Giok Biru Kamura

.

.

Disclaimer

Monster Hunter Rise © Capcom

.

.

Warning

Spoiler monster sampai Ver 2.0

.

.

Bab 1

.

.

Semenjak mengalahkan Magnamalo, kau dan saudaramu disebut Giok Kembar Kamura. Bagimu, julukan itu merupakan kemewahan, sesuatu yang tak pantas kaudapatkan. Apalagi, memburu monster adalah kewajiban yang pantas kauemban, sebagai tanda terima kasih pada semua penduduk Desa Kamura.

Kau dan kembaranmu berhutang nyawa. Jika dua dekade lalu Fugen tak memeriksa Shrine Ruins, kalian berdua sudah jadi makanan ringan Azuros. Jika Hamon tak menawarkan atap dan makanan, hidup kalian pasti sangat menyedihkan. Dan jika warga Kamura tak menunjukkan kasih sayang, kau takkan tahu betapa indah rasanya memiliki keluarga.

Ya, menjadi pemburu monster adalah satu-satunya hal yang pantas kamu lakukan demi membalas kebaikan semua orang.

Sore itu, kamu diberi dua kotak dango setelah mengantar telur Rhenoplos pada Yomogi. Ketika tiba di pintu rumah, aroma daging panggang lezat menyambar penciuman.

"Ken, aku pulang," katamu, meletakkan dango pada undakan di depan pintu lalu melepas semua perlengkapan berburu.

"Oh, Jun, selamat datang! Cepat juga kau pulang. Kali ini telurnya tidak pecah di tengah jalan? Haha! Ayo sini!" sahut saudaramu.

Kamu tersenyum geli. Rasa lelahmu terbang entah ke mana dan kau pun bergabung dengannya.

"Patroli?" tanyamu, memerhatikan rambut sebahu Ken diikat ke atas. Ken hanya mengikatnya saat bertugas.

"Cuma sebentar," jawab Ken, menyerahkan paha Kelbi yang sedikit hangus, sementara tangannya yang lain sibuk membuka kotak dango.

Sementara kamu menyantap makan malam, Ken bercerita.

"Akhir-akhir ini muncul jejak monster baru di mana-mana. Yang terakhir di Lava Cavern. Terkadang mereka melewati rute tambang penduduk."

Kekhawatiran mulai mengusikmu.

Kata Ken lagi, "Untuk sementara, transportasi melalui Lava Cavern sangat dibatasi. Masalahnya, Hamon mendapatkan banyak pesanan dari desa-desa sekitar. Katanya, aktivitas monster di tempat lain meningkat."

"Mengapa tiba-tiba para monster bertingkah seperti ini?" kau beretorika.

Semua orang tahu jawabannya. Rampage.

Sejurus kemudian, kalian mendengar derap langkah mendekat.

"Ken, Jun, gawat! Kakek—"

Seorang bocah berambut gelap, Iori jatuh tersandung di pintu masuk. Kalian berdua segera menolong.

"Ada apa, Iori?" tanya Ken. Dari wajahnya, saudaramu itu kurang lebih sudah tahu berita apa yang menanti.

"Kakek belum kembali dari Lava Cavern."

Hati kalian serasa ditusuk seribu pisau. Ken langsung panik. Tetapi, demi Iori, kau berusaha tetap tenang.

"Rute yang mana?" alihmu.

"Katanya kehabisan firestone. Jadi…"

"Kalau bukan rute satu, rute dua," simpulmu cepat.

Meniru kekalemanmu, Ken segera mengontrol diri.

"Tenang, Iori. Aku dan Jun akan menemukan Hamon," janjinya.

Lima menit kemudian, kalian siap terbang. Kamu pun mengecek perbekalan untuk yang terakhir. Sepertinya cukup lengkap. Namun, dalam waktu sesingkat itu, tak mungkin tak ada yang tertinggal. Semakin dipikirkan, semakin kau panik. Jadi, kaututup tasmu, dan menyerahkan semuanya kepada takdir.

Sesampai di Lava Cavern, kau dan Ken berpencar. Berteleportasi ke kemah di utara, kamu terjun ke lubang tak jauh dari sana dan mulai meniti area luas di bawah tanah.

Lampu spiribird penerangmu sangat terbatas, tapi itu bukan penjelajahan pertamamu. Semenjak Hamon mengajarkan rute itu, kamu sudah sering mengitarinya. Setiap kelok pada jalur itu telah tercatat di luar kepalamu. Meski demikian, apakah kamu mampu menemukan Hamon?

