Your Special Day © Baby Pandaxx
Naruto © Masashi Kishimoto
AU-semi lokal | Romance | Fluffy
Warning : SasoFem!Dei, tulisan tidak sesuai PUEBI, bad english, typo(s).
Note : Sebuah fic untuk merayakan ulang tahun Deidara.
.
.
Happy Reading~
.
Kata orang, money can't buy happiness.
Kalimat itu sangat disetujui gadis bersurai kuning yang tengah memegang handphonenya gelisah, melangkah mondar-mandir sambil sesekali berdecak kesal karna seseorang tidak bisa dihubungi beberapa hari belakangan.
Rumah bertingkat dua, mobil berjejer beragam warna, saldo rekening yang angka nolnya tidak terhitung, asisten rumah tangga yang selalu siaga, dan banyak privilage lainnya ternyata tidak cukup membuatnya bahagia. Baginya, percuma hidup dengan bergelimang harta, kalau tidak ada cinta dalam hidupnya.
Deidara Namikaze, anak sulung dari Minato dan Kushina, pemilik Namikaze Corp dan masuk didaftar sepuluh orang terkaya di dunia. Sejak kecil, ia hidup dengan segala kemewahan dan kemudahan. Babysitter yang hampir dua puluh empat jam di sampingnya, supir yang selalu mengantarnya jalan-jalan saat dia bosan –walau hanya keliling komplek-, Mbak yang setiap hari memasak makanan kesukaannya dan hal lainnya yang membuat siapapun merasa ingin ada di posisinya.
Tapi, setiap hal pasti ada plus minus nya.
Kemewahan yang disuguhi sang Ayah membuatnya –mau tidak mau- harus merelakan waktu Ayahnya disita pekerjaan dan tidak ada waktu untuk dirinya. Ibunya yang memiliki bisnis kuliner juga sama sibuknya dengan sang Ayah, kedua orang tuanya jarang ada di rumah sejak ia kecil. Kalau tidak ada mbak Konan yang jadi babysitter dan merawatnya dengan kasih sayang, mungkin sekarang Deidara tumbuh jadi anak yang apatis karna kurang kasih sayang.
Deidara sudah berteman dengan sepi sejak kecil, tidak punya teman main sebaya karna tidak boleh keluar rumah, tidak punya kenangan indah semasa kecil bersama orang tua –ah mungkin ada. Sekali, hanya saat ia ulang tahun yang ke-lima. Pertama kalinya ia merayakan ulang tahun bersama kedua orang tuanya, dihadiri kolega bisnis sang Ayah dan usut punya usut ternyata itu salah satu bentuk promosi usaha Ibunya yang baru memulai bisnis kulinernya.
Selama hidupnya, semua berjalan bagai satu warna; abu-abu. Tidak hitam, tidak putih, hanya abu. Teman-temannya hanya berteman karna memandang harta, padahal sekali pun ia tak pernah menunjukkan kemewahan. Berangkat sekolah naik bus –meski setiap hari harus menolak keras diantar naik mobil oleh supir-, handphone bukan dari merk apel digigit, sweater pun beli di pasar malam saat ia tidak sengaja melewati jalanan macet dimalam hari.
Tidak ada yang special dari hidupnya yang berwarna abu, sampai akhirnya saat kelas dua SMA ia bertemu lelaki berambut merah yang sejak awal bertemu sudah membuat dadanya berdegup cepat. Aquamarinenya terbius oleh hazel pria itu saat mereka tak sengaja bertatapan, ada sesuatu di matanya yang menarik Deidara untuk mencari tau.
Sesuatu itu adalah kenyamanan.
Pendekatan yang Deidara lakukan tidaklah mudah, karna pria itu pendiam dan selalu menyendiri saat istirahat. Entah dapat keberanian dari mana saat itu, Deidara tanpa malu terus mendekati pria bernama Sasori dengan cara yang tak biasa. Mengekori Sasori saat jam istirahat yang selalu di habiskan di rooftop sekolah, mengganggu Sasori yang sedang serius mengerjakan tugas di kelas, menarik paksa Sasori untuk ke kantin berdua dengannya, dan hal lainnya yang membuat Sasori menghela nafas tak habis pikir.
Tapi meski begitu, ternyata usaha Deidara membuahkan hasil. Sasori, pria tampan keturunan Akasuna yang sangat pendiam dan dikagumi adik kelas sekarang jadi dekat dengannya. Bukan kekasihnya, memang. Dan Deidara juga tidak berpikir sejauh itu –atau belum-, dekat dengannya saja sudah cukup.
Gosip yang tersebar mengatakan ia dan Sasori lebih dari teman, karna dari masuk sampai pulang sekolah ia tidak pisah dari si tunggal Akasuna. Tapi baik ia ataupun Sasori tidak ambil pusing tentang kabar itu, mereka tetap bersama sebagai teman yang sejujurnya memang terlihat seperti lebih dari itu.
