana; gubahan Akutagawa Ryuunosuke.
"Sebenarnya itu dari Mimei, dan katanya untukku, tapi aku cuma boleh buka pas hari anak."
"Begitu, ya. Sebenarnya aku juga penasaran dengan isinya. Namun, Niimi-kun, bukankah kau minta tolong pada orang yang salah?" Kaki Touson berjinjit ditambah sedikit melompat-lompat, berusaha meraih kotak yang Niimi maksud. Baik itu mengulurkan satu tangan ataupun sepasang, hasilnya nihil. Niimi jadi terbengong-bengong karena Touson terlalu benar.
"Minta tolonglah pada yang tinggi badannya 180 sentimeter. Lalu informasi lainnya … sayang sekali Niimi-kun tidak bisa memakai tangga. Lagi dipakai sama Shuusei buat memasang koinobori."
Satu-satunya yang Niimi peroleh hanyalah bahu yang ditepuk. Karena ini situasi darurat, Niimi spontan mengeluarkan Gon dari tas di gendongan. Mereka akan rapat mengenai langkah selanjutnya, dan tetap melupakan soal ruang tengah. Selesai berdiskusi singkat, ujung-ujungnya Niimi hanya memahami konklusi bahwa ia harus balik lagi ke koridor. Mencari-cari siapakah bungou yang lewat, lalu dia akan–
"Ah. Akutagawa-sa–"
"Halo, Niimi. Kok kamu menutup mulutmu?" Tanpa ba-bi-bu Niimi juga mundur beberapa langkah. Menggeleng-geleng agar Akutagawa jangan mendekatinya lagi, atau nanti Niimi menabrak tembok; kehilangan jalan keluar.
"Maaf, tapi Akutagawa-san bau rokok. Jadi, aku pergi dulu."
Padahal andaikata Niimi mau menunggu lebih lama, Masao Kume sebenarnya akan datang dan bertanya-tanya, apa yang terjadi pada Akutagawa? Ia bahkan bisa melihat Akutagawa tiba-tiba memeluk Kume. Sangat menyesal kenapa dirinya beraroma rokok, sehingga Niimi menjauhi Akutagawa begitu saja. Sementara Kume mendorong-dorong Akutagawa biar menjauh–jangan merengkuhnya, dan Akutagawa memang bau tembakau ditambah asam; wajar Niimi kabur.
Namun, karena Niimi tidak melihat rentetan kejadian itu, jadilah sekarang ini ia diceritakan tengah berkeliling lagi. Tadinya ada Kikuchi Kan, tetapi Kan pasti memihak keputusan Bimei. Kemudian mengenai Spongebob-Patricknya perpustakaan alias Katai-Kunikida, mereka malah asyik sendiri memakan kashiwa mochi buatan Shuusei.
"Niimi? Tumben enggak bareng sama Bimei-kun atau Kenji-kun."
Suara familier itu menggerakkan daun telinga Niimi dengan jelas. Sosok Yakumo yang penutup matanya sangat khas tersebut sukses mengejutkan Niimi.
"Ya-Yakumo -san?"
"Ada apa, nih? Niimi-kun kayak habis melihat hantu saja." Apa minta tolong saja pada Yakumo? Namun, di satu sisi Niimi ragu-ragu juga kalau teringat, Bimei dan Yakumo sangat dekat yang menyerupai anak-ayah.
"Enggak ada apa-apa, kok."
"Mungkinkah soal kado yang Bimei-kun persiapkan untukmu? Sekilas aku sudah mendengarnya dari Tsubouchi, sih."
"Terus Yakumo-san mau menghentikanku?" Sudah Niimi duga bakalan begini. Awalnya ia berniat lewat daripada buang-buang waktu, jikalau Yakumo tidak tampak menggerakkan telunjuknya ke kiri dan kanan.
"Fufu~ Justru aku ingin menolong Niimi-kun. Bukankah besok atau hari ini sama saja? Bimei-kun terlalu serius memang anaknya."
"Be-benaran?!"
"Serius, kok, serius. Mau janji jari kelingking dulu biar percaya?"