Hamon, lelaki yang mengasuh kalian dari bayi. Apa yang telah terjadi padanya? Tentu saja, sebelum berangkat ke mari, sang pandai besi telah mendengar laporan Ken. Beliau tidak mungkin datang tanpa memikirkan rute evakuasi. Jadi, kemungkinan pertama, Hamon sudah keluar area. Yang ke dua, beliau sedang bersembunyi. Atau yang ke tiga… kamu tidak mau membayangkannya.

Kamu menutup mata, bingung mau apa. Napas kauatur, dan perlahan pikiranmu jadi lebih jernih. Lebih baik mengharapkan yang terbaik. Berpikir yang tidak-tidak hanya bikin gugup.

Lalu, terdengar percikan air. Seketika itu juga darahmu mengalir kencang.

Sambil bersembunyi di antara skalakmit kamu melacak. Jika suara itu menjauh, kamu berbalik. Pada akhirnya, kamu dapat mendengar dengus napas. Memberanikan diri, kamu pun mengintip.

Tak kelihatan. Di dalam gelapnya gua, kamu tak dapat melihat sosok sang monster. Hanya saat makhluk itu mendekati mulut gua, barulah kaulihat wujud aslinya.

Seekor monster kera. Ukurannya tidak terlalu besar. Monster itu menggenggam dahan pohon yang cukup tebal serta panjang.

Kamu menyiapkan senjata dan meminum ramuan peningkat tenaga.

Ketika monster itu mengambil batu pipih runcing dan mulai menajamkan kayu tadi, kau menyadari bahwa ia punya semacam kecerdasan.

Sekarang si kera berdiri di depan semacam bukit. Ia mulai menggulingkan sebuah batu. Kamu baru menyadari intensinya saat kera itu sudah menusukkan dahan tajam barusan ke lubang kecil yang berada di balik batu.

Sedetik, rasanya kamu lumpuh. Kemudian, semburan api mengaliri nadimu. Lompatanmu begitu jauh, seakan bisa terbang. Dengan tenaga penuh kauayunkan senjata. Pukulan mendarat di tanduk sang monster, membuatnya limbung seketika.

Yang pertama kauperiksa adalah ujung kayu runcing tadi. Betapa lega dirimu tak mendapati cairan merah mengerikan.

"Tuan Hamon!"

Suara lemah menyahut. Ternyata benar, Hamon berada di dalam ceruk tadi. Mungkin beliau lari ke sana, ketahuan, lalu diperangkap. Tangan kera itu tidak cukup panjang untuk meraihnya, sehingga dahan itu dipakainya.

Kau terkesima menemukan kemampuan berpikir semacam itu pada seekor monster.

Ketika berpaling, mata makhluk itu kini terpaku padamu. Liur menetes melalui sela-sela taring besar.

Kamu mengirim kinsectmu tiga kali, mendapatkan semua ekstrak yang diperlukan dan mulai menyerang.

Hewan itu gesit dan sangat agresif, selalu melancarkan pukulan bertubi-tubi.

Suatu kali kamu memakan tinjunya. Seluruh tulangmu bergetar.

Pertarungan berlanjut. Bentrokan tongkat baja akhirnya sampai ke telinga kembaranmu. Dia datang dengan pedang panjang pemberian Fugen. Dan kau pun tahu, kau aman.

"Monster ini Rajang. Sangat ganas. Berhati-hatilah jika dia berubah warna!" Hamon memperingatkan kalian.

"Ho… Jadi penasaran."

Kamu mengingatkan Ken agar jangan lengah.

"Dia memang kecil, tapi kekuatannya setara Magnamalo," katamu.

"Kalau cuma setara, kita pasti bisa mengalahkannya!"

Kalian berdua beraksi.

Seekor kera ternyata bukanlah tandingan Giok Kembar Kamura. Sedikit demi sedikit, monster itu terpukul mundur, dan kamu menduga dia akan kabur.

"GROOOOOOOO!"

JDAR!

Sebuah ledakan mengirim percikan cahaya dan kau pun terpental dengan mata tertutup. Jaga-jaga, menggunakan glaive, kau lompat menjauh.

ZAP!

Kamu sulit memercayai apa yang baru saja kamu hindari. Laser berintensitas tinggi keluar dari mulut Rajang. Meleset sedikit, kau sudah terpanggang.

"Terlalu berbahaya!"

Ken menembakkan sinyal darurat, kemudian berusaha menggiring sang monster menjauh.

"Bawa Hamon pergi dari sana!" serunya lagi, memukul telak wajah lawan, bersalto mundur dan memancing Rajang ke dalam gua.

Sementara kau dan Hamon menyisir tebing, kalian sama sekali tidak menyadari bahwa predator lain telah menanti di ujung jalan.

.

.

Bersambung