Tak jarang, adik kelas terang-terangan bertanya padanya saat bertemu di toilet, tentang bagaimana rasanya di dekat Sasori. Deidara hanya menaikkan alis sebelah lalu tersenyum lebar –seakan merasa menang- karna hanya dia satu-satunya gadis yang berhasil masuk dalam hidup si Akasuna, bahkan hanya dia yang bisa melihat senyuman manis di bibir Sasori.
Ah, rasanya memang tidak salah kalau membenarkan kabar mereka lebih dari teman.
Tapi, sudah beberapa hari ini Sasori tidak masuk sekolah dan nomornya tidak bisa dihubungi. Sasori bukan orang yang suka menghilang tanpa kabar, kalaupun ia tidak masuk sekolah, sehari sebelumnya pasti akan memberitau Deidara terlebih dulu sebelum izin ke sekolah. Tapi ini, sudah hampir dua minggu Sasori tidak ada kabar. Bagaimana tidak khawatir kalau murid teladan tiba-tiba menghilang tanpa kabar?
Salahkan Deidara yang sudah hampir satu tahun berteman, tapi belum pernah main ke rumah Sasori, bahkan alamatnya saja tidak tau. Ia sempat meminta ke sekolah, tapi pihak sekolah tidak memberikan dengan alasan privacy. Jangan kira Deidara menyerah begitu saja, ia terus merengek pada guru Tata Usaha untuk diberi alamat Sasori walau hasilnya selalu berakhir di seret guru BK untuk kembali ke kelas.
Pada hari ke lima, seseorang dari kelas sebelah memintanya untuk bicara berdua. Ternyata untuk memberinya alamat rumah Sasori, alasannya karna kasian melihat gadis keturunan Namikaze terus merengek di depan ruang Tata Usaha setiap hari. Sebagai tanda terimakasih, Deidara meyuruhnya meminta apapun yang ia mau. Alih-alih barang mahal atau hal yang menguras saldo rekening, permintaannya justru membuat Deidara tanda tanya.
"Jangan pergi dari Sasori," Deidara ingin menghujaninya pertanyaan, tapi bel masuk sekolah memaksanya untuk bungkam dan bertanya-tanya sendirian sampai saat ini.
Pada hari minggu, Deidara sudah rapih sejak pagi buta. Ia menyelinap keluar untuk mendatangi alamat yang diberi anak kelas sebelah bernama Gaara, tidak mau diantar supir meskipun lokasinya cukup jauh dari rumah.
Perjalanannya memakan waktu hampir tiga jam naik bus, Deidara kagum dengan Sasori karna rumahnya dan sekolah sejauh itu tapi tidak pernah sekalipun datang terlambat. Beda dengannya yang hanya tiga menit sampai ke sekolah, tapi masih suka kesiangan.
Begitu di depan rumah tak berpagar yang dituju, ia menarik nafas dalam-dalam sebelum mengetuk pintunya. Menetralkan jantungnya yang berdetak cepat, entah karna lelah berjalan dibawah terik matahari atau karna akan bertemu Sasori setelah sekian hari.
Tiga kali ketukan, seseorang menjawab dari dalam sana. Wanita paruh baya menyapa, bertanya ada apa dan mencari siapa. Setelah menjelaskan tujuannya, raut wanita paruh baya itu berubah-ubah. Terlihat bingung sesaat, kemudian tersenyum sambil menganggukkan kepala.
"Sasori Akasuna, ya?" Deidara mengangguk sambil menunggu kalimatnya yang menggantung, "dia memang tinggal di sini, tapi beberapa minggu ini belum pulang ke rumah karna– ah, ngomong-ngomong siapa namamu?"
"Deidara Namikaze," Jawab Deidara tanpa jeda, ingin segera tau keberadaan Sasori. Wanita paruh baya di hadapannya terkekeh pelan, menyilahkan dirinya duduk di kursi untuk bicara lebih jauh.
"Jadi kau, ya," Lagi-lagi kalimatnya digantung, rasanya Deidara ingin berteriak pada wanita ini, "Kenalkan, aku Chiyo, nenek Sasori." Deidara mengangguk, "Sasori anak yang baik, ya? Dia sering bercerita tentangmu, ternyata kamu memang secantik i-"
"Sasori di mana?" Tanpa sadar Deidara menyela ucapan nenek Chiyo, baik ia ataupun wanita di depannya sama-sama terkejut. Sungguh, mulutnya dengan tidak sopan bergerak sendiri. Baru akan meminta maaf, nenek Chiyo tertawa pelan sambil mengelus kepalanya penuh afeksi.