Gestur tersebut adalah favorit Niimi. Tentu saja tanpa pikir panjang Niimi menerima kelingking Yakumo, barulah mengajaknya pergi dengan hangat. Hanya sedikit mengulurkan tangan pun Yakumo berhasil meraihnya. Niimi bertepuk tangan riang apalagi pada pita tersebut, terdapat tag berisikan, "For Nankichi.". Benar-benar tulisan khas Bimei yang seketika, melelahkan benteng kekesalan pada hati Niimi.
"Kira-kira isinya apa, ya?"
Tutupnya yang persegi Niimi buka perlahan-lahan. Namun, isinya tak kunjung kasatmata yang langsung saja, Niimi membalikannya hingga kotaknya menggelinding. Ternyata memang tiada apa pun yang jatuh, atau sekadar mengetuk lantai. Kadonya kosong yang membuat Niimi menyiapkan air mata, sedangkan Yakumo berpikir cukup serius.
"Jangan-jangan …"
"E-eh …? Jangan-jangan apa …?" Nada bicara Niimi bergoyang. Jelas sekali ia takut terjadi apa-apa, tetapi perasaan itu murni untuk Bimei dibandingkan kadonya. Bahwa Niimi ngeri nanti hidung Bimei memanjang menjadi enam belas sentimeter, soalnya Bimei membohongi Niimi.
"Jangan-jangan kadonya menghilang, karena Niimi -kun bandel ingin membukanya sekarang juga."
"Benarkah karena itu isi kadonya hilang?"
"Siapa yang tahu, 'kan? Bimei-kun bisa saja menyematkan kutukan pada kadonya." Entah untuk apa tangan Yakumo berputar-putar. Niimi sendiri mendadak sibuk memungut kotaknya, serta tutup yang dihias pita itu. Diposisikan agar menutup lagi yang tiba-tiba saja, jadi memikirkan pintu ruang baca sebagai jalan keluar.
"Niimi-kun mau ke mana?"
"Ke gereja! Mau bilang sama Tuhan, supaya Mimei enggak dikutuk jadi Naigu."
Menggunakan kecepatannya yang tercepat Niimi meninggalkan perpustakaan. Bimei yang kebetulan sekali berada di luar perpustakaan, sekilas menyaksikan Niimi berlari-lari bak kesetanan. Waktu untuk bingung yang seharusnya menyebabkan Bimei mematung sebentar, akhirnya Bimei ganti dengan mengejar-ngejar Niimi. Mengherankan Shuusei serta Yamamoto karena mereka tidak menyadari, Niimi berpacu sambil membawa kotak kado.
"Nankichi! Nankichi!"
Baru beberapa menit terlambat menyusul Niimi, Bimei sudah linglung ia harus ke mana. Hujan pun tahu-tahu turun yang sebelumnya, sebenarnya "ia" telah memberitahukan kedatangannya melalui siaran berita. Namun, Niimi mana mungkin menonton yang begituan. Paniklah Bimei gara-gara menurut BMKG, cuacana yang ini berpotensi hujan petir.
"Nankichi! NANKICHI!"
Bagaimanapun Bimei mengeraskan suaranya, atau mengumpulkan informasi dari pejalan kaki di sekitar, semuanya buntu mengenai anak bertopi rubah yang selalu membawa-bawa boneka rubah jua. Di tengah pencariannya yang semakin samar, Bimei akhirnya kehujanan yang terus demikian, selama Niimi belum ketemu. Petir terdengar menggelegar. Perih dibuat menyelusupi telinga yang turut menyebabkan Bimei terjatuh. Wajahnya kotor ditambah lagi kakinya agak pedih.
"Apa ini salahku, ya, karena enggak menjelaskan dengan benar?"
Pasti memang salah Bimei. Coba saja Bimei menjelaskan pada Niimi secara pelan-pelan, bahwa ia ingin mengejutkan Niimi, daripada langsung kabur tatkala harapannya diketahui Niimi. Padahal Bimei sudah berjanji kepada Tsubouchi, akan lebih berani dalam merasai sekaligus mengungkapkannya. Sekarang ini Bimei turut menyesal. Langkahnya kian berat gara-gara lututnya pun mengalirkan sedikit darah.