"Ternyata benar, kegigihanmu yang meluluhkan cucu ku." Deidara hanya tersenyum kikuk, bingung merespon apa. Detik berikutnya, nenek Chiyo menatap Deidara serius. Manik hitam kuaci nenek Chiyo menembus aquamarinenya tajam, setajam kalimat yang saat ini keluar dari mulut nenek Chiyo tentang sebuah fakta yang tidak pernah Deidara duga.
Tatapan nenek Chiyo melunak saat melihat gumpalan air di pelupuk mata Deidara, ia menghentikan kalimatnya dan mengelus pundaknya, berusaha menenangkan. Deidara memintanya untuk melanjutkan cerita, sampai pada dipoint yang diinginkan.
Setelah menenangkan diri dan nenek Chiyo sudah selesai bercerita, ia pamit untuk menemui Sasori. Sempat ditahan oleh nenek Chiyo, tapi sekali lagi, bukan Deidara namanya kalau menyerah begitu saja. Ia meyakinkan nenek Chiyo kalau dirinya sudah baik-baik saja, dan tidak akan ada hal buruk yang akan terjadi kedepannya.
Tapi jauh dilubuk hati, Deidara tidak pernah menyangka kalau keadaannya ternyata sejauh ini.
Secarik kertas kecil bertulis alamat baru yang diberi nenek Chiyo ia lihat berkali-kali, merasa tidak asing tapi tidak juga familiar. Hanya seperti pernah membaca di suatu tempat, entah di mana dan entah kapan.
Jam sudah menunjukkan pukul dua siang, langit yang tadi cerah sekarang tertutup awan keabuan. Angin menghembus kulit cukup kencang, bertanda hujan akan segera turun. Tapi hal itu tidak memadamkan semangat Deidara untuk bertemu Sasori, ia sekarang berdiri di halte bus yang akan membawanya ke alamat tujuan.
Ia menghela nafas saat lagi-lagi tidak mendapat tempat duduk di bus, sejak pergi tadi bus selalu ramai dan lumayan berjubal. Tapi ini adalah makanan sehari-harinya, jadi sudah tidak aneh lagi bahkan kakinya sudah tidak merasa pegal karna terbiasa.
Hujan turun seiring kakinya menginjak halte tujuan, ia merapatkan outer biru langit yang dipakainya saat hembusan angin menyapa kulit. Rintikan hujan menghantam aspal jadi pemandangan yang menenangkan sekaligus membawa pikirannya mengingat ucapan nenek Chiyo tadi siang, sebuah fakta yang membuatnya senang dan sedih disatu waktu.
Kenapa Sasori bertindak sejauh itu?
"Aku belum pernah lihat Sasori seperti ini, aku terkejut saat dengar alasannya melakukan ini hanya karna satu orang gadis yang baru dikenalnya belum genap satu tahun. Nak, ku mohon jangan pergi dari Sasori. Sasori itu..."
Deidara menghela nafas sekali lagi, ucapan nenek Chiyo bagai kaset yang terus berputar. Hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan reda, sedangkan waktu terus berjalan menuju malam. Jam di tangannya menunjukkan pukul setengah empat sore, hampir seharian ia berkelana mencari Sasori tapi belum juga membuahkan hasil.
Sebagai remaja yang masih berumur tujuh belas tahun, Deidara juga belum sedewasa dan sekuat itu. Ia juga masih remaja labil yang emosinya naik turun, yang masih bisa meledak sewaktu-waktu.
Saat ini, ingin sekali rasanya menangis. Mengadu pada Tuhan kalau salah satu ciptaannya sesulit itu untuk ditemui, berteriak pada rintik hujan untuk berhenti dan mengizinkan ia mencari Sasori. Ia hanya ingin bertemu dengan si rambut merah, tidak lebih. Tidak butuh apapun, hanya bertemu dan bertukar tawa seperti biasa.
Di halte yang sepi, Deidara meluapkan tangisnya. Menutup mulut rapat-rapat agar tangisnya tidak bertanding dengan suara hujan, tapi aliran air yang jatuh dari pelupuk mata bisa bertanding dengan rintikan hujan yang jatuh di depannya.
Tidak ada orang yang berlalu-lalang, jarang juga kendaraan lewat. Entah karna hujan, atau memang di atur Tuhan agar Deidara bisa menghabiskan waktu sendirian meluapkan emosinya. Yang manapun itu, keduanya tetap menguntungkan untuknya.
Cukup lama, sekarang dadanya tidak sesesak tadi. Memang, menangis adalah salah satu cara untuk mengeluarkan emosi yang terpendam. Deidara sibuk menghapus air mata yang masih mengalir, tanpa sadar mobil hitam mengkilat berhenti tepat di depannya. Seseorang berambut merah berlari menghampiri, memberi sekotak tissue padanya.
"Ngapain di sini?"
Deidara terkejut bukan hanya karna tiba-tiba seseorang bediri di depannya, tapi juga karna rambutnya yang merah seperti Sasori. Sama-sama merah, tapi bukan dia yang Deidara cari. Bukan Gaara Sabaku, anak kelas sebelah yang waktu itu memberinya alamat rumah Sasori.
"Dei? Nangis? Kenapa?" Gaara bertanya tidak sabar, membungkuk untuk mencari jawaban dari mata Deidara yang menunduk pasrah. "Dei, ayo ku antar pulang." Gaara menarik pelan tangan Deidara, menuntunnya masuk ke dalam mobil. Tapi sang empu masih enggan beranjak dari tempat.
"Sasori." Air mata lolos lagi membasahi pipinya, Gaara cukup mendengar dengan jelas ucapan Deidara yang seperti cicitan dibawah derasnya hujan.
Gaara tersenyum simpul, "Mau bertemu Sasori?" Mendengar nama yang ia cari disebut, Deidara mengangkat wajahnya menatap manik green mint di hadapan. Hanya menjawab dari tatapan mata, dan Gaara sangat paham.
Gaara menuntun Deidara untuk masuk ke dalam mobilnya, kali ini tidak ada penolakan. Mobil melaju membelah jalanan yang masih diguyur hujan, tidak ada percakapan antara mereka. Hanya ada suara cover piano yang di putar Gaara, terdengar lembut dan indah sampai membuat hatinya tenang.
Dan memang itu tujuan Gaara memutar musik Beautiful in White x Canon in D di mobil.
Musik yang terlalu menenangkan, guyuran hujan di luar sana, cara Gaara membawa mobil yang begitu lembut, hawa stabil di dalam mobil, dan posisi duduk setengah berbaring yang nyaman lambat laun menariknya ke alam bawah sadar. Yang Deidara ingat terakhir kali adalah pemandangan jalan yang familiar di matanya.
.::.
Deidara terbangun dari tidur, mengerjapkan mata beberapa kali sebelum benar-benar membuka mata. Ia masih di dalam mobil, menoleh ke kanan dan mendapati Gaara yang tengah menatap layar ponselnya. Merasa dipandangi, Gaara melirik ke samping. Tersenyum lembut pada Deidara yang masih mencoba memproses semuanya, dari tatapan matanya Gaara cukup mengerti gadis di sampingnya sedang meminta penjelasan.
"Maaf, ternyata hari ini Sasori tidak bisa diganggu. Jadi ku putar balik dan membawamu pulang," Jelas Gaara, "Aku dapat alamatmu dari Sasori." Sambungnya saat Deidara baru membuka mulut.
Deidara memegang pelipisnya yang terasa pusing, entah berapa lama ia tertidur di dalam mobil Gaara. Sekarang langit sudah berwarna hitam, yang berarti sudah malam.
"Aku tidak membangunkanmu karna dilarang Sasori, dia bilang jangan diganggu dan biarkan kau bangun sendiri." Jelas Gaara lagi, Deidara belum sanggup untuk menimpali. Bahkan meskipun hanya sebatas kata iya.
Alunan musik piano yang sama masih terdengar, apa karna musik ini Deidara jadi terlalu pulas? Mungkin, iya. Ditambah hari ini ia terlalu jauh berkelana, dan juga menangis di halte tadi. Tubuhnya bisa saja berkata kalau dia kuat, tapi jiwanya tidak.
Kalau dipikir-pikir, bagaimana Gaara kenal dengan Sasori? Di sekolah, mereka sama sekali tidak pernah bertegur sapa. Tapi, kenapa Gaara seakan menunjukkan keakrabannya dengan Sasori?
"Gaara, kau–"
"Aku dan Sasori teman sejak kecil, dia tinggal bersama ku saat kedua orang tuanya meninggal sebelum neneknya kembali dari luar negeri." Deidara hanya mengernyitkan alis, apa Gaara seorang cenayang? Ia selalu menjawab pertanyaan yang bahkan tidak dilisankan, "Tidak, aku bukan cenayang." Jawabnya lagi sambil terkekeh pelan.
Bukan cenayang apanya? Lagi-lagi dia tau pikiran Deidara.
"Kau tau, Deidara. Aku cukup terkejut saat melihatmu berani mendekati Sasori, jujur saja pada awalnya ku kira usahamu sia-sia. Ternyata, diluar dugaan ku dan semua orang, kau berhasil meluluhkan pangeran es Akasuna." Gaara memberi jeda, menatap Deidara yang masih sangat penasaran, "Makanya ku bilang padamu, jangan pergi dari Sasori."
"Kenapa? Kenapa ucapanmu sama seperti nenek Chiyo?" Deidara menegakkan tubuhnya, menatap Gaara menuntut penjelasan.