"Berteduh dulu, deh … habis itu aku langsung mencarimu lagi, kok …"
Gereja menjadi pilihan Bimei, karena itulah yang paling dekat untuk kaki yang agak pincang. Suasana yang sepi mendorong Bimei masuk ke dalamnya. Warna-warni kaca mozaik yang menggambarkan Tuhan, para rasul, atau entahlah apa, membuat kekaguman Bimei menguar. Saat langkahnya berada di dekat altar yang dihias bunga-bunga, mendadak Bimei terhenti. Tubuh mungilnya bersembunyi di balik kursi gereja secara impulsif.
"Nankichi …? Dia ngapain di sini?" Tampaknya Niimi tengah berdoa. Gon yang semula ditempatkannya di kursi gereja, akhirnya kembali Niimi peluk. Caranya duduk yang sampai meringkuk sudah menjelaskan, bahwa Niimi sangat ketakutan. Bimei mana mungkin tega walaupun ujung-ujungnya tetap saja, Bimei diam lagi dengan menarik tangan–Niimi terlihat mengangkat Gon tinggi-tinggi juga, soalnya.
"Tuhan pasti enggak akan bikin hidung Mimei panjang, karena aku sudah berdoa agar Tuhan memaafkan Mimei. Gon juga berdoa dengan serius, 'kan? Habis hujannya reda aku bakal minta maaf sama Mimei, soalnya aku jadi anak nakal."
Bilangnya begitu pun nyatanya Niimi malah ketiduran, meski ia baru bisa nyenyak setelah gemuruh mulai surut, dan hujannya kemudian selesai. Bimei menggendong Niimi pulang ke perpustakaan. Tsubouchi menjadi yang pertama menyambutnya disusul Yakumo, barulah kelegaan mereka tersenyum mendapati Niimi bersama Bimei.
"Pipimu merah, Bimei-kun. Jangan-jangan kau demam?" Punggung tangan Tsubouchi bergerak mengecek kening Bimei. Sepertinya baik-baik saja walau untuk jaga-jaga, Tsubouchi memutuskan mengambil paracetamol.
"Tenang saja, Shouyou-san. Aku hanya merasa … kalau Nankichi itu manis."
Esok harinya Niimi mendapati kado yang juga dibungkus, menggunakan kertas bergambar rubah. Ketika dibuka isinya adalah diari baru. Dalam secarik kertas Bimei pun sedikit menjelaskan, kalau ia tak sengaja mendengar Niimi bercerita ke Miyazawa Kenji, jika bukunya yang lama yang menjadi tempat menuliskan berbagai pengalaman observasi, sudah habis.
Maaf juga soal kado kosong yang kupersiapkan itu. Aku tahu Nankichi pasti bandel, dan mau mengambilnya. Makanya aku menyuruh Yakumo-sensei membantumu, kemudian berkata, "Kadonya hilang, karena kau bandel mau membukanya sekarang.".
Tindakanku sangatlah keterlaluan. Sebagai gantinya, apa Nankichi mau bermain denganku?
Senyuman Niimi mengembang sempurna. Tentu saja ia mau, karena Bimei memiliki harum yang sangat baik–Niimi sedikit sadar ketika digendong pulang oleh Bimei, lebih-lebih Niimi mendengar Bimei berkata, "Hidungku enggak akan jadi panjang, kok"–dan baik hatinya memang selalu. Makanya hari ini juga, Niimi mau mendengar Bimei mengungkapkan satu per satu perasaannya, dibandingkan hanya ditulis di secarik kertas begini.
Tamat.
A/N: Aku lumayan puas karena ternyata, ini bisa diselesaikan abis kuliah sore. Kurasa niimi sama bimei-nya OOC juga ya. Aku cuma baca2 sekilas recoll mereka, dan inilah hasil pemahamanku yang entah gimana, bisa nyampe 2k. Padahal awal2 udah hopeless banget enggak mungkin selesai hari ini, karena aku sempet tidur juga. Tapi karena idenya dari awal emang udah mateng, sebenernya gak aneh juga bisa selesai.
Kenapa aku mau buat niimi sama bimei? Aku sekadar ngerasa aja kalo bimei ini kayak kakaknya niimi, makanya aku bikin bimei niimi. Lain waktu kalo gak kapok, aku mau bikin lagi. Thx buat yang udah baca, fav, follow, review, atau numpang lewat doang. Mari bertemu di fanfic lainnya~