"Ku rasa nenek Chiyo sudah memberitau alasannya, kan?" Gaara berbalik tanya, "Sasori pernah dikecewakan seseorang dimasa lalu, padahal tidak sembarang orang bisa masuk dalam hidupnya. Sejak saat itu, tembok pertahanan Sasori semakin tebal bahkan aku sendiri– ah tidak, bahkan nenek Chiyo sendiri hampir tersapu keluar. Dia tidak lagi bisa percaya siapapun dalam hidupnya, makanya aku dan dia tidak pernah bertegur sapa di sekolah."
Hening.
Deidara mencoba menyambungkan cerita Gaara dengan cerita nenek Chiyo tadi siang, sedangkan Gaara sendiri mengingat masa lalunya dan Sasori.
"Lalu hubungannya denganku?" Tanya Deidara ragu-ragu.
Untuk pertama kalinya, Deidara melihat Gaara Sabaku tersenyum lebar dan memberi kehangatan ke dalam hati. Senyuman yang hampir mirip dengan Sasori, tapi memang senyum Sasori tiada tanding bagi Deidara.
"Sebelumnya, aku berterimakasih padamu karna sudah mengembalikan Sasori seperti dulu lagi. Karna mu, Deidara, aku bisa melihat seorang Sasori tersenyum lebar saat menceritakan apa saja yang kalian berdua lalui setiap hari. Sasori jadi lembut lagi padaku dan nenek Chiyo, kau pelangi di hidupnya."
Deidara merasakan matanya memanas lagi, kalimat Gaara terhubung dengan kalimat nenek Chiyo tadi siang.
"... Nak, ku mohon jangan pergi dari Sasori. Sasori itu susah membuka diri untuk orang lain, tapi kalau orang itu sudah masuk dalam hidupnya, dia akan melakukan apapun untuk membuatnya bahagia. Karna siapapun yang ada di hidupnya, itulah orang-orang yang berharga. Terlebih, seorang perempuan. Kau sangat berharga untuknya."
Satu butiran bening lolos dari mata kanan, kata orang, menandakan kebahagiaan. Sepertinya itu benar.
"Aku... Aku, berharga?" Deidara bertanya entah pada Gaara atau pada dirinya sendiri. Ia menatap langit hitam, memutar kenangan-kenangan indah antara ia dan tunggal Akasuna. Apa selama ini, perasaanya lebih dari sekedar teman?
"Pertanyaan itu tidak perlu ku jawab, bukan? Tindakan Sasori saat ini sudah menjadi jawaban yang jelas untukmu," Gaara menepuk puncak kepala Deidara, "Sudah jam delapan, lebih baik kau masuk rumah. Besok masuk sekolah, ok?"
Deidara menggeleng pelan, "Masih ada yang ingin ku tanya."
"Tidak mau ku jawab."
"Gaara ku mohon, biarkan aku tidur dengan lelap malam ini."
"Kau bahkan sudah tidur dari pukul empat sore."
"Gaara Sabaku!"
"Baik-baik, Nyonya Akasuna. Apa pertanyaan terakhirmu?" Gaara mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. Sekarang ia tau rasanya jadi Sasori.
Deidara berdegup mendengar panggilan Gaara barusan, "Kenapa Sasori sampai mau melakukan itu? Maksudku, ini semua untuk apa? Aku tidak pernah– bahkan dia tau siapa aku, kan? Ah tidak, maksudku– Aku, ARGH! SASORI KENAPA MEMBUAT SEMUANYA JADI SERUMIT INI?!" Air mata lagi-lagi membanjiri pipi sulung Namikaze, bahunya bergetar terisak.
Gaara membiarkan Deidara menangis sebelum menjawab, dalam diam ia tersenyum simpul. Sudah lama sekali rasanya ia tidak terlibat dalam percintaan Sasori, dan ia tidak merasa keberatan akan hal itu.
Setelah dirasa Deidara cukup tenang, Gaara sekali lagi menepuk puncak kepala Deidara. Memberi senyuman lebar saat sang empu menatapnya lurus, "Kalau mau tau jawaban nya, besok masuk sekolah, ya."
"Tidak, untuk apa sekolah kalau tidak ada Saso–"
"Maka dari itu ku minta kau untuk masuk." Sela Gaara, merasa ditatap penuh tanya, ia melanjutkan kalimatnya, "tanyakan langsung pada orangnya."
Deidara memulatkan mata, kupu-kupu berterbangan di dalam dada. "Sasori besok masuk?" Tanyanya antusias. Jiwanya bagai terbang ke langit saat Gaara menganggukkan kepala, akhirnya besok ia bertemu dengan seseorang yang hari ini membuat moodnya nano-nano.
"Sana, masuk. Sasori bilang, kalau kau terlambat bahkan hanya tiga menit, dia tidak mau bertemu denganmu lagi." Canda Gaara, Deidara memukul pelan lengannya sebagai respon.
Setelah menghapus air matanya, Deidara pamit pada Gaara yang sudah dengan sangat baik hati mau menemani dan mengantarnya pulang. Ia baru berjalan memasuki gerbang saat mobil hitam milik Gaara sudah hilang di belokan.
Muka yang kusut akibat menangis dan rambut yang juga tak kalah kusut membuat pelayan di rumah Namikaze bertanya khawatir padanya, bahkan ada yang sudah langsung berspekulasi kalau Deidara habis diperkosa oleh preman dan sudah mau menghubungi polisi. Deidara hanya menggeleng pasrah, disatu sisi senang karna masih ada yang khawatir padanya, disisi lain tidak habis pikir karna pikiran mereka kadang tidak masuk akal.
Deidara meyakinkan para pelayan bahwa dirinya baik-baik saja dan hanya butuh istirahat setelah kehujanan, butuh waktu lima belas menit baginya untuk menjelaskan sebelum diperbolehkan istirahat oleh para pelayan. Kalau begini, siapa yang tuan rumah, sebenarnya?
Sulung Namikaze mengunci pintu kamarnya sebelum berjalan ke kamar mandi untuk mendinginkan kepala di bawah shower, dimalam hari sepertinya lebih baik memakai air hangat daripada air dingin.
Selain menangis, tidur, dan musik yang menenangkan, ternyata mandi di bawah shower juga bisa menghilangkan rasa penat.
Tiga puluh menit dihabiskan Deidara di dalam kamar mandi, sekarang ia sudah memakai baju tidur dan rambut digulung menggunakan handuk. Tangannya meraih ponsel yang sejak pagi belum dipegangnya sama sekali, banyak pesan masuk tapi hanya satu nama yang ia cari di deretan chat.
Ia berdecak saat tidak ada pesan masuk dari orang yang di tunggu, bagaimana bisa Sasori tahan tidak menghubunginya selama dua minggu? Kenapa Sasori lebih memilih mengirim pesan kepada Gaara daripada ke dirinya?
Tanpa aling-aling, ia memencet tombol telepon berwarna hijau di atas bar. Suara dering default terdengar menyapa telinga, namun telepon belum juga dijawab. Satu kali, dua kali, tiga kali belum juga dijawab.
Di sinilah sekarang, mondar-mandir di dalam kamar sambil menghubungi Sasori Akasuna yang menghilang entah ke mana. Deidara berteriak kesal saat sudah sepuluh kali panggilannya tidak juga dijawab, ia membanting diri ke kasur lalu menekuk lutut. Memandangi photo profile Sasori yang dipotretnya sebulan lalu.
Rindu. Entah rindu sebagai teman, atau lebih dari teman. Sekarang Deidara tidak tau lagi kejelasan perasaannya untuk Sasori.
"Sasori bilang, kalau kau terlambat bahkan hanya tiga menit, dia tidak mau bertemu denganmu lagi."
Ancaman Gaara tadi tiba-tiba terdengar, meskipun itu hanya bercanda, tapi untuk sekarang lebih baik tidur untuk menenangkan diri dari Sasori. Deidara menghela nafas sebelum berjalan menuju nakas untuk mengcharge ponselnya, lalu membuka handuk yang melilit rambut dan menyisirnya sebelum mematikan lampu untuk kembali ke alam mimpi.
.::.
Deidara bangun sangat awal pagi ini, bahkan matahari belum terbit pun ia sudah rapih memakai seragam lengkap dengan parfume marshmallow pilihan Sasori saat mereka pergi ke mall beberapa bulan lalu.
Tidak seperti biasa, ia tidak menolak saat supir meminta untuk mengantarnya ke sekolah. Meskipun heran, tapi Pak Asuma yang bekerja sebagai supir pribadi Deidara merasa senang karna akhirnya ia tidak memakan gaji buta.
Masih pukul enam pagi, Mbak Kurenai masih memasak di dapur untuk sarapan. Tapi Deidara sudah pamit mau berangkat, tentu saja lagi-lagi ia dihujani pertanyaan. Tapi melihat Deidara yang begitu ceria pagi ini, membuat Kurenai mengangguk maklum. Lagipula, sudah lama ia tidak melihat Nyonyanya seriang ini sampai pipinya bersemu kemerahan.
Untuk pertama kali selama sekolah, Deidara diantar menggunakan mobil oleh supirnya. Entah kenapa, rasanya ia tidak mau terlihat kusut di depan Sasori dan tidak mau wangi parfumenya habis menguar di jalan.
Asuma yang memperhatikan dari kaca tengah pun ikut tersenyum melihatnya, Deidara menyalurkan rasa bahagianya pada orang-orang disekitarnya.
Karna masih terlalu pagi, jalanan juga masih sepi hingga hanya memakan waktu lima belas menit dari biasanya. Asuma meminta untuk menemani Deidara sampai sekolah ramai, tapi Deidara dengan tegas menolak dan menyuruh Asuma untuk pulang. Lagi pula ini di sekolahnya sendiri, tidak mungkin ada yang berani macam-macam.
Setelah Asuma pergi, Deidara masuk ke dalam sekolah dengan jantung yang berdegup cepat. Senyuman di bibirnya tidak bisa tertahan, ia masih belum sadar sejak tadi pipinya bersemu merah.
Langkahnya membawa ia ke rooftop sekolah, entahlah feelingnya mengatakan kalau dia harus ke sana. Mungkin untuk menunggu sampai sekolah ramai sambil menikmati sunrise, walaupun masih lumayan dingin di sini.
Deidara mematung saat kakinya baru satu langkah dari pintu, aquamarinenya menatap punggung seseorang berambut merah yang sedang menatap matahari terbit. Rambut merah yang lebih terang dari milik Gaara, tubuh yang lebih berisi dari Gaara. Dan jelas, itu adalah seseorang yang menjadi sumber dirinya uring-uringan beberapa waktu ini.
"Sasori... Akasuna..." Gumamnya tak percaya.
Merasa namanya dipanggil, Sasori membalikkan badan. Hazelnya membulat sesaat, sebelum senyuman manis mengembang di bibirnya. Deidara lupa caranya bernafas, Sasori yang membelakangi matahari terlihat sangat indah. Sinar matahari memang menghangatkan tubuhnya, tapi senyuman Sasori menghangatkan hatinya.
Sudah dua minggu lamanya dia tidak melihat senyuman si tunggal Akasuna, sudah dua minggu lamanya mereka tidak saling bertukar kabar, sudah dua minggu lamanya Deidara merasa separuh dirinya hilang, sudah dua minggu lamanya ia merindukan Sasori.
"Ini masih terlalu pagi, Dei. Apa ada janji dengan seseorang?" Tanya Sasori membuyarkan lamunan Deidara.
"Ya," Jawab Deidara mantap, "denganmu." Sambungnya sebelum Sasori bertanya lebih lanjut.
Sasori tersenyum lagi hingga matanya menyipit, ia melambaikan tangan menyuruh Deidara mendekat. Seperti dihipnotis, Deidara menuruti Sasori untuk mendekat. Ia berhenti tepat lima langkah dari si merah, otaknya tiba-tiba mengingatkan tentang pertanyaan-pertanyaan yang kemarin membuatnya susah tidur.
"Sasori, banyak hal yang mau ku tanyakan padamu." Deidara menatap Sasori serius, seperti sudah tau hal ini akan terjadi, Sasori hanya mengangguk mengizinkan Deidara bertanya. "Pertama, kemana saja kau dua minggu ini? Tiba-tiba tidak ada kabar dan tidak menghubungiku? Semalam– ah bahkan hampir tiap malam ku hubungi tapi tidak kau jawab tapi kau mengirim pesan pada Gaara. Lalu, kata nenek Chiyo, kau... Kau... Sasori, kau..." Deidara menunduk menahan tangis, terlalu banyak pertanyaan yang masih mau ia keluarkan. Tapi rasa bahagianya melebihi rasa penasaran, tapi ia juga mau dapat jawaban.
Ya, silahkan sebut Deidara labil kali ini.
"Maaf ya, Dei." Suara Sasori begitu lembut memasuki indra pendengaran, detik ini juga rasanya Deidara ingin dipeluk Sasori. "Sebelum ku jawab, boleh aku memelukmu? Aku harus bertanggung jawab karna sudah membuat gadisku menangis."
Deidara tau itu bukan gombalan, itu tulus permintaan Sasori. Jantungnya berdegup dua kali lipat saat baru menyadari ucapan Sasori tadi, gadisku. Apa Deidara boleh pingsan sekarang?
Meskipun mengangguk kecil, Sasori tau Deidara mengizinkan. Ia berjalan mendekat ke arah gadisnya, mempersempit jarak di antara mereka. Membawa Deidara ke dalam dekapannya yang hangat, ternyata tubuh Deidara semungil ini kalau dipeluk.
Mereka dapat merasakan detak jantung masing-masing, Deidara dapat mencium wangi sandalwood khas tubuh Sasori, pun Sasori mencium wangi marshmallow yang ia pilih untuk Deidara. Kehangatan pelukan mereka seakan mengusir hawa dingin pagi yang tadi menusuk kulit, hanya kenyamanan yang kini dirasa. Larut dalam pikiran masing-masing dalam satu dekapan, menyalurkan rasa rindu yang sudah ditahan dua minggu lamanya.
"Maaf, Deidara. Maafkan aku, maaf."
Deidara menarik nafas sebelum melepaskan pelukan, menatap manik Sasori masih meminta penjelasan. Sekali lagi, Sasori tersenyum sambil mengusap air mata di pipi Deidara.
"Aku kerja part time di restoran milik Ibumu, hanya dua minggu. Awalnya mereka menolak, tapi siapa sangka ternyata Ibumu turun tangan langsung mewawancarai ku. Aku terkejut saat Ibumu bilang dia mengenaliku, apa kau bercerita tentangku?" Sasori menoel hidung Deidara di kalimat akhir, membuat pipi sang empu kembali memerah.
"Untuk apa, Sasori? Untuk apa kau bekerja di restoran Ibuku?"
"Pada awalnya bukan niatku untuk bekerja disitu, tapi kebetulan memang hanya di tempat Ibumu yang membutuhkan pegawai part time selama sebulan. Begitu ku bilang aku hanya bisa bekerja selama dua minggu, mereka menolakku. Tapi aku belajar darimu, Dei. Belajar untuk pantang menyerah sebelum hasil yang kau inginkan tercapai," Senyuman miring tercetak di bibir Sasori, "seperti saat kau meminta alamat rumahku ke ruang Tata Usaha setiap hari."
Deidara menunduk malu, pasti Gaara menceritakan semuanya.
"Ibumu bertanya padaku alasan aku untuk bekerja selama dua minggu, padahal dia tau aku masih sekolah. Lalu, ku jawab," Sasori menggantung kalimat, menuntun wajah Deidara untuk menghadapnya. Mempersempit jarak diantara mereka, "Demi dirimu, Dei."
Hembusan nafas Sasori yang mengenai wajahnya membuat bulu lehernya merinding, pikirannya mulai traveling melihat bibir pink Sasori. Ingin mencobanya.
"Kenapa... Aku?"
Keinginan Deidara buyar saat Sasori menjauhkan wajahnya, ia merogoh saku celana mencari sesuatu dengan senyum yang tidak lepas sejak tadi. Tangannya terulur saat benda yang dicarinya sudah didapat, tepat di depan wajah Deidara, ia membuka perlahan genggaman tangannya. Kalung dengan bandulan bintang dan bulan berkilau terkena cahaya matahari, hanya satu kata, cantik.
"Today is your special day, Love."
Deidara sudah tidak waras rasanya dipanggil Love oleh Akasuna di depannya, ditambah kilauan kalung cantik yang masih bergantung di hadapannya.
Sasori berjalan ke belakang Deidara, memakaikan kalung cantik itu pada pemiliknya. Ia mendekatkan wajah pada telinga Deidara, "Happy birthday, Love. I love you so much, will you be my girl?"
Merinding. Deidara kehilangan kekuatan untuk berdiri, kalau saja tidak ditangkap Sasori di belakang pasti sekarang sudah jatuh dengan tidak indahnya disaat moment berharga ini.
Sebisa mungkin, Deidara berdiri sendiri. Menegakkan tubuh, menatap Sasori meyakinkan kalau dirinya tidak salah dengar. Tatapan mata Sasori yang hangat namun serius sudah cukup menjadi jawaban, ia tidak salah dengar.
Tapi bagaimana ceritanya ia lupa dengan ulang tahunnya sendiri?
"Yasudah kalau ditolak."
Sasori pura-pura mau pergi meninggalkan, tapi Deidara yang masih mencerna semuanya menganggap itu serius.
"Aku belum jawab!"
Sasori terkekeh melihat Deidara yang panik, sebenarnya tanpa ditunggu pun ia tau jawabannya.
"Lalu?"
Deidara melirik kanan-kiri, "Y-ya, aku mau."
"Apa? Maaf tidak dengar." Sasori mendekatkan telinga ke mulut Deidara.
"Ya aku mau, Danna."
"Eh?" Sasori mengerjapkan mata, apa itu panggilan sayang dari Deidara? "Apa itu? Danna?"
Pipi Deidara memerah, ia membalikkan badan dan berjalan meninggalkan Sasori. "Yasudah, panggil Sasori saja!"
"Eh? Itu panggilan sayang? Aku suka, panggil itu sekali lagi." Sasori mengejar Deidara yang pura-pura ngambek, padahal salah tingkah.
"Tidak, Sasori."
"Panggil aku Danna setiap hari, sayang. Aku suka itu."
"Tidak."
"Dei," Dalam sekali genggaman, Sasori memeluk Deidara dari belakang. Dengan begitu lembut, "Terimakasih, dan maaf untuk yang kemarin. Aku mencintaimu, Deidara. It's your special day, apa yang kamu minta dari ku?"
"Jangan pernah pergi lagi."
"I promise, Love. I'll not, i'll be there for you. Sorry, i love you so much."
"Love you more, Sasori no Danna."
FIN_
